*

*

Ads

Jumat, 29 Juni 2018

Ang Hong Cu Jilid 023

Dua bayangan yang berkelebat di luar kuil Siauw-lim-si itu bergerak amat cepatnya. Kuil itu sendiri memang berdiri ditempat yang sunyi, di luar kota Yu-shu, kurang lebih sepuluh kilometer di luar kota, di tepi Sungai Cin-sha antara Pegunungan Heng-tuan-san di Propinsi Cing-hai selatan. Kuil itu merupakan kuil kuno yang cukup besar, dengan pekarangan luas sekali dan kebun belakang kuil juga merupakan kebun yang luas, dimana para hwesio kuil itu menanam sayur-sayuran.

Ketua kuil Siauw-lim-si itu bernama Ceng Hok Hwesio, seorang pendeta yang usianya sudah lanjut, sekitar tujuh puluh tiga tahun. Hwesio tua ini memiliki tubuh yang tinggi besar, mukanya agak kehitaman, dan terkenal sebagai seorang hwesio yang berilmu tinggi dan berwatak jujur dan berdisiplin, karenanya nampak keras.

Karena kedisiplinannya, maka semua hwesio yang tinggal di kuil itupun merupakan pendeta-pendeta yang berdisiplin, dan hal ini terbukti dari adanya penjagaan yang ketat di sekeliling kuil itu dan di sudut-sudut terdapat hwesio yang berjaga, bahkan ada pula yang meronda di malam yang dingin sekali itu.

Siapakah dua bayangan yang berkelebat bagaikan dua ekor burung dengan gerakan yang luar biasa cepatnya itu? Mereka adalah seorang pemuda dan seorang gadis. Pemuda itu berusia dua puluh dua tahun, bertubuh sedang akan tetapi dadanya bidang dan tegap. Wajahnya yang bulat berkulit putih, membuat alisnya yang tebal nampak hitam sekali, matanya agak sipit dengan sinar yang terang. Sebuah wajah yang tampan dan sikapnya lembut dan tenang membayangkan kegagahan. Pakaiannya sederhana saja, rambutnya digelung ke atas dan diikat dengan pengikat rambut dari sutera biru.

Pemuda itu bernama Pek Han Siong, keturunan dari keluarga para pimpinan perkumpulan Pek-sim-pang (Perkumpulan Hati Putih) di daerah Kong-goan Propinsi Secuan. Perkumpulan ini adalah perkumpulan atau perguruan silat yang gagah perkasa.

Keluarga Pek ini turun temurun merupakan ketua dari Pek-sim-pang, bahkan pendiri Pek-sim-pang yang bernama Pek Khun adalah pendiri dari perkumpulan itu. Mendiang Pek Khun merupakan seorang ahli silat aliran Siauw-lim-pai, oleh karena itu, mudah diduga bahwa Pek-sim-pang adalah sebuah perguruan silat yang sumbernya dari ilmu silat Siauw-lim-pai.

Mendiang Pek Khun digantikan oleh puteranya yang bernama Pek Ki Bu, kemudian, putera Pek Ki Bu yang bernama Pek Kong menggantikan ayahnya menjadi ketua Pek-sim-pang. Pek Kong inilah ayah kandung dari Pek Han Siong, pemuda yang kini nampak bergerak dengan cepatnya bersama seorang gadis diluar tembok pagar kuil Siauw-lim-si di luar kota Yu-shu.

Ketika Pek Han Siong masih berada dalam kandungan ibunya yang bernama Souw Bwee, anak dalam kandungan ini sudah menimbulkan kegemparan karena ramalan dari para pendeta Lama di Tibet bahwa anak dalam kandungan itu adalah seorang Sin-tong (Anak Ajaib) yang kelak akan menjadi seorang Dalai Lama atau pemimpin agama di Tibet yang besar.

Para pendeta Lama mula-mula minta dengan horrnat dan sopan agar kelak anak yang terlahir itu diserahkan kepada rnereka untuk dididik rnenjadi calon seorang guru besar dunia. Tentu saja keluarga Pek merasa keberatan sehingga mereka menentang kehendak para pendeta Lama. Hal ini rnenimbulkan pertikaian dan permusuhan. Karena para pendeta Lama di Tibet mempunyai banyak orang sakti, maka seluruh keluarga Pek bersama para murid dan anggota Pek-sim-pang melarikan diri mengungsi menjauhi daerah Tibet dan akhirnya menetap di Kong-goan, di Propinsi Secuan.

Namun para pendeta Lama masih terus melakukan pengejaran. Untuk menghindarkan pengejaran inilah maka Pek Kong mengajak isterinya melarikan diri dan bersembunyi. Anak itu terlahir dan tepat seperti yang diramalkan para pendeta Lama di Tibet, anak itu laki-laki dan di punggungnya terdapat sebuah tanda berwarna merah.

Untuk menyelamatkan anak yang diberi nama Pek Han Siong itu, kakek buyutnya yang ketika itu masih hidup, yaitu Pek Khun, lalu membawa pergi Han Siong dari asuhan ayah ibunya. Sebagai gantinya, kakek Pek Khun kebetulan menyelamatkan seorang bayi laki-laki yang dibawa ibunya membunuh diri di lautan. Kakek itu berhasil menyelamatkan bayi itu akan tetapi ibu anak itu tewas, dan menyerahkan bayi itu kepada cucunya, Pek Kong dan isterinya menjadi pengganti Han Siong!

Pek Han Siong dilarikan kakek buyutnya dan setelah merawatnya selama tujuh tahun, akhirnya dia membawa cucu buyutnya itu ke kuil Siauw-lim-si di dekat Yu-shu itu, menitipkannya kepada Ceng Hok Hwesio ketua kuil itu yang masih terhitung murid keponakannya sendiri.

Pek Han Siong hidup di dalam kuil itu dan secara kebetulan sekali dia bertemu dengan sepasang suami isteri yang sakti, yang melakukan pertapaan atau menerima hukuman atas dosa mereka telah melakukan perjinahan atau menikah secara tidak sah.

Hukuman itu adalah hukuman kurung selama dua puluh tahun! Akan tetapi, karena mereka itu sakti, setiap saat kalau mereka kehendaki, mereka dapat saling bertemu tanpa ada seorangpun yang mengetahuinya atau mampu mencegah mereka. Dua orang sakti yang menjadi suami isteri itu bernama Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu, keduanya merupakan keturunan dari datuk-datuk sesat yang pernah menggemparkan dunia persilatan puluhan tahun yang lalu.






Di bawah bimbingan suhu dan subonya yang sakti. Pek Han Siong memperoleh kepandaian yang hebat bukan main. Ilmu-ilmu silat tinggi telah dikuasainya, dan diapun menerima pedang pusaka Kwan-im Po-kiam dari kedua orang gurunya. Bukan hanya itu, akan tetapi kedua orang gurunya itu menjodohkan murid tunggal mereka itu dengan puteri mereka yang lenyap diculik orang ketika masih kecil!

Hubungan kedua orang sakti ini menghasilkan seorang anak perempuan yang diberi nama Siangkoan Bi Lian! Maka, murid yang kini telah menjadi seorang pemuda yang tangguh itu diberi tugas untuk mencari puteri mereka sampai dapat, dan mengajaknya ke kuil Siauw-lim-si untuk menghadap mereka.

Puteri mereka itu, Siangkoan Bi Lian, sejak masih bayi mereka titipkan kepada sebuah keluarga Cu di dusun yang berada di kaki gunung, tak jauh dari kuil itu. Akan tetapi dua orang suami isteri sakti itu tidak memperkenalkan diri sebagai ayah ibu kepada Bi Lian, melainkan kadang-kadang mereka datang berkunjung sebagai guru karena mereka mulai mendidik Bi Lian dengan dasar-dasar ilmu silat.

Pada suatu hari, ketika Bi Lian berusia enam tahun, di dusun itu terjadi keributan. Pertempuran hebat antara datuk-datuk sesat membuat dusun menjadi geger, banyak orang dusun tewas, termasuk keluarga Cu yang dititipi Bi Lian. Akan tetapi Bi Lian lenyap dan Siangkoan Ci Kang bersama Toan Hui Cu tidak berhasil menemukan anak mereka yang lenyap tanpa bekas itu.

Demikianlah, setelah Han Siong tamat belajar dari mereka, Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu bersepakat untuk menarik pemuda murid mereka ini menjadi calon mantu mereka, dan memberi tugas kepada Han Siong untuk mencari puteri mereka yang hilang itu sampai dapat dan mengajaknya menghadap mereka di kuil Siauw-lim-si.

Pada waktu itu, Han Siong berusia dua puluh tahun dan sudah belasan tahun Bi Lian lenyap dari dusun. Oleh karena itu, tentu saja bukan merupakan tugas yang ringan bagi Han Siong untuk dapat menemukan gadis itu karena tidak ada sedikitpun petunjuk kemana perginya gadis itu dan siapa pula yang membawanya pergi.

Dua tahun lamanya Han Siong merantau, mengalami banyak sekali peristiwa yang hebat dan menarik dan dalam perantauannya inilah secara kebetulan sekali dia bertemu dengan Bi Lian yang masih mempergunakan nama keluarga Cu! Semua pengalaman Han Siong semenjak lahir sampai pertemuannya dengan Cu Bi Lian diceritakan dalam kisah Pendekar Mata Keranjang bagian pertama.

Kini, tiba-tiba saja dia muncul kembali, bersama seorang gadis. Gadis itu berusia kurang lebih dua puluh tahun, raut wajahnya manis sekali. Tubuh gadis itu ramping, kulitnya putih mulus, rambutnya yang hitam panjang digelung keatas, dihias tusuk konde perak. Sepasang matanya tajam bersinar-sinar, hidungnya mancung dan kecil, mulutnya berbentuk menggairahkan dengan bibir yang selalu merah membasah, mukanya berbentuk bulat telur dan terdapat sebuah tahi lalat di dagunya.

Siapakah gadis manis ini? Ia bukan lain adalah Cu Bi Lian, atau yang sebetulnya she Siangkoan! Ia berhasil ditemukan Han Siong dan diajak berkunjung ke kuil itu, berkunjung kepada suami isteri sakti yang dikenalnya sebagai gurunya di waktu ia masih kecil, sama sekali ia tidak pernah mimpi bahwa kedua orang gurunya itu sebetulnya adalah ayah dan ibu kandungnya sendiri!

Apa yang telah terjadi kepada diri gadis ini ketika ia berusia enam tahun di dusun itu? Ternyata ia telah terjatuh ke dalam tangan dua orang datuk sesat yang pada waktu itu amat ditakuti di dunia kang-ouw, yaitu yang berjuluk Pak-kwi-ong (Raja Setan Utara) dan Tung-hek-kwi (Setan Hitam Timur), dua diantara Empat Setan yang namanya menggetarkan kolong langit karena kelihaian mereka dan juga tindakan mereka yang aneh-aneh, kadang-kadang tanpa mengenal perikemanusiaan sama sekali.

Dua orang datuk sesat inilah yang mengamuk di dusun itu, membunuh banyak tokoh kang-ouw dan banyak orang dusun termasuk keluarga Cu yang oleh Bi Lian dianggap sebagai keluarganya yang sesungguhnya.

Bi Lian menarik perhatian dua orang datuk sesat itu dan iapun diambil sebagai murid. Dua orang datuk itu mewariskan seluruh ilmu-ilmunya yang hebat kepada gadis ini dan Bi Lian menjadi seorang gadis dewasa yang selain tinggi ilmu silatnya, juga berwatak aneh, berani, galak, dan tidak mengenal ampun kepada musuh-musuhnya. Karena itu, di dunia kang-ouw namanya segera menonjol dan ia dijuluki Thiat-sim Sian-li (Dewi Berhati Besi) saking keras wataknya.

Di dalam kisah Mata Keranjang bagian pertama diceritakan tentang pengalaman gadis yang lihai ini sampai akhirnya kehilangan kedua gurunya yang tewas saling bunuh dalam perkelahian karena berbeda pendapat mengenai diri murid mereka yang tersayang itu. Yang seorang ingin menjodohkan Bi Lian dengan seorang tokoh pemberontak, akan tetapi Bi Lian tidak mau dan guru ke dua membelanya. Akhirnya keduanya tewas setelah mereka saling serang dengan hebatnya.

Bi Lian merasa sakit hati terhadap para pemberontak itu dan dalam usaha menentang para pemberontak inilah ia bertemu dengan Pek Han Siong, bekerja sama menghancurkan pemberontak bersama pendekar lainnya, dan berkenalan.

Pek Han Siong segera dapat menduga bahwa inilah puteri dari kedua orang gurunya, gadis yang telah dijodohkan dengan dia! Dia lalu memperkenalkan diri sebagai murid dari Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu yang oleh Bi Lian dianggap sebagai dua orang gurunya ketika ia masih kecil sehingga merekapun seakan-akan masih terhitung suheng dan sumoi!

Dan setelah pemberontak itu dapat ditindas, Han Siong berhasil mengajak Bi Lian untuk berkunjung ke kuil Siauw-lim-si diluar kota Yu-shu itu untuk menghadap suhu dan subonya itu.

Demikianlah, pada malam hari itu, dua bayangan itu berkelebat dengan amat cepatnya dan kini mereka berdiri di luar pagar tembok kuil Siauw-lim-si.

"Suheng, hari sudah malam begini, apakah baik untuk mengunjungi suhu dan subo?" tanya Bi Lian ketika mereka berhenti di luar pagar tembok kuil Siauw-lim-si.

"Kita lihat saja nanti, kalau suhu dan subo bersedia menerima kita malam ini juga, kita langsung menghadap, kalau andaikata mereka tidur, kita akan menanti di dalam kuil untuk menghadap besok pagi."

"Akan tetapi, mengapa kita harus masuk lewat pagar tembok? Bukankah lebih baik masuk melalui pintu gerbang dan mengetuknya kalau sudah ditutup, suheng?"

"Ah, aku belum bercerita padamu, sumoi. Suhu dan subo adalah orang-orang…… hukuman yang berada dalam kurungan di kuil ini."

"Ahhh …….?" Gadis itu terrcengang, "Orang hukuman? Bagaimana…..? Apa kesalahan mereka? Dan bagaimana pula mereka dahulu dapat mengunjungi aku dan melatih ilmu silat?"

"Sumoi, sebaiknya kalau hal itu engkau dengar sendiri dari suhu dan subo karena aku….. aku tidak berhak untuk menceritakannya. Marilah, aku sudah dua tahun meninggalkan mereka dan aku sudah rindu sekali untuk bertemu dengan mereka."

Berkata demikian, Han Siong lalu menggerakkan kedua kakinya, tubuhnya meloncat ke atas pagar tembok, diikuti oleh Bi Lian yang gerakannya lebih lincah lagi. Memang ia seorang gadis yang lincah sekali, sebaliknya Han Siong pendiam dan tenang, padahal kalau diadakan perbandingan dalam hal ginkang (ilmu meringankan tubuh) tentu saja Han Siong yang menerima gemblengan dari subonya seorang ahli ginkang yang hebat, jauh lebih pandai daripada Bi Lian.

Gerakan mereka sedemikian cepatnya sehingga walaupun pagar tembok itu terjaga oleh para hwesio, tidak ada seorangpun diantara para penjaga itu melihat berkelebatnya dua bayangan yang memasuki kuil lewat pagar tembok belakang.

Han Siong yang bertahun-tahun tinggal di kuil itu tentu saja sudah hafal sekali akan keadaan di dalam kuil. Dia menjadi penunjuk jalan berada di depan, dan Bi Lian mengikuti di belakangnya. Dengan mudah saja Han Siong mengambil jalan yang tersembunyi sehingga tidak pernah kepergok oleh seorangpun hwesio dan mereka kini tiba di luar sebuah kamar yang tertutup jendela dan daun pintunya. Inilah kamar kurungan dimana biasanya subonya berada, tempat hukuman bagi subonya!

Dengan hati-hati Han Siong mengetuk daun pintu kamar itu, kemudian daun jendela, namun tidak ada jawaban dari dalam. Ketika dia mengintai, kamar itu gelap dan sunyi. Bahkan ketika dia menempelkan telinganya pada papan daun jendela, dia tidak mendengar bunyi pernapasan manusia di dalamnya. Kamar itu kosong!

"Bagaimana, suheng?" tanya Bi Lian yang mengikuti gerak-gerik pemuda itu.

“Ini kamar subo, akan tetapi kamar ini sekarang kosong. Jangan-jangan subo sedang keluar. Mari kita ke kamar tahanan suhu saja.”

Ang Hong Cu







Tidak ada komentar:

Posting Komentar