*

*

Ads

Minggu, 24 Juni 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 222

“Sejak bertemu denganmu, melihat engkau berkelahi mati-matian melawan pemuda perkasa bernama Tang Hay itu, mendengar engkau menyebutnya jai-hwa-cat, dan melihat kebencianmu kepadanya, aku sudah menduga bahwa tentu telah terjadi sesuatu yang hebat antara engkau dan dia. Kemudian, tidak percuma aku bertemu dan jatuh hati kepadamu, Ling-moi, aku memperhatikan semua gerak-gerikmu, dan aku melihat semua yang terjadi ketika engkau menyerang Tang Hay, kemudian melihat perkembangannya aku dapat menduga bahwa engkau tentulah seorang diantara korban-korban dari jai-hwa-cat yang ternyata kemudian adalah Ang-hong-cu, Ayah kandung Tang Hay! Benarkah demikian, Ling-moi?”

Ling Ling menggerakkan tangan mengusap air matanya, dan ia mengangguk.
“Benar dugaanmu, Hok-ko. Aku adalah seorang korban dari jai-hwa-cat itu, yang tadinya kukira Hay-ko orangnya. Dan engkau…. engkau sudah tahu bahwa aku bukan perawan lagi, sudah ternoda, tercemar badan, nama dan kehormatanku, akan tetapi engkau…. engkau masih menyatakan cinta…..?”

Sun Hok melepaskan kedua pundak gadis itu lalu mundur dua langkah. Mereka saling pandang dan Sun Hok mengangguk.

“Benar, Ling-moi. Aku cinta padamu, dan dengar baik-baik, engkaulah yang kucinta, engkau, jiwa ragamu, engkau seutuhnya! Bukan mencinta nama dan kehormatanmu. Dan aku merasa bangga dan girang sekali bahwa engkau telah berani mengaku di depanku, hal ini menandakan bahwa cintaku tidak keliru. Engkau seorang gadis yang hebat sekali. Akan tetapi… Ling-moi, aku masih merasa ragu apakah seorang gadis sehebat engkau ini akan mungkin membalas cinta kasihku? Jawablah, Ling-moi, sudikah engkau menerima pinangan dan maukah engkau menjadi calon isteriku?”

Kembali mereka saling pandang, dan sebelum Ling Ling menjawab, Sun Hok sudah mendahuluinya.

“Nanti dulu, Ling-moi! Jangan jawab dulu sebelum engkau mendengar siapa adanya diriku ini!”

“Engkau seorang pendekar gagah perkasa dan patriotik!”

Sun Hok menggeleng kepala.
“Jauh daripada itu, Ling-moi. Mendiang ibuku adalah seorang tokoh sesat yang terkenal amat lihai! Hanya saja, aku sadar akan kesesatannya dan tidak mengikuti jejaknya. Dan yang lebih daripada itu, aku… aku telah mempunyai seorang selir, Ling-moi. Jadi, kalau engkau sudi menjadi isteriku, disana telah menanti seorang selir, berarti seorang madu bagimu…”

Kini Ling Ling mengangkat muka memandagng dengan mata dilebarkan.
“Seorang selir….? Tapi, kenapa tidak menjadi isterimu? Siapa ia dan bagaimana hanya menjadi selir? Ceritakanlah tentang wanita itu...."

Sun Hok mengangguk-angguk.
"Bukan isteri, hanya selir, itupun hanya seorang calon selir. Ia tidak mau menjadi isteriku, hanya mau menjadi selir, itupun kalau aku sudah beristeri, kalau belum, ia tidak mau."

Ling Ling semakin heran.
"Hok-ko, ceritakan tentang dia!" Ling Ling semakin tertarik sekali.

Sun Hok lalu bercerita dengan sejujurnya tentang Bhe Siauw Cin, gadis penyanyi bekas dayang seorang pangeran di kota raja yang di pergunakan oleh Jaksa Kwan untuk merayu dan membujuknya itu. Siauw Cin memang sudah mengaku kepadanya akan keadaan dirinya yang sebenarnya dan Sun Hok sudah memaafkannya. Dia menceritakan kepada Ling Ling betapa Siauw Cin yang mencinta dirinya, tidak mau mendatangkan aib kepada namanya dan hanya mau melayani sebagai seorang selir kalau dia sudah menikah.

"Demikianlah, sekarang ia berada di rumahku, menjadi seorang pengurus rumah dan juru masak. Ialah yang akan menjadi selirku kalau engkau sudi menjadi isteriku, Ling-moi."

Ling Ling mengerutkan alisnya, dan diam-diam ia merasa kagum sekali kepada pemuda ini. Seorang pemuda yang jujur, yang tidak malu mengakui kelemahannya dan cacatnya, kalau saja mempunyai seorang calon selir dapat dikatakan cacat. Agaknya pemuda itupun sengaja menceritakan hal ini untuk membangkitkan harga diri Ling Ling, karena setidaknya, Ling Ling akan menganggap bahwa Sun Hokpun mempunyai cacat dan seperti juga dirinya, menjadi jodohnya tidak dalam keadaan "utuh". Dan biarpun harus diakuinya bahwa hatinya pernah jatuh kepada Hay Hay, namun sejak bertemu dengan Sun Hok, iapun merasa tertarik dan kagum kepada pemuda ini.

