*

*

Ads

Senin, 09 April 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 011

"Siangkoan Hay….. "

"Locianpwe, aku tidak mau lagi memakai nama keluarga Siangkoan. Akan tetapi karena nama Hay Hay adalah namaku sejak kecil, biarlah aku menggunakan nama Hay Hay saja." Hay Hay memotong ucapan Ciu-sian Sin-kai.

Kakek berpakaian pengemis itu terkekeh,
"Heh-heh-heh, baiklah. Akan tetapi karena engkau dari keluarga Pek, namamu menjadi Pek Hay."

"Omitohud, pinceng sangsikan apakah dia ini benar-benar putera pendekar Pek. Menurut perhitungan dan ramalan para pimpinan Dalai Lama, putera pendekar Pek itu adalah Sin-tong dan dipunggungnya terdapat tanda merah. Akan tetapi di punggung anak ini tidak ada tandanya, berarti dia bukan Sin-tong dan bukan pula anak pendekar Pek."

"Pendapatmu benar, See-thian Lama, akan tetapi kita hanya tahu bahwa Lam-hai Siang-mo menculiknya dari keluarga Pek, oleh karena itu, sebelum ada keterangan lebih lanjut dari keluarga Pek, biarlah dia bernama Pek Hay. Bagaimana Hay Hay, maukah engkau memakai nama keluarga Pek? Tidak baik orang tidak memiliki nama keluarga sama sekali."

Hay Hay menarik napas panjang. Dia sendiri bingung dengan keadaannya, akan tetapi dia tidak peduli akan segala macam nama keturunan atau nama keluarga, maka dia pun hanya mengangguk saja.

"Nah, sekarang, kepada siapakah engkau hendak berguru? Kepadaku atau kepada See-thian Lama? Ingat, antara kami berdua terdapat ikatan persaudaraan dan kami tidak mungkin mau mengadu ilmu untuk memperebutkan dirimu. Kalau engkau ikut dengan aku, engkau akan menjadi murid seorang pengemis jembel yang kadang-kadang makan sisa makanan dan tidur di emper toko atau di kuil rusak, tak tentu tempat tinggalnya, tak tentu makan dan pakainya. Kalau engkau ikut dengan See-thian Lama, engkau akan hidup sebagai seorang murid pendeta dan menjadi penghuni kuil. Nah, engkau pilih yang mana?"

Anak itu memandang kepada dua orang kakek itu bergantian, menimbang-nimbang. Dia telah kehilangan segala-galanya dan kini hidupnya tergantung kepada dua orang kakek ini. Dia belum mengenal mereka dan tidak tahu pula siapa diantara mereka yang paling baik, paling pandai dan paling dapat diharapkan.

"Aku memilih... keduanya!" Dan dia pun menjatuhkan diri berlutut di depan dua orang kakek itu. "Harap Ji-wi Locianpwe sudi menerimaku sebagai murid dan aku berjanji akan mentaati segala perintah Ji-wi."

Dua orang kakek itu saling pandang dan kemudian mereka berdua pun tertawa.
"Omitohud, anak ini memang lihai sekali. Ciu-sian Sin-kai, pinceng merasa kasihan kalau melihat anak yang masih kecil ini kau ajak berkeliaran dan hidup terlantar. Biarlah selama lima tahun dia ikut bersama pinceng, kemudian setelah lima tahun, engkau boleh menjemputnya dan mengajaknya pergi. Bagaimana?"

"Ha-ha-ha, aku mengerti maksudmu, See-thian Lama. Engkau takut anak ini menjadi tersesat seperti aku, maka engkau hendak menanamkan dasar-dasar semua ilmu kepadanya, mengajarkan ilmu membaca menulis dan keagamaan. Baiklah, aku setuju saja. Nah kalau tidak ada sesuatu, lima tahun kemudian aku mengunjungimu untuk menjemput Hay Hay. Dan kau, Hay Hay, engkaulah satu diantara jutaan anak-anak di dunia ini yang paling beruntung, dapat menjadi murid See-thian Lama. Belajarlah baik-baik." Setelah berkata demikian, Ciu-sian Sin-kai berkelebat dan lenyap dari tempat itu.

Biarpun hatinya agak kecewa ditinggalkan oleh kakek jembel yang ramah dan lucu itu, karena dia sudah berjanji akan mentaati kedua orang itu, Hay Hay diam saja dan masih berlutut di depan See-thian Lama.

"Bangkitlah, Hay Hay, dan mari ikut dengan pinceng. "

Setelah berkata demikian, kakek itu tanpa menanti Hay Hay bangkit, lalu turun dari puncak bukit itu. Hay Hay cepat bangkit berdiri dan mengikuti pendeta itu dari belakang. Karena pendeta itu berjalan perlahan-lahan, maka Hay Hay dapat mengimbangi kecepatannya. Mulailah Hay Hay memasuki suatu keadaan hidup yang baru, yang sama sekali berbeda dengan keadaan hidupnya sebagai putera Siangkoan Leng di Nan-king.

Memang kehidupan ini mudah sekali berubah. Peristiwa-peristiwa yang kebetulan, yang tidak terduga-duga, dapat merubah keadaan hidup seseorang. Apa yang terjadi pada diri Hay Hay juga kebetulan saja.

Kwee Siong dan Tong Ci Ki, suami isteri dari Guha Iblis Pantai Selatan itu, selain ingin membalas dendam atas kekalahan-kekalahan mereka terhadap Siangkoan Leng, juga mempunyai niat untuk menculik Hay Hay demi keuntungan mereka sendiri. Tanpa mereka sengaja, suami isteri ini membawa Hay Hay ke puncak bukit itu, dibayangi dan diintai oleh Siangkoan Leng dan isterinya.






Akan tetapi, sungguh terjadi hal yang tidak sengaja dan kebetulan sekali bahwa di puncak bukit itu muncul Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi, dua orang datuk sesat, tokoh-tokoh Empat Setan yang sakti!

Diantara Empat Setan, memang tinggal dua orang tokoh ini yang masih hidup, dan puncak bukit itu memang merupakan tempat pertemuan antara mereka selama puluhan tahun. Kebetulan sekali, pada pagi hari itu adalah tepat merupakan pertemuan antara dua orang datuk ini. Munculnya dua orang datuk ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan Hay Hay, hanya kebetulan saja, akan tetapi telah merubah semua jalan kehidupan Hay Hay. Andaikata mereka tidak muncul dan Hay Hay dibawa pergi oleh suami isteri Guha Iblis atau mungkin terampas kembali oleh Lam-hai Siang-mo, tentu keadaan hidupnya akan menjadi berlainan sama sekali.

Di dalam peristiwa yang kebetulan itu, terjadi lagi peristiwa kebetulan lain yang menimpa dirinya, yaitu kemunculan Ciu-sian Sin-kai dan See-thian Lama. Dua orang kakek yang jarang sekali muncul di dunia ramai ini adalah dua diantara Pat-sian atau Delapan Dewa, julukan yang diberikan kepada delapan orang tokoh besar dunia persilatan.

Kemunculan mereka disitu pun hanya kebetulan saja. Ciu-sian Sin-kai dalam perantauannya sebagai seorang pengemis yang selalu memilih jalan sunyi dan tempat-tempat rawan dan gawat, jarang mau menemui orang lain. Adapun See-thian Lama, seorang tokoh besar di daerah Pegunungan Himalaya, biarpun dia penganut Agama Buddha seperti para Lama di Tibet, namun dia tidak tergabung dalam golongan Lama di Tibet, juga sedang merantau ke timur dengan dua maksud.

Pertama, untuk ikut pula menyelidiki tentang hilangnya Sin-tong yang menghebohkan para pendeta itu, dan kedua, untuk mencari murid karena dia merasa sudah tua dan ingin menurunkan ilmu-ilmunya kepada seorang murid yang baik. Dan sungguh dia memperoleh berkah, mungkin dari cara hidupnya yang bersih sehingga terjadi hal yang begitu kebetulan. Dia menemukan anak yang diributkan sebagai Sin-tong, bahkan sekaligus menemukan seorang murid yang baik.

Segala peristiwa yang terjadi di dunia ini, adalah fakta-fakta yang tak dapat diubah lagi oleh apa dan siapapun juga. Peristiwa yang terjadi adalah suatu hal yang sudah nyata, wajar, dan tidak baik maupun buruk. Yang terjadi pun terjadilah! Kitalah yang menempelkan sebutan baik atau buruk pada peristiwa yang terjadi, sesuai dengan penilaian kita yang didasari oleh kepentingan diri pribadi. Dan sekali kita menilai, sekali kita memberi sebutan baik atau buruk, maka muncullah sebutan baik buruk, kita senang kalau peristiwa itu baik (menguntungkan) dan kita kecewa kalau peristiwa itu buruk (merugikan).

Kecewa, marah, duka dan sebagainya itu berada di dalam CARA MENERIMA KENYATAAN yang berupa peristiwa itu, bukan terletak pada kenyataan itu sendiri. Dan oleh karena penilaian kita didasari kepentingan diri, maka apa yang kita anggap baik hari ini, belum tentu kita anggap baik pada keesokan harinya, dan sebaliknya. Apa yang kita tangisi hari ini, mungkin besok akan kita tertawakan, dan apa yang mendatangkan tawa hari ini kepada kita, mungkin akan mendatangkan tangis pada keesokan harinya. Semua itu tergantung dari keadaan hati kita ketika menghadapi kenyataan itu.

Kalau kita mau menghadapi segala macam peristiwa dalam hidup ini sebagai suatu kenyataan, suatu fakta yang wajar, maka kita akan menerimanya dengan hati lapang, dengan penuh kewaspadaan tanpa menilai baik buruknya. Dengan demikian, batin kita akan tetap tenang dan jernih, dan tindakan kita sebagai tanggapan terhadap peristiwa itu bukan lagi dikuasai oleh emosi, oleh nafsu, melainkan didasari kecerdasan dan akal budi yang sehat.

Dan kewaspadaanlah yang akan membuka mata kita bahwa sesungguhnya, segala peristiwa yang terjadi hanyalah suatu akibat dari suatu sebab. Sebab-sebab itu dapat berantai panjang, namun pusatnya atau sebab utama dan pertamanya, akan selalu kita dapatkan di dalam diri sendiri!

Kalau sudah begini, tidak mungkin akan ada lagi keluhan, apa pun yang terjadi menimpa diri. Jangankan hanya urusan yang tidak langsung mengenai diri, bahkan datangnya penyakit dan kematian sekalipun merupakan suatu kewajaran yang tidak dinilai sebagai baik ataupun buruk. Dan kalau sudah begini, apakah masih ada masalah dalam kehidupan? Kalau batin sudah bebas dari ikatan apapun juga, kematian pun hanya merupakan suatu kewajaran yang tidak mendatangkan perasaan was-was atau takut sama sekali.

**** 011 ****
Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar