*

*

Ads

Selasa, 17 Juli 2018

Ang Hong Cu Jilid 058

Pek Han Siong melangkah lesu. Sebenarnya pemandangan alam di sekitar pegunungan itu amat indahnya pada pagi hari yang cerah itu, namun tiada keindahan di luar diri bagi seseorang yang menanggung derita di dalam dirinya. Keindahan bukan terletak di luar, melainkan di dalam diri. Kalau batin sedang terlanda duka, apa pun yang dilihat oleh mata akan nampak tidak indah lagi. Dan pada saat itu, Pek Han Siong sedang dilanda duka.

Cintanya terhadap Siangkoan Bi Lian ditolak! Gadis itu telah menolak cintanya. Dia dapat menghargai kejujuran dan keterus terangan Bi Lian, tapi kenyataan itu sungguh membuat hatinya bagaikan ditusuk. Pedih perih karena kecewa. Apa lagi penolakan cinta gadis itu dinyatakan di depan suhu dan subo-nya.

Dia tahu betapa mereka amat menyayangnya, maka dia pun ditarik sebagai calon mantu. Akan tetapi apa hendak dikata, Bi Lian yang terlibat langsung di dalam urusan perjodohan itu menolak! Dia pun tidak dapat menyalahkan Bi Lian. Bagaimana dia bisa menyalahkan seorang gadis karena tidak mencintanya?

Han Siong menjatuhkan diri duduk di atas akar pohon. Tubuhnya terasa penat. Semalam suntuk dia tak pernah berhenti, terus saja berjalan meski pun lambat, tak tentu arah tujuan sampai pada pagi hari itu dia tiba di pegunungan itu yang tidak dia ketahuinya namanya. Tubuhnya lemas karena sudah dua hari dia tidak makan, hanya minum air, itu pun kalau kebetulan dia melewati sebuah sumber air bersih.

Membiarkan tubuhnya duduk mengaso tetap saja tidak mampu menghilangkan perasaan dukanya, malah kini pikirannya melayang-layang, mengenang keadaan dirinya dan semua peristiwa yang terjadi. Dan hatinya terasa semakin tertekan. Sejak kecil dia tidak pernah merasakan kebahagiaan, kecuali mungkin saat dia tinggal di kuil Siauw-lim-si dan menjadi murid suami isteri sakti yang menjadi guru-gurunya, yaitu Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu.

Duka timbul dari pikiran yang penuh dengan perasaan iba diri. Pikiran mengenang masa lalu yang penuh dengan kegagalan, atau membayangkan masa depan yang penuh dengan kesuraman, maka pikiran atau si aku merasa iba terhadap diri sendiri, merasa nelangsa dan sengsara. Maka datanglah rasa duka.

Duka menghilangkan kewaspadaan, melenyapkan makna hidup. Hidup bukanlah sekedar membiarkan diri diseret ke dalam lamunan, membiarkan diri dipermainkan pikiran! Hidup adalah kenyataan, apa yang ada, tidak peduli apakah kenyataan itu menyenangkan atau menyusahkan.

Yang senang atau yang susah adalah pikiran, si-aku yang selalu menghendaki keenakan dan menghindarkan ketidak enakan. Namun kenyataan hidup adalah seperti apa adanya, dan menerima kenyataan apa adanya inilah seni paling indah, paling agung dan paling murni dari kehidupan. Menerima kenyataan seperti apa adanya, tanpa menilai dan tanpa mengeluh melainkan menyerahkan kepada Tuhan! Tuhan Maha Kuasa, Maha Bijaksana, Maha Kasih! Hanya Tuhan yang akan mampu membimbing kita, lahir mau pun batin.

Kewajiban kita dalam hidup hanyalah untuk menggunakan segala alat yang ada di tubuh ini sebagaimana mestinya. Panca indera adalah alat-alat untuk bekerja seperti yang telah ditentukan dalam tugas masing-masing, termasuk pikiran yang sesungguhnya merupakan alat untuk berpikir, untuk bekerja, untuk dapat melakukan sesuatu yang bermanfaat, baik bagi diri sendiri mau pun bagi orang lain.

Pikiran bukanlah alat untuk menyeret kita ke dalam lamunan kosong tentang suka atau duka. Tak mungkin kita bisa membersihkan pikiran yang bergelimang dengan daya-daya rendah, pikiran yang penuh nafsu, pikiran yang penuh dengan keinginan untuk mengejar enak sendiri. Tidak mungkin karena kita yang ingin membersihkan ini adalah pikiran itu sendiri!

Keinginan pikiran selalu hanya bersumber pada satu pamrih, yakni mengejar keenakan untuk diri sendiri. Bisa saja pikiran menciptakan bermacam-macam akal seperti sebutan muluk-muluk, bertapa, mengasingkan diri, mengheningkan cipta dan segala macam cara lagi untuk membersihkan batin. Namun semua itu adalah pekerjaan pikiran, pekerjaan si-aku, usaha dari nafsu pula sebab pikiran itu sendiri bergelimang nafsu, dikemudikan oleh nafsu. Di balik semua usaha itu terdapat satu pamrih, yaitu sifat dari nafsu, ialah untuk mengejar keenakan bagi diri sendiri! Karena itu tak mungkin kita membersihkan pikiran, tidak mungkin nafsu mampu mengendalikan atau mengalahkan nafsu. Semua ini hanya akal-akalan saja, akalnya si akal-pikir!

Satu-satunya kenyataan adalah bahwa yang mampu merubah segalanya itu, yang dapat membersihkan jiwa dari cengkeraman nafsu, yang bisa menempatkan semua alat tubuh luar dalam kepada kedudukan dan tugas mereka masing-masing secara utuh dan benar, hanyalah KEKUASAAN TUHAN! Dan kekuasaan Tuhan akan bekerja kalau si-aku, yaitu hati dan akal pikiran kita tidak bekerja! Dan kekuasaan Tuhan akan bekerja apa bila kita menyerah kepadaNya, menyerah dengan penuh ketawakalan, kepasrahan dan keiklasan, menyerah dengan kesabaran. Kehendak Tuhan pun terjadilah! Dan inilah satu-satunya kenyataan yang mutlak.






Di dalam kepasrahan lahir batin ini kita akan menerima semua kenyataan hidup sebagai kehendak Tuhan, dan karenanya kita akan menghadapinya tanpa keluhan, tanpa celaan. Bukan berarti kita lalu acuh dan mandeg. Sama sekali tidak! Kita pergunakan semua alat tubuh luar dalam untuk berusaha! Tuhan yang akan memberi bimbingan dan tuntunan.

Kalau sudah begini, apa pun yang terjadi takkan menimbulkan penasaran atau keluhan, apa lagi duka, selain ingat dan waspada. Ingat kepada Tuhan serta kekuasaanNya yang mutlak, menyerah, waspada terhadap setiap gerak langkah kita di dalam hidup, waspada terhadap pikiran kita, ucapan kita, perbuatan kita, seperti kewaspadaan seseorang yang memegang kemudi kendaraan. Dan Tuhan Maha Kasih!

"Muridku, Han Siong. Engkau akan terjun ke dunia ramai dan akan menghadapi segala macam pengalaman hidup. Ingatlah bahwa hidup tidak selalu seperti yang kita kehendaki. Hidup adalah hidup, merupakan kesatuan dari segala macam peristiwa. Jika hidup ini kita umpamakan sebagai rasa, maka hidup itu terdiri dari semua rasa, manis, pedas, masam, gurih, asin, pahit dan sebagainya lagi. Jangan engkau menghendaki agar hidup ini selalu manis. Bagaimana mungkin engkau dapat menikmati rasa manis kalau belum merasakan pahit, getir, asin, pedas dan lain-lainnya itu? Karena itu bersiaplah engkau, jangan terkulai hanya oleh suatu peristiwa atau keadaan saja, karena apa pun yang terjadi, itu hanyalah sebagian kecil saja dari hidupmu! Bangkitlah dan senyumlah, terimalah segala peristiwa dengan tabah, lalu jadikanlah segala pengalaman sebagai guru. Tuhan selalu besertamu bila mana engkau tabah dan selalu pasrah kepada kekuasaanNya!"

