*

*

Ads

Rabu, 27 Juni 2018

Ang Hong Cu Jilid 013

Petualangan para tokoh sesat di dunia kang-ouw yang dipimpin oleh mendiang Lam-hai Giam-lo, melakukan pemberontakan, melibatkan banyak sekali tokoh sesat. Karena itu, para pendekarpun turun tangan membantu pemerintah sehingga pemberontakan itu dapat dihancurkan sebelum menjadi-jadi.

Banyak sekali tokoh sesat yang tewas dalam pertempuran bebas antara para pemberontak dan pasukan pemerintah, dan antara tokoh-tokoh sesat dan para pendekar.

Lam-hai Giam-lo sendiri, yang menjadi pemimpin bersama Kulana, seorang bangsawan dan pelarian Birma yang sakti, tewas dalam pertempuran itu. Hampir semua tokoh sesat yang membantu gerombolan pemberontak itu tewas, kecuali beberapa orang saja.

Diantara para tokoh pimpinan, semua tewas kecuali dua orang yang termasuk pimpinan penting. Yang seorang adalah Sim Ki Liong, seorang pemuda berusia sekitar duapuluh dua tahun yang amat lihai karena dia ini adalah murid dari Pendekar Sadis dan isterinya di Pulau Teratai Merah. Murid ini sebenarnya adalah putera bekas musuh yang menyelundup dan berhasil menjadi murid Pendekar Sadis, dan setelah dia pandai, dia minggat, kemudian bergabung dengan para pemberontak. Nyaris dia tewas pula kalau tidak cepat melarikan diri!

Adapun tokoh kedua yang bernama Ji Sun Bi, seorang wanita cantik jelita berusia tigapuluh tahun, seorang wanita cabul berkepandaian tinggi dan berjuluk Tok-sim Mo-li (Iblis Betina Berhati Racun), ketika bertempur sebagai tokoh sesat yang membantu pemberontakan, terjatuh ke dalam jurang dan tidak ada yang tahu bagaimana nasibnya, namun melihat betapa jurang itu amat curam, semua orang mengira bahwa tentu iblis betina inipun telah tewas pula.

Di dalam pertempuran yang mati-matian itu, di pihak para pendekar banyak pula yang roboh dan tewas. Akan tetapi para pendekar yang terpenting, keluar dengan selamat. Diantara para pendekar yang kemudian kembali ke tempat tinggal masing-masing adalah Cia Kui Hong.

Ia seorang gadis yang kini usianya sudah sembilan belas tahun. Wajahnya manis sekali, dengan mulut yang penuh gairah, hidungnya kecil mancung dan ujungnya, yaitu cupingnya dapat bergerak-gerak lucu, matanya tajam berkilat, kadang-kadang lembut dan jenaka. Sikapnya selalu manis dan jenaka, namun berandalan dan gagah perkasa. Muka yang bulat telur dengan dagu runcing itu memang manis. Sepasang pedang yang tergantung dipunggungnya mendatangkan kesan gagah berwibawa.

Ia bukan seorang gadis biasa, walaupun manis sekali menggetarkan jantung setiap pria yang memandangnya. Ia adalah puteri ketua Cin-ling-pai. Ini saja sudah dapat menjadi bahan perkiraan bahwa tentu ia telah memiliki ilmu silat yang amat hebat, warisan dari ayah ibunya. Lebih hebat lagi, ibunya adalah puteri Pendekar Sadis dari Pulau Teratai Merah! Dan gadis inipun selain mewarisi ilmu dari ibunya, juga pernah digembleng oleh kakek dan neneknya, sepasang suami isteri sakti di Pulau Teratai Merah. Maka, dapat dibayangkan betapa lihainya Cia Kui Hong, gadis manis itu!

Ketika terjadi pertempuran antara para tokoh sesat yang membantu pemberontakan dan para pendekar yang membantu pemerintah, Cia Kui Hong juga ikut berperang, bahkan ia merupakan seorang diantara tokoh-tokoh penting. Setelah pertemuan selesai, gadis inipun berpisah dari para pendekar lainnya dan ia langsung pulang ke Cin-ling-pai, yaitu perkumpulan yang diketuai ayahnya di Pegunungan Cing-lin-san.

