*

*

Ads

Kamis, 19 Juli 2018

Ang Hong Cu Jilid 065

Dia telah jatuh cinta kepada Han Siong dan kini Pendekar Mata Keranjang mengeluarkan kata-kata yang merayunya. Andai kata bukan pendekar ini yang mengeluarkan kata-kata rayuan itu, tentu akan dijauhinya, tidak dipedulikannya.

Akan tetapi Hay Hay adalah seorang pendekar yang juga berjasa seperti Han Siong, dan harus diakuinya bahwa mendengar kata-kata manis laksana madu dari seorang pemuda yang demikian gagah perkasa dan gantengnya, sungguh merupakan belaian lembut pada hatinya. Untuk mencegah pemuda itu melanjutkan rayuannya, dia pun menjawab dengan sikap, pandang mata, dan nada suara yang serius, bahkan hatinya yang sedang diliputi kedukaan itu membuat kedua matanya basah air mata.

"Taihiap, bagaimana mungkin aku tidak berduka? Aku sudah kehilangan seluruh saudara anggota Pek-tiauw-pang yang juga menjadi murid-murid ayah, menjadi saudara-saudara seperguruanku. Mereka semua tewas, bahkan hari ini tiga orang yang terakhir pun tewas. Mala petaka besar telah menimpa keluarga kami. Tentu saja aku berduka sekali, Taihiap."

Hay Hay tersenyum, "Aihh, nona Ouw, sungguh sayang kalau menghamburkan air mata dan meremas hati sendiri. Berduka akan membuat wajahmu yang seperti bulan purnama itu menjadi kerut merut, juga dapat membuat engkau yang muda belia ini menjadi cepat tua. Nona yang baik, aku ingin bertanya, siapa yang kau tangisi, siapa yang kau sedihkan itu?"

Gadis itu memandang heran. Matanya yang agak kemerahan karena tangis itu sekarang agak terbelalak sehingga Hay Hay memandang kagum. Indahnya mata itu!

"Taihiap, aneh sekali pertanyaanmu itu. Tentu saja aku menangisi tiga orang suheng yang tewas itu, semua saudara seperguruanku yang telah tewas oleh para penjahat Kim-lian-pang!"

"Mengapa engkau menangisi mereka yang sudah mati? Apakah kalau ditangisi mereka akan merasa senang di sana, ataukah mereka akan hidup kembali kalau disedihkan?"

Gadis itu makin terkejut dan heran. "Tentu saja tidak! Pertanyaanmu sungguh aneh sekali, taihiap. Orang di seluruh dunia ini tentu akan bersedih dan menangis bila mana kematian orang-orang yang dekat dengan mereka!"

"Ahh, jadi kalau begitu engkau bersedih dan menangis karena umum melakukannya? Jadi tangismu itu hanya ikut-ikutan saja? Mari kita bicara tentang kesedihanmu, perasaanmu sendiri, bukan kesedihan orang-orang lain, Nona yang baik. Nah, mari mulai kita selidiki. Apakah engkau bersedih untuk mereka? Rasanya tidak mungkin. Mereka sudah mati dan engkau tidak tahu keadaan mereka. Yang jelas mereka tidak menderita lagi, jadi tidak ada alasan untuk mengasihani mereka. Bahkan mereka itu mati sebagai orang-orang gagah, sebagai pendekar yang menentang kejahatan, maka sepantasnya engkau malah bangga dengan kematian mereka, bukan berduka. Tidakkah benar demikian, Nona?"

"Aku... aku tidak tahu... aku menjadi bingung. Kurasa... pendapatmu itu benar juga, akan tetapi tak mungkin aku berbangga dan tidak berduka. Orang-orang akan menganggap aku tidak wajar..."

"Justru sebaliknya! Apa bila tangismu ini kau katakan untuk menangisi mereka yang mati, maka tangismu itu sama sekali tidak wajar bahkan berpura-pura! Mari kita membuka mata melihat kenyataan, Nona. Coba jenguk perasaan hatimu sendiri. Lihat baik-baik apa yang kau rasakan. Benarkah engkau menangis dan bersedih karena kasihan kepada mereka yang mati? Ataukah engkau bersedih dan menangis untuk dirimu sendiri, karena engkau merasa kehilangan dan merasa kasihan kepada dirimu sendiri? Beranikanlah hatimu dan amatilah baik-baik!"

Gadis itu tertegun. Selama hidupnya baru sekali ini dia mendengar pendapat yang seperti itu. Bukan, bukan pendapat, melainkan pembukaan kenyataan yang tak dapat dia bantah lagi. Memang benar, dia menangis dan berduka karena merasa kasihan terhadap dirinya sendiri, kepada nasib dirinya, sama sekali bukan menangisi mereka yang mati. Ia berduka karena dia kehilangan saudara dan sahabat baik, karena dia merasa ditinggalkan. Hal ini nampak jelas sekarang.

"Aku... aku menjadi bingung... kata-katamu memang benar, Taihiap. Akan tetapi, apakah aku tidak boleh menangis dan harus bergembira menghadapi kematian para suheng-ku?"

Hay Hay tersenyum. "Tidak ada orang yang menyuruhmu menangis atau tertawa, Nona, juga tidak ada yang melarangmu untuk menangis atau tertawa. Tangis dan tawa adalah pencurahan dari keadaan hati dan tidak ada orang lain yang mampu mengatur keadaan hatimu. Yang penting, engkau harus yakin benar apa yang kau tangiskan atau tawakan, agar tangis dan tawamu tidak menjadi palsu."

Dara itu termenung, wajahnya kosong dan polos. Tiba-tiba saja Hay Hay tertawa bergelak sehingga gadis itu menjadi semakin heran dan menatap wajah yang tampan itu.






"Ha-ha-ha, coba rasakan baik-baik, Nona. Semenjak kita bercakap-cakap, engkau sama sekali tidak berduka lagi, tidak menangis lagi! Ini menjadi bukti jelas bahwa duka hanyalah permainan pikiran sendiri belaka! Pikiran mengenang hal-hal yang tidak menguntungkan diri sendiri. Tadi pikiranmu mengenang tentang kehilangan saudara-saudaramu sehingga timbul iba diri dan pikiranmu seperti meremas-remas hatimu sendiri, maka timbullah duka. Begitu pikiranmu terisi perhatian untuk percakapan kita tadi, kenangan itu pun lenyap dan duka pun hilang tanpa bekas! Biang keladi susah senang hanyalah kenangan pikiran yang didasari rugi untung bagi diri pribadi, keduanya saling berlomba menguasai diri kita. Akan tetapi, kalau harus memilih, mengapa tidak memilih tersenyum dari pada menangis. Kalau engkau menangis, wajahmu yang cantik itu penuh kerut merut, matamu kemerahan, juga hidungmu merah dan engkau akan menyeret orang lain untuk menangis pula. Sebaliknya, kalau engkau tersenyum... hemm, cobalah tersenyum, Nona, dunia akan turut tersenyum bersamamu. Dan wajahmu yang cantik itu akan menjadi semakin manis apa bila engkau tersenyum!"

Ci Goat tidak dapat menahan dirinya lagi untuk tidak tersenyum, dan Hay Hay terpesona. Alangkah manisnya gadis itu kalau tersenyum! Akan tetapi senyum itu segera lenyap dan Ci Goat berkata lirih, agak cemberut.

"Taihiap, harap jangan mempermainkan aku. Kalau ayahku melihat betapa aku senyum-senyum pada saat mereka menguburkan jenazah tiga orang suheng-ku, tentu ayah akan marah karena menganggap aku tidak sopan, tidak mengenal aturan, tidak sayang kepada suheng-suheng-ku, malah mungkin juga aku akan dianggap gila! Apa yang harus kujawab kalau ayah atau orang lain bertanya kenapa aku justru tersenyum-senyum dalam keadaan berkabung seperti ini?"

"Katakan saja bahwa engkau gembira bahwa tiga orang suheng-mu tewas sebagai orang-orang gagah yang menentang kejahatan. Katakan bahwa engkau sangat gembira karena sudah menemukan dirimu sendiri seperti apa adanya, tidak berpura-pura, berani melihat kenyataan hidup!" Hay Hay tersenyum dan kini Ci Goat juga tersenyum. Gadis ini merasa betapa dadanya lapang dan lega, tidak lagi tertindih duka yang ternyata hanya dibuat oleh angan-angan pikirannya sendiri! Dia merasa bebas lepas dan nyaman!

Pada saat itu Han Siong mendekati mereka. "Wah, ada apa ini kalian amat gembira dan senyum-senyum. Goat-moi, hati-hati jangan sampai terbuai oleh rayuan maut Si Pendekar Mata Keranjang!"

"Ha-ha-ha. Sin-tong! Mana mungkin dia bisa terbuai rayuan? Hatinya sudah melekat pada seseorang, cintanya hanya ditujukan kepada seseorang!"

Tentu saja Ci Goat tersipu malu. Ia ingin membantah, akan tetapi karena di situ hadir Han Siong, dia pun tidak dapat mengeluarkan kata-kata selain, "Ihh, Taihiap..."

"Hay Hay, siapakah seseorang yang kau maksudkan itu?" tanyanya ingin tahu karena dia menduga bahwa tentu Hay Hay ngawur saja, hanya untuk mengoda Ci Goat.

"Hemmm, jangan engkau pura-pura tidak tahu! Siapa lagi kalau bukan Sin-tong Pek Han Siong?"

Han Siong terbelalak, terkejut dan heran. Juga Ci Goat terkejut, akan tetapi dengan muka berubah merah sekali dia lalu lari dari situ menuju ke tempat di mana ayahnya dan orang-orang lain sedang menimbuni tiga makam dengan tanah.

"Hay Hay, bagaimana engkau bisa tahu? Ataukah engkau ngawur saja?" tanya Han Siong sambil mendekati Hay Hay, matanya memandang penuh selidik.

"Tahu apa?" Hay Hay pura-pura tidak tahu untuk mengoda.

"Tahu bahwa dia mencintaku!"

"Ha-ha, yang matanya tidak buta tentu tahu! Cara dia memandang kepadamu saja sudah jelas, belum lagi jika dia berbicara kepadamu, tentu lebih jelas lagi. Rahasia hati seorang wanita yang tengah jatuh cinta amat mudah diketahui dari pandang matanya. Ada kalanya matanya bersinar penuh kagum, penuh harap, penuh penantian. Ada kalanya pula sinar matanya itu redup seperti orang mengantuk, penuh tantangan, penuh penyerahan, tampak malu-malu, mengandung kegenitan... ahh, pendeknya jelas sekali. Kalau berbicara, tentu suaranya akan menggetarkan lagu cinta, disertai senyum dikulum penuh arti, dan andai kata dia hendak menyembunyikan perasaan cintanya pun pasti akan nampak jelas pada pandang matanya dan pada suaranya. Ah, dia jatuh cinta tidak ketulungan lagi kepadamu Sin-tong, maka seharusnya engkau bahagia sekali. Dia seorang gadis yang cantik manis, gagah perkasa, mudah menerima kebijaksanaan dan hemm... wanita semacam itu tentu penuh gairah dan panas!"

Hay Hay tertawa, ada pun Han Siong mengerutkan alisnya dan wajahnya menjadi muram. Akan tetapi diam-diam dia heran mendengar ucapan Hay Hay itu yang jelas membuktikan bahwa Hay Hay memang seorang ahli wanita! Untuk menutupi kemuramannya, dia lantas tersenyum.

"Hay Hay, engkau betul-betul seorang mata keranjang yang ahli wanita. Bagaimana pula engkau bisa tahu tentang penuh gairah dan panas itu?"

