*

*

Ads

Selasa, 26 Juni 2018

Ang Hong Cu Jilid 008

“Kau tahu, Kim Bwe, Lai-jung-cu itu masih terhitung saudara misanku. Ketika kuceritakan bahwa engkau kini tinggal bertetangga dengan aku, dan seringkali datang berkunjung, dia kegirangan bukan main dan bertanya banyak sekali tentang dirimu. Nampaknya dia rindu sekali kepadamu, Kim Bwe.”

Kim Bwe mengerutkan alisnya dan mukanya berubah merah.
“Ah, kenapa begitu? Dia tidak mempunyai hubungan dengan aku.”

“Aihhh! Benarkah engkau tidak tahu, Kim Bwe? Sejak dahulu, lurahmu itu tergila-gila kepadamu dan dia amat mencintaimu, Kim Bwe. Mencintai setengah mati dan dia mau mengorbankan apapun asal dapat bertemu denganmu!”
“Ah, Bibi Ciok.....!” Kim Bwe menjerit kecil dan pura-pura marah. “Aku tidak mau mendengarkan orbrolanmu ini, dan biarlah aku pulang saja!”

Iapun memperlihatkan sikap marah dan bilang hendak pulang, akan tetapi tidak beranjak dari kursinya!

Bibi Ciok yang berpengalaman itu lalu menubruk dan merangkulnya.
“Maafkan aku, anak baik. Bukan maksud untuk membikin kau kikuk dan tidak enak hati. Aku hanya berkata yang sesungguhnya saja. Dan dia, lurah itu, juga tidak bermaksud menghinamu. Dia amat menghormatimu, menghargaimu seperti seorang bidadari dari langit!”

Demikianlah, sedikit demi sedikit, sang laba-laba mulai memancing dan memasang umpan pada perangkapnya untuk menjebak lalat itu! Dengan rayuannya, Bibi Ciok akhirnya berhasil membujuk Kim Bwe untuk berwajah cerah lagi, bahkan mendengarkan wanita tua itu mengobrol dan memuji-muji lurah Lai itu tidak begitu tua dan masih amat kuat, bahkan terkenal dikalangan para wanita sebagai seorang pencinta dan perayu besar yang amat menyenangkan hati wanita.

Selain itu, royal pula dengan hadiahnya sehingga banyaklah wanita-wanita muda, baik masih perawan, janda maupun yang masih bersuami, bermimpi untuk dapat dipilih lurah itu menjadi kekasihnya!

Dijejali pujian-pujian atas diri lurah itu, ketika pulang, malam itu Kim Bwe tak dapat tidur. Ia membayangkan wajah Lurah Lai yang selamanya belum pernah diingatnya!

Dan beberapa hari kemudian, sesuai dengan siasat yang sudah diatur oleh Bibi Ciok, selagi Kim Bwe pagi-pagi sudah datang berkunjung muncullah Lurah Lai! Dari luar, lurah itu sudah berteriak-teriak memanggil Bibi Ciok yang berpura-pura kaget. Tentu saja seketika Kim Bwe menjadi merah mukanya dan iapun bangkit untuk pergi dari situ. Akan tetapi Bibi Ciok cepat mencegahnya.

”Aih, Kim Bwe, hal ini hanya terjadi kebetulan saja. Engkau tamuku, dan dia datang bertamu, apa salahnya? Kalau engkau pergi, berarti menghinanya dan juga membuat aku merasa tidak enak sekali. Duduklah, dan tinggallah sebentar saja!” Kim Bwe terpaksa duduk kembali.

Muncullah lurah itu dengan pakaian mewah dan rambutnya tersisir rapi! Dan kedua tangannya membawa beberapa gulung kain sutera beraneka warna, indah sekali.

“Bibi Ciok, aku datang membawa hadiah untukmu!” katanya pura-pura tidak melihat Kim Bwe yang duduk di sudut.

Bibi Ciok menyambut dengan girang bukan main. Ia menerima gulungan-gulungan sutera itu dan memuji-mujinya. Pada saat itu, agaknya baru lurah itu melihat Kim Bwe dan ia berseru kaget.

“Aih, Bibi Ciok......! Siapa...... siapa..... ah, apakah ada seorang dewi dari langit yang turun......?”

Bibi Ciok tertawa genit.
“Ihh, masa Jung-cu lupa? Ia adalah Kim Bwe!”

“Ya Tuhan….. !” Lurah itu berseru dan matanya terbelalak, memandang kagum sekali. “Tiada ubahnya seorang bidadari…. ah, maaf, sungguh aku tidak mengenalmu lagi nona Kim Bwe…. eh, sekarang nyonya ya, maafkan aku.”

Kim Bwe sejak tadi menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali seperti udang direbus, akan tetapi membuat mukanya menjadi semakin cantik, mulutnya menyungging senyum dan matanya melirik dari bawah.

“Ah, Jung-cu terlalu memuji….. Bibi, aku pamit pulang saja…..”

“Nanti…… dulu……. duduklah sebentar…..!” kata Bibi Ciok yang segera pergi kebelakang pura-pura hendak mengambil minuman.






“Benar, nyonya, bukankah kita sudah saling mengenal sejak dahulu. Ah, kebetulan sekali hari ini hari baik, aku menerima banyak keuntungan dari kota raja, dari penjualan rempah-rempah dan aku sedang suka sekali memberi hadiah. Bibi Ciok kuhadiahi kain-kain sutera, dan akupun ingin memberikan hadiah kepadamu. Nah, apa ya? Tidak ada yang cukup berharga untukmu. Biar kuambilkan dari rumah, kupilih yang paling berharga. Akan tetapi, sementara ini, terimalah sedikit barang ini…..”

Dia mengeluarkan sebuah kotak kecil dari saku bajunya, membuka kotak kecil itu dan menyerahkannya kepada Kim Bwe.

Dari sudut matanya, Kim Bwe melihat kotak kecil terbuka itu dan mukanya berubah pucat lalu merah kembali. Kotak itu berisi perhiasan dari emas permata yang membuat jantungnya berdebar tidak karuan! Belum pernah ia melihat perhiasan seindah itu, apalagi memakainya! Ia tidak berani menerima dan hanya menundukkan mukanya.

Pada saat itu, Bibi Ciok keluar membawa seguci arak dan melihat lurah itu meletakkan sebuah kotak terbuka berisi perhiasan diatas meja di depan Kim Bwe, ia mengeluarkan seruan kagum.

“Aihh …..! Perhiasan yang begini indahnya! Kim Bwe, engkau boleh menerima pemberian itu. Ah, cobalah betapa pantasnya engkau memakai perhiasan ini!”

Dan setengah memaksa nenek itu mengenakan gelang dan cincin di tangan Kim Bwe yang membiarkannya saja sambil menundukkan mukanya. Ketika Bibi Ciok hendak memasangkan hiasan rambut dan kalung, lurah itu menghampiri dan berkata,

“Biarlah aku yang membantu memakaikannya!”

Antara lurah itu dan Bibi Ciok lalu terjadi permainan mata. Seperti telah mereka rencanakan, melihat betapa Kim Bwe mandah saja, hal itu berarti bahwa umpan dan pancingan mereka mengena. Bibi Ciok tersenyum, mengangguk dan iapun keluar dari rumahnya sendiri, untuk berjaga diluar!

Lurah Lai lalu mengambil hiasan rambut dan mengenakan hiasan itu dirambut kepala Kim Bwe. Wanita ini menggerakkan kepala seperti hendak mencegah, dan ia kelihatan gugup melihat betapa pintu depan ditutup dari luar oleh Bibi Ciok. Akan tetapi Lurah Lai berseru,

“Aih, betapa indahnya rambutmu! Betapa hitam, halus, panjang, dan harum pula. Dan cocok sekali memakai hiasan rambut. Dan ini kalungnya, biarlah kupakaikan…..”

Dan diapun mengenakan kalung itu dileher Kim Bwe, menyetuh kulit leher, membelainya dan di lain saat, lurah itu telah merangkul leher Kim Bwe, menciumi leher itu lalu kemuka dan memondong Kim Bwe memasuki kamar Bibi Ciok!

Kim Bwe hampir pingsan karena malu dan jantungnya berdebar tegang, namun ia tidak berani berteriak karena malu, dan juga pemberian itu telah melunakkan hatinya dan iapun mandah saja ketika Lurah Lai menyatakan cinta dan kagum dengan perbuatan.

Demikianlah, betapa berbahayanya menjadi seorang wanita kalau menghadapi rayuan pria. Pria yang sudah tergila-gila kepada seorang wanita akan mempergunakan segala daya upaya untuk menjatuhkannya! Dia tahu saja apa yang menjadi kelemahan hati seorang wanita! Dan kelemahan itu yang disinggungnya sehingga si wanita akan jatuh dan taluk!

Ketika perbuatan hina itu dilakukan oleh kedua orang dalam kamarnya, Bibi Ciok duduk diluar, tersenyum-senyum menghitung-hitung keuntungan yang akan dapat diperolehnya dari perjinaan antara dua orang yang sudah lupa diri itu!

Tidak ada kesenangan yang tidak diulang oleh manusia yang lemah ini. Setiap pengalaman yang menyenangkan, akan dicatat dalam ingatan dan kita selalu mendambakan pengulangannya. Demikian pula dengan Lurah Lai dan Lui Kim Bwe. Keduanya memperoleh kesenangan dari perjinaan itu, bukan hanya kesenangan karena terlampiasnya nafsu jalang, melainkan juga karena Kim Bwe menerima hadiah yang banyak.

Hadiah-hadiah itu tentu saja tidak dibawa pulang oleh Kim Bwe, melainkan dititipkan kepada Bibi Ciok dan hanya dipakai kalau ia berkunjung ke rumah wanita itu.

Namun, sepandai-pandainya orang menyimpan bangkai, bau busuknya akan tercium juga, sepandai-pandainya orang menyembunyikan api, asapnya akan mengepul juga. Demikian pula dengan hubungan gelap antara Lui Kim Bwe dan Lurah Lai. Mulailah menjadi pergunjingan para tetangga ketika tanpa disengaja, seorang anak kecil yang kebetulan bermain-main di dekat rumah Bibi Ciok melihat kedua orang tamu itu, dan pada hari-hari berikutnya, anak itu sering melihat mereka. Hal ini diceritakan diluar dan ramailah penduduk mulai membicarakan hal-hal yang mencurigakan ini.

Akhirnya, berita itu sampai pula ketelinga Tang Bun An! Mula-mula, Bun An tidak percaya. Isterinya demikian lembut, nampak demikian sayang kepadanya, menyambutnya dengan mesra dan manis kalau dia pulang dari sawah ladang. Isterinya mempunyai hubungan gelap dengan seorang laki-laki lain. Tidak mungkin! Ketika dia bertanya kepada ibunya, ibunya juga tidak tahu. Biapun mendengar pula akan hal itu, Kui Hui pura-pura tidak tahu saja! Wanita ini agaknya juga tidak menganggap perbuatan mantunya itu terlalu buruk!

Pada suatu hari, Bun An meninggalkan sawah ladangnya ketika hari masih pagi dengan menggunakan kepandaiannya, dia kembali ke dusun tanpa diketahui orang. Dengan cepat dia menyelinap masuk kerumahnya dan bertanya isterinya tidak berada dirumah. Dia bertanya kepada ibunya.

“Ah, ia kesepian kalau engkau kesawah. Mungkin ia bermain ke rumah Bibi Ciok. Kenapa ribut-ribut? Ia masih muda dan membutuhkan hiburan. Biarkan ia main-main dan kau kembalilah le sawah,” kata Kui Hui dengan sikap acuh saja.

“Aku akan mencarinya disana!” kata Bun An, hatinya merasa tidak enak.

“Jangan nak. Perlu apa? Biar nanti aku yang menyusulnya, kau kembalilah ke sawah!”

Ibunya membujuk, merasa tidak enak juga karena iapun sudah menduga bahwa berita yang didesas-desuskan itu boleh jadi ada benarnya.

Akan tetapi tanpa pamit lagi Bun An sudah melompat dan keluar dari rumahnya, menuju ke rumah sebelah dengan mengambil jalan dari belakang, melompati pagar! Dia melihat Bibi Ciok duduk seorang diri diluar rumahnya, maka diapun cepat menyelinap ke belakang dan memasuki rumah itu dari pintu belakang yang dibongkarnya.

Tak lama kemudian, dia mengintai dari jendela kamar dan dapat dibayangkan betapa perasaan hatinya mengalami keguncangan hebat ketika dia melihat isterinya berada di atas pangkuan seorang laki-laki dan mereka saling berciuman dan bercanda! Agaknya mereka baru saja selesai makan minum karena meja mereka masih penuh makanan dan arak!

“Brakkk!”

Daun jendela itu hancur berantakan dan tubuh Bun An melayang masuk dari jendela. Dua orang yang sedang bermesraan di dalam kamar itu terkejut bukan main. Apalagi ketika mereka mengenal siapa yang memasuki kamar melalui jendela itu!

Selama menjadi isteri Bun An, Kim Bwe tidak pernah tahu bahwa suaminya itu bukan hanya seorang petani biasa saja, tidak pernah menduga bahwa suaminya adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi! Dan Lurah Lai juga tidak tahu, maka kini lurah itu hendak mempergunakan kekuasaan dan kedudukannya.

“Kami telah bersalah, biarlah aku akan menebus kesalahan ini dengan uang! Berapa saja yang kau minta!” katanya sambil melepaskan tubuh kekasihnya.

Kim Bwe sendiri merasa betapa kedua kakinya gemetar dan iapun berlutut sambil menundukkan mukanya. Bun An memandang laki-laki yang tidak dikenalnya itu, seorang pria berusia hampir limapuluh tahun, lalu memandang kepada isterinya. Isterinya mengenakan pakaian sutera yang amat indah, dan tubuhnya penuh dengan perhiasan emas permata yang tidak pernah dilihatnya. Mendengar ucapan pria itu, Bun An melangkah maju, tangannya menampar, tangan kiri Bun An seperti petir menyambar sudah mengenai pinggir kepalanya.

“Prakkk!”

Tubuh lurah itu terjungkal dan dia roboh tak dapat bangkit kembali karena tamparan yang mengenai kepala itu membuat batok kepalanya retak dan lurah itu tewas seketika.

Tiba-tiba pintu daun kamar itu terbuka dari luar, dibuka oleh Bibi Ciok yang masuk bersama Kui Hui. Mereka mendengar suara hiruk pikuk di dalam kamar dan merasa khawatir. Bibi Ciok lalu membuka pintu dan pada saat itu, Kui Hui datang dan ikut masuk karena mengkhawatirkan anak dan mantunya. Begitu daun pintu terbuka, mereka masuk dan terbelalak melihat lurah itu sudah rebah di atas tanah dan darah mengalir dari kepalanya yang retak!

“Ahh….! Apa yang terjadi ini? Kau…… bagaimana berani memasuki rumahku….?” Bibi Ciok yang melihat lurah itu tewas, kini menuding kepada Bun An dengan marah.

Ang Hong Cu







Tidak ada komentar:

Posting Komentar