*

*

Ads

Senin, 30 Juli 2018

Ang Hong Cu Jilid 086

Siapakah yang tinggal di puncak yang disebut Puncak Awan Kelabu itu? Keterangan yang diberikan Mayang kepada Hay Hay, walaupun belum lengkap, namun benar dan gadis itu tidak berbohong.

Delapan belas tahun yang lalu, ketika Mayang berusia beberapa bulan saja, ibunya rnembawanya berkeliaran ke Pegunungan Ning-jing-san. Ibunya menggendong Mayang yang berusia tiga bulan itu sambil menangis, tertawa dan mencari-cari seseorang. Mencari ayah Mayang!

Ibu muda itu ternyata telah menjadi seperti orang gila. Ia ditinggal pergi pria yang menjadi ayah Mayang, ditinggal begitu saja ketika kandunganya sudah tua tanpa memberitahu dan ia tidak tahu kemana perginya pria itu! Ayah ibunya menjadi marah dan mengusirnya karena ia mengandung tanpa suami! Pria itu selalu mengunjungi kamarnya di waktu malam dan tak seorangpun mengetahui hubungannya dengan pria itu. Setelah ia mengandung tua, pria itu pergi begitu saja.

Dalam keadaan seperti gila ini, ibu mayang, puteri seorang suku bangsa tibet, mendaki puncak itu, dan disitu ia bertemu dengan seorang pertapa wanita. Pertapa itu berjuluk Kim Mo Siankouw (Dewi Berambut Emas) dan pertapa itu merasa kasihan kepada Mayang dan ibunya. Ia mengobati ibu muda itu sampai sembuh dan semenjak saat itu, Mayang dan ibunya tinggal bersama pertapa itu di puncak.

Dan semenjak ibu dan anak itu berada disitu, kehidupan Kim Mo Siankouw juga berubah. Dahulunya, ia hanya bertapa dalam sebuah gubuk tua tanpa memperdulikan keadaan dirinya. Akan tetapi setelah ia harus memelihara ibu dan anak itu, Kim Mo Siankouw mulai berusaha peternakan, di bantu oleh ibu mayang.

Beberapa tahun kemudian, peternakan itu menjadi besar dan keadaan mereka menjadi makmur. Bahkan kim Mo Sankouw menyuruh orang-orang di dusun pegunungan itu untuk membangun sebuah rumah yang besar, dan ia bahkan mengambil beberapa orang wanita pembantu untuk mengatur rumah tangganya.

Sejak kecil, Mayang tinggal disitu dan ternyata bahwa Kim Mo Siankouw bukan sekadar seorang wanita yang mengasingkan diri bertapa disitu, melainkan seorang wanita yang sakti dan memiliki banyak ilmu! Dengan sendirinya, Mayang menjadi anak yang amat disayang oleh Kim Mo Siankouw, bahkan sejak kecil, Mayang telah digembleng oleh pertapa wanita itu, diberi makanan yang mengandung obat sehingga Mayang tumbuh menjadi seorang gadis yang memiliki tubuh yang amat kuat.

Juga, semenjak berusia tujuh tahun, Mayang telah diajari ilmu membaca tulis dan juga terutama sekali ilmu silat oleh Kim Mo Siankouw. Akan tetapi, pertapa itu dengan keras melarang Mayang untuk memamerkan kepandaiannya kepada orang lain sehingga tidak ada yang tahu bahwa gadis itu amat lihai.

Setahu mereka hanya bahwa Mayang seorang gadis penggembala ternak yang cekatan dan pandai sekali, ahli menggiring ratusan ternak dari satu ke tempat lain yang jauh tanpa ada seekorpun yang tercecer, bahkan mampu melindungi mereka dari gangguan binatang buas!

Kalau mereka melihat gadis itu meledak-ledakkan pecutnya sambil menggiring ratusan ekor ternak, tidak ada seorangpun yang tahu bahwa cambuk di tangannya itu mampu merobohkan pengeroyokan banyak orang jahat yang berani mengganggunya!