"Ling-moi, bagaimana? Sudikah engkau menerima cintaku, sudikah engkau menjadi calon isteriku?"

Akhirnya Ling Ling memandang kepadanya dan menarik napas panjang.
"Hok-ko, engkau telah menghindarkan aku dari kematian bunuh diri yang sesat, engkau seolah memberi harapan dan kehidupan baru bagiku. Tentu saja aku merasa berterima kasih sekali dan menerima uluran tanganmu dengan bersukur dan dengan gembira. Akan tetapi bagaimanapun juga, yang akan mengambil keputusan adalah Ayah Ibuku. Aku akan pulang ke dusun Ciang-si-bun, menceritakan semuanya kepada orang tuaku."






Berkata demikian, nampak oleh Sun Hok betapa gadis itu gemetar, agaknya merasa ngeri untuk menceritakan malapetaka yang menimpa dirinya kepada Ayah Ibunya. Dengan hati penuh iba Sun Hok maju dan merangkulnya.

"Jangan khawatir Ling-moi, aku akan menyertaimu, dan aku akan membantumu bercerita kepada mereka, juga sekalian mengajukan pinangan karena aku sudah tidak mempunyai orang tua yang akan mengajukan pinangan.”

Ling Ling merasa demikian lega dan girang sehingga sejenak ia menyandarkan kepalanya di dada calon suaminya itu. Kedamaian yang menenteramkan hatinya, yang mendatangkan harapan baru baginya, menyelubungi hatinya dan gadis ini nampak tersenyum manis walaupun kedua pipinya masih ada sisa air mata yang tadi.

Kita manusia hidup bagaikan mendayung perahu di tengah samudera kehidupan yang luas, penuh dengan ombak mengalun yang menghantam biduk kita dari kanan kiri! Biduk yang kita dayung di tengah samudera kehidupan itu dipermainkan ombak senang dan susah silih berganti. Mulut ini sampai lelah rasanya oleh permainan tawa dan tangis yang saling menyeling tiada hentinya, walaupun tangis datang lebih banyak daripada tawa sepanjang hidup kita.

Kita selalu mendambakan kesenangan yang membuat kita tertawan, dan kita menjauhi kesusahan yang mendatangkan tangis. Namun, mungkinkah itu? Mungkinkah ombak mengalun dari satu sisi saja? Senang dan susah hanyalah suatu timbal-balik seperti terang dan gelap, seperti siang dan malam. Tidak mungkin mendapatkan senang saja sepanjang hidup tanpa menemukan susah, karena senang dan susah merupakan saudara kembar yang tak terpisahkan, seperti dua permukaan dari satu mata uang yang sama!

Kalau sudah mengetahui ini, maka bijaksanalah orang yang tidak menjadi lupa daratan di kala senang, dan tidak menjadi putus semangat di kala susah. Dari susah ke senang, dan sebaliknya, hanya satu langkah saja! Lebih bijaksana lagi kalau kita mau mengamati dan mempelajari apa sebenarnya susah dan senang itu, bagaimana munculnya.

Sesungguhnya, susah dan senang hanyalah permainan pikiran belaka, pikiran yang menilai berdasarkan keuntungan dan kepentingan pribadi. Segala peristiwa yang menguntungkan pribadi, mendatangkan senang, dan sebaliknya yang merugikan pribadi mendatangkan susah.

Kalau pikiran tidak menimbang-nimbang, menilai, maka segala peristiwa adalah wajar dan tidak akan menimbulkan susah senang. Berbahagialah dia yang berada di luar jangkauan susah senang ciptaan pikiran ini. Pengamatan mendalam secara pasip (tanpa mengubah) bilamana susah atau senang menguasai batin merupakan langkah pertama ke arah kebebasan.

"Heii, dimana Bibi Kui Hong…..?" Tiba-tiba Ling Ling teringat dan melepaskan diri dari rangkulan Sun Hok.

“Ia tadi menuju kesana…." Sun Hok menunjuk ke arah sebuah hutan kecil tak jauh dari situ.

"Mari kita cari Bibi Kui Hong!" Ling Ling lalu berlari ke arah itu, diikuti oleh Sun Hok.

"Bibi Kui Hong….! Bibi Kui Hong…..!” Beberapa kali Ling Ling memanggil ketika memasuki hutan itu.

"Lihat itu disana! Seperti ada kertas menempel di batang pohon." tiba-tiba Sun Hok berkata.

Ling Ling menengok dan menghampiri sebatang pohon besar. Benar saja ada kertas berlipat menempel di batang pohon itu, ujungnya tertusuk sebuah ranting kecil. Ling Ling cepat mengambil kertas itu, dibukanya dan ternyata kertas itu adalah sehelai surat dari Kui Hong kepadanya! Segera dibacanya surat singkat itu.

Ling Ling,

CanSun Hok adalah cucu seorang pangeran, dia seorang pendekar yang gagah perkasa dan baik budi. Semoga engkau dapat hidup berbahagia dengan dia.

Bibimu,
Cia Kui Hong.

Ling Ling tersenyum dan semakin gembira. Kiranya pemuda yang mencintanya ini bukan orang sembarangan, melainkan cucu seorang pangeran. Akan tetapi mengaku putera seorang wanita tokoh sesat! Sambil tersenyum ia menyerahkan surat itu kepada Sun Hok yang membacanya pula. Pemuda itupun tersenyum.

"Ah, kiranya wanita perkasa itu, cucu Pendekar Sadis, adalah Bibimu? Ternyata engkau keturunan keluarga para pendekar yang hebat. Ling-moi!"

Keduanya melanjutkan perjalanan menuju ke dusun Ciang-si-bun di sebelah selatan kota raja, ke tempat tinggal orang tua Cia Ling. Ketika mereka tiba di rumah Cia Sun, kembali Cia Ling merasa tegang dan ada rasa takut menyelinap dalam hatinya. Kalau saja ia tidak pulang bersama Sun Hok, kiranya ia tidak akan berani langsung menceritakan keadaan dirinya kepada ayah ibunya. Kehadiran Sun Hok membesarkan hatinya, apalagi karena selama dalam perjalanan itu, Sun Hok membuktikan dirinya sebagai seorang pria yang menghargainya dan sopan.

Cia Sun dan Tan Siang Wi menyambut pulangnya puteri mereka dengan gembira. Akan tetapi Tan Siang Wi merasa agak khawatir melihat wajah puterinya yang agak pucat dan sinar matanya yang redup seperti orang menderita tekanan batin. Sedangkan Cia Sun merasa heran ketika melihat puterinya pulang bersama seorang pemuda tampan yang sederhana sikapnya.

Dengan suara tersendat-sendat bercampur tangis, akan tetapi dibantu dan diberi semangat oleh Sun Hok, akhirnya keluar pula dari mulut Ling Ling cerita sedih tentang malapetaka yang menimpa dirinya, yaitu diperkosa oleh seorang jai-hwa-cat berjuluk Ang-hong-cu. Baru cerita itu tiba di bagian ini, Tan Siang Wi yang berwatak angkuh dan galak itu telah melompat berdiri dari kursinya, mukanya menjadi pucat lalu berubah merah sekali, kedua tangan dikepal dan matanya mendelik.

“Aku harus mencari Ang-hong-cu! Aku akan mengadu nyawa dengan jahanam keparat busuk itu!"

Akan tetapi Cia Sun yang berwatak sabar dan halus, menyentuh lengan isterinya dan berkata,

"Tenang dan bersabarlah. Segalanya telah terjadi dan mari kita mendengarkan cerita Ling-ji lebih lanjut."

Akhirnya wanita yang marah itu dapat dibikin tenang dan dengan kedua mata basah ia mendengarkan kelanjutan cerita anaknya.

Ling Ling melanjutkan ceritanya bahwa bukan hanya ia yang menjadi korban, akan tetapi banyak dan diantaranya seorang murid Bu-tong-pai. Kini Ang-hong-cu menjadi buronan dan dikejar oleh puteranya sendiri yang bernama Tang Hay karena pemuda ini hendak mencuci namanya yang tadinya menjadi pusat persangkaan dan dia ingin memaksa agar ayah kandungnya mempertanggung jawabkan semua perbuatannya yang jahat.

Juga Ling Ling menceritakan tentang pemberantasan gerombolan sesat yang memberontak sehingga gerombolan itu dapat dihancurkan. Demikian pula pertemuan-pertemuannya dengan Kui Hong dan para pendekar lainnya.

"Dan siapakah orang muda ini?" Cia Sun bertanya kepada puterinya setelah ceritanya selesai.

"Ayah, dia adalah seorang diantara para pendekar yang membantu membasmi gerombolan pemberontak. Namanya Can Sun Hok, tinggal di kota Siang-tan. Dia...dia ikut bersamaku kesini... untuk... untluk….”

Ling Ling tidak melanjutkan ucapannya melainkan menoleh ke arah Sun Hok seperti hendak minta bantuan.

Suami isteri pendekar perkasa itu kini memandang kepada Sun Hok. Di dalam hati mereka terdapat penasaran karena tadi puteri mereka menceritakan tentang aib yang menimpa dirinya di depan pemuda asing ini pula.

Sun Hok cepat memberi hormat kepada suami isteri pendekar itu. Dia tadi terkesan melihat sikap orang tua Ling Ling. Ibunya demikian galak penuh semangat dan keberanian, ayahnya demikian pendiam dan tenang, penuh wibawa. Hatinya gentar juga menghadapi dua orang yang perkasa ini.

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar