*

*

Ads

Jumat, 27 Juli 2018

Ang Hong Cu Jilid 084

Mayang meloncat berdiri. Tinggi ramping! Kedua tangannya bertolak pinggang dan agaknya jari jemari kedua tangannya dapat melingkari pinggang yang kecil itu. Mata yang sipit itu mengeluarkan sinar berkilat, mulutnya cemberut dan hidung yang agak besar namun bentuknya indah itu kembang kempis, cupingnya nampak jelas bergerak seperti cuping hidung seekor kuda betina dilanda berahi.

"Kau.... , kau..... ! Berani engkau mempermainkan dan memperolokku? Engkau hendak kurang ajar kepadaku, ya? Apakah engkau sudah bosan hidup?”

Hay Hay kelihatan terkejut dan terheran-heran, mengembangkan kedua lengannya dan dia berkata,

"Ampun dewi..... ! Apakah dosa hamba? Siapa yang mempermainkan dan memperolokkan siapa? Nona, ketika tadi bertemu denganmu di dalam cuaca yang remang-remang, aku hanya mengetahui bahwa nona memiliki bentuk tubuh yang ramping dan padat berisi, memiliki suara yang merdu, dan dalam keremangan itu aku melihat garis-garis wajahmu yang manis. Kemudian, setelah kita membuat api unggun dan cahaya api unggun jatuh menerangi wajahmu, baru aku melihat bahwa nona sungguh memiliki kecantikan yang luar biasa, jauh melampaui dugaanku semula. Kalau aku melihat wajah nona begini cantik jelita lalu kukatakan itu dengan terus terang, apakah hal itu merupakan dosa? Bagaimana mungkin aku mengatakan bahwa nona berwajah buruk, bersuara parau dan berperawakan jelek kalau keadaannya sama sekali berlawanan? Nona memiliki wajah yang cantik jelita dan manis, bentuk tubuh tinggi ramping yang sempurna, dan suara yang merdu seperti suara burung dewata. Nah, salahkah aku? Kalau aku nona anggap bersalah, berdosa dan layak dibunuh, silakan!"

Hay Hay sengaja memanjangkan lehernya seperti seekor angsa yang siap memberikan lehernya untuk dipenggal!

Mendengar pidato panjang itu dan melihat sikap Hay Hay, mau tidak mau Mayang tertawa dan iapun duduk kembali, kini mengamati wajah pemuda yang duduk di depannya terhalang api unggun. Harus diakui bahwa pemuda ini memiliki wajah yang tampan, memang tidak kalah oleh saudara misannya itu walaupun ketampanan mereka berbeda.

Saudara misannya yang ditawan tiga orang pendeta Lama itu memiliki wajah yang bentuknya bulat, berkulit putih dengan alis hitam tebal, mata sipit. Sedangkan pemuda di depannya ini selain bertubuh tegap dengan dada yang bidang, juga hidungnya mancung, mulutnya selalu tersenyum, matanya bersinar-sinar dan bentuk wajahnya agak lonjong dengan dagu meruncing. Mulut dan matanya sungguh memiliki daya tarik yang kuat sekali.

"Apakah engkau agak miring?" tiba-tiba Mayang bertanya.

Hay Hay melongo keheranan.
"Miring? Apanya yang miring?” tanyanya, tak mengerti.

Mayang tidak menjawab melainkan meletakkan jari telunjuk kirinya ke atas dahi sendiri, diletakkan menyerong. Barulah Hay Hay mengerti dan dia cemberut. Kurang ajar! Dia disangka gila!

"Kau kira aku ini setengah gila, nona? Aih, kira-kira dong kalau menghina orang. Kenapa nona menganggap aku gila?"

"Habis, bicaramu aneh-aneh. Engkau memuji-mujiku habis-habisan dan anehnya aku tidak jadi marah kepadamu. Biar kuanggap semua omonganmu tadi seperti ocehan seorang gila. Atau engkau seorang laki-laki perayu yang palsu, yang biasa menyanjung dan memuji wanita dengan rayuan maut untuk kau jatuhkan hatinya. Begitukah?"

Hay Hay menggeleng kepala.
"Aku hanya seorang laki-laki yang jujur dan tidak mau pura-pura, nona. Kalau aku melihat setangkai bunga yang indah dan harum, aku akan memujinya seperti apa adanya, tidak berpura-pura tak suka. Kalau aku melihat seorang gadis yang cantik seperti nona, aku tidak pura-pura alim, pura-pura tidak mau melihat akan tetapi diam-diam melirik sampai mataku menjadi juling! Aku akan melihat secara langsung dan mengagumi kecantikanmu. Aku akan terus terang memujimu, bukan untuk merayu atau menjilat."

"Kalau begitu engkau mata keranjang!" seru Mayang.

Hay Hay tersenyum dan kembali Mayang tertegun. Pemuda ini dapat tersenyum demikian wajar dan terbuka, seperti senyum kanak-kanak, tidak dibuat-buat.

"Nona, lebih baik dianggap mata keranjang akan tetapi jujur mengagumi kecantikan seorang wanita dari pada dianggap alim akan tetapi diam-diam mempunyai pikiran yang cabul terhadap seorang wanita!”

Mayang tertegun. Selama hidupnya, belum pernah ia bertemu dengan seorang pria yang kata-katanya dan sikapnya seperti pemuda ini! Biasanya, seorang pria akan bersikap kurang ajar dan kasar, atau kalaupun nampak sopan santun akan tetapi pandang matanya mengandung nafsu berahi yang cabul.






Akan tetapi, pemuda ini sikapnya ugal-ugalan karena terlalu jujur mengakui dan mengagumi kecantikannya tanpa disembunyikan lagi. Belum pernah ja berhadapan dengan seorang pemuda yang memuji-muji kecantikannya akan tetapi tidak membuat ia tersinggung, bahkan merasa bangga dan girang karena pujian itu sewajarnya dan jujur, tidak menyembunyikan pamrih yang cabul terhadap dirinya.

“Siapa sih engkau ini? Maksudku, siapa namamu dan dari mana engkau datang?"

"Namaku? Orang memanggil aku Hay Hay, nona dan aku tidak mempunyai tempat tinggal tertentu. Aku seorang pengembara, empat penjuru adalah dinding rumahku. Langit menjadi atap rumahku dan tanah ini menjadi lantai rumahku. Adapun saudaraku itu bernama Pek Han Siong, dia adalah putera ketua Pek-sim-pang di Kong-goan. Aku sedang merantau dan bertemu dengan Han Siong ketika tiba-tiba muncul tiga orang pendeta Lama itu dan mereka menangkap Han Siong. Aku lalu mengikuti mereka sampai malam ini berjumpa denganmu. Kalau boleh aku bertanya, siapakah engkau, nona?”

"Aku Mayang, tinggal bersama ibuku dan subo-ku di sebuah puncak di Pegunungan Ning-jing-san. Subo memelihara hewan ternak dan pekerjaanku adalah mengurus hewan ternak. Kadang-kadang aku menerima pekerjaan mengirim dan menggiring ternak yang di perdagangkan orang, dari satu ke lain daerah.”

Diam-diam Hay Hay kagum. Gadis ini memang hebat. Melakukan pekerjaan yang amat berbahaya. Menggiring ternak yang sampai ratusan banyaknya melintasi daerah-daerah yang sunyi amatlah berbahaya. Tentu karena ia memiliki kepandaian tinggi maka ia berani melakukan tugas berbahaya itu. Kalau hanya perampok-perampok biasa saja akan celakalah mereka bertemu dengan gadis seperti mayang.

“Engkau tentu seorang gadis tibet, bukan? Dan apakah ayahmu juga tinggal di puncak itu? Engkau tadi hanya menyebut ibumu dan subo-mu.”

“Ibu seorang wanita tibet, ayahku......seorang pria Han akan tetapi dia sudah pergi meninggalkan ibu, entah kemana, entah masih hidup ataukah sudah mati.”

Hay hay merasa betapa ada kedukaan terkandung dalam suara gadis itu, maka diapun mencoba untuk menghiburnya.

"Engkau masih beruntung, Mayang, masih mempunyai seorang ibu. Aku sudah tidak punya ibu sejak aku bayi. Ibuku telah meninggal dunia."

"Dan ayahmu?"

Hay Hay merasa dada dan perutnya panas. Kepada siapapun juga dia tidak sudi mengaku bahwa ayah kandungnya adalah Si Kumbang Merah, seorang penjahat cabul pemerkosa wanita, bahkan dia sendiri adalah akibat dari pemerkosaan yang dilakukan penjahat itu kepada ibu kandungnya!

"Hemm, seperti juga engkau, ayahku pergi, entah kemana. Mungkin juga,...... dia sudah mati!"

Keduanya diam sejenak.
"Hemm, engkau dan saudara misanmu itu, tidak memiliki kepandaian akan tetapi berani melakukan perjalanan di daerah yang rawan ini. sungguh tabah.”

“Tidak ada artinya dibandingkan dengan engkau, Mayang. Engkau seorang wanita, seorang gadis remaja yang amat muda...... "

"Tidak muda sekali, usiaku sudah delapan belas tahun!"

Hay Hay tersenyum.
"Ya, seorang gadis dewasa dan engkau berani menentang orang-orang jahat yang lihai. Maukah engkau menceritakan bagaimana engkau sampai dapat bentrok dengan tiga orang pendeta Lama itu?"

"Sore hari tadi ketika aku makan di kedai makanan di dusun Wang-kan, aku bertemu dengan tiga orang pendeta itu yang sedang makan bersama siapa tadi nama saudara misanmu itu? Han Siong? Ya, mereka makan bersama Han Siong. Lalu seorang diantara tiga orang pendeta itu, yang tinggi bongkok itu, menghampiri mejaku minta sumbangan. Pada saat itu, dia telah menyihirku dan dengan sihirnya dia memerintahkan aku untuk datang ke gubuk itu pada malam hari ini. Maka akupun datanglah!"

Hay Hay terkejut. Gadis ini dengan enak saja menceritakan bahwa ia disihir orang, dan diapun teringat betapa tadipun tiga orang pendeta itu tidak berhasil menguasai Mayang dengan kekuatan sihir. Diam-diam dia kagum bukan main.

"Mayang, engkau disihir malah datang berkunjung kepada mereka? Apakah engkau tidak takut disihir? Apakah engkau mampu melawan kekuatan sihir mereka?"

Mulut itu tersenyum mengejek. Hidungnya bergerak pada ujungnya dan manis sekali!
"Huh, siapa takut menghadapi permainan kanak-kanak itu?"

"Engkau pandai bermain sihir?"

"Siapa sudi menjadi dukun sihir? Akan tetapi subo telah menggemblengku untuk melawan serangan sihir orang sehingga aku kebal terhadap segala macam permainan kanak-kanak itu! Pula, sebagai seorang penggiring ternak yang banyak jumlahnya, aku harus pandai menguasai ternak dengan kekuatan batin. Aku tidak bisa menyihir orang lain, akan tetapi tak seorangpun akan mampu menguasaiku dengan kekuatan sihirnya."

"Dan engkau datang ke gubuk itu mau apa?”

"Mau menghajar mereka, karena tiga orang pendeta itu palsu, mereka bukan orang suci melainkan orang-orang jahat yang mempunyai niat cabul terhadap diriku. Akan tetapi, sebelum aku berhasil menghajar mereka, engkau muncul dan membikin kacau dengan membakar gubuk !"

Hay Hay tersenyum. Tentu saja dia lebih tahu. Kalau tidak dibakarnya gubuk itu, tentu Mayang telah tertawan!

"Mayang, tidak salahkah engkau bahwa tiga orang pendeta Lama itu akan membawa saudara misanku ke Bukit Bangau? Menurut pengakuan mereka ketika mereka mengajak saudara misanku dengan paksa, mereka adalah utusan Dalai Lama untuk mencari.......eh, pelayan pria."

"Mereka membohong! Bahkan menurut dugaan subo, tiga orang itu merupakan pendeta-pendeta Lama yang pernah mengadakan pemberontakan terhadap Dalai Lama. Pemberontakan itu telah dihancurkan dan mungkin saja tiga orang itu merupakan sisa dari para pimpinan pemberontakan yang sudah dibasmi itu. Aku akan melaporkan kepada subo tentang perbuatan mereka terhadap diriku, karena perbuatan itu membuktikan bahwa mereka adalah pendeta-pendeta palsu atau pendeta sesat!”

Terkejut juga hati Hay Hay mendengar keterangan yang sama sekali tidak pernah disangkanya itu. Mereka bukan utusan Dalai Lama? Kalau begitu, mengapa mereka berkeras hendak membawa Han Siong yang sejak kecil memang dicari oleh para pendeta Lama di Tibet karena Han Siong dianggap sebagai Sin-tong (Anak Ajaib) calon Dalai Lama?

"Mayang, kalau begitu, kenapa tidak sekarang saja kita menghadap subomu? Aku ingin sekali mendapatkan keterangan yang jelas tentang mereka! Aku mengkhawatirkan saudara misanku!"

Gadis itu memandang Hay Hay dan ia merasa heran. Pemuda ini tampan dan perayu, akan tetapi lemah dan tidak pandai silat, juga kadang ketololan. Begitu bertemu, sudah bersikap demikian akrab, menyebut namanya begitu saja tanpa sebutan nona. seolah-olah mereka sudah lama sekali bergaul dan menjadi sahabat. Anehnya, ia tidak merasa tersinggung karena sikap Hay Hay demikian wajar!

"Hay Hay, engkau tidak mengenal suboku. Kau kira mudah saja bagi orang luar untuk menghadap subo? Salah-salah, begitu bertemu, kalau engkau tidak pandai membawa diri, kalau tidak berkenan di hatinya, engkau akan dibunuh begitu saja!”

"Wah? Begitu jahatkah subomu, Mayang?"

"Sama sekali tidak jahat, akan tetapi ia paling benci kepada laki-laki yang lemah, apalagi kalau penjilat dan perayu seperti engkau. Aku khawatir sekali kalau engkau akan dibunuhnya begitu ia melihatmu."

Mendengar ini, bukannya jerih, hati Hay Hay menjadi semakin tertarik. Akan tetapi dia bersikap pura-pura ketakutan.

"Wah, sungguh berbahaya sekali. Aku akan bersikap baik-baik, Mayang. Kalau memang sudah nasibku tewas di tangan subomu, sudahlah, aku tidak akan merasa penasaran karena ia subomu!"

“Kenapa kalau dibunuh suboku tidak penasaran ?” Gadis itu tertarik.

Ang Hong Cu







Tidak ada komentar:

Posting Komentar