Entah kenapa, ketika dia sedang merasa tertekan itu, merasa betapa dirinya seolah-olah semakin tenggelam ke dalam lautan duka, tiba-tiba saja bayangan gurunya yang terakhir, yaitu Ban Hok Lojin, kakek yang bertelanjang dada itu, amat gendut seperti arca Jilaihud, dengan wajah yang selalu terseyum lebar, salah seorang di antara Delapan Dewa, seperti tampak di depannya dan ucapan gurunya itu bergema di telinganya.

Seketika bangkitlah semangat dan batin Han Siong. Dia merasa seperti disiram air dingin. Betapa bodohnya membiarkan diri tenggelam ke dalam kedukaan yang hanya dibikinnya sendiri. Tadi pikirannya sudah berubah menjadi tangan kejam yang meremas-remas dan mencengkeram hati dan perasaannya sendiri.

Dia segera bangkit. Wajahnya tersenyum, matanya yang tadinya sayu itu kini berkilat dan mencorong, dan pada saat itu pula dia mendengar betapa perutnya berkeruyuk dengan nyaring!

"Ha-ha-ha!" Dia tertawa, tertawa bebas lepas seperti orang gila. "Ha-ha-ha, engkau tolol! Ha-ha, engkau tolol! Terima kasih, Suhu, terima kasih!" Dia lalu menepuk-nepuk perutnya yang kempis. "Maafkan aku, perut. Aku sampai lupa kepadamu. Baiklah, sekarang mari kita mencari makanan untukmu!"

Han Siong melompat dan menuruni bukit itu. Akan tetapi tiba-tiba saja dia harus berhenti karena di depannya mendadak muncul lima orang dengan senjata pedang di tangan dan sikap mereka mengancam!

"Keparat, bersiaplah untuk menerima pembalasan kami!" bentak salah seorang di antara mereka.

Tentu saja Han Siong menjadi terbelalak kaget dan merasa heran. Dia memandang penuh perhatian kepada mereka. Yang tadi berbicara adalah seorang pria setengah tua, berusia kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh tinggi tegap dan gagah. Di wajahnya terbayang kegagahan namun diliputi duka dan kemarahan. Pakaiannya sederhana, akan tetapi serba putih, demikian pula pakaian empat orang lainnya, pakaian berkabung!

Orang kedua amat menarik perhatian. Ia adalah seorang gadis yang usianya kurang lebih delapan belas tahun, wajahnya yang putih halus itu berbentuk bundar, cantik dan bersih, matanya jeli dan bibirnya tipis, rambutnya panjang dibiarkan berjuntai ke belakang dalam bentuk dua buah kuncir hitam yang tebal dan panjang sampai ke pinggul Gadis ini juga memegang sebatang pedang.

Tiga orang lainnya adalah pria berusia kurang lebih tiga puluh tahun, ketiganya bersikap garang dan gagah. Seperti orang pertama dan gadis itu, mereka juga berpakaian serba putih dan wajah mereka diliputi kedukaan dan kemarahan.

"Heii, nanti dulu!" teriaknya ketika mereka itu secara serentak sudah menyerangnya tanpa peringatan lebih dahulu. Hal ini hanya menunjukkan bahwa mereka itu benar-benar sudah marah sekali kepadanya dan amat membencinya.

Gerakan pedang mereka ganas dan cepat, juga mengandung tenaga yang cukup kuat. Ilmu pedang yang sumbernya dari selatan, dikombinasikan dengan tendangan-tendangan yang menyusul tusukan atau sabetan pedang.

Teriakannya tidak memperoleh tanggapan dari mereka, bahkan lima orang itu menyerang dengan hebatnya. Terpaksa Han Siong menggerakkan tubuhnya, berloncatan ke sana sini dan melihat mereka terus mendesak, dia segera memainkan Kwan Im Sin-kun (Silat Sakti Kwan Im) yang lemah lembut namun tubuhnya bagaikan sehelai kapas saja yang sukar untuk dibabat pedang sehingga babatan atau tusukan itu selalu luput. Tubuhnya menjadi demikian ringan, akan tetapi juga sangat cepat sehingga sampai belasan jurus, serangan lima orang itu tak pernah mengenai sasaran.

"Heii, nanti dulu! Mari kita bicara dulu!" teriak Han Siong penasaran.

Karena dia tidak mengenal mereka, tentu saja dia tak mau membalas, khawatir kalau dia akan melukai mereka dan hal ini tentu akan menambah kebencian mereka yang belum diketahui sebabnya. Dia ingin menggunakan ilmu sihir untuk menundukkan mereka, akan tetapi dia pun khawatir kalau-kalau mereka akan merasa terhina dan tersinggung sehingga kembali hal itu akan menambah kebencian mereka kepadanya.

Dia akan menggunakan usaha lain, yaitu memperkenalkan diri karena dia menduga bahwa tentu mereka itu keliru mengenal orang. Mereka bukan perampok dan sama sekali tidak nampak seperti orang-orang jahat.

Begitu mendapat kesempatan, tubuhnya tiba-tiba melayang naik ke atas pohon sehingga mengejutkan lima orang pengeroyok itu yang tiba-tiba saja kehilangan lawan dan mereka semua kini memandang ke atas, ke arah pemuda itu yang sudah berdiri di atas cabang pohon. Pandang mata mereka kagum akan tetapi juga penuh kebencian.

"Heiii, apakah ngo-wi (kalian berlima) terlalu banyak minum arak hingga mabok? Aku Pek Han Siong selama hidupku baru sekali ini melihat ngo-wi, apa lagi bermusuhan. Mengapa tiada hujan tiada angin ngo-wi menyerang aku demikian ganas dan kejam?"

Mendengar ini, lima orang itu saling pandang, dan pria setengah tua tadi berseru lantang, "Sobat, coba sekali lagi katakan. Siapa namamu?"

Han Siong tersenyum. Tahulah dia kini bahwa memang mereka sudah keliru menyangka orang, atau keliru mengenal orang. "Namaku Pek Han Siong, dan selama hidupku belum pernah aku bertemu dengan ngo-wi."

"Engkau... bukankah engkau Kim-lian Pangcu? Wajah dan bentuk tubuhmu mirip sekali!" kata orang tua itu lagi.

"Ayah, kita baru melihatnya satu kali, itu pun tidak terlalu jelas. Agaknya kita sudah salah mengenal orang!" kata gadis itu.

Sekarang Han Siong tertawa. "Ha-ha-ha, Paman yang baik. Orang macam aku ini mana bisa menjadi pangcu (ketua)? Apa lagi ketua perkumpulan Teratai Emas, bahkan Teratai Tembaga pun tidak! Aku seorang perantau, tidak memiliki kedudukan apa pun."

"Wahh... kalau begitu maafkan kami, orang muda. Ihh, kalian berempat ini mengapa tidak memberi tahu? Aku sudah tua, mungkin mataku mulai kurang awas, akan tetapi kalian..." omelnya kepada puterinya dan tiga orang itu.

Han Siong sudah melompat turun dan gayanya melompat membuat lima orang itu berseru kagum. Mereka seperti melihat seekor naga atau seekor garuda melayang turun dari atas pohon itu dan ketika kedua kakinya tiba di atas tanah, sama sekali tidak terdengar suara!

Diawali oleh laki-laki setengah tua, kini lima orang itu menyambut Han Siong dengan dua tangan diangkat di depan dada sebagai tanda penghormatan. Han Siong cepat membalas penghormatan mereka. Karena mereka kini tidak lagi memusuhinya, dia pun tidak berani bicara main-main.

"Paman, seperti kukatakan tadi, aku Pek Han Siong tidak pernah bertemu dengan ngo-wi sebelumnya. Apa sebabnya ngo-wi medadak menyerangku? Mohon penjelasan, paman, agar hatiku tidak tegang dan penasaran lagi."

Pria itu menengok ke kanan kiri, lalu berkata, "Di sini masih daerah kekuasaan musuh, taihiap. Terlalu lama di sini kita bisa dikepung musuh. Marilah ikut dengan kami ke tempat tinggal kami, taihiap, dan di sana kami akan menceritakan semuanya dengan jelas."

Ang Hong Cu







Tidak ada komentar:

Posting Komentar