*

*

Ads

Selasa, 29 Mei 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 175

Setelah mereka tiba di kaki bukit, tiba-tiba Kui Hong menghentikan langkahnya dan menjatuhkan diri di atas rumput dan…. menangis! Tentu saja Hay Hay terkejut bukan main. Sejenak dia hanya dapat memandang dengan mata dilebarkan. Dia kaget dan heran.

Semenjak bertemu dengan Kui Hong, berebutan bangkai kijang, sampai sama-sama menghadapi cengkeraman maut, dia mengenal Kui Hong sebagai seorang gadis yang tinggi ilmunya, gagah berani, tabah, dan galak di samping riang jenaka dan terbuka. Maka, melihat betapa gadis itu kini tiba-tiba saja menangis sambil menutupi mukanya, tentu saja dia merasa heran sekali.

"Kui Hong mengapa engkau menangis?"

Akhirnya Hay Hay bertanya lembut setelah diapun duduk di depan gadis itu. Tempat itu sunyi dan angin senja semilir dari barat. Dia baru berani bertanya setelah tangis Kui Hong mereda. Dia tidak tahu bahwa tangis gadis itu merupakan pelampiasan dari semua ketegangan yang menumpuk di dalam batin Kui Hong semenjak mereka terjatuh ke dalam jurang.

Gadis ini seorang pendekar wanita yang tabah, namun selama hidupnya belum pernah mengalami hal-hal hebat secara beruntun seperti yang dialaminya bersama Hay Hay itu. Kengerian, ketakutan yang ditekan, kemarahan dan kebencian yang ditahan ketika ia merasa amat terhina oleh nenek iblis dan ketidak-berdayaan ketika disandera, semua itu kini terurai dan mengalir melalui air matanya.

Mendengar pertanyaan Hay Hay, Kui Hong mengusap sisa air matanya. Kemudian ia menurunkan kedua tangannya, mengangkat muka memandang kepada Hay Hay dan pemuda itu hampir terlonjak kaget. Sepasang mata itu, walau masih kemerahan dan agak membengkak oleh tangis, memandang dengan sinar yang bening mengandung kegembiraan, bibirnya tersenyum dan wajah itu berseri!

Saking herannya, pemuda ini hanya memandang dengan mulut ternganga dan mata terbelalak, tak pernah berkedip menatap wajah gadis yang tersenyum manis itu.

"Ihh, Hay Hay! Kenapa engkau menjadi bengong seperti arca seorang yang tolol!"

Dan Kui Hong tertawa, ketawanya lepas bebas dan tidak malu-malu seperti para gadis pada umumnya.

"Lho! Bagaimana pula ini?" kata Hay Hay yang sudah dapat menguasai diri yang tadi dicekam keheranan. "Sekarang engkau tertawa gembira dengan mata yang masih merah oleh bekas tangis. Engkau tadi menangis tanpa sebab lalu kini tertawa geli. Siapa orangnya yang tidak menjadi bengong keheranan melihat ulahmu, Kui Hong?"

Gadis itu tersenyum geli, lalu menggeleng kepala.
"Entah, Hay Hay, aku sendiripun tidak mengerti. Ketika tadi aku teringat akan semua peristiwa yang terjadi semenjak kita terjatuh ke dalam jurang itu, mendadak saja aku ingin menangis sepuas hatiku. Kemudian setelah tangisku berhenti, aku merasa demikian lega dan ringan hatiku sehingga aku ingin tertawa, bernyanyi dan bersorak!"

Kini mengertilah Hay Hay dan diapun mengangguk-angguk.
"Ah, engkau seorang yang beruntung, Kui Hong."

“Beruntung? Apa maksudmu?"

“Orang yang dapat melepaskan semua perasaan dalam batinnya melalui tawa dan tangis secara langsung seperti engkau, adalah orang yang beruntung. Tidak seperti mereka yang menyimpan semua perasaan dalam batin, tidak mampu melampiaskannya keluar sehingga tumpukan perasaan itu akan mendatangkan bermacam penyakit dan melemahkan badan. Semua pengalaman yang bertumpuk di dalam hatimu sejak kita terjatuh ke dalam jurang, tadi dapat mengalir keluar melalui tangismu karena engkau sudah terbebas dari semua itu, kemudian setelah semua himpitan perasaan itu mengalir keluar, tentu saja perasaanmu menjadi lega dan gembira sehingga engkau memperoleh kembali watakmu yang asli, yaitu gembira dan lincah jenaka, juga galak…”

Sepasang mata itu melotot dan sepasang alis yang kecil hitam dengan bentuk indah melengkung itu berkerut.

"Aku? Kau berani mengatakan aku galak?"

Hay Hay tertawa.
"Nah… nah… baru dikatakan galak saja sudah marah. Apalagi sikap itu kalau bukan galak? Sudahlah, aku hanya main-main, kau maafkan aku, Nona manis."






Akan tetapi Kui Hong sudah melupakan lagi hal itu dan kemarahannya sudah lenyap. Ia nampak termenung karena ia teringat akan peristiwa mengerikan yang terjadi di dalam kamar guha itu dan seperti orang mimpi saja mulutnya berka lirih,

“Gila, sungguh gila….!”

Hay Hay teringat dan dia menatap wajah gadis itu.
"Ah, sudah dua kali engkau mengatakan itu, Kui Hong!"

"Dua kali?" Gadis inipun bertanya heran.

“Iya, ketika kita hendak meninggalkan guha, di depan kamar guha itu engkaupun mengatakan demikian, dan sekarang engkau mengulanginya. Apa dan siapa yang kau katakan gila itu?”

"Mereka, kakek dan nenek itu. Mereka menjadi gila karena cinta."

Kata Kui Hong, termenung dan memandang ke angkasa yang merah oleh sinar matahari senja.

Hay Hay tersenyum memandang wajah yang manis itu. Manis sekali puteri Ketua Cin-ling-pai ini, pikirnya, mengamati dan memperhatikan bagian muka itu satu demi satu. Mulut itu manis sekali biarpun ada tarikan keras pada kedua ujungnya. Dan hidung itu. Lucu sekali. Kecil mancung dan ujungnya seperti dapat bergerak-gerak, kelucuan yang menghapus kekerasan pada ujung kedua bibirnya.

"Gila karena cinta? Wah, agaknya engkau ahli dalam soal cinta sehingga tahu bahwa mereka menjadi gila karena cinta." pancing Hay Hay.

Mata itu, biar agak kemerahan oleh bekas tangis dan agak membengkak, harus diakui amat indah, bening kalau mengerling tajam seperti gunting. Juga dengan bulu mata yang melengkung dan lentik panjang, dengan hiasan sepasang alis yang kecil hitam dengan bentuk indah pula.

Seraut wajah yang amat manis, dengan dagu meruncing dan muka yang bulat telur. Daun telinganya pun menarik, sedang dan di depannya terhias rambut halus melingkar, juga di dahinya terhias sinom atau anak rambut yang halus dan kacau namun menarik sekali.

"Biarpun bukan ahli dalam soal cinta, mudah diketahui bahwa mereka itu menjadi gila karena cinta. Kakek itu menjadi gila karena cintanya kepada nenek iblis itu. Sudah tahu bahwa nenek itu demikian jahatnya, namun karena cinta, dia masih bersusah payah mau mengobati nenek itu, sehingga akibatnya dia terbunuh oleh nenek yang jahat itu. Bukankah itu suatu kegilaan namanya? Kegilaan yang membuat dia kehilangan kewaspadaan, padahal kakek itu berilmu tinggi, tidak semestinya dia demikian mudah diperdaya oleh Kiu-bwe Tok-li."

Hay Hay mendengarkan tanpa menanggalkan senyum dari bibirnya, matanya mengamati wajah itu dengan penuh perhatian dan kekaguman.

"Menurut pendapatku, cinta kasih kakek itu terhadap isterinya amat murni dan suci. Biarpun isterinya telah melakukan penyelewengan dengan laki-laki lain, bahkan isterinya itu bersama kekasihnya berusaha membunuhnya kemudian meninggalkannya sampai puluhan tahun, kemudian isterinya muncul lagi dan hendak membunuhnya, tetap saja dia tidak membenci isterinya. Bahkan dia berusaha mengobati isterinya dan mencegah ketika engkau hendak membunuh nenek itu. Nah, itulah cinta kasih yang suci murni dan kiranya di dunia ini sukar dicari seorang pria yang dapat mencinta seperti itu terhadap seorang wanita."

"Itu sebabnya kukatakan gila. Dia menjadi gila oleh cintanya! Cinta semacam itu tidak umum, tidak lumrah, tidak wajar. Cinta seperti itu hanya patut dimiliki seorang ibu atau ayah terhadap anak mereka, bukan seorang suami terhadap isterinya! Dan nenek itupun sudah gila karena cintanya kepada kekasihnya. Kekasihnya itu telah dibelanya, bahkan diajak membunuh suaminya, akan tetapi kekasihnya kalah oleh Hek-hiat-kwi dan terluka. Nenek itu membelanya dan membawanya pergi ke guha, merawatnya. Akan tetapi kekasihnya itu memukul dan melumpuhkan kedua kakinya karena tidak ingin ditinggalkan. Dan nenek itu masih tetap saja mencintanya, bahkan ingin membalaskan kematiannya kepada Hek-hiat-kwi. Apalagi namanya itu kalau tidak gila?"

"Wah, kalau menurut aku, cinta nenek itu terhadap kekasihnya adalah cinta berahi, cinta nafsu belaka! Mungkin pria yang menjadi kekasihnya itu amat tampan, amat menyenangkan hatinya sehingga ketika ia kehilangan kekasihya itu, ia merasa kecewa dan berduka, dan dendam kepada suaminya yang membuat kekasihnya itu tewas."

"Itulah, bukankah gila keduanya itu? Cinta antara suami isteri, antara pria dan wanita, tidak semestinya begitu!" kata pula Kui Hong penuh semangat dan dengan mata berapi-api karena ia teringat akan hubungan antara ayah dan ibunya sendiri.

Senyum di mulut Hay Hay melebar. Bukan main, pikirnya. Kalau yang bicara tentang cinta itu seorang wanita seperti Ji Sun Bi misalnya, hamba nafsu berahi yang sudah penuh dengan pengalaman, atau setidaknya Kok Hui Lian, yang sudah dua kali menikah dan gagal, tidak akan aneh terdengarnya. Akan tetapi keluar dari mulut gadis ini, yang agaknya baru saja melewati masa remaja, paling banyak delapan belas tahun usianya, sungguh terdengar lucu dan ganjil.

"Kui Hong, engkau hebat! Kalau menurut pendapatmu, semestinya bagaimanakah cinta antara pria dan wanita itu?"

Hay Hay menyembunyikan senyumnya karena dia khawatir kalau gadis itu menjadi marah. Pandang mata Kui Hong menyambar dan sejenak gadis itu mengamatinya penuh selidik. Kemudian, dengan lagak seorang guru besar memberi kuliah kepada para mahasiswanya, ia berkata,

"Cinta kasih antara pria dan wanita adalah cinta kasih yang khas, tentu saja mengandung berahi karena mereka menjadi dekat oleh nafsu yang amat diperlukan untuk perkembangbiakan manusia. Bayangkan saja kalau cinta antara suami isteri itu seperti cinta antara sahabat atau saudara atau orang tua kepada anaknya, tanpa berahi! Tentu takkan terbentuk keluarga dan keturunan! Setelah mengandung nafsu berahi, juga mengandung rasa persahabatan, saling menerima dan memberi, saling terikat dan saling memiliki maka terdapat pula cemburu, terdapat pula pengorbanan. Akan tetapi semua itu dalam batas tertentu sehingga ada keseimbangan antara semua perasaan itu. Jadi bukan sekedar berahi semata, atau persahabatan semata, atau pengorbanan semata, melainkan persatuan yang seimbang dari kesemuanya itu. Nah, barulah kehidupan suami isteri dapat berjalan dengan lancar dan kesetiaanpun dapat mereka pertahankan."

Hay Hay terbelalak. Bagaimana mungkin gadis yang kelihatan masih “hijau” ini dapat bicara demikian panjang lepar dan pasti tentang cinta antara suami isteri? Dia bertepuk tangan memuji.

"Hebat, engkau hebat, Nona! Engkau ternyata seorang guru besar soal cinta mencinta. Tentu sudah banyak pengalaman dalam bidang itu!"

Tiba-tiba Kui Hong meloncat berdiri dan bertolak pinggang.
"Keparat, hayo bangkit dan kita selesaikan penghinaan ini dengan perkelahian!"

Tentu saja Hay Hay terkejut dan tidak mau bangkit berdiri.
"Aduh tobat! Ada apa lagi, Nona manis? Apa kesalahan hamba sekali ini?"

"Masih bertanya lagi dan pura-pura tidak tahu ya? Jelas engkau menghinaku, mengatakan bahwa aku sudah banyak pengalaman dalam bidang cinta! Apa kau kira aku ini petualang cinta ?"

"Aduh, ampunkan hamba ini, yang mulia!" Hay Hay masih berkelakar, akan tetapi benar-benar dia bersoja (menghormat dengan kedua tangan dikepal depan dada) sambil membungkuk berkali-kali. "Aku tidak bermaksud menghina, hanya saja, bagaimana engkau tidak banyak pengalaman kalau pandai menguraikan soal cinta demikian jelas dan terperinci? Dari mana engkau memperoleh pengetahuan yang demikian luas tentang cinta?”

"Huh, orang bisa saja memperoleh pengetahuain dengan belajar!"

"Akan tetapi, bagaimana mungkin mengetahui tentang cinta hanya dengan belajar, tanpa mengalaminya sendiri?"

"Hay Hay, engkau ini memang tolol ataukah pura-pura tolol untuk mempermainkan aku?" bentak Kui Hong. "Tentu saja orang dapat memperoleh pengetahuan apa saja dengan belajar, tanpa harus mengalaminya sendiri. Kalau engkau mempelajari kehidupan seekor monyet, anjing atau babi, apakah engkau juga harus lebih dulu mengalami menjadi monyet, anjing atau babi?"

Hay Hay tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, Kui Hong. Kalau engkau ingin memaki aku, makilah secara langsung saja, mengapa pula harus pakai berputar-putar segala?"

"Memang aku ingin memakimu. Engkau memualkan perutku!"

"Sudah dua kali engkau mengatakan kalimat itu. Mengapa, Kui Hong. Mengapa perutmu menjadi mual karena aku?"

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar