*

*

Ads

Selasa, 26 Juni 2018

Ang Hong Cu Jilid 007

Bun An mendorongnya sehinga dia roboh terguling-guling dan cepat lari menaiki tangga menuju ke loteng. Semua orang yang berada di ruangan bawah itu kini memandang ke atas. Ada ruangan diloteng itu berikut beberapa buah kamar dimana para pemenang permainan judi boleh menghamburkan uangnya pada para pelacur yang siap melayani mereka, Bun An segera memeriksa setiap kamar dan pada kamar ke tiga, tiba-tiba dia diserang orang dari dalam kamar dengan sebatang pedang. Penyerang itu bukan lain adalah Ma Cun yang sudah memperoleh sebatang pedang lagi.

Namun Bun An sudah waspada. Begitu pedang meluncur, dia mengelak, lalu tangannya menangkap pedang, kakinya menendang lengan kanan. Terpaksa Ma Cun melepaskan pedangnya dan dia hendak lari turun. Akan tetapi, tangan kiri Bun An menampar, mengenai tengkuknya dan diapun terjungkal roboh. Semua orang melihat peristiwa diloteng itu dengan mata terbelalak. Dilihat dari bawah, apa yang terjadi diatas itu seperti permainan wayang saja!

Karena melihat tidak ada jalan keluar lagi, timbullah rasa takut di hati Ma Cun. Tanpa malu-malu lagi, dia lalu berlutut dan meyembah-nyembah kepada Bun An.

“Bun An, ampunkanlah aku…… ah, ingatlah betapa aku ayah tirimu….. aku pernah menyayangimu…… ingatkah engkau ketika aku dulu memberi hadiah kepadamu? Ampunkan aku, Bun An!”

Kemarahan Bun An semakin menjadi ketika diingatkan akan peristiwa yang lalu. Memang dulu, ketika masih menjadi kekasih ibunya dirumah keluarga Tang, orang ini sering mengambil hatinya dengan memberi barang-barang mainan, juga mengancamnya karena dialah yang menjadi jembatan antara ibunya dan orang ini!

“Keparat jahanam! Masih ada muka engkau untuk minta ampun dan mengaku ayah tiriku? Ingatkah engkau ketika memukuli dan menyiksaku, bahkan menendangku? Dan sudah lupakah engkau apa yang kau lakukan terhadap ibuku? Engkau hamburkan semua harta benda ibuku dan setelah habis engkau sia-siakan ibuku, engkau siksa ia, kau pukul dan tendang, kau jual!”

“Ampun….. ampun…….”

Ma Cun menyembah-nyembah ketakutan, keringat dingin sebesar kedele keluar dari tubuhnya.

“Dan ingatkah engkau betapa engkau telah merencanakan pembunuhan kepada ayah kandungku? Kau racuni dia sampai mati!”

“Bukan aku…. ampun, tapi ibumu….. ampunkan aku…..”

“Pengecut hina! Biar kutebus dengan kedua tanganmu, engkau masih belum dapat membayar hutangmu kepadaku. Berikan kedua tanganmu!” sambil berkata demikian, nampak sinar pedang berkelebat, yaitu pedang yang tadi dirampas Bun An dari tangan Ma Cun.

Ma Cun menjerit dan kedua tangannya, sebatas bawah siku, terbabat buntung! Demikian cepatnya pedang itu sehingga kedua lengan itu buntung tanpa dirasakan Ma Cun yang baru menjerit setelah melihat betapa kedua lengannya tak bertangan lagi!

Dengan kakinya Bun An menendang kedua potongan lengan itu kebawah loteng! Semua orang memandang terbelalak, muka mereka pucat karena ngeri melihat dua buah tangan itu melayang jatuh di atas meja judi!

Ma Cun menjerit-jerit ketika Bun An menghardik,
“Dan serahkan kedua kakimu untuk membayar hutangmu kepada ibuku!”

Kembali pedang berkelebat dan Ma Cun mengeluarkan jeritan yang lebih mengerikan lagi ketika tiba-tiba saja kedua kakinya, sebatas lutut, terbabat buntung oleh pedang. Tubuhnya terpelanting, berkelojotan dan mulutnya masih merintih-rintih, Bun An juga menendang kedua potongan kaki itu kebawah loteng. Kini semua orang menggigil.

“Sekarang, berikan kepalamu untuk membayar hutangmu kepada ayah!”

Pedang berkelebat dan tubuh Ma Cun tidak bergerak lagi, tidak menjerit lagi, melainkan darah saja muncrat-muncrat ketika lehernya terbabat buntung oleh pedang. Kepalanya ditendang dan menggelinding ke bawah loteng!

Bun An melempar pedangnya dan sekali lompat, dia sudah melayang turun ke bawah loteng. Melihat tumpukan uang di atas meja-meja berserakan pula di bawah, dia teringat akan kebutuhan ibunya. Dia lalu mengambil semua uang itu, dimasukkan kedalam taplak meja, dibungkusnya lalu dipanggulnya. Sebelum pergi, dia memandang kepada semua orang dan berkata lantang,






“Aku mengambil uang ini bukan merampok melainkan mengambil kembali sebagian dari harta ibuku yang dihamburkan ditempat ini. Kalau ada yang penasaran, carilah aku, Siauw-kai!”

Lalu dia keluar dari tempat judi itu dengan tenang. Tak seorangpun berani bergerak melarangnya, bahkan tidak ada yang berani bergerak sebelum Bun An pergi jauh dari tempat itu.

Dengan uang yang diambilnya dari tempat judi, Bun An mengajak ibunya untuk pulang ke dusun tempat asal ibunya. Di dusun ini, Bun An membeli rumah sederhana dan sebidang tanah.

Karena desakan ibunya, dia membuang pakaian jembelnya dan mengenakan pakaian biasa. Jadilah dia seorang pemuda yang tampan dan karena uang yang diambilnya dari rumah judi tidak terlalu banyak, hanya cukup untuk membeli sebidang tanah dan pakaian untuk dia dan ibunya, perabot rumah sederhana, maka uang itupun habis dan Bun An bersama ibunya harus bekerja di ladang untuk keperluan sehari-hari.

Beberapa bulan kemudian, setelah ibu dan anak itu hidup tenang di dusun itu, Kui Hui mulai membujuk puteranya untuk menikah.

“Usiamu sudah cukup, anakku, dan akupun sudah ingin sekali menggendong cucu. Gadis keluarga Lui di dusun sebelah amatlah cantiknya, merupakan kembang dusun di daerah ini. Aku ingin melamarnya untukmu, ankku.”

Bun An tersenyum. Memang, usianya sudah duapuluh tahun lebih, dan diapun sudah pernah melihat gadis yang dimaksudkan ibunya itu. Gadis keluarga Lui itu bernama Kim Bwe berusia delapan belas tahun, dan memang cantik sekali bagaikan setangkai bunga Bwe! Maka diapun mengangguk dengan senang, menyatakan setuju.

Pinangan diajukan dan diterima dengan senang oleh keluarga Lui, apalagi karena keluarga itu melihat Bun An adalah seorang pemuda yang tampan sekali. Juga rajin bekerja, dan masih berdarah bangsawan, karena kepada perantara Kui Hui membisikkan bahwa puteranya adalah turunan keluarga Tang di kota raja yang pernah menjabat kedudukan tinggi.

Pernikahan dilangsungkan dengan sederhana namun cukup meriah bagi penghuni dusun, dan Bun An memboyong isterinya kerumahnya. Karena memang isterinya cantik manis dan lembut, mudah bagi Bun An untuk jatuh cinta kepada Lui Kim Bwe dan selama berbulan-bulan sejak pernikahan mereka, kedua orang suami isteri muda ini hidup berenang dalam lautan kemesraan dan nampaknya saling mencinta.

Akan tetapi, diam-diam wanita muda yang pernah menjadi kembang dusun itu kadang-kadang merasa menyesal dan kecewa bukan main. Setelah gairah api berahi mulai mengecil dan tidak sepanas pada masa pengantin baru, isteri yang masih muda belia ini mulai melihat kenyataan betapa ia masuk kedalam kehidupan keluarga yang amat sederhana, kalau tidak dapat dinamakan miskin.

Suaminya memang tampan, akan tetapi apa artinya ketampanan kalau kehidupan mereka demikian sederhana, bahkan sama sekali tidak mewah? Memang, harus diakui bahwa sebagai isteri petani muda, ia tidak kekurangan makan. Akan tetapi makanan sederhana, dengan sayur-sayur, jarang bertemu daging. Dan pakaiannya! Sudah hampir setahun ia menikah, belum satu juga bertambah pakaiannya dan ia harus memakai pakaian-pakaian yang dibawanya dari rumah, walaupun memang pakaian itu belum rusak.

Sejak masih muda sekali, Kim Bwe menjadi kembang didusunnya, bahkan kecantikannya terkenal di dusun-dusun tetangga, dan banyak sudah pemuda-pemuda anak orang kaya, bahkan orang-orang yang memiliki kedudukan seperti kepala dusun dan lain-lain tergila-gila kepadanya. Akan tetapi orang tuanya memilih dan menerima pinangan Tang Bun An!

Tadinya ia mengira bahwa Tang Bun An selain seorang pemuda tampan, juga tentu anak kaya raya karena bukankah dikabarkan bahwa Tang Bun An putera bangsawan tinggi di kota raja yang sudah meninggal? Tentu menerima banyak warisan, sebagai putera bangsawan! Akan tetapi, setelah menjadi isteri Bun An, ia melihat kenyataan bahwa pemuda itu sama sekali tidak memiliki apapun kecuali sawah ladangnya yang tidak berapa luas, dan rumah yang sederhana pula!

Setelah pernikahan itu berjalan setahun lamanya, barulah wanita muda bernama Lui Kim Bwe itu melihat kenyataan bahwa ketampanan wajah suaminya saja tidak dapat membuat ia merasa bahagia. Ketampanan wajah itu memang mengasyikkan selama beberapa bulan, akan tetapi kemudian ia menjadi bosan, apalagi kalau ia melihat wanita-wanita lain yang kaya didusun itu atau pendatang dari kota, yang mengenakan perhiasan gemerlap, pakaian sutera halus indah yang mahal, sepatu yang indah pula, naik kereta yang mewah!

Mulailah nyonya muda ini bersikap tidak manis kepada suaminya, bahkan ia mulai suka berkunjung ke rumah tetangganya, seorang janda setengah tua yang disebut Bibi Ciok dan disini, ia melampiaskan kekecewaan dan penyesalan hatinya kepada tetangga ini.

Ia sama sekali tidak pernah mau membantu suaminya yang sibuk di sawah ladang, bahkan tidak mau membantu ibu mertuanya yang sibuk di dapur dan dirumah. Dan Bibi Ciok, seorang wanita pelacur di kota dan setelah tua dan berhasil mengumpulkan uang lalu pulang kedusun dan hidup sebagai seorang janda yang tidak kekurangan makan karena memiliki sawah yang cukup, mendengar keluhan dan celaan Kim Bwe, tidak tinggal diam. Iapun menanggapi, bahkan menyatakan ikut menyesal mengapa Kim Bwe yang pernah menjadi kembang beberapa buah dusun di sekitar situ, yang diperebutkan banyak orang kaya, kini menjadi seorang isteri seorang pria yang miskin!

“Kasihan sekali engkau ini, Kim Bwe,” demikian antara lain Bi Ciok berkata dan ia sudah akrab sekali dengan nyonya muda ini sehingga mengambil namanya begitu saja.