Cin-ling-pai merupakan sebuah diantara perkumpulan-perkumpulan atau perguruan silat yang besar pada waktu itu. Banyak pendekar besar gagah perkasa dan budiman datang dari Cin-ling-pai, sebagai murid perguruan ini. Perguruan ini amat terkenal karena memang murid-muridnya pilihan, dan perkumpulan itu memegang teguh peraturan, berdisiplin dan keras terhadap murid-muridnya sehingga sudah terkenal di dunia persilatan bahwa Cin-ling-pai adalah tempat orang-orang gagah.

Ketika Kui Hong meninggalkan Cin-ling-pai untuk membantu pemerintah membasmi pemberontak, terjadilah hal-hal yang hebat dalam keluarga ayahnya.

Ayahnya, Cia Hui Song yang menjadi ketua Cin-ling-pai, hanya mempunyai seorang anak saja, yaitu ia seorang. Hal ini membuat kakeknya, yaitu Cia Kui Liang merasa tidak puas. Kakek ini menginginkan seorang cucu laki-laki, seorang keturunan yang akan melanjutkan silsilah keluarga Cia. Karena itu, dia memaksa puteranya untuk menikah lagi agar dapat memperoleh keturunan laki-laki.

Hal ini menimbulkan masalah besar dalam keluarga Cia. Istri ketua itu, Ceng Sui Cin, ibu Kui Hong, adalah seorang wanita yang keras hati, puteri pendekar sadis ini sama sekali tidak setuju dan menantang kehendak ayah mertuanya itu, Hui Song yang menjadi bingung, berada di tengah antara ayahnya dan istrinya. Dia tidak mampu menolak kemauan ayahnya, maka terpaksa dia menikah lagi dengan seorang wanita muda bernama Siok Bi Nio yang usianya hanya tiga tahun lebih tua dari Kui Hong puterinya!

Hal ini membuat isterinya marah. Ceng Sui Cin mengajak puterinya meninggalkan Cin-ling-pai dan pulang ke pulau Teratai Merah. Dimana Kui Hong di gembleng oleh kakek dan neneknya.

Pernikahan antara Cia Hui Song dan isterinya yang muda itu benar saja telah menghasilkan seorang anak laki-laki yang di beri nama Cia Kui Bu. Setelah Kui Bu berusia dua tahun, Hui Song yang merasa rindu kepada isterinya yang pertama dan merasa berdosa, memberanikan diri pergi menghadap mertuanya dan isterinya di Pulau teratai Merah. Dia mengaku bersalah dan membujuk isterinya agar suka kembali ke Cin-ling-pai.






Akan tetapi isterinya mengajukan syarat, bahwa kalau ia kembali ke Cin-ling-pai, maka Siok Bi Nio harus di bunuh, dan ia mau memelihara Cia Kui Bu sebagai anak sendiri. Memang keras sekali hati puteri tunggal pendekar sadis itu. Hui Song menyerahkan keputusanya kepada isterinya yang pertama dan merekapun pergi ke Cin-ling-pai.

Setelah tiba di situ, Siok Bi Nio maklum akan isi hati suaminya dan juga madunya. Wanita ini telah terlanjur mencinta suaminya dan mau melakukan apa saja demi kebahagiaan suaminya. Hui Song menceritakan secara terus terang kepada Bi Nio tentang kehendak Sui Cin, dan Sui Cinpun bukan seorang yang jahat dan kejam. Ia menghendaki agar Bi Nio pergi, dan ia akan merawat Kui Bu seperti anaknya sendiri.

Hancur rasa hati Bi Nio disuruh berpisah dari puteranya. Tentu saja ia tidak mau, dan ia lalu memondong puteranya untuk dibawa pergi dari situ. Pada saat itu, Cia Kong Liang, ayah Hui Hong merampas cucunya dari tangan ibunya, melarang Bi Nio membawa pergi Kui Bu.

Bi Nio yang merasa terdesak dan terhimpit, hanya melihat satu jalan untuk mengatasi semua masalah itu. Ia ingin melihat suaminya berbahagia, akan tetapi iapun tidak mungkin dapat hidup berpisah dari puteranya. Maka, diluar dugaan semua orang, Bi Nio membunuh diri!

