*

*

Ads

Rabu, 11 Juli 2018

Ang Hong Cu Jilid 043

"Anak muda, semalam engkau berkata kepadaku akan datang berkunjung. Dan sekarang, pagi-pagi engkau benar-benar datang berkunjung dan mengatakan kepada para pengawal bahwa engkau datang sambil membawa lima puluh tail emas untuk diberikan kepadaku. Benarkah itu dan apakah maksudmu? Apakah engkau hendak mengembalikan lima puluh tail emas yang kau bawa dari rumah judi itu?"

Melihat sikap hartawan jtu, Hay Hay tersenyum. Tentu saja hartawan ini bersikap angkuh karena pada saat itu dia menjadi tuan rumah dan selain itu, juga di luar kamar ini terdapat puluhan orang pengawal dan di dekatnya ada Siok Bi yang tentu dianggapnya sebagai seorang pengawal yang setia. Dan memang sebenarnya Siok Bi seorang pengawal yang setia, kalau saja dia tidak merasa begitu sengsara menjadi kekasih hartawan yang tidak dicintanya itu.

"Coa Wan-gwe, rumah judi itu milikmu, bukan? Pernahkah engkau mengembalikan uang kekalahan dari para penjudi selama ini? Beberapa ratus ribu tail saja yang dimenangkan rumah judi itu dari para penjudi?"

Hartawan itu tersenyum. "Dalam perjudian, menang dan kalah merupakan hal yang biasa, bukan?"

"Benar begitu. Karena itu, kemenanganku di rumah judimu juga bukan hal aneh, mengapa sekarang kau berharap aku mengembalikan uang kemenanganku dari rumah judi itu?"

Hartawan yang tinggi besar dengan muka hitam bopeng itu tertawa. "Ha-ha-ha, aku pun tidak mengharapkan, hanya aku tadi mendengar bahwa engkau hendak memberikan lima puluh tail emas kepadaku. Benarkah itu, dan apa maksudmu dengan itu?"

"Aku hendak menebus kebebasan nona Siok Bi!"

Wajah yang tadinya tertawa itu tiba-tiba menjadi kaku, dan matanya terbelalak ketika dia menoleh dan memandang pada Siok Bi. Gadis ini menundukkan mukanya yang berubah merah, akan tetapi lalu diangkatnya mukanya itu dan dia menentang pandang mata Coa Wan-gwe dengan berani.

"Dulu tai-ya membeliku dari mendiang ayah, jika sekarang ada yang hendak menebusku kembali, anehkah itu?" Siok Bi berkata dengan suara yang tegas.

"Tapi... tapi... uang tebusan itu banyak sekali sekarang!" kata Coa Wan-gwe yang merasa sayang kepada Siok Bi untuk dua hal.

Pertama, sebagai seorang di antara selirnya, Siok Bi tetap merupakan seorang kekasih yang istimewa, tidak genit seperti para wanita lain sehingga kadang terasa menjemukan, dan ke dua gadis ini memiliki ilmu silat yang cukup lihai sehingga dapat menjadi pengawal pribadi yang boleh diandalkan. Rumah judi miliknya itu maju pesat setelah Siok Bi menjadi pengurusnya.

"Aku tahu, tai-ya. Pernah tai-ya mengatakan bahwa harga diriku kini telah mencapai lima puluh tail emas, bukan?" kata Siok Bi.

"Nah, untuk urusan itulah aku datang, Coa Wan-gwe. Ini adalah lima puluh tail emas itu, untuk menebus kebebasan diri nona Siok Bi!" kata Hay Hay sambil mendorong buntalan emas itu ke arah tuan rumah.

Sepasang alis yang tebal itu berkerut, kemudian Hartawan Coa menoleh kepada Siok Bi. Teringatlah dia betapa sudah selama hampir satu bulan ini Siok Bi selalu menjauhkan diri darinya, dengan dalih tidak enak badan dan sebagainya!

"Ahh, kiranya engkau jatuh cinta kepada pemuda ini dan hendak menikah dengan dia?" tanyanya.

"Jangan salah mengerti, Wan-gwe," kata Hay Hay cepat, sedangkan Siok Bi menggeleng kepalanya. "Aku hanya ingin menolongnya supaya dia bebas dari sini dan dapat memilih jodohnya sendiri. Engkau tidak perlu tahu siapa yang dipilihnya, tetapi yang jelas bukan aku. Nah, bagaimana jawabanmu, Coa Wan-gwe?”

Hartawan itu merasa serba salah. Uang lima puluh tail emas memang sangat banyak bagi kebanyakan orang, tapi bagi dia tak ada artinya. Dia tidak ingin uang sebanyak itu karena uangnya sudah jauh lebih banyak lagi. Dia juga sayang kepada Siok Bi. Terutama sekali, dia tidak rela harus mengalah terhadap pemuda yang pernah membuat dia malu ini. Akan tetapi menentang kehendak pemuda lihai ini? Dia pun ragu-ragu!

Tiba-tiba saja dia tersenyum karena mendapat pikiran yang dianggapnya baik dan sangat menguntungkan. Di dunia ini terdapat banyak wanita, bahkan yang lebih cantik menarik dari pada Siok Bi dan yang mudah dia dapatkan kalau dia menghendaki.

"Aku tidak berkeberatan jika Siok Bi hendak menikah dengan seorang pria pilihan hatinya. Akan tetapi aku tidak rela kalau harus kehilangan seorang pembantu yang cakap. Begini saja, orang muda. Bagaimana kalau engkau menggantikan kedudukannya? Bukan hanya kedudukannya sebagai pemimpin rumah judi, bahkan akan kuserahkan kepadamu semua pimpinan para pasukan keamanan serta pengawal! Kuangkat engkau menjadi pembantu utama dan berapa saja gaji yang kau kehendaki, akan kupenuhi! Bagaimana?"






Wajah pemuda itu berubah menjadi merah. Kurang ajar, pikirnya. Dia hendak dijadikan antek hartawan ini! "Coa Wan-gwe, urusan itu adalah urusan antara kita berdua dan boleh kita bicarakan nanti. Sekarang, beri dulu keputusan mengenai kebebasan nona Siok Bi!"

Tidak ada pilihan lain bagi Hartawan Coa untuk mempertimbangkannya lagi kecuali harus menyetujui. Dia tahu betapa bahayanya menentang pemuda ini, apa lagi setelah kini Siok Bi berpihak kepadanya! Apa bila terjadi keributan, maka dapat dipastikan bahwa Siok Bi yang akan dibebaskan oleh pemuda itu tentu akan membantunya.

Dia menarik napas panjang dan menyentuh buntalan uang emas. "Baiklah, aku menerima lima puluh tail emas ini sebagai penebus kebebasan Siok Bi. Mulai saat ini engkau bebas, Siok Bi."

Mendengar ini, Siok Bi mengeluarkan seruan lirih dan dia sudah menjatuhkan diri berlutut di depan Hay Hay lantas merangkul kaki pemuda itu. "Ahhh, taihiap, terima kasih... terima kasih atas budimu ini yang takkan kulupakan selama hidupku....” Suaranya mengandung isak.

Hay Hay tersenyum dan sekali tarik dia telah memaksa gadis itu bangkit berdiri kemudian merangkulnya. Dengan lembut sekali diciumnya dahi gadis itu, lalu dua pipinya sehingga ada air mata yang memasuki mulut melalui hisapan bibirnya.

"Siok Bi, engkau memang pantas mendapatkan kebahagiaan. Nah, semoga engkau hidup berbahagia bersama suamimu dan ini, aku tidak dapat memberi apa-apa kecuali bekal ini, agar engkau dan suamimu dapat memulai hidup baru dan memiliki modal."

Hay Hay mengambil sebuah guci arak, menaruhnya di atas meja di depan Coa Wan-gwe dekat buntalan emas, lalu dia meraih buntalan emas lima puluh tail itu dan menyerahkan emas itu kepada Siok Bi.

Gadis itu terbelalak. "Tapi... tapi...”

Dia memandang ke arah Hartawan Coa yang agaknya sudah berubah menjadi arca atau tidak melihat atau tak peduli bahwa buntalan emas itu diambil oleh Hay Hay dan sebagai gantinya, di depannya kini berdiri sebuah guci arak itu, yang telah kosong pula.

"Bawalah, Siok Bi, disertai doaku. Ini milikmu! Ingat, bukankah engkau yang telah berhasil menyelidiki tentang Ang-hong-cu itu? Nah, bawalah dan cepat kau pergi dari sini!"

Gadis itu menahan isak, lalu merangkul Hay Hay dan tanpa mempedulikan Coa Wan-gwe yang berada di sana dan duduk seperti patung, Siok Bi mencium bibir pemuda itu dengan sepenuh perasaan hatinya, penuh kemesraan, kehangatan, keharuan, disertai rasa syukur yang tidak terukur dalamnya. Kemudian, sambil menahan isak dia pun menerima buntalan emas itu dari tangan Hay Hay dan berbisik, "Selamat tinggal, sampai jumpa pula, taihiap." Dia lalu keluar dari kamar dengan langkah yang cepat.

"Selamat jalan, sampai jumpa kembali, Siok Bi," Hay Hay berkata lirih sambil tersenyum. Masih terasa kehangatan dan kelembutan bibir gadis itu akan tetapi dia segera mengusir lenyap kenangan indah itu.

"Coa Wan-gwe, lebih baik kita bungkus dulu emas ini dan suruh orangmu menyimpannya, baru kita bicara," katanya kepada hartawan yang tadi duduk seperti patung itu. Sekarang dia seperti baru sadar dari tidur.

"Ahh, engkau benar sekali, sebaiknya kusuruh simpan dulu," katanya, sementara itu Hay Hay mengambil kain tilam meja yang lebar dan membungkus guci itu.

Coa Wan-gwe bertepuk tangan dan muncullah dua orang gadis pelayan yang cantik genit. Tepukan tangan tadi adalah tepukan khas untuk memanggil dua orang selir terkasih ini.

"Simpan dahulu buntalan emas ini di dalam almari dan jangan bilang kepada siapa pun bahwa di situ disimpan emas lima puluh tail," katanya.

Dua orang gadis itu lalu mengambil buntalan guci dari atas meja, membawanya ke almari di sudut dan menyimpannya. Mereka lalu meninggalkan kamar lagi saat mendapat isyarat dari majikan mereka. Walau pun mereka adalah selir, akan tetapi kedudukan mereka tidak lebih sebagai pelayan yang melayani majikan mereka, bukan sebagai isteri.

"Nah, sekarang kita berada berdua saja di dalam kamar ini, Coa Wan-gwe. Terus terang saja, bila aku menjadi pembantumu maka dalam waktu beberapa bulan saja tentu engkau akan jatuh bangkrut dan seluruh harta bendamu akan habis!"

"Mengapa begitu?" tanya hartawan itu terkejut.

"Pertama, karena aku tidak suka melihat orang menjadi korban perjudian. Ke dua, karena aku selalu menentang perbuatan jahat dan kejam yang dilakukan oleh anak buahmu atas perintahmu. Ke tiga, karena aku tidak suka melihat orang bersikap sewenang-wenang dan memaksa wanita muda untuk menjadi miliknya. Dan ke empat, aku tak dapat tinggal diam saja melihat orang-orang hidup melarat dan tidak dapat makan, dan hartamu tentu akan kubagi-bagikan kepada mereka!"

Sepasang mata hartawan itu terbelalak. "Wah, wah, kalau begitu, tidak jadi saja! Aku tak mau mempunyai pembantu seperti itu!" Hartawan Coa menjadi marah, lalu bangkit berdiri. "Orang muda, segera kau pergi tinggalkan rumahku ini dan jangan lagi menggangguku!"

"Kalau aku tetap mengganggumu, kau mau apa?"

Hartawan itu masih belum mau menyerah dan tiba-tiba dia menyambar sebuah tali yang tersembunyi di antara kain-kain sutera yang menghias kamar itu. Segera terdengar suara kelenengan di luar, lantas daun pintu kamar itu terbuka.

Muncullah tiga orang gadis pelayan cantik yang bertubuh kuat, bersama tiga orang jagoan yang tadi sudah dirobohkannya! Tiga orang jagoan itu nampak gentar sekali sungguh pun mereka cepat-cepat datang ketika mendengar kelenengan yang berarti tanda bahaya bagi majikan mereka itu. Di luar pintu masih berdiri puluhan orang pengawal yang siap dengan senjata di tangan.

"Nah, engkau masih berani menggangguku?" bentak hartawan itu.

Hay Hay tersenyum lebar. Hartawan Coa ini harus diberi hajaran yang cukup keras untuk melunakkan hatinya yang keras.

"Hemmm, kau mengandalkan para pengawalmu? Engkau tidak tahu bahwa setiap waktu para tukang pukul dan pengawalmu itu bisa saja berbalik memusuhimu, bahkan mungkin pula engkau akan dibunuh oleh mereka."

"Tidak mungkin! Mereka adalah para pembantuku yang setia!"

"Setia? Karena terpaksa dan karena uang, seperti halnya nona Siok Bi tadi. Heiiii, kau....!” Hay Hay menggapai salah seorang di antara ketiga gadis itu. "Kau ke sinilah dan beri satu kali tamparan pada pipi Hartawan Coa!"

Semua orang terkejut, juga Hartawan Coa. Akan tetapi sungguh aneh. Gadis yang tadinya terbelalak kaget mendengar perintah itu, sekarang melangkah maju mendekati Hartawan Coa.

"Plakkk!"

Tangannya menampar dan pipi hartawan itu sudah ditamparnya! Tidak begitu nyeri, akan tetapi Hartawan Coa menjadi terkejut dan marah bukan main. Wajahnya sebentar pucat dan sebentar merah.

"Tangkap perempuan kurang ajar ini!"

Hay Hay melangkah maju. "Siapa yang berani menangkapnya?! Kalau aku tidak memberi perintah, maka tak seorang pun boleh mengganggu dia!" Dan aneh, mendengar teriakan Hay Hay ini, tak seorang pun berani maju, walau pun Hartawan Coa berkali-kali memberi perintah.

"Kau! Majulah dan tampar pipi hartawan ini supaya dia tidak berteriak-teriak lagi!" kata Hay Hay pada gadis ke dua. Gadis itu pun tadinya terbelalak, akan tetapi dia melangkah maju dan tangannya menampar. Hartawan itu hendak menangkis, namun kalah cepat.

"Plakkk!"

Dan untuk kedua kalinya pipinya kena ditampar oleh gadis kesayangannya yang biasanya amat patuh kepadanya.

Ang Hong Cu







Tidak ada komentar:

Posting Komentar