“Seorang wanita muda yang cantik jelita dan manis seperti engkau ini, kalau dikota raja sudah menjadi isteri seorang pemuda kaya raya, bahkan tidak aneh kalau engkau menjadi isteri bangsawan! Sedikitnya isteri muda yang hidup berenang dalam kemuliaan dan kekayaan. Akan tetapi disini, engkau hanya menjadi isteri seorang petani. Memang Tang Bun An itu seorang putera bangsawan, akan tetapi bangsawan itu telah meninggal dunia dan kau tahu? Ibunya diusir dari sana karena disangsikan bahwa Tang Bun An itu putera bangsawan Tang, mungkin anak dari hasil hubungan gelapnya dengan seorang perwira pengawal! Dan setelah keluar dari keluarga Tang, ibu Bun An itu menjadi seorang pelacur!”

“Ahhh.....!” Kim Bwe terbelalak dan mukanya berubah merah.

“Aku berani bersumpah, Kim Bwe! Aku melihat dengan kedua mataku sendiri!” kata Bibi Ciok dan hal ini memang bukan bohong, karena ia sendiri pernah menajdi pelacur, maka pernah pula melihat ibu Bun An yang sangat terkenal ketika mula-mula jadi pelacur.

Demikianlah, Kim Bwe mulai keracunan hatinya dan ia merasa lebih dekak dengan Bibi Ciok daripada dengan ibu mertuanya. Dan kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Bibi Ciok yang bermata tajam! Seorang wanita muda seperti Kim Bwe ini, yang sedang mengalami kekecewaan dan penyesalan terhadap suaminya, yang haus akan kemuliaan, kekayaan dan kemewahan, merupakan seekor domba yang jinak dan daging yang lunak bagi para serigala dan buaya. Ia melihat kesempatan terbuka lebar baginya untuk mengeduk keuntungan sebanyaknya.

Demikianlah, sebagai seorang wanita berpengalaman, Bibi Ciok dapat menghubungi Lai-jung-cu (Lurah Lai), yaitu lurah dari dusun tempat Kim Bwe yang pernah tergila-gila kepada Kim Bwe. Lurah ini kaya raya dan terkenal mata keranjang, dan pernah Bibi Ciok mencarikan seorang gadis dusun untuk menjadi mangsa lurah yang haus perempuan ini, karena itulah maka ia berani menghubungi Lai-jung-cu dan menceritakan bahwa ia mampu membantu lurah itu kalau masih ada gairah besar terhadap Lui Kim Bwe yang kini telah menjadi nyonya Tang Bun An.

Mendengar ini, tentu saja sang lurah yang mata keranjang menjadi girang sekali. Bibi Ciok menceritakan betapa Kim Bwe kini setelah menikah, bagaikan setangkai bunga yang menjadi mekar semerbak harum dan amat menggairahkan. Tentu saja mula-mula sang lurah khawatir dan tidak percaya, namun Bibi Ciok menenangkan hatinya.

“Kalau memang Jung-cu berhasrat, jangan khawatir. Saya akan mengaturnya dan takkan ada seorangpun yang mengetahuinya. Setiap hari, suaminya sibuk di sawah dan ibu mertuanya sibuk di dapur. Hampir setiap hari si denok cantik itu bermain-main kerumah saya dan ia seperti anak saya sendiri!”

Lalu keduanya mengatur siasat. Sang lurah akan berkunjung ke rumah janda tua ini, dan sang janda yang akan mengatur agar kedua orang itu dapat bertemu dirumahnya!

Di rumahnya, Bibi Ciok juga mulai mengatur siasatnya, seperti seekor laba-laba yang membuat jaring halus untuk membuat perangkap dan menangkap lalat yang bukan lain adalah Kim Bwe! Mulailah ia bercerita, seperti sambil lalu, kepada Kim Bwe ketika nyonya itu datang berkunjung, betapa ia baru saja pulang dari dusun tempat asal Kim Bwe. Tentu saja wanita muda itu segera tertarik dan mendengarkan dengan penuh perhatian.

“Kebetulan sekali aku bertemu dengan Lai-jung-cu, engkau tahu lurah dari dusunmu itu, yang masih gagah dan ramah sekali? Juga dia terkenal kaya dan dermawan.”

Kim Bwe mengangguk. Tentu saja ia mengenal lurah itu, bahkan dikenalnya sejak ia masih kecil.

Ang Hong Cu







Tidak ada komentar:

Posting Komentar