Peristiwa ini menghancurkan hati keluarga itu. Semua merasa berdosa terhadap Bi Nio, Cia Kong Liang lalu mengurung diri di dalam kamar samadhi dan tidak mau lagi mencampuri urusan dunia, seolah-olah hendak menghukum dirinya dan hendak menghabiskan waktunya untuk minta ampun kepada Tuhan.

Cia Hui Song yang merasa berdosa terhadap isteri mudanya, dan menyadari betapa besar cinta kasih Bi Nio kepadanya, juga lalu membuat pondok kecil di dekat makam Bi Nio dan menjaga makam itu sambil bertapa!

Tinggal Sui Cin yang juga merasa menyesal dan untuk menebus perasaan bersalah, ia merawat Kui Bu dengan penuh kasih sayang, seperti merawat puteranya sendiri. Cin-ling-pai menjadi pincang para murid menjadi bingung karena mereka seolah-olah kehilangan pimpinan, kehilangan guru dan ketua. Ketua lama, Cia Kui Liang, mengurung diri dalam kamar dan tidak mau mencampuri segala urusan. Ketua baru, Cia Hui Song, juga acuh dan tak pernah mau meninggalkan makam isteri mudanya!

Masih untung bahwa Ceng Sui Cin cukup berwibawa dan lihai sehingga para murid dan anggauta Cin-ling-pai masih segan kepadanya dan mereka itu masih dapat dikendalikan oleh nyonya ketua itu.

Dalam keadaan seperti itu Cin-ling-pai menyambut pulangnya Cia Kui Hong yang baru saja datang dari petualangannya membantu pemerintah membasmi gerombolan pemberontak! Dapat dibayangkan betapa kagetnya Kui Hong, apalagi ketika ibunya menyambutnya dengan rangkulan dan ibunya menangis tersedu-sedu tanpa mengeluarkan sepatahpun kata!

Ia sama sekali tidak pernah menduga bahwa ia akan bertemu ibunya di Cin-ling-pai. Ketika ia pergi, ibunya masih ada di Pulau Teratai Merah, tempat tinggal kakek dan neneknya. Ia tidak tahu bahwa ayahnya telah berkunjung ke pulau itu dan berhasil membujuk Ceng Sui Cin, ibunya, pulang ke Cin-ling-pai. Hal ini tentu saja akan menggirangkan hatinya, kalau tidak melihat ibunya menyambutnya dengan rangkulan dan tangisan.

Padahal, ia mengenal betul siapa ibunya, seorang wanita yang keras hati, tabah dan biasanya pantang memperlihatkan kedukaan hatinya, bahkan hampir tidak pernah ia melihat ibunya menangis. Seorang pendekar wanita sejati! Dan kini, ibunya menyambutnya dengan rangkulan dan menangis tersedu-sedu di atas pundaknya.

“Ibu….. ibu……, ada apakah? Kenapa ibu menangis? Dimana ayah dan …… kong-kong……?”

Ia tentu saja menduga hal-hal yang buruk mungkin menimpa diri ayahnya atau kakeknya.

Ceng Sui Cin tidak lama menangis. Ia segera dapat menguasai dirinya dan kini ibu dan anak itu saling pandang. Kui Hong melihat bahwa terjadi perubahan pada ibunya. Kini ibunya agak kurus dan matanya sayu. Sebaliknya, Sui Cin gembira melihat keadaan puterinya, yang bukan saja pulang dalam keadaan selamat, akan tetapi juga nampak sehat dan gagah perkasa, semakin cantik pula.

“Mari kita bicara di dalam,” kata ibu ini sambil menggandeng tangan puterinya.

Mereka masuk ke dalam dan kembali Kui Hong merasa heran karena rumah itu kelihatan sunyi sekali. Hanya beberapa orang pelayan yang menyambutnya dengan pemberian hormat. Tidak nampak isteri muda ayahnya. Tidak nampak pula murid Cin-ling-pai. Ketika tadi ia memasuki pintu gerbang Cin-ling-pai, ia sudah melihat perubahan yang mencurigakan. Para murid nampaknya bermalas-malasan menyambutnya, padahal mereka sudah tahu akan kedatangannya dan dahulu, Kui Hong amat disayang oleh para murid Cin-ling-pai. Kini mereka hanya menyambutnya dengan sikap dingin saja, dan hanya beberapa orang yang nampak gembira.

Ketika Sui Cin mengajak Kui Hong masuk ke dalam kamar, gadis ini melihat seorang anak laki-laki berusia kurang lebih tiga tahun sedang diajak bermain-main oleh seorang pengasuh. Ketika melihat Sui Cin, anak itu lalu merentangkan kedua lengannya dan memanggil dengan suara nyaring,

“Ibuuu…….! Ibu…….!”

Sui Cin mengangkat anak itu, menciuminya beberapa kali lalu menyerahkannya kepada pelayan pengasuh, menyuruh pelayan membawa anak itu bermain-main di luar.

Diam-diam Kui Hong merasa heran bukan main. Tidak mungkin ibunya mempunyai lagi anak sebesar itu karena kepergiannyapun paling lama setahun, sedangkan anak itu sudah berusia tiga tahun!

“Ibu, siapakah anak itu? Apakah yang telah terjadi? Mana ayah dan kong-kong?” tanya Kui Hong tak sabar lagi setelah pengasuh itu pergi bersama anak asuhannya.

Kini nyonya itu sudah tenang kembali. Ia menghela napas beberapa kali, lalu berkata,
“Duduklah dengan tenang, anakku, dan dengarkan ceritaku.”

Mereka duduk berdampingan di atas pembaringan dan berceritalah Ceng Sui Cin kepada puterinya tentang segala hal yang telah terjadi. Betapa ayah gadis itu, Cia Hui Song, berkunjung ke Pulau Teratai Merah dan membujuk ia untuk kembali ke Cin-ling-pai. Betapa kemudian di Cin-ling-pai, Siok Bi Nio membunuh diri karena tidak ingin berpisah dalam keadaan hidup dari puteranya.

“Aku merasa berdosa, Hong-ji. Kasihan Bi Nio. Setelah ia tewas, baru aku menyadari betapa besar cintanya terhadap ayahmu. Ia tidak bersalah, ia tidak sengaja merampas ayahmu dariku, melainkan ia juga menjadi korban keadaan, dan ia amat mencinta ayahmu, mungkin lebih besar daripada cintaku. Aku masih mementingkan diri dalam cintaku, akan tetapi ia….. ah, rela mengorbankan nyawanya demi kebahagiaan ayahmu. Aku sungguh menyesal sekali, dan untuk menebus kesalahanku itu, aku berjanji akan merawat dan mendidik puteranya, Cia Kui Bu, anak yang kau lihat tadi.”

“Ahhh…..!”

Kui Hong yang sejak tadi mendengarkan, termangu-mangu. Sungguh hebat apa yang terjadi menimpa keluarga orang tuanya!

“Ayahmu juga tidak bersalah. Dia ingin berbakti kepada orang tuanya, dan buktinya, setelah dia menikah lagi dengan Bi Nio, keluarga Cia memperoleh seorang keturunan laki-laki. Juga kong-kongmu tidak bersalah. Wajarlah kalau dia menjadi cemas melihat betapa kami, ayah ibumu tidak mempunyai keturunan laki-laki dan dia berusaha agar puteranya suka menikah lagi hanya agar memperoleh keturunan yang akan melanjutkan silsilah keluarga Cia. Tidak ada yang bersalah, semua menjadi korban keadaan. Kesalahan kami adalah ketika mendesak dan menyudutkan Bi Nio sehingga ia membunuh diri….” Ceng Sui Cin termenung, wajahnya muram.

“Sudahlah, ibu. Segalanya telah terjadi, tidak ada gunanya disesalkan lagi. Lalu, dimana ayah sekarang?”

Ceng Sui Cin mengerutkan alisnya.
“Diapun dihantui penyesalan seperti aku, dan semenjak kematian Bi Nio, dia jarang sekali disini, lebih banyak dia berdiam di pondok yang dibangunnya di dekat makam Bi Nio, di bukit belakang itu.”

Ang Hong Cu







Tidak ada komentar:

Posting Komentar