Bukan hanya Mayang yang diberi pelajaran ilmu silat oleh Kim Mo Siankouw, bahkan juga ibu Mayang dilatih ilmu silat agar tubuhnya menjadi kuat.

Akan tetapi ibu dan anak ini tak pernah mendengar akan riwayat pertapa itu, seorang wanita yang usianya kurang lebih enam puluh tahun akan tetapi masih nampak anggun bahkan cantik, dengan wajah yang berkulit halus tanpa keriput, bentuk muka yang agung seperti seorang puteri, dengan sepasang mata yang masih jeli dan mencorong, dan mulut yang selalu tersenyum penuh kelembutan, akan tetapi sinar matanya yang mencorong itu kadang-kadang dapat bersinar keras.

Ibu dan anak itu mengenalnya sebagai seorang wanita yang lembut hati, ramah dan budiman, akan tetapi juga sebagai seorang wanita yang kalau sudah marah, dengan mudah saja membunuh orang yang dianggap jahat!

Ketika Mayang baru berusia sepuluh tahun dan ketika menggembala ternak di padang rumput, ternaknya diganggu oleh sekawanan perampok yang terdiri dari empat belas orang, Kim Mo Siankouw muncul dan dengan lembut ia menegur empat belas orang itu dan mengusir mereka. Akan tetapi empat belas orang itu memandang rendah kepadanya dan bahkan mengeluarkan kata-kata yang kasar dan cabul.

Dan terjadilah hal yang mengerikan itu. Kim Mo Siankouw menghajar mereka dan ketika mereka melawan dengan menggunakan golok, ia merampas sebatang golok lalu membunuh empat belas orang itu dengan golok. Dalam waktu sebentar saja empat belas orang gerombolan penjahat itu roboh malang melintang dengan kepala terpisah dari tubuh! Dengan sikap amat tenang, Kim Mo Siankouw menyuruh para pelayannya untuk menggali lubang besar dan menguburkan jenazah mereka itu.

Peristiwa ini membuat daerah itu menjadi aman. Tak ada seorangpun penjahat berani melakukan kejahatan sehingga para penduduk dusun di daerah itu amat berterima kasih kepada Kim Mo Siankouw. Apalagi karena pertapa itu amat dermawan, siap menolong siapa saja yang membutuhkan bantuan, baik bantuan itu berupa uang, ternak, pengobatan maupun hanya nasihat.






"Sekali lagi, hati-hatilah engkau, Hay Hay. Kalau berhadapan dengan subo, jangan sekali-kali engkau pecengisan, jangan main-main dan jangan merayu. Kalau sampai engkau membuat subo marah dan ia turun tangan membunuhmu, jangan katakan bahwa aku belum memberi peringatan kepadamu." bisik gadis itu dan diam-diam Hay Hay tahu bahwa gadis ini memang bersikap serius dan tidak main-main.

Baru sikapnya saja sudah begitu jerih, bicarapun tidak berani keras-keras, tentu takut kalau sampai terdengar oleh subonya. Dan ketakutan seperti inipun sudah menunjukkan bahwa tentu guru gadis ini memiliki kesaktian yang hebat sehingga mampu mendengarkan percakapan dari tempat jauh. Diapun mengangguk dan tidak tega untuk membuat Mayang menjadi semakin ketakutan.

Ketika tiba di puncak, Hay Hay melihat bahwa puncak itu ternyata datar, merupakan dataran yang cukup luas dan di tengah-tengah puncak itu terdapat sebuah bangunan yang besar, dengan tembok berwarna putih dan genteng berwarna merah coklat. Daun pintu dan jendela dicat kuning dan rumah itu dihias pohon-pohon di sekelilingnya sehingga nampak teduh dan nyaman.

Di sebelah kiri dan belakang rumah terdapat taman bunga yang dipagari kuat, tentu untuk mencegah masuknya hewan ternak yang banyak terdapat disitu. Sebagian besar puncak itu terdiri dari padang rumput yang luas dan subur dan Hay Hay melihat hewan ternak seperti kambing dan lembu, juga kuda bahkan nampak ayam berkeliaran di puncak.

Hewan ternak itu gemuk-gemuk, dan jauh di ujung puncak terdapat bangunan-bangunan dari bambu sederhana yang merupakan kandang ternak. Beberapa orang gadis sibuk bekerja, ada yang menggembala ternak, ada yang memikul air, ada yang membelah kayu. Mereka semua berhenti bekerja dan mengangkat muka memandang, dan alis mereka berkerut ketika mereka melihat munculnya Mayang bersama seorang pemuda tampan.

Agaknya, tamu pria jarang sekali muncul di puncak ini, kecuali mereka yang mempunyai urusan pekerjaan dengan keluarga Siankouw, jual beli ternak, mengirim bahan makanan, kayu, dan lain-lain. Akan tetapi, pemuda yang datang bersama Mayang ini tidak membawa apa-apa dan datangnya bersama gadis. itu, tentu seorang tamu. Akan tetapi, mereka membalas salam Mayang dengan sopan dan sikap hormat.

"Mari kita terus saja ke rumah." Kata Mayang dan mereka menghampiri rumah besar itu. Setelah tiba di ruangan depan, Mayang berkata lirih. "Engkau duduklah dulu menanti di ruangan tamu ini, aku akan memberitahu kepada subo. Sekali lagi, bersikaplah sopan." Gadis itu lalu memasuki pintu tembusan ke dalam.

Hay Hay duduk melamun, lalu memutar tubuh memandang keluar. Pekarangan itur luas dan amat bersih, tidak berdebu karena ditaburi semacam pasir lembut yang warnanya agak gelap sehingga tidak menyilaukan mata kalau matahari bersinar, dan hangat kalau udara dingin.

Tempat ini memang indah dan nyaman, pikirnya. Dan penghuninya tentulah orang-orang yang suka akan kebersihan dan keindahan. Guru Mayang itu tentu lihai sekali ilmu silatnya, dan lebih lihai lagi ilmu sihirnya. Sungguh merupakan pribadi yang amat menarik. Kalau wanita sakti itu mau membantunya, tentu dia akan dapat membebaskan Han Siong dan juga berhasil menyelidiki keadaan para pendeta Lama itu, dan dapat membuka rahasia mereka mengapa mereka itu menculik Han Siong!

Tiga orang pendeta Lama yang lihai itu mengaku sebagai utusan Dalai Lama, akan tetapi dia mendengar dari Mayang bahwa mereka itu adalah pemimpin para pendeta Lama yang pernah dibasmi sebagai pemberontak oleh Dalai Lama!

Langkah-langkah kaki yang ringan terdengar di belakangnya ketika dia mulai merasa betapa lamanya Mayang meninggalkannya disitu. Dia sudah mulai khawatir bahwa gadis itu memperoleh kesukaran, bahwa subo gadis itu tidak mau menemuinya bahkan memarahi Mayang. Maka, ketika mendengar langkah kaki yang ringan lembut, dia cepat bangkit berdiri dan membalik.

Dia melihat Mayang akan tetapi gadis itu kini sudah mengenakan pakaian bersih dan nampak segar. Agaknya Mayang telah mandi dulu sebelum keluar lagi. Pantas demikian lamanya, akan tetapi harus diakui bahwa kemunculan gadis ini mendatangkan kesegaran baginya.

Mayang tetap sederhana, bahkan rambutnya tidak disisir rapi, agak awut-awutan akan tetapi bahkan menjadi semakin manis! Kemanisan yang wajar seorang gadis, bukan kecantikan karena riasan. Dan di samping gadis itu terdapat seorang wanita lain yang sepantasnya menjadi kakak Mayang karena ada persamaan pada wajah mereka. Kalau Mayang bagaikan kuncup mulai mekar, wanita itu adalah bunga yang sudah mekar sepenuhnya. Keduanya sama menariknya!

Hay Hay memandang mereka, dari yang satu kepada yang lain. Inikah subo dari Mayang? Inikah wanita pertapa yang berjuluk Kim Mo Siankouw itu? Seorang wanita yang cantik dan anggun memang, akan tetapi dia tidak melihat alasan mengapa wanita berjuluk Kim Mo Siankouw (Dewi Berambut Emas). Rambutnya hitam seperti rambut Mayang, hanya tersisir rapi, tidak awut-awutan seperti rambut gadis itu.

"Lo-cian-pwe yang mulia, saya Tang Hay datang menghaturkan hormat, mohon Siankouw sudi memaafkan kelancangan saya..... " kata Hay Hay dengan penuh hormat seperti penghormatan yang diberikan kepada seorang permaisuri atau raja.

Akan tetapi dia terbelalak dan bengong memandang kepada Mayang karena gadis itu tiba-tiba tertawa terkekeh-kekeh, tangan kiri menutup mulut, tangan kanan meraba perut karena merasa geli.

"Eh, Mayang, kenapakah? Apakah .....apakah aku kurang sopan dan kurang hormat ?” tanya Hay Hay, benar-benar tidak mengerti mengapa gadis itu tertawa-tawa geli seperti itu.

Gadis itu yang tadi tertawa agak membungkuk, mengangkat mukanya memandang dan melihat pemuda itu bengong dan mendengar pertanyaan itu, tawanya meledak kembali, sampai terkekeh-kekeh dan ada air mata keluar dari kedua matanya yang bersinar-sinar. Akhirnya, ketawanya mereda ketika wanita disampingnya menegur halus.

"Mayang, tidak sepantasnya engkau tertawa seperti itu."

Mayang memandang Hay Hay, wajahnya masih penuh tawa.
"Hay Hay, ini bukan subo, ini adalah ibuku, hi-hi-hik!” Gadis itu menahan ketawanya.

Kini wajah Hay Hay seketika menjadi merah dan dia mengangkat muka memandang lagi kepada wanita itu, mengamatinya dengan penuh perhatian lalu dia berkata setelah menarik napas panjang.

"Ah, pantas... sungguh pantas, akan tetapi juga tidak patut sekali.... "

Mendengar ucapan yang tidak karuan maknanya ini, Mayang berbalik menjadi bengong.

"Apa maksudmu, Hay Hay? Ucapanmu tidak karuan. Kau bilang pantas akan tetapi juga tidak patut! Bagaimana pula itu?"

"Memang pantas menjadi ibumu, dan pantas engkau demikian cantik manis, Mayang, karena ibumu juga begini cantik jelita. Dan tidak patut menjadi ibumu karena ia masih terlalu muda, patutnya menjadi kakakmu!"

Mayang tidak merasa heran mendengar pemuda mata keranjang ini memuji kecantikan ibunya, akan tetapi wanita itu terbelalak, mukanya berubah merah sekali.

"Mayang! Siapakah dia ini? Orang macam apa yang kau bawa berkunjung ini? Apakah dia waras, tidak gila?"

Mendengar pertanyaan ibunya, sambil menatap wajah Hay Hay, gadis itu kembali tertawa geli.

"Hati-hati, ibu, jangan-jangan engkau akan jatuh ke dalam rayuan mautnya. Memang Hay Hay ini seorang perayu maut yang amat berbahaya bagi setiap orang wanita."

Hay Hay teringat akan keadaan dirinya berada di tempat orang, tempat berbahaya pula karena penghuninya adalah seorang pertapa wanita sakti. Cepat dia memberi hormat kepada ibu Mayang dengan sikap sopan, lalu berkata,

"Harap bibi sudi memaafkan saya yang selalu suka terus terang sehingga mungkin terdengar kurang ajar. Bukan maksud saya untuk merayu, melainkan untuk berterus terang. Maafkan, saya Tang Hay dan......”

Ang Hong Cu







Tidak ada komentar:

Posting Komentar