Hay Hay tertawa. "Itu mudah saja, sudah ada tanda-tandanya. Lihat saja sinar matanya, seperti ada apinya. Lihat juga tarikan mulutnya. Bibir itu penuh gairah dan menantang. Dan bentuk tubuhnya! Hemm, dia seorang wanita pilihan, Han Siong. Sebaiknya engkau cepat memetik bunga yang sedang mekar cerah dan harum semerbak itu!"

Han Siong menghela napas panjang. "Engkau benar, Hay Hay. Memang dia jatuh cinta kepadaku, dan inilah yang membuat aku pusing. Aku tidak ingin menyakiti hatinya, akan tetapi aku... aku tidak mungkin dapat membalas cintanya!"

Kini Hay Hay tertegun, akan tetapi dia segera tersenyum. "Wahai sobat, agaknya engkau sudah jatuh cinta kepada wanita lain?"

Kembali Han Siong terkejut dan mengamati wajah Hay Hay dengan tajam, seolah hendak menjenguk isi hatinya. Kenapa pemuda ini tahu segala?

"Hemm, bagaimana lagi engkau bisa tahu akan hal itu?"

"Ha-ha-ha-ha, engkau memang masih hijau dalam soal asmara, sobat! Kalau ada seorang pemuda menolak cinta seorang gadis sehebat nona Ouw Ci Goat, tentu pemuda itu tidak waras atau miring otaknya! Karena kulihat engkau ini bukan pemuda yang kurang waras atau miring otaknya, maka satu-satunya sebab penolakanmu sudah pasti bahwa engkau telah jatuh cinta kepada wanita lain!"

Han Siong memandang kagum. Anak ini benar-benar hebat, pikirnya. Otaknya demikian cerdas dan walau pun sikapnya ugal-ugalan dan ceriwis, namun harus diakui bahwa apa yang diucapkannya memang benar. Dia menarik napas panjang dan kembali dia teringat kepada Bi Lian, gadis yang dicintanya.

"Engkau memang benar, Hay Hay. Sesudah secara hebat dan tepat engkau mengetahui keadaan hati kami, kini aku ingin minta pertolonganmu. Kau ceritakanlah kepada Ci Goat bahwa aku tidak mungkin dapat menerima cintanya karena aku sudah mempunyai pilihan hati gadis lain."

Hay Hay tersenyum. "Wah, tugas berat itu! Kenapa engkau tidak mau berterus terang saja kepadanya?"

"Ihh, engkau ini bagaimana? Dia belum pernah mengaku cinta, lalu bagaimana aku akan menceritakan bahwa aku tidak dapat menerima cintanya? Pula, aku tidak ingin menyakiti hatinya, sementara engkau yang ahli asmara ini tentu akan dapat mencari akal agar dia bisa menerima kenyataan ini dengan tabah dan dapat mengerti penolakanku."

Hay Hay menepuk mulut sendiri. "Dasar mulut usil! Sekarang tertimpa tugas yang berat."

"Hemm, katakan saja bahwa engkau tidak mampu melakukan itu, tidak perlu sungkan dan mencari-cari alasan!" kata Han Siong cemberut.

"He-he-he, siapa bilang tidak mampu? Pekerjaan begitu saja, menghadapi wanita, uhhh, sepele bagiku!"

"Hah, jadi engkau mau, bukan?" kata Han Siong sambil tersenyum.

Hay Hay terbelalak. "Setan! Engkau memancing kesanggupanku dengan mengatakan aku tidak mampu, ya? Engkau penuh akal bulus dan tipu muslihat, Han Siong!" kata Hay Hay tertawa.

"Aku hanya mencontoh engkau!"

"Baiklah, aku menyerah. Aku yang akan menyampaikan kepadanya biar pun hatiku akan hancur lebur jadi debu melihat seorang gadis menangis karena patah hati. Akan tetapi, untuk itu engkau harus bersabar dan selama beberapa hari kita tinggal di rumah keluarga Ouw. Berilah waktu sepekan untukku..."

"Sepekan? Biar sebulan pun boleh. Engkau tinggal di rumah mereka dan aku melanjutkan perjalananku."

Ang Hong Cu







Tidak ada komentar:

Posting Komentar