*

*

Ads

Minggu, 24 Juni 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 223

"Harap Paman dan Bibi sudi memaafkan saya. Sebetulnya, amat tidak pantas kalau saya datang menghadap sendiri untuk keperluan ini, akan tetapi mengingat bahwa saya tidak mempunyai keluarga lagi, tiada Ayah Bunda, maka terpaksa saya memberanikan diri menghadap Paman dan Bibi untuk mengajukan pinangan atas diri Ling-moi, untuk menjadi calon isteri saya kalau Paman dan Bibi sudi menerima saya yang bodoh dan yatim piatu sebagai calon mantu."

Suami isteri itu sating pandang dan nampak ibu Ling Ling membelalakkan kedua matanya, lalu menoleh kepada puterinya.

"Dia... dia sudah tahu... tentang dirimu….?" tanyanya kepada Ling Ling.

Ling Ling mengangguk.
"Sudah, Ibu. Bahkan sudah menduganya sebelum aku berterus terang kepadanya. Aku tentu sudah mati membunuh diri dengan terjun ke jurang kalau saja tidak ada Hok-ko ini yang mencegahku. Dia tidak peduli akan aib yang menimpa diriku, bahkan dia merasa iba kepadaku."

Mendengar ini, ibu Ling Ling merasa terharu dan suami isteri itu tentu saja tidak menolak, bahkan berterima kasih sekali kepada pemuda itu yang telah menyelamatkan nyawa puteri tunggal mereka, bahkan mau pula mencuci aib itu dengan menikahinya.

Akan tetapi, sebagai seorang wanita yang terkenal angkuh, belum puas rasa hati Tan Siang Wi kalau belum mendapat keterangan tentang asal-usul pemuda yang akan menjadi mantunya. Maka, secara langsung saja ia lalu bertanya tentang orang tua pemuda itu, walaupun ayah ibu pemuda itu telah meninggal dunia.

"Ibu, Hok-ko adalah cucu seorang pangeran." Ling Ling berkata untuk mengangkat pemuda itu dalam pandangan ibunya.

Akan tetapi Sun Hok segera berkata.
"Ah, keturunan bangsawan itu sudah tidak termasuk hitungan lagi. Memang, Kakek saya adalah Pangeran Can Seng Ong, yang pernah rnenjadi gubernur di Ning-po. Kemudian Kakek saya pindah ke Siang-tan. Ayah saya bernama Can Koan Ti, dan Ibu saya... bernama Gui Siang Hwa dan mereka sudah meninggal dunia semua….”

Tiba-tiba Tan Siang Wi meloncat dari kursinya. Matanya terbelalak karena ia ingat benar kepada nama itu.

"Gui Siang Hwa? Benarkah nama ibumu Gui Siang Hwa, murid Raja dan Ratu Iblis?"

Sambil menundukkan mukanya, Sun Hok berkata,
"Benar, Bibi. Mendiang Ibu saya adalah seorang tokoh sesat."

Cia Sun juga tertegun. Lebih lagi Tan Siang Wi. Ia pernah bentrok dengan Gui Siang Hwa dan teringatlah ia akan masa lalu, ketika ia masih seorang gadis, pernah ia bertanding melawan Gui Siang Hwa yang amat lihai dan ia kalah bahkan tertawan oleh wanita iblis itu (baca kisah Asmara Berdarah).

Wanita ini menjadi bingung. Ia bermantukan putera Gui Siang Hwa yang terkenal dengan julukan Siang-tok Sian-li (Dewi Racun Wangi) itu? Tidak mungkin! Akan tetapi, iapun teringat akan keadaan puterinya yang sudah ternoda, dan ingat betapa putera Gui Siang Hwa ini adalah seorang pendekar, bahkan patriot! Maka ia terduduk kembali dan termangu-mangu, memandang suaminya.

Cia Sun menarik napas panjang.
"Di dalam kehidupan manusia, ada tiga hal yang sudah ada garisnya, sudah ditentukan dan diatur oleh kekuasaan Thian, yaitu kelahiran, perjodohan dan kematian. Kita manusia hanya mampu menerima saja dan dalam perjodohan, yang terpenting adalah cinta kasih antara kedua orang yang berjodoh. Can Sun Hok, apakah engkau benar-benar mencihta puteri kami Cia Ling?"

Sambil bertanya sinar mata Cia Sun dengan tajam mengamati wajah pemuda itu. Sun Hok balas memandang dan menjawab dengan suara yang tenang dan tegas, tanpa ragu-ragu.

"Saya mencinta Ling-moi dengan sepenuh hati, Paman."

"Dan engkau, Ling Ling, apakah engkau mencinta Can Sun Hok?"

Kini pendekar itu memandang kepada Ling Ling. Wajah gadis ini berubah merah dan sambil mengerling ke arah Sun Hok, iapun menjawab dengan lantang dan tegas.

"Ayah, aku... aku cinta padanya."

Cia Sun mengangguk-angguk.
"Bagus, kalau begitu, kami orang tua hanya tinggal melaksanakan saja pernikahan antara kalian. Kita memilih hari dan bulan dan merayakan pernihakan kalian secara sederhana saja.”

Keluarga itu dengan hati gembira, lalu merayakan pulangnya Ling Ling, juga merayakan perjodohan antara kedua orang muda itu. Cia Sun dan isterinya akhirnya merasa puas dan gembira juga mendengar tentang riwayat hidup Can Sun Hok yang tanpa merahasiakan lagi menceritakan pertemuannya dengan Ceng Sui Cin yang tadinya dianggap musuh besarnya, betapa kemudian dia sadar setelah mendengar wejangan wanita perkasa itu. Biarpun mendiang ibunya seorang tokoh sesat yang terkenal jahat, namun pemuda ini agaknya tidak mewarisi kejahatan ibunya.






Demikianlah, seperti bergantinya hujan dan mendung dengan sinar matahari yang cerah, setelah mengalami penderitaan batin karena diperkosa orang yang hampir saja membuat Ling Ling membunuh diri, kini gadis itu menemukan kebahagiaan di samping Can Sun Hok yang mencintanya.

Setelah menjadi isteri pemuda itu dan dibawa pulang ke Siang-tan, ke rumah megah dimana ia dipertemukan dengan Bhe Siauw Cin, hati Ling Ling menjadi semakin gembira. Bhe Siauw Cin ternyata seorang wanita muda yang selain cantik jelita, juga ramah dan halus budi bahasanya, pandai membawa diri dan biarpun ia seorang bekas penyanyi dan penghibur panggilan kelas tinggi, namun ia cerdas dan memiliki banyak pengetahuan sehlngga Ling Ling yang kini menjadi "nyonya besar" banyak belajar dari wanita ini, juga dalam melayani suaminya.

Pada masa itu, merupakan hal yang lajim bagi seorang pria, apalagi kalau dia bangsawan atau hartawan untuk memiliki isteri lebih dari seorang walaupun isteri yang lain dinamakan selir. Ling Ling hidup berbahagia di samping suaminya dan madunya.

* * *

Nasib Pek Eng tidaklah sebaik nasib Ling Ling yang mendapatkan seorang suami yang selain mencintanya, juga dicintanya. Namun mengingat akan peristiwa yang mendatangkan aib bagi diri Pek Eng, nasibnya dapat dinamakan baik juga. Setelah ayahnya, Pek Kong yang menjadi Ketua Pek-sim-pang, diam-diam menemui Song Bu Hok dan mengajaknya bicara empat mata.

Setelah memesan kepada pemuda itu bahwa apa yang akan dibicarakan merupakan rahasia besar keluarga Pek dan hanya kepada Song Bu Hok seorang Ketua Pek-sim-pang itu memberitahukan dan minta kepada pemuda itu agar menyimpannya sebagai rahasia sampai mati, barulah Pek Kong menceritakan tentang peristiwa yang menimpa diri puterinya.

Song Bu Hok adalah seorang pemuda keturunan orang-orang gagah pekasa. Biarpun wataknya agak tinggi hati, akan tetapi memiliki jiwa yang gagah perkasa, seorang pendekar yang selalu menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan. Mendengar betapa gadis yang dicintanya, yang menjadi calon isterinya karena pinangan ayahnya telah diterima oleh keluarga Pek, diperkosa oleh jai-hwa-cat Ang-hong-cu, dia menjadi marah sekali.

"Saya akan mencari jahanam itu dan akan saya bunuh dia!" katanya penuh geram.

"Bukan itu maksudku mengapa aku membuka rahasia ini kepadamu, Anakku.” kata Pek Kong. "Akan tetapi, kami sekeluarga menanti keputusanmu mengenai ikatan perjodohan antara engkau dan Eng-ji."

Pemuda itu memandang calon ayah mertuanya dengan tajam dan heran.
"Keputusan apakah? Bukankah ikatan perjodohan itu telah diputuskan dan kedua pihak telah menyetujuinya?"

"Akan tetapi, setelah malapetaka yang menimpa keluarga kami, setelah tunanganmu itu tercemar, mendapatkan aib... bagaimana pendirianmu?"

Bu Hok mengerutkan alisnya.
"Gak-hu (Ayah Mertua), aib yang menimpa tunangan sama dengan aib yang menimpa diri sendiri. Tentu saja saya tidak menyalahkan Eng-moi, saya tetap menghormati dan mencintanya."

Wajah Pek Kong yang tadinya muram kini nampak cerah ketika dia mengamati wajah Song Bu Hok dengan tajam penuh selidik. "Engkau tidak akan merasa kecewa atau menyesal, dan tidak akan memandang rendah, menghina atau membenci Eng-ji karena persitiwa itu?"

"Kenapa saya harus begitu? Eng-moi tidak bersalah. Keparat busuk itulah yang bersalah dan kelak saya akan mencarinya untuk menuntut balas! Mengenai perasaan saya terhadap Eng-moi... saya kira tidak akan berubah, Gak-hu, bahkan bertambah dengan semacam perasaan lagi, yaitu iba. Kasihan Eng-moi yang tertimpa kemalangan seperti itu. Saya tetap menghormati dan mencintanya, Gak-hu."

"Bagus, sungguh sikapmu ini jantan dan mulia, Bu Hok dan engkau telah membuat hati kami menjadi tenang. Terima kasih! Dan tentu engkau akan menyimpan aib dari calon isterimu sendiri, bukan?"

"Tentu saja! Sampai mati peristiwa yang saya dengar dari Gak-hu ini tidak akan keluar dari mulut saya, bahkan mulai saat inipun sudah saya lupakan."

Demikianlah, akhirnya Pek Eng juga terangkat dan namanya tercuci bersih karena ia menikah dengan Song Bu Hok, putera tunggal Song Un Tek Ketua Kang-jiu-pang, yang menurut pendapat orang banyak, merupakan kedudukan terhormat dan menyenangkan.

Song Bu Hok terkenal sebagai seorang pemuda yang gagah perkasa berwatak baik, dan dari keluarga terhormat, disegani oleh dunia kang-ouw. Memang Pek Eng tidak mempunyai perasaan cinta terhadap Song Bu Hok, akan tetapi ia merasa berhutang budi karena Song Bu Hok tetap menghormati dan mencintanya, bahkan mau menikah dengannya. Hal ini saja sudah membuat ia bersukur dan berhutang budi sehingga setelah menikah, Pek Eng berusaha sekuatnya untuk dapat menumbuhkan perasaan cinta terhadap suaminya.

**** 223 ****
Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar