*

*

Ads

Selasa, 26 Juni 2018

Ang Hong Cu Jilid 006

Akan tetapi, tubuh pemuda jembel itu sama sekali tak bergeming dan si tukang pukul merasa seolah-olah yang dipegangnya itu bukan lengan tangan, melainkan sepotong besi yang keras! Beberapa kali dia mengerahkan tenaga untuk membetot, akan tetapi percuma saja. Hal ini membuat dia merasa penasaran lalu marah, dan langsung saja dia memukul dengan tinjunya ke arah muka Bun An.

“Wuut!”

Dengan miringkan mukanya, pukulan itu meluncur dekat pipi Bun An. Pemuda ini menjadi marah dan sekali dia mengangkat lutut, maka lututnya telah masuk ke dalam perut orang itu.

“Ngokk!” Orang itu menekuk perutnya dan memegangi perut yang terasa nyeri bukan main. Bun An menendang tubuh orang itu terlempar lalu terbanting jatuh.

Melihat ini, tujuh orang tukang pukul menjadi marah. Seorang diantaranya, sudah menubruk dari belakang dengan kedua lengan terpentang dan kedua tangan terbuka, siap untuk mencengkeram dan mencekik leher pengemis muda itu.

Bun An membiarkan saja tangan itu mencengkeram lehernya dan sipencengkeram terkejut ketika merasakan betapa leher yang dicekiknya itu keras seperti besi! Pada saat itu, Bun An sedikit miringkan tubuhnya dan siku kanannya menghantam kebelakang.

“Dukk! Aughh…..!”

Orang yang kena disiku dadanya itu terpental dan terbanting jatuh, seketika muntah darah karena dadanya seperti dihantam toya besi saja!

Barulah para tukang pukul itu sadar bahwa pengemis muda ini sama sekali tidak boleh di buat main-main. Mereka mencabut senjata dan menyerang Bun An dari berbagai jurusan. Melihat gerakan mereka, tahulah Bun An bahwa mereka itu tidak boleh disamakan dengan para jagoan di rumah pelacuran, maka diapun cepat mendahului mereka.

Tubuhnya bergerak cepat sekali dan bagi para pengepungnya, tubuh itu seperti lenyap berubah menjadi bayangan yang terbang menyambar-nyambar, dan tujuh orang jagoan roboh malang melintang di pekarangan itu!

Dengan tenang Bun An melangkah memasuki ambang pintu, mendorong pintu ke dua dan masuk ke ruangan perjudian yang amat luas itu. Ada belasan meja judi dikelilingi banyak orang. Suasana disitu amat pengap bagi dia yang baru masuk dari tempat terbuka. Ruangan itu penuh asap berbau tembakau bercampur bau minyak wangi dari pakaian para pelacur yang menghibur para penjudi, dan bau keringat semua orang!

Dua orang jagoan yang berjaga di sebelah dalam, sudah tahu akan apa yang terjadi di luar. Mereka ini memiliki tingkat yang lebih tinggi daripada mereka yang berada di luar tadi. Maka, dengan cepat begitu melihat Bun An melangkah masuk, kedua orang ini sudah menyambutnya dengan serangan pedang dari kanan kiri.

Pedang kiri menusuk ke arah lambung, pedang kanan membacok kepala dari atas. Menghadapi kedua serangan pedang yang dilakukan serentak dan mendadak ini, Bun An yang sejak tadi tidak pernah kehilangan kewaspadaan sedetikpun, mengangkat kedua tangan menyambut. Tangan kanan bergerak ke samping dan tangan kiri bergerak ke atas.

Dua orang penyerang itu terbelalak ketika merasa betapa pedang mereka berhenti meluncur, dan ketika mereka melihat betapa pedang mereka terjepit di antara jari-jari tangan pemuda jembel itu. Mereka mengerahkan tenaga membetot untuk melepaskan pedang dari jepitan jari tangan, namun sia-sia karena pedang itu seperti terjepit oleh jepitan baja saja, dan sebelum mereka sempat tahu apa yang akan terjadi, kedua kaki Bun An dengan bergantian namun cepat sekali seolah-olah kedua kaki itu bergerak berbarengan saja, telah menendang dan kedua orang itu terpelanting roboh dan tidak mampu bangkit kembali karena sambungan lutut kaki mereka terlepas! Pedang mereka telah berpindah ke kedua tangan Bun An.

Lima orang jagoan ini cepat maju mengepung dan langsung mengeroyok, menggerakkan senjata mereka, akan tetapi nampak sinar bergulung-gulung dari dua batang pedang yang berada di tangan Bun An. Terdengar teriakan-teriakan disusul robohnya lima orang itu karena lengan mereka telah terluka dan mengucurkan darah!

Kini semua orang merasa gentar, bahkan jagoan-jagoan lain mengundurkan diri, menjauh. Tidak ada yang berani menyerangnya, Bun An melempar kedua pedang ke atas lantai, lalu melangkah perlahan-lahan ke tengah ruangan. Semua mata memandang kepadanya, mata yang terbelalak dan muka yang pucat karena ketakutan.

Bun An memandang ke sana sini, mencari-cari dan akhirnya dia melihat orang yang dicarinya. Tentu saja ia masih mengenal Ma Cun, orang yang dibencinya itu. Bekas pengawal itu kini sudah berusia empat puluh tahun lebih, rambut kepalanya sudah bercampur uban, namun wajahnya yang gagah tidak berubah. Hanya perutnya yang kini menggendut, akan tetapi tubuhnya masih nampak kokoh kuat. Melihat orang yang dicarinya ini, Bun An menghampiri dan dia kini berdiri di depan Ma Cun dalam jarak lima meter.






“Ma Cun, tinggalkan mejamu dan majulah kesini!” kata Bun An, suaranya halus, akan tetapi mengandung getaran dendam kebencian.

Ma Cun mengerutkan alisnya. Dia sendiri adalah jagoan yang memiliki ilmu silat yang cukup tinggi, maka tentu saja dia tidak gentar melihat pengemis muda yang tadi mengamuk. Akan tetapi, ketika pengemis muda itu memanggilnya, dia merasa penasaran dan juga marah.

“Bocah pengemis! Aku Ma Cun tidak ada urusan dengan engkau. Pergilah dan jangan menggangguku!”

Dia membesarkan suaranya agar lebih berwibawa karena pada saat itu, semua orang memandang kepadanya dan kepada pengemis muda yang tidak dikenalnya itu.

“Ma Cun, buka matamu baik-baik dan lihat siapa aku!”

Bun An berkata lagi, suaranya tetap halus, namun mengandung sesuatu yang membuat semua orang bergidik.

Ma Cun memandang dengan penuh selidik, lalu mengerutkan alisnya lebih dalam dan menghardik,

“Jembel busuk! Aku tidak mengenal orang macam engkau, pergilah sebelum hilang kesabaranku!”

Ma Cun yang percaya akan kemampuannya sendiri itu menggertak dan tangannya sudah meraba gagang pedangnya yang selalu berada di dekatnya dan pada saat itu pedangnya berikut sarung pedang terletak di atas meja judi.

Bun An tersenyum mengejek, matanya menyorotkan sinar dingin yang mau tidak mau terasa juga oleh Ma Cun, membuatnya merasa agak dingin pada tengkuknya.

“Ma Cun, namaku Tang Bun An!”

Ma Cun terbelalak.
“Ha-ha-ha, kiranya engkau setan cilik kini menjadi orang yang tidak berharga!” katanya sambil meninggalkan meja menghampiri Bun An.

Setelah kini dia mengenal Bun An, rasa jerih yang sedikit banyak ada padanya tadi lenyap seketika, terganti oleh pandangan rendah dan menghina.

Sejak melihat Ma Cun tadi, Bun An sudah merasa seolah-olah ada api nyala panas di dalam dadanya. Kini mendengar penghinaan itu, kemarahannya meluap-luap dan diapun melangkah maju sehingga mereka berhadapan dalam jarak dua meter saja, saling pandang dengan sinar mata penuh kebencian.

“Bun An jembel busuk, apakah engkau datang untuk mengemis kepadaku? Nih, uang kecil untukmu!”

Sambil berkata demikian, dengan sikap dan pandang mata menghina sekali Ma Cun mengambil tiga keping uang kecil dari sakunya dan dilemparkan ke depan. Tiga keping uang itu mengenai tubuh Bun An lalu jatuh ke bawah, mengeluarkan suara berkeritikan. Tidak nyaring, akan tetapi karena semua orang diam menahan napas dengan hati tegang, jatuhnya tiga buah mata uang itu menimbulkan suara yang nyaring.

“Ma Cun, dengarlah, buka telingamu lebar-lebar. Aku datang bukan untuk minta uang, melainkan untuk mengambil nyawamu!”

Suasana menjadi semakin tegang ketika kata-kata ini keluar dari mulut pengemis muda itu. Tidak lantang, namun karena suasana amat sepi dan hening seolah-olah disitu tidak ada manusia lain, maka terdengar jelas dan menimbulkan ketegangan mendalam.

Wajah Ma Cun berubah merah sekali saking marahnya.
“Singgg!”

Pedang itu telah dicabutnya. Dengan tangan kiri memegang pedang, Ma Cun sudah menubruk maju ke depan, menyerang Bun An dengan sabetan pedangnya, tidak malu-malu lagi menyerang seorang pemuda yang tidak memegang senjata apapun.

Namun, Bun An menghadapi serangan pedang itu dengan tenang saja. Tingkat kepandaiannya sudah jauh lebih tinggi daripada Ma Cun, maka ketika pedang berkelebat menyambar ke arahnya, dia menangkis dari samping, menampar ke arah pedang itu.

“Plakkk!”

Pedang itu dapat di tangkapnya! Semua mata terbelalak memandang, hampir tidak percaya. Bagaimana mungkin pemuda jembel itu berani menangkap pedang yang tajam dan digerakkan oleh seorang yang bertenaga besar seperti Ma Cun?

Akan tetapi kenyataannya, pedang itu dapat ditangkap dan kini nampak Ma Cun bersitegang hendak menarik pedangnya agar tangan pemuda itu terbabat buntung. Akan tetapi sama sekali tidak berhasil. Sekali lagi dia membetot dan tiba-tiba Bun An melepaskan pegangannya. Tubuh Ma Cun terjengkang!

Sambil tersenyum mengejek Bun An memberi isyarat kepadanya agar bangkit.
“Berdirilah dan keluarkan semua kepandaianmu sebelum kau kubunuh!”

Ma Cun menjadi pucat sekali dan mulailah dia meragukan kemampuannya sendiri, hal yang belum pernah ia lakukan. Apa yang dialaminya tadi terlalu hebat dan nyalinya sudah menciut, bahkan kedua kakinya mulai gemetar.

“Kawan-kawan, bantulah aku!” teriaknya tiba-tiba dan diapun lalu menyerang dengan membabi buta.

Kini, para jagoan yang berada disitu, seperti baru sadar bahwa ada seorang pemuda berpakaian seperti pengemis yang lihai sekali sedang mengacau dirumah judi itu, bahkan mengancam nyawa seorang kawan mereka. Belasan orang jagoan, baik yang bertugas sebagai penjaga keamanan disitu maupun yang datang sebagai tamu dan penjudi, segera mencabut senjata masing-masing dan menyerbu ke arah Bun An!

Pemuda itu sudah marah sekali. Serangan Ma Cun yang membabi buta itu disambut dengan tamparan keras ke arah lengan Ma Cun. Ma Cun berteriak kesakitan dan pedangnya terlepas dari pegangan, lengan kanannya terasa nyeri bukan main, seperti dipukul dengan toya baja.

Pada saat itu teman-temannya sudah menyerbu, maka dengan cerdik Ma Cun menyelinap diantara orang banyak dan melarikan diri ke loteng.

Bun An mengamuk. Tubuhnya berkelebatan diantara pengepung dan pengeroyoknya, akan tetapi matanya tidak melepaskan pintu keluar, takut kalau-kalau Ma Cun lolos keluar. Dia marah karena kehilangan Ma Cun yang menyelinap diantara orang banyak. Bun An menggerakkan kaki dan tangannya dan mulailah pengeroyok berpelantingan ke kanan kiri.

Bukan hanya tubuh para pengeroyok, akan tetapi juga meja judi dan bangku-bangku beterbangan karena ditendangi oleh Bun An yang mengamuk sambil mencari-cari Ma Cun. Dalam waktu beberapa menit saja, belasan orang jagoan sudah roboh malang melintang tidak nampak bangun lagi dan hanya merintih kesakitan. Para tamu yang tidak ikut mengeroyok, sudah merapatkan diri di dinding dengan wajah pucat.

Karena tidak ada lagi yang menyerangnya, Bun An mencari-cari dengan matanya. Dia melihat seorang laki-laki gendut yang tadi sekelebatan dilihatnya sebagai majikan tempat itu dengan sikap yang angkuh. Orang itu bersembunyi di balik meja yang roboh, tubuhnya yang gendut itu menggigil seperti diserang demam.

Dengan sekali loncatan saja Bun An sudah tiba dibelakang orang itu dan sekali cengkeraman pada pundak si gendut itu, dia menariknya berdiri dan si gendut menahan jerit seperti seekor tikus terjepit.

“Hayo katakan, dimana adanya Ma Cun?”

Bun An merasa yakin bahwa orang yang dicarinya tentu masih berada disitu karena sejak tadi dia memperhatikan pintu keluar dan tidak melihat Ma Cun keluar dalam keributan tadi.

“Ti-tidak….. tahu…….” Si gendut menggeleng kepalanya.

“Hemm, apa kau minta mati?” Bun An menekan pundak si gendut itu yang tiba-tiba merasa betapa tubuhnya seperti ditusuk-tusuk seribu jarum. Dia kini tidak lagi menahan jeritnya, menguik-nguik seperti seekor babi dimasukkan keranjang, “Kau tidak mau mengatakan dimana dia?”

“Di…… di loteng…..,” kata si gendut yang tiba-tiba saja terkencing-kencing di celana.

Ang Hong Cu







Tidak ada komentar:

Posting Komentar