*

*

Ads

Senin, 11 Juni 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 213

Ketika melihat betapa dua orang suami lsteri itu tidak berdaya menghadapi gulungan sinar pedang yang diputarnya, Bi Lian lalu mulai melakukan serangan dengan tangan kirinya.

"Tranggg...!"

Bi Lian mengerahkan sin-kangnya ketika menangkis pedang Tong Ci Ki yang menusuk dadanya. Tangkisan itu sedemikian kuatnya sehingga Tong Ci Ki mengeluarkan suara jeritan halus, dan pedangnya hampir terlepas dari pegangannya, tubuhnya terhuyung. Ketika terhuyung ini, tangan kirinya bergerak dan sinar halus hitam menyambar ke arah Bi Lian!

Gadis ini maklum bahwa lawan menggunakan senjata rahasia. Jarum-jarum beracun memang menjadi keistimewaa Tong Ci Ki sehingga wanita ini mendapat julukan Si Jarum sakti. Akan tetapi, sebagai murid dua orang datuk sesat, tentu saja Bi Lian mengenal baik segala macam serangan gelap dan curang. Tubuhnya sudah melayang ke atas dan dengan kemarahan meluap, tangan kirinya menyambar ke arah kepala Tong Ci Ki. Wanita ini terkejut, mengelak mundur, akan tetapi tangan kiri Bi Lian itu dapat mulur dan mengejar terus. Hal ini tentu saja sama sekali tidak pernah disangka oleh Tong Ci Ki sehingga ia terkejut dan tanpa dapat dihindarkannya lagi, tangan kiri Bi Lian yang kini mengeluarkan uap putih itu telah mengenai pelipisnya.

"Plakk!"

Tubuh Tong Ci Ki terpelanting dan wanita itu mengeluarkan jerit kecil, lalu terkulai lemas dan tewas seketika! Melihat isterinya roboh, Kwee Siong marah bukan main. Sambil mengeluarkan gerengan seperti seekor harimau terluka, dia menyerang dengan pedangnya, membarengi dengan hantaman tangan kirinya. Serangan ini ganas sekali karena tangan kiri Kwee Siong tidak kalah ampuh dibanding pedang di tangan kanannya. Dia berjuluk Si Tangan Maut karena kehebatan tangan kirinya itu.

Namun, sambil membalik, Bi Lian menghadapi serangan dahsyat itu dengan pekik melengking yang amat hebat. Itulah ilmu Ho-kang, gerengan atau pekik melengking yang mengandung tenaga khi-kang hebat, yang dipelajari dari Tung Hek Kwi.

Mendengar pekik yang hebat ini, seketika Kwee Siong menjadi seperti lumpuh, kaki kanannya seperti kaku tak dapat digerakkan. Sebelum dia sempat memulihkan keadaannya, karena jantungnya tergetar hebat oleh pekik itu, tangan kiri Bi Lian sudah menampar.

"Takkk…!"

Jari-jari tangan mungil dari tangan Bi Lian menyambar ke arah tengkuk dan robohlah Kwee Siong, tak dapat bangkit kembali karena nyawanya sudah menyusul nyawa isterinya.

"Sumoi, kenapa engkau tidak mempergunakan pedang itu? Pedang itu kuterima dari Subo…."

Bi Lian membalik menghadapi suhengnya, dan ia melihat bahwa Han Siong telah pula merobohkan Lam-hai Siang-mo. Tidak sukar bagi Han Siong untuk merobohkan dua orang pengeroyoknya itu karena tingkat kepandaian mereka jauh di bawah tingkatnya. Dia merobohkan Siangkoan Leng dengan cara menyentil pedang di tangan Siangkoan Leng sehingga membalik dan menusuk tenggorokan pemegangnya sendiri, sedangkan Ma Kim Li dirobohkannya dengan totokan maut yang mengenai pangkal leher kiri, Han Siong sempat menyaksikan ketika Bi Lian merobohkan dua orang suami isteri itu maka dia merasa heran dan bertanya mengapa gadis itu tidak mempergunakan pedang untuk merobohkan mereka.

Bi Lian tersenyum,
"Sayang kalau pedang ini dikotori dengan darah mereka, Suheng. Nih, kukembalikan pedangmu dan terima kasih."

Han Siong menerima kembali pedang itu, pedang yang menjadi tanda ikatan jodoh antara dia dan gadis itu.

"Heii, lihat siapa disana itu….!"

Tiba-tiba Bi Lian menunjuk ke depan. Han Siong menengok dan melihat seorang gadis mengamuk diantara pasukan pemberontak. Seorang gadis yang masih muda sekali, antara tujuh belas sampai delapan belas tahun, tinggi ramping dengan wajah manis. Gerakan gadis itu lincah dan Han Siong melihat bahwa tingkat kepandaian silat gadis itu biasa saja, namun sudah cukup tangguh untuk merobohkan anggauta-anggauta pasukan pemberontak. Gadis yang tadinya bertangan kosong itu dapat merampas sebuah golok dan kini ia mengamuk dengan golok rampasan itu.

"Siapakah ia?"






Han Siong bertanya, tidak begitu tertarik, bertanya hanya karena Bi Lian menunjukkan gadis itu kepadanya.

"Ia gadis yang kau cari-cari, Pek Eng adikmu, Suheng."

"Ahhh….!"

Mendengar ini, Han Siong segera melompat dan dengan tendangan-tendangannya, dia merobohkan beberapa orang anggauta pemberontak yang mengeroyok Pek Eng, diikuti oleh Bi Lian yang tersenyum melihat ulah suhengnya itu.

"Enci Bi Lian….!"

Pek Eng berseru girang ketika melihat Bi Lian dan ia menoleh kepada Han Siong, mengangguk.

"Terima kasih atas bantuan kalian."

"Eng-moi, tahukah engkau siapa dia ini? Dia adalah Kakakmu yang bernama Pek Han Siong!"

Wajah Pek Eng berubah, matanya terbelalak dan ia memandang kepada Han Siong yang sebaliknya juga memandang adiknya dengan mata mengandung keharuan.

"Adik Eng…!"

"Kakak Han Siong..., Kakakku...!"

Pek Eng lari maju dan menubruk kakaknya yang merangkulnya dan tiba-tiba Pek Eng menangis tersedu-sedu di atas dada kakaknya yang sudah banyak didengarnya akan tetapi yang selamanya belum pernah ditemuinya itu. Bahkan ketika ia terlahir, kakaknya sudah tidak berada di rumah orang tuanya.

Melihat pertemuan yang mengharukan itu, Bi Lian sengaja menjauhkan diri dan melanjutkan amukannya diantara pasukan pemberontak karena pertempuran masih berlangsung dengan amat serunya.

Sementara itu, diam-diam Han Siong terkejut dan agak kecewa. Kenapa adik kandungnya ini ternyata seorang gadis yang cengeng? Memang pertemuan diantara mereka itu menyentuh perasaan dan mengharukan, akan tetapi bukankah mereka berada di tengah pertempuran dan tadi adiknya ini nampak demikian gagah menghadapi pengeroyokan para pemberontak? Kenapa tiba-tiba menjadi begini cengeng setelah bertemu dengan dia?

Akan tetapi, diapun merasa khawatir ketika memperhatikan adik kandungnya itu. Bukankah menurut keterangan ayah ibunya, Pek Eng merupakan seorang gadis yang cerdik, berani dan tabah? Dan kini tangisnya begitu menyedihkan, seolah-olah ada sesuatu yang mengganggu perasaan gadis ini, maka dia merangkulnya lebih erat untuk menghiburnya.

“Tenangkanlah hatimu, Adikku. Kenapa engkau menangis begini sedih? Bukankah pertemuan antara kita ini amat menggembirakan? Tahukah engkau betapa aku sudah mencarimu sampai beberapa lamanya? Aku mendengar tentang engkau dari Sumoi Bi Lian. Kenapa engkau seperti orang berduka, Adikku?”

Mendengar kata-kata itu, tangis Pek Eng makin menjadi-jadi! Ia kini sesenggukan dan Han Siong merasa betapa dadanya basah karena air mata adiknya itu menembus bajunya. Ah, tentu ada sesuatu yang menghancurkan hati adiknya, pikir Han Siong khawatir.

"Katakanlah saja kepada Kakakmu ini, Adikku. Apakah yang telah terjadi? Siapakah yang telah membuatmu begini berduka?"

Mendengar pertanyaan itu, Pek Eng mengangkat mukanya memandang kepada wajah kakaknya penuh harap.

"Koko, apakah engkau sayang kepadaku? Apakah engkau kasihan kepadaku?"

Hampir saja Han Siong tertawa mendengar ini. Tiba-tiba dia menggerakkan kaki kirinya dan seorang perajurit pemberontak terlempar jauh. Perajurit itu tadi agaknya hendak mempergunakan kesempatan selagi kakak beradik itu lengah untuk menyerang dengan goloknya.

"Tentu saja aku sayang dan kasihan kepadamu, Adikku."

"Dan engkau mau memaafkan kalau aku membuat kesalahan?"

"Tentu, tentu saja…."

"Koko, aku... aku telah dicemarkan orang….."

Han Siong terkejut sekali, bagaikan disambar halilintar. Dia memegang pundak adiknya dengan kedua tangannya dan mendorongnya untuk dapat melihat wajah adiknya, lebih jelas.

"Kau... telah diperkosa orang?"

Pek Eng menggeleng kepala.
"Aku... aku menyerahkan diri dengan sukarela, Koko, aku... aku terlalu lemah dan aku... aku cinta padanya. Akan tetapi dia... dia... ahhh…." Gadis itu menangis lagi.

"Dia mengapa? Dia siapa? Katakanlah, Adikku!" kata Han Siong dengan hati tidak enak.

"Dia... dia mengingkarinya, Koko. Dia tidak mau bertanggung jawab, bahkan dia menyangkal!" Kini Pek Eng tidak menangis lagi, akan tetapi mengepal tinju dengan marah. "Bantulah aku, Koko, untuk menyadarkannya, atau kalau dia tetap menyangkal, untuk membunuhya!"

Han Siong mengerutkan alisnya.
"Sungguh aku tidak mengerti, Adikku. Bagaimana mungkin dia mengingkarinya, menyangkal kalau memang benar dia telah melakukannya?"

Dengan singkat Pek Eng lalu menceritakan peristiwa malam itu di dalam pondok taman yang sunyi, betapa pemuda itu telah menggaulinya, akan tetapi kemudian melarikan diri dan menyangkal perbuatan itu.

"Siapa dia?" Han Siong bertanya marah.

“Dia Hay-ko…”

"Hay…..? Maksudmu, Hay Hay yang menjadi penggantiku di keluarga orang tua kita itu?"

"Benar, Koko, dialah orangnya. Temuilah dia, Koko. Hanya ada dua pilihan baginya, mau memperisteriku dengan baik-baik atau dia harus mati di tanganku."

“Dimana dia?"

"Aku tidak tahu, Koko, akupun sedang mencarinya. Mungkin dia berada pula di dalam medan pertempuran ini."

"Hayo kita cari dia!" kata Han Siong dan merekapun segera pergi, mencari Hay Hay

**** 213 ****
Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar