*

*

Ads

Sabtu, 21 Juli 2018

Ang Hong Cu Jilid 068

Sejenak gadis itu memandang wajah Hay Hay dan pemuda ini pun balas memandang. Dua pasang mata saling menatap dan Hay Hay melihat betapa sinar mata itu meredup, wajah itu memucat dan betapa bola mata yang bening itu menjadi basah. Biar pun mulut gadis itu masih tersenyum, namun senyum itu membuat dia merasa jantungnya bagaikan disayat, membuat dia ingin merangkul dan menghiburnya karena dia tahu bahwa gadis itu sudah mengerti, bahwa gadis itu merasa betapa hatinya ditusuk-tusuk. Suaranya gemetar dan mata itu menunduk, bibir itu menggigil ketika akhirnya dia berkata,

"Tang-toako, tolonglah... tolong engkau saja yang mengatakan, apa yang harus dilakukan gadis itu dalam keadaan seperti itu? Bunuh diri? Atau mencukur gundul rambutnya lantas menjadi nikouw (pendeta wanita)? Katakanlah, Toako, dan aku akan mempertimbangkan kata-katamu...”

"Bunuh diri? Menjadi nikouw? Hanya gadis tolol dan bodoh yang akan melakukan hal itu, Goat-moi! Seperti kau katakan tadi. Cinta tidak mungkin hanya bertepuk sebelah tangan. Cinta tidak mungkin dapat dipaksakan! Kalau memang pemuda itu tidak dapat membalas cintanya karena telah mencinta gadis lain, berarti dia tidak berjodoh dengan pemuda itu! Dan dia tidak perlu terlalu berduka atau putus asa. Dunia bukan sebesar buah appel! Di dunia ini masih ada jutaan pemuda yang mungkin lebih segala-galanya dari pada pemuda yang tidak dapat membalas cintanya itu! Maka gadis itu harus dapat melupakan pemuda itu, hidup bebas dan mentertawakan saja kegagalan cintanya, menganggapnya sebagai suatu pengalaman hidup! Habis perkara!"

Akan tetapi Hay Hay melihat betapa gadis itu menahan-nahan air matanya, betapa bibir itu gemetar dan suara itu sukar sekali keluarnya seakan lehernya tercekik ketika Ci Goat bertanya,

"Toako... apakah dia masih mencinta gadis yang telah menolaknya itu?”

Sepasang mata itu kini nampak seperti mata kelinci yang ketakutan, seperti mata yang penuh harap akan pertolongan, dan air yang tadi menggenang di pelupuk mata, kini mulai menetes turun, seperti dua butir mutiara perlahan menuruni kedua pipi yang agak pucat itu.

Hay Hay merasa terharu sekali, merasa lehernya seperti dicekik sehingga dia tak mampu mengeluarkan suara. Akan tetapi, biar pun dia tidak tahu benar akan hubungan Han Siong dengan gadis kekasihnya ini, dia langsung mengambil kesempatan untuk berterus terang bahwa Han Siong tidak dapat menerima cinta Ci Goat. Maka dia pun lantas mengangguk, anggukan tanpa kata yang dengan amat tajamnya membabat putus tali harapan Ci Goat, dan dia pun menutup mukanya dengan kedua tangannya.

Hay Hay memandang dengan hati bagaikan diremas. Melihat betapa gadis itu mengguguk dan air mata mengalir keluar melalui celah jari-jari kedua tangan yang menutupi muka, di luar kesadarannya dia pun bangkit dan menghampiri Ci Goat, lalu duduk di sampingnya di atas bangku, merangkul pundaknya dan berkata lembut,

"Sudahlah, Ci Goat, kuatkan hatimu... tenangkan pikiranmu...”

Sentuhan lembut dan kata-kata halus itu seperti membuka bendungan di hati Ci Goat. Dia menjerit dan merangkul, lalu menangis tanpa terbendung lagi, sesenggukan di atas dada Hay Hay!

Pemuda ini memeluk, membenamkan wajahnya di kepala yang penuh rambut halus itu, tangannya mengelus pundak dan kepala, penuh rasa sayang dan iba seperti menghibur seorang adiknya sendiri.

Karena hatinya diliputi keharuan yang mendalam, Hay Hay kehilangan kewaspadaannya dan dia tidak tahu bahwa pada waktu itu ada tiga pasang mata yang mengamatinya dari jauh. Tiga pasang mata yang mencorong tajam dan penuh kekuatan sihir! Mata tiga orang pendeta Lama yang agaknya sudah selesai melakukan pembicaraan dengan Han Siong dan kini mereka meninggalkan rumah yang telah menjadi tempat tinggal Ouw Lok Khi.

"Hemmm, pasangan yang cocok. Wanitanya cantik, prianya tampan dan gagah!" kata Pat Hoa Lama.

"Omitohud!" kata Janghau Lama. "Apakah engkau tergerak dan merasa iri melihat adegan itu, Sute?"

"Aih, ji-suheng (kakak seperguruan ke dua)! Bagaimana engkau dapat berkata seperti itu? Pinceng hanya mengatakan bahwa mereka itu pasangan yang cocok dan...”

"Ssttt, kalian jangan ribut dan jangan bertengkar.” Gunga Lama mencela dua orang adik seperguruannya. "Kita tadi melihat betapa lihainya pemuda itu. Hemm... sungguh sebuah kesempatan yang baik sekali. Dua orang pemuda itu harus dipisahkan dahulu, baru kita dapat membawa Sin-tong ke Tibet tanpa halangan!"

"Bagaimana caranya, toa-suheng (kakak seperguruan terbesar)?" tanya kedua orang adik seperguruan itu.

"Ssttt, serahkan pada pinceng. Mari kita cepat pergi dari sini!"






Sementara itu, Ci Goat baru merasa lega setelah menumpahkan segala kedukaan hatinya melalui tangis yang tidak terbendung lagi sampai baju pada bagian dada Hay Hay basah kuyup, bahkan air mata itu membasahi pula kulit dadanya. Sekarang tangisnya itu hanya tinggal isak saja.

Kesempatan ini digunakan oleh Hay Hay untuk mengelus rambut kepala gadis itu. "Nah, apakah sekarang air matamu telah habis, Goat-moi? Bagus, semua kesedihan kosong ini harus dilarutkan dengan banjir air mata, biar habis tidak berbekas lagi. Lebih baik engkau menangis sepuasmu seperti ini dari pada engkau membunuh diri seperti gadis tolol, atau menjadi nikouw. Wah, kepalamu akan menjadi gundul, rambutmu yang indah akan lenyap dan tentu engkau akan kelihatan lucu sekali, lucu dan jelek!"

Kata-kata itu seperti mengusir sisa-sisa isak di dada Ci Goat. Dia segera melepaskan diri dan menarik tubuhnya ke belakang, memandang kepada pemuda itu dengan mata merah dan agak membengkak karena tangis. Akan tetapi mulutnya membentuk senyum pahit.

"Terima, kasih, Toako, terima kasih. Engkau benar-benar merupakan sahabat dan seperti seorang kakak yang baik hati. Katakanlah, apakah dia... Pek-toako, tahu bahwa engkau datang menceritakan semua ini kepadaku?"

Hay Hay mengangguk. "Dialah yang minta tolong kepadaku supaya aku menyampaikan kepadamu bahwa tidak mungkin baginya untuk menerima dan membalas cintamu."

"Ohhh... , tapi... kenapa dia tidak menyampaikannya sendiri kepadaku... ?"

"Dia tidak berani, dia tidak tega melihat engkau kecewa."

Gadis itu mengangguk perlahan, kemudian menarik napas panjang. "Pek-toako memang seorang yang berwatak budiman, dan... engkau juga, Toako. Semoga kalian berdua akan selalu mendapat berkah dari Tuhan dan kelak akan hidup berbahagia dengan isteri pilihan hati masing-masing."

Hay Hay merasa gembira bukan main. Diraihnya pundak gadis itu, ditariknya dan dia pun mengecup dahi yang halus itu dengan bibirnya, satu kali saja akan tetapi dengan sepenuh hatinya, lalu dilepaskannya kembali rangkulannya dan dia pun bangkit berdiri, sepasang matanya agak basah.

"Engkau juga, Goat-moi. Engkau adalah gadis yang hebat! Dan aku merasa yakin bahwa seorang gadis seperti engkau ini kelak pasti akan memperoleh seorang suami yang amat baik!"

Tadinya Ci Goat terkejut sekali ketika merasa betapa dirinya diraih kemudian ditarik oleh pemuda itu. Akan tetapi, ketika dia merasa betapa pemuda itu mencium dahinya dengan lembut, seperti ciuman dari seorang kakak atau seorang sahabat baik, ciuman yang sama sekali tidak mengandung nafsu birahi, hatinya menjadi terharu dan dia pun tadi memeluk pinggang pemuda itu. Sekarang mereka bangkit, keduanya melangkah mundur dan saling pandang.

"Haiiii, adik manis, mana senyummu yang tadi? Hayo lekas perlihatkan! Tidak baik kalau hari hujan melulu, telah tiba saatnya hujan berhenti dan matahari muncul kembali berseri! Ingat, banyak duka menjadi lekas tua. Sayang sekali kalau kulit mukamu yang putih mulus dan halus itu berubah berkerut keriput, bukan?"

Mendengar ucapan ini, Ci Goat tersenyum. Bibirnya saja tersenyum, akan tetapi matanya masih mata yang penuh tangis walau pun air matanya sudah habis tertumpah.

"Aku akan selalu tersenyum kalau ingat kepadamu, Toako. Setiap kali berduka, aku akan mengenangmu agar aku dapat tersenyum," katanya dan dia pun membalikkan tubuhnya, lalu pergi meninggalkan Hay Hay yang berdiri mengikuti lenggang yang lemah gemulai itu dengan bengong.

Dia langsung teringat kepada Han Siong. Apa yang terjadi dengan kawannya itu sesudah mengadakan percakapan dengan tiga orang pendeta Lama? Apakah mereka masih belum selesai dengan percakapan mereka?

Memang dia telah menaruh kecurigaan. Maka, setelah Ci Goat meninggalkannya, dia pun cepat-cepat keluar dari kebun itu menuju ke rumah. Tentu Han Siong mengajak tiga orang pendeta Lama itu untuk bercakap-cakap di ruangan belakang yang lebar. Dia melihat Ouw Lok Khi di ambang pintu samping dan memandang kepadanya sambil tersenyum ramah.

"Tang-taihiap, kuharap saja engkau akan dapat menghibur hati Ci Goat. Kehancuran Pek-tiauw-pang membuat hatinya terbenam dalam kedukaan," katanya.

Hay Hay memandang kepadanya dengan hati bertanya-tanya. Mengapa orang ini berkata demikian?

"Paman, agaknya paman belum mengenal betul watak puterimu sendiri. Dia adalah gadis yang berhati tabah, karena itu aku yakin dia mampu menghadapi serta mengatasi segala kedukaannya. Oh ya, paman Ouw, bagaimana dengan tiga orang pendeta Lama tadi? Di manakah mereka sekarang? Apakah masih bercakap-cakap dengan Han Siong?"

"Mereka sudah pergi. Percakapan dengan Pek-taihiap berlangsung di ruangan belakang dan tidak terlalu lama. Mereka itu ramah dan baik sekali."

"Hemm, di manakah Han Siong sekarang, Paman?"

"Di dalam kamarnya."

Hay Hay lalu memasuki rumah dan langsung pergi ke kamar Han Siong yang berada di sebelah kamarnya. Rumah peninggalan Thio Ki itu mempunyai lima buah kamar sehingga Han Siong dan Hay Hay masing-masing mendapatkan sebuah kamar. Kamar besar paling depan dipakai Ouw Lok Khi, sedangkan kamar Ci Goat berada di ruangan belakang yang jendelanya menembus kebun.

"Tok-tok-tok!" Hay Hay mengetuk daun pintu kamar yang tertutup itu.

"Siapa?" terdengar suara Han Siong.

"Aku, bolehkah aku masuk?"

Hening sejenak, lalu terdengar jawaban yang malas-malasan. "Masuklah, Hay Hay!"

Hay Hay mendorong daun pintu yang tidak terkunci dari dalam. Dia memperhatikan kamar itu. Tidak ada sesuatu yang luar biasa, akan tetapi Han Siong nampak rebah terlentang di atas pembaringannya. Begitu dia masuk, Han Siong langsung bangkit duduk, nampaknya malas-malasan.

"Heii, Han Siong apa yang telah terjadi?"

"Tidak terjadi apa-apa...,” jawabnya, nampak tak bersemangat.

"Ehhh? Kenapa engkau nampak malas dan tidak bersemangat? Han Siong, ceritakan apa yang telah terjadi antara engkau dan tiga orang pendeta Lama itu!"

Hay Hay mendekatinya, lalu membuka daun jendela agar kamar itu nampak lebih terang. Kemudian, dengan sinar matanya yang mencorong dia mengamati sahabatnya itu penuh selidik, untuk meneliti apakah sahabatnya itu memperlihatkan tanda-tanda yang tak wajar atau tidak. Siapa tahu, mungkin saja tiga orang pendeta Lama itu telah mempergunakan ilmu hitam yang sangat kuat, yang mampu mematahkan pertahanan Han Siong. Akan tetapi tidak. Matanya tidak melihat tanda-tanda bahwa sahabatnya itu sedang berada di bawah pengaruh sihir. Juga tidak menderita luka.

"Sudahlah, Hay Hay. Sudah kukatakan tadi bahwa aku tidak apa-apa. Hanya ada sesuatu yang membuat aku termenung sejak tadi, sesudah tiga orang pendeta Lama itu pergi. Aku menjadi ragu dan bingung...”

Hay Hay menarik sebuah kursi lantas duduk di atas kursi yang sudah didekatkan dengan pembaringan. Mereka saling pandang, kemudian Hay Hay berkata dengan suara sungguh-sungguh, tidak berkelakar seperti biasa.

"Dengar, Han Siong. Aku sudah melaksanakan permintaanmu, aku sudah bicara dengan. Ci Goat, dan telah kujelaskan semua kepadanya bahwa engkau tidak mungkin menerima dan membalas cintanya karena engkau telah memiliki pilihan hati, seorang gadis lain."

"Ahhh... dan dia... dia bagaimana, Hay Hay?" tanya Han Siong, pandang matanya penuh iba dan gelisah.

Ang Hong Cu







Tidak ada komentar:

Posting Komentar