*

*

Ads

Minggu, 24 Juni 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 221

Kini wajah Pek Kong menjadi merah dan dia mengepal tinju, marah sekali.
"Keparat! Kita harus mencarinya untuk membuat perhitungan!"

Melihat kemarahan ayahnya, Han Siong mendekati dan menghibur.
"Ayah, memang peristiwa ini menyakitkan hati, menyinggung kehormatan keluarga kita, dan menghancurkan kehidupan Eng-moi. Akan tetapi, Tang Hay sudah berjaji untuk mencari dan menangkap ayah kandungnya sendiri. Dan kita harus ingat, Ayah. Sejak dahulu, memang ada hubungan dekat sekali antara Ang-hong-cu dengan kita. Bukankah Tang Hay itu anak kandungnya, dan Tang Hay telah dipergunakan oleh keluarga kita untuk menggantikan aku, untuk menyelamatkan aku? Agaknya itulah kesalahan keluarga kita, Ayah, sehingga kini timbul peristiwa dan aib yang menimpa keluarga kita. Yang penting sekarang adalah mengurus bagaimana baiknya dengan nasib Adikku ini.”

Pek Kong menarik napas panjang dan memandang kepada puterinya itu, walaupun tidak menangis sesenggukan, tetap saja mengeluarkan air mata yang menetes-netes di sepanjang kedua pipinya.

“Baiklah, memang seyogiyanya begitu. Aku akan membicarakan hal ini dengan keluarga Song. Eng-ji, bagaimana sekarang, apakah engkau masih tetap tidak setuju kalau menjadi isteri Song Bu Hok?”

Pek Eng mengangkat mukanya yang basah, memandang ayahnya dengan sikap memelas, lalu ia mengangguk lemah.

“Aku menurut saja apa yang dia tentukan Ayah, akan tetapi, Ayah, aku… aku sudah…” Ia tidak dapat melanjutkan.

"Jangan khawatir. Aku tahu bahwa Song Bu Hok sungguh mencintamu, dan mudah-mudahan dia cukup gagah untuk dapat melihat bahwa peristiwa ini bukan karena kesalahanmu."

"Tapi, Ayah, bukan sebaiknyakah kalau aib ini dirahasiakan dari orang lain? Mungkin harus berterus terang kepada Song Bu Hok, akan tetapi, kurasa tidak perlu diketahui keluarganya. Hal itu akan amat merugikan Eng-moi, karena akan dipandang rendah."

Mendengar pendapat puteranya, Pek Kong mengangguk-angguk setuju.
"Engkau benar, aku yang akan bicara empat mata dengan Song Bu Hok setelah kita pulang nanti,” kata Ketua Pek-sim-pang itu.

"Dan aku akan pergi mengunjungi guru-guruku di kuil Siauw-lim-si, Ayah, bersama Sumoi Bi Lian. Ada urusan yang amat penting antara aku, Sumoi, dan kedua orang Guru kami. Kelak akan kuceritakan kepada Ayah akan semua itu."

Demikianlah, ayah dan dua orang anaknya ini lalu berpisah. Han Siong menemui Bi Lian yang sudah dijanjikan akan dibawa menghadap kedua orang gurunya di kuil Siauw-lim-si, sedangkan Pek Kong mengajak puterinya yang prihatin itu untuk pulang.

Bagaimana dengan Ling Ling? Gadis ini bersama Kui Hong meninggalkan tempat itu dengan sedih. Kesedihan yang dirasakan Ling Ling hampir mirip dengan kesedihan Pek Eng. Kedua orang gadis ini bukan hanya menyedihi nasib mereka yang sudah dinodai aib, kehilangan keperawanan dan kehormatan, melainkan lebih daripada itu, ketika mereka melihat kenyataan bahwa yang memperkosa mereka itu bukan Hay Hay melainkan ayah kandung pemuda utu, seorang jai-hwa-cat yang amat jahat!

Inilah yang menyedihkan hati mereka, bahkan membuat harapan mereka lenyap sama sekali. Kalau Hay Hay yang menjadi pelakunya, sedikitnya mereka masih mengharapkan pemuda itu mau mengakui dan bertanggung jawab mengawini mereka!

Kui Hong tak pernah melepaskan tangan Ling Ling, menggandengnya ketika mereka meninggalkan sarang pemberontak yang telah dikuasai pasukan pemerintah. Setelah berada berdua saja, sambil bersandar kepada Kui Hong, Ling Ling menangis, dihibur sepanjang jalan oleh Kui Hong. Ling Ling membayangkan nasibnya. Ia mencinta Hay Hay, hal ini tak dapat disangkalnya pula, dan biarpun tadinya ia mengira bahwa Hay Hay telah memperkosanya, namun ia siap untuk memaafkannya bahkan bersedia menjadi isteri pemuda yang dicintanya itu. Akan tetapi, kenyataannya demikian pahit.

Pemerkosanya adalah Ang-hong-cu, penjahat besar, ayah kandung Hay Hay. Bagaimana ia dapat hidup terus menahan siksa batin karena aib ini? Bagaimana pula ia akan menghadap ayah dan ibunya? Ah, ayah dan ibunya tentu akan merasa terpukul, akan ikut menderita sengsara.

Membayangkan betapa ayahnya akan berduka sekali, ibunya akan menangis, tiba-tiba Ling Ling melepaskan diri dari gandengan tangan Kui Hong, menjerit dan berlari seperti orang gila! Kui Hong terkejut dan mengejar, khawatir sekali karena agaknya Ling Ling tidak mempedulikan lagi kemana ia lari, seperti orang yang lari sambil menutup matanya.

"Ling Ling….! Bethentilah, Ling Ling….!"






Kui Hong mengejar sekuat tenaga. Ia terbelalak melihat betapa Ling Ling lari mendaki bukit, terus lari ke arah tebing yang curam.

"Ling Ling…!"

Wajah Kui Hong sudah menjadi pucat sekali kareha ia merasa tidak akan mampu mencegah gadis itu yang agaknya akan lari terus dari atas tebing!

Ling Ling yang berlari terus agaknya tidak melihat bahwa ia berlari menuju ke tebing yang curam. Tapi tebing itu dua tiga meter lagi dan tiba-tiba nampak berkelebat sesosok bayangan dari samping dan tubuh Ling Ling sudah disambar dan dirangkul pinggangnya oleh Can Sun Hok.

"Lepaskan aku….! Lepaskan aku….!”

Ling Ling meronta-ronta dan berusaha melepaskan diri, namun Sun Hok mempergunakan seluruh tenaganya untuk memeluk dan tidak mau melepaskan gadis itu. Melihat betapa pemuda ini nekat merangkulnya, Ling Ling menjadi heran, keheranan yang sejenak membuat ia bingung dan yang mengatasi kedukaan dan keputusannya, yang membuatnya ingin membunuh diri itu. Ia mengangkat muka memandang wajah pemuda itu, dan kembali ia membentak.

"Lepaskan aku!"

"Tidak, Ling-moi, tidak mungkin aku membiarkan engkau lepas dan melanjutkan niatmu yang sesat itu!" kata Sun Hok, tetap merangkul pinggangnya.

Ling Ling menjadi semakin bingung. Perkenalannya dengan Sun Hok belum lama, akan tetapi telah timbul keakraban diantara mereka ketika mereka berdua menghadapi gerombolan pemberontak itu. Hok menyebutnya adik dan iapun menyebut kakak kepada pemuda perkasa itu.

"Hok-ko, lepaska aku dan jangan engkau mencampuri urusannku!" kembali ia meronta dengan sia-sia.

"Ling-moi, aku tahu bahwa engkau ingin membunuh diri ke jurang itu! Ingin membunuh diri! Perbuatan itu sungguh sesat, pengecut dan sama sekali keliru, Ling-moi. Karena itu, sebelum engkau mengubah pendirianmu itu, aku tidak akan melepaskanmu!”

Ling Ling menjadi marah. Tangan kanannya sudah menempet di tengkuk pemuda itu.
"Lepaskan! Kalau tidak, kubunuh engkau lebih dahulu!”

Sun Hok tidak terkejut, melainkan tersenyum.
"Bagus, kalau engkau masih dapat marah, hal itu berarti engkau masih suka hidup. Ling-moi, kalau engkau hendak membunuhku sebelum engkau bunuh diri, silakan. Biarlah aku akan mengantarkanmu ke alam baka. Nah, sialakan…..”

Melihat kepasrahan pemuda ini, Ling Ling menjadi lemas lahir batin. Tenaganya seperti habis dan iapun menangis, mengguguk di atas pundak pemuda itu yang kini melepaskan rangkulan pada pinggannya dan merangkul pundak gadis itu, mengelus rambut kepalanya dan membiarkan gadis itu menangis sepuas hatinya.

Kui Hong menghampiri dan gadis ini menarik napas lega. Wajahnya masih pucat dan jantungnya berdebar penuh ketegangan tadi, dan melihat betapa Ling Ling menangis dalam rangkulan pemuda itu, ia tidak berani mengeluarkan kata-kata, takut kalau-kalau Ling Ling "kumat" lagi kenekatannya. Ia hanya saling pandang dengan Sun Hok, pemuda yang sudah dikenalnya itu.

Beberapa tahun yang lalu, ia dan ibunya pernah bertemu dengan pemuda ini yang tadinya mendendam kepada ibunya karena kematian ibu pemuda ini, seorang tokoh sesat bernama Gui Siang Hwa, disebabkan karena bertanding melawan Ibunya. Akan tetapi ibunya dapat menyadarkan Can Sun Hok. Dan agaknya memang pemuda ini telah menjadi seorang pendekar yang gagah perkasa. Buktinya, diapun muncul dalam pertempuran melawan kaum sesat yang memberontak, bersamaan dengan Ling Ling yang agaknya dikenal dengan baik. Tentu ada apa-apa diantara mereka, pikir Kui Hong, dan tanpa banyak cakap, sebelum Ling Ling sempat melihatnya, dam-diam Kui Hong meninggalkan kedua orang itu.

Setelah tangisnya mereda, Ling Ling teringat bahwa ia menangis di dada pemuda itu sehingga baju bagian dada Sun Hok menjadi basah. Ia lalu melepaskan diri dan dengan lembut Sun Hok melepaskan pelukannya. Gadis itu mundur dua langkah, mengangkat muka dan memandang dengan sepasang mata yang kemerahan dan basah.

Sun Hok memandang dengan senyum yang membesarkan hati, dan sepasang matanya jelas membayangkan perasaan iba dan sayang.

"Hok-ko, kenapa…. kenapa engkau... menghalangi aku? Kenapa engkau tidak membiarkan aku mati saja sehingga aku akan terbebas dari penderitaan?" kata Ling Ling, suaranya setengah menyesal dan setengah menegur.

Sun Hok masih tersenyum dan menggeleng kepalanya.
“Ling Ling, bagaimana mungkin aku membiarkan engkau mati? Hal itu sama saja dengan membunuh kebahagiaan dan harapan hidupku sendiri. Tidak, Ling-moi, aku tidak akan membiarkan engkau mati seperti juga dunia tidak akan membiarkan hilangnya matahari."

Sepasang mata yang masih basah itu terbelalak mengamati wajah pemuda yang berdiri di depannya itu. Seorang pemuda yang berwajah tampan dan gagah, bertubuh tegap dan matanya mencorong, sikapnya ramah dan sederhana.

"Hok-ko… apa... apa maksudmu? Apa... artinya kata-katamu itu, Hok-ko…?” tanyanya bingung dan jantungnya berdebar karena samar-samar ia dapat menangkap apa yang dimaksudkan pemuda itu, namun ia masih belum dapat menerima atau percaya begitu saja.

"Engkau tentu mengerti, Ling-moi, bahwa sejak kita saling berjumpa, aku…. aku mengagumimu, menyukaimu, mengasihanimu dan aku... cinta padamu."

Sepasang mata Ling Ling semakin terbelalak, dan wajahnya yang tadinya pucat kini berubah merah sekali, kemudiaan wajah yang membayangkan kekagetan dan keheranan itu berubah, berkerut-kerut, bibir itu gemetar, matanya menjadi sayu dan tak tertahankan lagi Ling Ling lalu menangis, menutupi mukanya dengan kedua tangannya, terisak-isak, lebih sedih daripada tadi!

Can Sun Hok mengerutkan alisnya, dan menarik napas panjang, lalu berkata dengan suara lembut sekali.

"Ling-moi, sungguh aku tidak tahu diri dan lancang sekali. Aku bahkan menambah kedukaanmu dengan singgungan. Kalau kejujuranku tadi menyinggung hatimu, kau maafkan aku, Ling-moi.”

Sampai lama Ling Ling tidak mampu menjawab, hanya terisak-isak, pundaknya terguncang-guncang dan air mata menetes melalui celah-celah jari tangannya. Akhirnya setelah tangisnya mereda, ia menurunkan kedua tangannya, memandang kepada Sun Hok yang masih menanti dengan sabar.

“Bukan begitu maksudku, Hok-ko…. aku… aku menjadi semakin sedih karena…. karena engkau begitu baik, engkau…. engkau menyatakan cinta kepadaku, padahal aku… aku…..”

Sun Hok tersenyum lembut dan memandang dengan sikap memberi semangat.
“Engkau kenapa Ling-moi? Bagiku, engkau gadis yang paling hebat di dunia ini.”

“Aihh… Hok-ko, aku…. aku tidak berharga untuk menjadi sisihanmu…. aku…. aku….”

“Engkau kenapakah? Katakanlah Ling-moi, aku siap mendengar yang bagaimanapun juga.”

Ling Ling menatap tajam wajah pemuda itu, mengumpulkan ketabahannya dan iapun berkata.

“Aku… aku telah ternoda…. aku bukan perawan lagi, Hok-ko….”

Dan iapun menundukkan mukanya yang menjadi pucat, air matanya mengalir di sepanjang kedua pipinya, kedua kakinya menggigil dan ia tentu akan roboh kalau saja Sun Hok tidak cepat menghampiri dan memegang kedua pundaknya mengguncangnya sedikit untuk membersi semangat dan kekuatan.

“Aku telah mengetahui, Ling-moi, aku telah dapat menduga semuanya.”

Ling Ling semakin terkejut dan heran. Ia mengangkat muka dan memandang pemuda itu, sinar matanya menyelidik, melalui genangan air matanya.

“Engkau…. engkau sudah tahu….? Bagaimana……. engkau bisa tahu?”

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar