*

*

Ads

Sabtu, 26 Mei 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 158

Tentu saja nelayan tua itu girang sekali. Uang sekian itu amat besar untuk menyewa perahunya, apalagi hanya sebentar. Diapun sedang mengail ikan dan sejak tadipun hasilnya baru beberapa ekor ikan yang kecil saja. Dia cepat meminggirkan perahunya.

"Ah, kiranya Can Kongcu!" kata tukang perahu girang ketika mengenal pemuda yang kaya raya ini. "Baiklah, kalau Kongcu hendak memakai perahu saya, marilah!"

Sun Hok menyuruh pemilik perahu turun dan diapun cepat meloncat ke atas perahu kecil itu, dan mendayung perahu dengan amat cepatnya meluncur dan mengejar perahu besar yang ditumpangi lima orang pria itu. Perahu itu sudah meluncur agak jauh, akan tetapi masih nampak dan jeritan itu tidak terdengar lagi, agaknya lima orang itu tentu membungkam mulut gadis tadi.

Dengan tenaganya yang luar biasa, tidak lumrah orang biasa, Sun Hok mendayung perahunya yang lebih kecil. Perahu meluncur cepat sekali sehingga tak lama kemudian diapun sudah berhasil menyusul perahu di depan itu. Kini nampaklah olehnya bahwa gadis itu memang telah diikat kaki tangannya dan diikat saputangan pada mulutnya sehingga tidak mampu berkutik atau berteriak.

Sedangkan lima orang itu agaknya sedang bersukaria sambil minum arak. Mereka nampak kaget ketika tiba-tiba ada perahu kecil menempel di perahu mereka dan seorang diantara mereka membentak kepada pemilik perahu kecil yang mereka kira seorang nelayan itu.

"Heiii! Apa engkau sudah bosan hidup berani menempel perahu kami?"

Empat orang kawannya juga marah dan mereka berlima menghunus golok dan dengan sikap mengancam mereka hendak menyerang Sun Hok. Akan tetapi, pemuda itu tidak menjadi takut, bahkan sekali tubuhnya bergerak, dia telah meloncat ke atas kepala perahu, bertolak pinggang dan menghardik mereka dengan suara nyaring.

"Hemm, kalian ini lima orang laki-laki menangkap seorang gadis, ada urusan apakah? Apa kesalahannya dan apa yang hendak kau lakukan dengannya?"

"Hei, orang muda, jangan mencampuri urusan kami! Kami adalah orang-orang yang diutus oleh Bengcu. Pergilah engkau sebelum kami turun tangan membunuhmu disini juga!"

Sun Hok tertarik.
"Bengcu? Siapakah Bengcu kalian itu?"

Seorang diantara mereka yang bertubuh gendut membelalakkan matanya dan memaki.
"Engkau tikus kecil mana mengenal Bengcu kami? Bengcu adalah Lam-hai Giam-lo…."

"Sudah, hajar saja dia!" teriak seorang temannya dan lima orang itu kini menerjang dengan golok mereka.

Melihat gerakan mereka itu, Sun Hok dapat melihat bahwa mereka bukanlah orang sembarangan dan memiliki ilmu golok yang cukup tangguh, maka diapun cepat mengeluarkan sulingnya. Tubuhnya bergerak cepat sekali, didahului sulingnya dan terdengarlah suara nyaring berkali-kali disusul tamparan tangan kiri atau tendangan yang membuat lima orang itu satu demi satu terjungkal ke dalam air!

Tanpa banyak cakap lagi, Sun Hok menyambar tubuh gadis itu, dibawanya meloncat ke dalam perahu sewaannya dan iapun mendayung perahu itu meninggalkan lima orang yang masih gelagapan di air dan mencoba untuk berenang ke perahu mereka kembali.

Dengan sebelah tangannya, Sun Hok membikin putus tali yang mengikat kaki dan tangan gadis itu, juga sekali renggut, saputangan yang menutupi mulut dan sebagian muka gadis itu terlepas.

Senja masih cukup cerah sehingga dia dapat melihait wajah itu dengan jelas. Dan Sun Hok terpesona. Tak disangkanya bahwa gadis yang ditolongnya dari tangan lima orang penjahat itu ternyata adalah seorang yang luar biasa cantik manisnya! Sepasang mata yang lebar dan jeli itu memandang kepadanya, agak basah air mata, dan gadis itupun segera berlutut di dalam perahu menghadap Sun Hok.

"Sungguh saya telah berhutang budi yang teramat besar kepada Kongcu. Kalau tidak ada Kongcu yang menolongku, entah apa yang akan terjadi dengan diriku, tentu lebih hebat daripada kematian. Aku tak mungkin dapat membalas budi kebaikan itu, maka biarlah setiap malam aku akan bersembahyang kepada Thian agar Kongcu diberi berkah selama hidupnya dan biarlah kelak dalam penjelmaan mendatang saya akan menjadi kuda atau anjing peliharaan Kongcu untuk membalas budi ini."

Ucapan itu dilakukan dengan kata-kata yang merdu dan halus, menggetar bercampur tangis tertahan.






Sun Hok mengerutkan alisnya. memandang penuh perhatian, lalu berkata dengan halus.

"Nona, tidak perlu bicara seperti itu. Yang penting, ceritakan siapa engkau, dimana rumahmu dan bagaimana engkau tadi terjatuh ke dalam tangan lima orang penjahat itu."

Gadis itu kini menangis dan menutupi muka dengan kedua tangannya, tidak mampu mengeluarkan kata-kata. Sun Hok merasa iba sekali, akan tetapi dia membiarkan gadis itu menangis. Perahu mereka telah tiba kembali di tempat dimana nelayan tua tadi menunggu.

"Kita turun disini, Nona dan nanti kuantar engkau pulang. Perahu ini harus dikembalikan kepada pemiliknya."

Tukang perahu itu merasa heran melihat penyewa perahunya kembali dengan seorang gadis cantik, akan tetapi dia mengenal Can Sun Hok sebagai seorang pemuda kaya raya yang mendiami istana tua dan yang seringkali mengail di sungai, maka diapun tidak banyak bertanya melainkan menerima setail perak dengan girang. Dia menghaturkan terima kasih, lalu meluncurlah perahunya meninggalkan sepasang orang muda itu berada di pantai.

Sun Hok mengajak gadis itu mengambil pancing dan ikan yang tadi ditangkapnya. Ikan itu sudah mati, akan tetapi masih segar.

"Aih, engkau mendapatkan ikan lee moncong putih yang besar dan segar Kongcu!"

Gadis itu berseru dan agaknya sudah lupa akan kesedihannya. Melihat ini, Sun Hok menahan senyumnya. Gadis ini agaknya bukan seorang pemurung dan diapun ikut bersenang hati.

"Bagaimana kalau kupanggang ikan ini untukmu, Kongcu? Aku pandai memanggang ikan, akan tetapi sayang, tidak ada garam dan bumbu….."

"Aku selalu membawanya." kata Sun Hok dan diapun mengeluarkan bungkusan garam, bawang dan bumbu yang lain.

"Aih, bagus sekali, Pernahkah engkau makan ikan panggang yang terbungkus tanah liat?" Gadis itu bertanya.

Sun Hok menggeleng kepalanya dan gadis itu cepat menyingsingkan lengan bajunya sehingga nampak kedua lengannya yang halus dan putih mulus.

"Kongcu, apakah engkau mempunyai pisau? Aku memerlukannya untuk membersihkan ikan ini, membuang isi perutnya….”

Sun Hok tersenyum dan menggeleng kepala.
"Mana kubantu engkau." katanya dan diapun mengambil ikan itu, dengan sepotong batu kecil yang runcing tajam dia membuka perut ikan itu, lalu menyerahkannya kembali kepada gadis itu.

Kemudian, dia memasangkan umpan cacing kepada mata kailnya dan duduk lagi memancing, kini penuh perhatian dan harapan untuk menangkap sedikitnya seekor lagi yang agak besar agar cukup untuk mereka berdua.

Entah mengapa, tiba-tiba saja bagi Sun Hok dunia ini seperti terjadi suatu perubahan luar biasa, dia merasa gembira dan penuh gairah. Senja yang mulai remang-remang itu nampak indah bukan main, dan tempat yang sunyi itu, dimana hanya ada mereka berdua, kelihatannya sama sekali tidak sepi lagi.

Tak lama kemudian, kembali umpannya disambar ikan, Sun Hok menariknya dan sekali ini dia benar-benar bersorak gembira ketika melihat seekor ikan yang lebih besar dari tadi tergantung di ujung pancingnya.

"Horeee…..!"

Dia berseru gembira dan seperti seorang anak kecil dia membawa tangkai pancing dengan ikan yang masih meronta-ronta itu kepada gadis yang sudah selesai membersihkan ikan pertama tadi.

Gadis itupun kini sama sekali tidak kelihatan murung lagi, ikut pula tertawa dan gembira, sehingga untuk kedua kalinya Sun Hok terpesona. Gadis ini ketika tertawa, nampak deretan gigi seperti mutiara dan di kedua ujung bibirnya nampak lesung pipit yang manis bukan kepalang

“Wah, malam ini kita akan kekenyangan ikan!" teriak gadis itu.

Sun Hok lalu mengambil ikan itu, membuka perutnya dan menyerahkannya kepada Si Gadis yang dengan jari-jari tangan cekatan lalu membersihkan isi perutnya. Sun Hok melihat betapa dengan gerakan tangan seorang ahli, gadis itu menaruhkan bumbu setelah mencuci daging ikan, lalu menutupi ikan itu seluruhnya dengan tanah liat. Belum pernah selamanya dia melihat orang memanggang ikan seperti itu.

"Kita butuh api unggun!" kata gadis itu dan tanpa diperintah lagi Sun Hok lalu mencari kayu kering, dan membuat api. Sebentar saja tempat itu menjadi terang dengan api unggun.

Dengan dua tangkai kayu yang dipergunakan sebagai sepasang sumpit besar, gadis itu lalu memanggang dua ekor ikan yang kini sudah berada di dalam tanah liat. Mereka duduk menghadapi api unggun, saling berhadapan, terhalang api unggun, akan tetapi bahkan dapat saling pandang karena wajah masing-masing tertimpa sinar api kemerahan.

Beberapa kali sinar mata mereka bertaut dan selalu Sun Hok yang menundukkan pandang mata lebih dahulu. Biarpun usianya sudah dua puluh tiga, selama ini Sun Hok tidak pernah bergaul dengan wanita. Kesenangannya hanyalah memperdalam ilmu silat, menjelajah ke gunung-gunung dan sungai-sungai, mencari kesibukan dalam kesepian.

Semenjak Wa Wa Lobo meninggal dunia, dia seperti kehilangan pegangan dan kadang-kadang terjadi perang di dalam batinnya. Apakah dia harus membalaskan kematian ibu kandungnya, juga kematian Wa Wa Lobo kepada Ceng Sui Cin? Akan tetapi, kalau dia teringat kepada Ceng Sui Cin, apalagi kepada puterinya, Cia Kui Hong, dia merasa kagum dan bahkan semua petuah yang pernah didengarnya dari Ceng Sui Cin, tak pernah dapat dilupakannya.

Menurut anjuran Wa Wa Lobo, sebagai seorang anak berbakti dia harus membalaskan kematian ibunya. Akan tetapi, menurut nasihat Ceng Sui Cin, ibu kandungnya pernah melakukan penyelewengan, menjadi tokoh sesat dan memberontak dan bahwa satu-satunya cara baginya untuk berbakti kepada ibunya adalah dengan perbuatan-perbuatan baik untuk menebus semua dosa ibunya yang lalu!

Kini, dia bertemu dengan seorang wanita lagi yang secara mendadak telah menyita seluruh perhatiannya, membuat dia terpesona, padahal dia sama sekali tidak mengenal siapa wanita ini dan orang macam apa! Kecantikannya yang khas itukah yang membangkitkan rangsangan dalam hati mudanya? Ataukah sikap gadis itu demikian gembira? Juga, biar nampak masih amat muda, namun demikian pandai membawa diri, dapat menguasai diri, tenang dan yakin akan kemampuan diri sendiri? .

Tanah liat yang membungkus dua ekor ikan itu sudah mulai kering dan tidak tercium bau gurih seperti kalau Sun Hok memanggang ikan itu tanpa dibungkus tanah liat.

"Kenapa harus dibungkus tanah liat?" akhirnya Sun Hok bertanya karena sejak tadi, setiap kali beradu pandang, mereka hanya senyum-senyum saja, seolah-olah merasa canggung dan malu untuk bicara, seolah-olah tidak ada apa-apa lagi untuk dibicarakan karena kalau sampai mereka bicara, suasana yang demikian aneh dan menggembirakan itu akan terganggu.

Gadis itu memandang dan menyembunyikan senyum, lalu menunduk dan menggunakan sumpit besar itu membalikkan ikan dalam tanah liat itu.

"Kalau dipanggang begitu saja, ikannya akan bau asap, juga bisa gosong. Akan tetapi kalau dibungkus tanah liat, tidak berbau asap, tidak gosong dan panasnya lebih meresap, bumbunya akan terasa benar dan biarpun dagingnya masih nampak putih kemerahan seperti mentah, namun sesungguhnya sudah lunak dan matang. Memanggang seperti ini merupakan cara memanggang istimewa yang biasanya dihidangkan kepada para bangsawan di istana.”

Sun Hok mengerutkan alisnya. Gadis ini tahu akan kebiasaan memasak di istana bangsawan? Apakah ia seorang puteri? Melihat pakaiannya, walaupun cukup indah, namun tidaklah terlalu mewah. Juga perhiasan di leher, telinga dan lengannya bukan dari emas murni berhiaskan permata mahal, hanya perhiasan sederhana saja.

Akan tetapi cara bicaranya demikian halus, seperti seorang terpelajar, dan gerak-geriknya pun lembut, suaranya merdu dan mengerti akan cara memasak hidangan para bangsawan! Makin tertariklah hatinya, seperti menghadapi sebuah rahasia yang harus dipecahkan.

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar