*

*

Ads

Rabu, 04 Juli 2018

Ang Hong Cu Jilid 028

"Bukan hanya sebagai pemberian, lalu sebagai apa, ibu? Hadiah karena suheng seorang murid yang baik?" Bi Lian bertanya, mengerling kepada suhengnya untuk menggodanya.

"Sebagai………. ikatan, Bi Lian. Ikatan jodoh!"

Bi Lian terbelalak memandang kepada ibunya, lalu kepada ayahnya.
"Ikatan jodoh? Apa yang ibu maksudkan?" Sementara itu, Han Siong menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali.

"Bi Lian, ayahmu dan aku telah mengambil keputusan, jauh sebelum engkau pulang, yaitu dua tahun lebih yang lalu, ketika suhengmu pergi berangkat untuk pergi mencarimu. Keputusan kami itu adalah bahwa kami menjodohkan engkau dengan Pek Han Siong, dan pedang pusaka Kwan-im-pokiam itu kami berikan ke padanya sebagai tanda ikatan jodoh………”

Toan Hui Cu menghentikan kata-katanya dan memandang kepada puterinya dengan wajah khawatir. Ia melihat perubahan pada wajah puterinya yang tadinya cerah dan riang itu. Wajah itu menjadi keras, sepasang matanya mencorong dan Bi Lian memandang ayah ibunya bergantian, kemudian menoleh dan memandang kepada Han Siong yang masih menundukkan mukanya yang merah. Suasana menjadi amat sunyi, kesunyian yang menegangkan hati, terutama bagi Han Siong.

"Kami harap engkau akan menerimanya dengan hati terbuka, anakku," kata Siangkoan Ci Kang. "Kami melihat Han Siong sebagai seorang pemuda yang amat baik, keturunan pendekar, dan engkau sendiri tentu sudah mengenalnya selama ini dan dapat menilainya sendiri……. "

"Justeru itulah, ayah! Aku selama ini menganggapnya sebagai seorang suheng, seorang kakak! Suheng, mengapa selama ini engkau diam saja tidak pernah memberitahu kepadaku tentang jodoh ini?" Dalam pertanyaan itu terkandung penyesalan dan teguran.

Han Siong mengangkat mukanya, sikapnya tetap tenang walaupun dia merasa gugup sekali. Setelah menelan ludah beberapa kali untuk menenangkan batinnya yang terguncang, diapun menjawab,

"Maafkan aku, sumoi. Aku tidak tega, tidak ingin membuat engkau menjadi sungkan dan malu, maka aku diam saja, biar suhu dan subo sendiri yang memberitahu akan hal itu."

"Tidak….., tidak…….! Bagaimana mungkin terjadi ikatan jodoh yang tiba-tiba ini? Aku sudah menganggapnya sebagai kakakku sendiri! Ayah dan ibu, sungguh aku tidak dapat menerima keputusan yang begini tiba-tiba!"

Mendengar ini, wajah Han Siong berubah pucat dan seperti tadi, diapun hanya menundukkan mukanya.

"Bi Lian, engkau tidak boleh menolak mentah-mentah hanya dengan alasan bahwa engkau menganggapnya seperti kakak sendiri! Memang benar dia kakak seperguruanmu, akan tetapi tidak ada hubungan darah sedikitpun antara keluarga kita dan keluarga Pek," kata Siangkoan Ci Kang sambil mengerutkan alisnya karena kecewa melihat sikap puterinya yang menolak ikatan jodoh itu.

"Tapi, ayah! Bagaimana mungkin orang berjodoh secara begitu saja? Selama ini aku memandang suheng sebagai seorang kakak seperguruan, bagaimana tiba-tiba saja aku memandangnya sebagai tunangan, sebagai calon suami? Orang berjodoh harus ada perasaan cinta kasih!" bantah Bi Lian dengan polos, sesuai dengan wataknya yang bagaimanapun juga mewarisi sikap kedua orang gurunya, polos dan berandalan.

Toan Hui Cu juga merasa penasaran, lalu ia mengambil keputusan dalam menghadapi puterinya yang bicara secara terbuka ini dengan cara yang lebih jujur, maka iapun berkata kepada Han Siong,

"Han Siong, sekarang lebih baik engkaupun bicara terus terang saja! Bagaimana perasaan hatimu ketika kami menyatakan bahwa engkau kami jodohkan dengan puteri kami yang pada waktu itu belum kau lihat? Engkau memang telah menerimanya dengan patuh, akan tetapi bagaimana perasaanmu pada saat itu?"

Mendengar pertanyaan ibunya, wajah Bi Lian menjadi berseri. Ia memang lebih suka urusan secara terbuka begini daripada harus menyimpan di dalam hati.

"Suheng, jawablah sejujurnya. Percayalah, aku tidak akan menyesal atau marah, bahkan kalau engkau tidak bicara jujur, aku merasa penasaran dan marah!" katanya kepada Han Siong.

Pemuda ini merasa terhimpit sekali. Sejak kecil ia hidup di dalam kuil dan mempelajari segala macam kebudayaan dan sopan santun, kesusilaan, peraturan untuk menghormati orang tua, guru, wanita dan orang pandai. Kini dia diharuskan bicara secara terbuka tanpa tenggang rasa lagi, apa adanya!






Biarpun ia tidak merasa berkeberatan dengan cara seperti ini, membicarakan rahasia hati di depan orang lain secara terbuka, namun tentu saja dia harus berkorban perasaan. Setelah menghela napas panjang beberapa kali, diapun memandang kepada suhu dan subonya, lalu memberi hormat sambil berlutut.

"Suhu dan subo, teecu telah menerima budi besar dari ji-wi yang tak dapat teecu bayar dengan nyawa sekalipun dan teecu sama sekali tidak menghendaki untuk menyinggung perasaan atau menyakiti hati suhu dan subo. Akan tetapi karena suhu, subo dan juga sumoi menghendaki jawaban yang sejujurnya dan terbuka, maka apa yang akan teecu katakana adalah suara hati teecu dan sama sekali tidak lagi ditutupi oleh perasaan sungkan."

"Bagus, suheng! Begitulah. Seharusnya sikap orang gagah!" kata Bi Lian dan kini wajahnya berseri gembira lagi.

"Ketika suhu dan subo memberikan Kwan-im-pokiam ini kepada teecu dan mengatakan bahwa ji-wi menjodohkan teecu dengan puteri ji-wi, sesungguhnya teecu juga merasa terkejut. Tentu saja teecu tidak mungkin dapat menyatakan suka atau tidak suka kalau teecu belum pernah melihat sumoi. Akan tetapi, ketika itu teecu menerima, sepenuhnya hanya karena terdorong keinginan teecu membalas budi ji-wi dan menyenangkan hati ji-wi. Teecu merasa yakin bahwa ji-wi tentu sudah memperhitungkannya dengan masak dan tidak akan keliru mengambil keputusan. Karena itulah teecu menerima dan mulai mencari sumoi."

Suami isteri itu mengangguk-angguk, dapat menerima keterangan ini, juga Bi Lian mengerti bahwa alasan suhengnya itu memang tepat, akan tetapi tidak urung dia mencela,

"Suheng telah bersikap tidak wajar. Menerima secara membuta seperti itu sungguh bukan merupakan kebaktian yang benar. Siapapun yang menyuruh kita, haruslah kita pertimbangkan macam tugas yang diperintahkan. Biar guru sendiri, biar orang tua sendiri, kalau menyuruh kita melakukan hal yang berlawanan dengan suara hati, sudah sewajarnya kalau ditolak. Mentaati karena ingin rnembalas budi itu namanya ketaatan yang ngawur dan nekat, dan yang akibatnya dapat membuat diri sendiri menyesal!"

Kembali suami isteri itu saling pandang. Puteri mereka itu ternyata telah dewasa benar, dan telah memiliki kematangan pandangan, walaupun terlalu polos, terlalu jujur tanpa ditutup-tutupi sehingga mudah menyinggung perasaan orang dan terdengar kasar.

"Sekarang katakan, Han Siong. Setelah engkau bertemu dengan sumoimu, setelah engkau melihatnya, bicara bahkan bergaul dengannya, bagaimana pendapatmu? Mengaku saja terus terang, adakah cinta kasih didalam hatimu terhadap anak kita Siangkoan Bi Lian?"

Mendengar pertanyaan ini, kembali wajah pemuda itu menjadi merah sekali. Sambil berlutut dia memberi hormat dan berkata lirih,

"Duhai suhu dan subo……. , bagaimana teecu berani menjawab pertanyaan itu….. .?”

“Han Siong, tenangkan hatimu. Sumoimu menuntut agar kita semua bicara secara terbuka. Memang kalau kupikir, sikap ini benar. Segala macam persoalan dapat dipecahkan dengan cepat kalau kita bersikap terbuka. Jawablah sejujurnya, Han Siong."

"Suheng, apakah engkau bukan laki-laki yang jantan? Kita harus jujur, kepada diri sendiri, kepada orang lain! Manusia yang tidak memiliki kejujuran, yang tidak berani mengakui apa yang berada didalam hatinya, dia itu hanya seorang pengecut! Dan aku yakin, suhengku yang gagah ini sama sekali bukan pengecut!"

Bukan main ucapan gadis itu. Lidahnya seperti pecut yang mencambuk-cambuk dengan tajamnya!

"Baiklah, sumoi. Suhu dan subo, teecu mengaku terus terang, begitu teecu bertemu dengan sumoi, melihat wajahhya, bicara dengannya, melihat sikapnya dan segalanya, teecu langsung jatuh cinta padanya!"

Suami isteri itu saling pandang dan tersenyum, akan. tetapi Bi Lian terbelalak keheranan memandang suhengnya.

"Waahhh! Benarkah itu, suheng? Ataukah engkau hanya terikat oleh janji dan balas budi? Bagaimana mungkin begitu mendadak kau jatuh cinta, dan…….. aku sama sekali tidak melihat sikapmu yang mencinta itu, tak pernah engkau mengatakan kepadaku bahwa engkau cinta padaku!"

"Mana aku berani, sumoi?"

“Ah. mengapa tidak berani? Dalam cinta mencinta, pertama-tama yang dibutuhkan adalah kejujuran pula!"

"Sudahlah, Bi Lian, sekarang suhengmu sudah mengaku sejujurnya bahwa dia mencintamu. Sekarang, bagaimana dengan engkau? Setelah engkau bertemu dan bergaul dengan suhengmu, bagaimana pendapatmu? Tidakkah dia pantas menjadi calon suamjmu? Katakanlah, apakah engkau dapat membalas cinta kasihnya?"

“Wah, aku masih bingung, ibu. Aku memang suka sekali kepada suheng, suka dan kagum, dan terus terang saja, aku bangga mempunyai seorang suheng seperti dia. Jarang pula ada pemuda sebaik suheng! Akan tetapi cinta? Sama sekali tidak pernah kupikirkan hal itu. Andaikata dia tidak memperkenalkan diri sebagai suhengku, mungkin saja hal itu kupikirkan karena selama ini belurn pernah aku bergaul dengan seorang kawan pria seakrab dengan suheng. Aku menganggap dia sebagai kakak, dan aku tidak tahu apakah aku dapat mencintanya seperti seorang calon suami. Dan akupun tidak yakin akan cintanya yang begitu tiba-tiba, apalagi dilator belakangi ketaatan dan hutang budi kepada ayah dan ibu!”

"Lalu bagaimana keputusanmu, Bi Lian? Maukah engkau menerima ikatan jodoh dengan suhengmu'?" tanya Siangkoan Ci Kang.

"Tidak, ayah. Aku sama sekali belum memikirkan soal perjodonan."

"Bi Lian," kata ibunya. "Tahukah engkau berapa usiamu sekarang?"

"Kalau tidak salah dua puluh tahun, ibu. Apa hubungannya usia dengan perjodohan?"

"Aih, Bi lian, usia dua puluh sudah terlalu lambat bagi seorang gadis untuk berjodoh," kata ibunya.

Gadis itu tersenyum lebar.
"Tidak, ibu. Bagiku, usia tidak ada hubungannya dengan perjodohan. Yang ada hubungannya hanyalah cinta kasih. Dan terus terang saja, aku suka dan kagum kepada suheng, akan tetapi aku……. tidak…….. atau belum mencintanya seperti seorang calon suami."

"Jadi jelasnya, engkau menolak, Bi Lian?" kata Siangkoan Ci Kang.

"Sebaiknya, ikatan jodoh itu dibatalkan saja dulu, ayah. Jangan ada pengikatan. Kelak, kalau aku yakin bahwa aku cinta pada suheng dan dia cinta padaku, mudah saja dilakukan ikatan kembali!"

"Bi Lian! Engkau mengecewakan hati ayah ibumu!" kata Siangkoan Ci Kang.

"Maafkan, ayah dan ibu. Apakah ayah dan ibu hendak memaksaku dan membikin hidupku selanjutnya kecewa dan merana? Senangkah ayah dan ibu kalau aku menurut hanya untuk berbakti? Itu hanya akan menjadi pernikahan paksaan, ayah dan ibu. Suheng menikah karena ingin membalas budi, dan aku menikah hanya untuk berbakti. Pernikahan macam apa itu? Maukah ayah dan ibu begitu?"

Suami isteri itu saling pandang dan menghela napas panjang. Terus terang saja, mereka tidak menghendaki pernikahan anaknya seperti itu.

"Lalu apa yang menjadi kehendakmu sekarang, Bi Lian? Apakah engkau telah memiliki seorang calon jodoh pilihan hatimu sendiri? Kalau benar demikian, katakanlah terus terang. Kami sudah ingin melihat engkau berumah tangga, mengingat usiamu sudah cukup dewasa," kata ibu gadis itu.

Sementara itu, sejak tadi Han Siong hanya menundukkan mukanya. Hatinya terasa perih dan perasaannya terpukul hebat oleh penolakan sumoinya. Dia dipaksa untuk berterus terang di depan suhu dan subonya dan setelah dia berterus terang menyatakan cinta kasihnya dengan menekan rasa malunya, kini dengan terus terang pula Bi Lian menolak cintanya! Padahal, dia sudah di tunangkan dengan sumoinya itu. Bagaimanapun juga, dia adalah seorang kali-laki dan tentu saja dia merasa terbanting keras harga dirinya.

Ang Hong Cu







Tidak ada komentar:

Posting Komentar