*

*

Ads

Rabu, 23 Mei 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 149

Bukit itu tinggi dan termasuk deretan puncak-puncak pegunungan Yunan yang paling selatan. Tertutup sebagian oleh awan dan puncaknya penuh hutan sehingga tidak nampak dari jauh adanya sebuah bangunan yang amat indah dengan atapnya meruncing ke atas seperti kuil di Birma. Atap itu sendiri terbuat dari tembaga yang dihias emas. Ada kalanya, kalau hari cerah, nampak sinarnya mengkilap menyilaukan mata. Itulah bangunan yang menyerupai istana, milik dari Kulana, bangsawan Birma yang melarikan diri dari selatan.

Baru tiba di lereng saja dan melihat bangunan istana itu dari jauh, Pak Kwi Oang dan Tung Hek Kwi sudah merasa kagum. Juga Bi Lian kagum sekali. Bangunan itu megah dan indah. Apalagi ketika tiba-tiba muncul belasan orang menyambut dengan tiga buah joli, mempersilahkan tiga orang tamu agung itu naik joli dan digotong naik seperti orang-orang bangsawan. Pak Kwi dan Bi Lian terpaksa juga menerimanya.

Mereka digotong melalui pintu gerbang yang dijaga ketat dengan orang-orang berseragam dan bersenjata tombak. Kemudian, ketika tiga orang tamu agung itu digotong memasuki serambi depan, terdengarlah bunyi musik menyambut mereka.

Tirai joli disingkap dan tiga orang itu melihat tujuh orang wanita penari yang cantik-cantik menyambut mereka dengan tarian yang lemah gemulai, mengiringkan tuan rumah yang kini mengenakan pakaian amat indahnya, pakaian seorang pangeran serba mewah dan kaki tangan dan kepalanya terhias emas permata!

“Selamat datang di istana kami!” kata Kulana dengan sikap yang anggun dan agung ketika mereka bertiga itu keluar dari joli yang sudah diturunkan.

Bi Lian turun dan memandang kagum. Istana itu memang indah. Di depannya terdapat sebuah taman yang teratur dan penuh dengan beraneka bunga. Pot-pot berukir indah memnuhi serambi, dan perabot rumahnya pun ukir-ukiran serba indah.

“Ha-ha-ha, mimpikah aku? Seperti berada di dalam istana saja!” kata Pak Kwi Ong ketika mereka bertiga dipersilakan masuk.

Di sebelah dalamnya lebih mewah lagi. Mereka dipersilakan masuk ke sebuah kamar tamu yang luas, dengan meja kursi berlapis emas. Suara musik berbunyi terus dan kini bermunculanlah gadis-gadis pemusik, penari dan penyanyi, belasan orang banyaknya, mengambil tempat duduk di lantai sudut dan mulai memainkan musik dengan lembut, diiringi nyanyian dan tarian lembut pula.

Hawa di ruangan itupun sejuk karena angin yang masuk semilir dari bagian samping yang terbuka menembus ke sebuah taman lain dimana terdapat air mancur.

“Selamat datang di istana kami, dan semoga para dewa melindungi perjalanan San-wi (Anda Bertiga).”

Kata Kulana sambil mengangkat cawan anggur yang sudah penuh dengan anggur harum yang disuguhkan oleh gadis-gadis cantik berpakaian setengah telanjang sehingga nampak perut, paha dan bagian payudaranya.

Pak Kwi Ong, Tung Hek Kwi, dan Bi Lian minum anggur itu dan ternyata dikeluarkan oleh para gadis pelayan, banyak macamnya dan masih mengepul panas.

“Sebelum kita bicara, mari kita makan dulu dan kami mengharapkan puas dengan hidangan kami yang seadanya.”

Ternyata “yang seadanya” itu amat berlebihan. Lebih dari tiga puluh macam banyaknya! Akan tetapi dasar tamunya Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi, tidak satupun dari tiga puluh macam masakan itu ada yang mereka lewatkan! Bi Lian hanya memilih yang menarik seleranya saja dan harus diakuinya bahwa selamanya belum pernah ia makan hidangan yang demikain lezatnya!

Setelah mereka selesai makan, tuan rumah mempersilakan mereka untuk melihat-lihat keadaan di dalam istananya. Bahkan semua kamar dibuka satu demi satu. Kamar perpustakaan penuh dengan kitab-kitab kuno, kamar senjata penuh dengan senjata pusaka yang serba aneh dan berharga. Bahkan kamar harta dimana bertumpuk peti-peti berisi emas permata yang menyilaukan mata.

Dua orang kakek itu terpesona dan mereka tidak meragukan lagi bahwa Kulana adalah seorang pangeran, seorang bangsawan yang amat kaya-raya, hidupnya seperti raja saja dan tidaklah mengherankan kalau dia bercita-cita mendirikan sebuah kerajaan baru untuk menandingi kerajaan yang kini berkuasa. Kalau Bi Lian dapat menjadi jodohnya dan kelak orang ini menjadi kaisar, mereka berdua otomatis akan menjadi orang-orang mulia!

Setelah mereka kembali duduk di ruangan tamu, Kulana menghadapi tiga orang tamunya dan bertanyalah dia kepada dua orang kakek itu, sikapnya berwibawa.






“Ji-wi Locianpwe tentu sudah mendapat tahu dari Bengcu akan pinangan kami terhadap Nona Cu Bi Lian. Kami harap, setelah Sam-wi melihat sendiri keadaan kami, dapat memberi jawaban yang pasti.”

Terkejutalah Bi Lian mendengar ini. Wajahnya berubah merah sekali dan ia memandang kepada tuan rumah, lalu kepada dua orang gurunya.

Dua orang kakek itu saling pandang dan Pak Kwi Ong tertawa lebar sampai perutnya bergerak-gerak.

“Ha-ha-ha, sungguh merupakan penghormatan besar sekali bagi kami, Pangeran!” Dia menyebut pangeran begitu saja tanpa ragu lagi. “Dan tentu saja pinangan itu kami terima dengan kedua tangan terbuka. Bukankah begitu, Setan Hitam?”

Tung Hek Kwi mengerutkan alisnya dan memandang kepada muridnya.
“Bagiku sih terserah kepada Bi Lian.”

“Aih, sebenarnya apakah artinya ini semua, Suhu?” tanya Bi Lian penasaran.

“Begini, muridku. Pangeran Kulana ini begitu melihatmu langsung saja tergila-gila dan dia mengajukan pinangan melalui Suhengmu, Lam-hai Giam-lo, untuk mengambilmu sebagai isterinya dan kelak engkau akan menjadi permaisurinya, karena orang seperti dia ini kami yakin kelak akan menjadi seorang raja. Tentu saja kami setuju, dan engkaupun tentu setuju, bukan?”

Bi Lian mengerutkan alisnya dan teringatlah ia kepada Pek Eng. Celaka, nasibnya sungguh sama seperti Pek Eng, pikirnya. Akan tetapi ia tidak sudi menjadi boneka. Ia sama sekali tidak sudi menjadi boneka. Ia sama sekali tidak mencintai pria yang pongah ini, sedikitpun tidak suka walaupun ia kagum akan keliahaian dan kekayaannya. Akan tetapi, melihat betapa Pak Kwi Ong agaknya setuju benar, dan Tung Hek Kwi kelihatan masih meragu, iapun tidak berani menolak begitu sasja.

“Suhu, pernikahan adalah suatu urusan besar bagi seorang wanita, yang akan menentukan keadaan hidupnya di masa mendatang. Oleh karena itu, bagaimana mungkin aku mengambil keputusan dalam sesaat saja? Biarlah kupikirkan dulu hal ini dan berilah waktu tiga hari kepadaku untuk mengambil keputusan dan memberi jawaban.”

Sikap Bi Lian tegas dan Kulana dapat menerima ini. Dia tersenyum dan memandang kagum.

“Nona Cu memang bijaksana. Segala keputusan memang harus dipikirkan masak-masak agar tidak menyesal di kemudian hari.”

Mereka bertiga lalu meninggalkan istana itu atas desakan Bi Lian dan setiba mereka di dalam hutan, sebelum sampai di rumah Lam-hai Giam-lo, Bi Lian menghentikan langkahnya.

“Suhu berdua sungguh terlalu!” tiba-tiba ia berkata sambil memandang mereka dengan muka merah.

”Wah, apa maksudmu, Bi Lian?” tanya Pak Kwi Ong tertawa.

“Terutama Suhu yang belum apa-apa sudah menyetujui pinangan itu. Aku ini bukan boneka, aku seorang manusia yang berhak menentukan pilihanku sendiri. Aku dilamar orang begitu saja dan Suhu menganggap aku ini seekor kucing atau anjing?”

“Bi Lian, apa katamu itu?” Pak Kwi Ong yang tak pernah marah, sekali ini membentak Bi Lian. “Engkau muridku, maka engkau harus mentaati aku, dan sekali ini, engkau harus taat, engkau harus menjadi isteri Kulana!”

“Tidak, Suhu. Aku tidak suka menjadi isterinya. Aku sama sekali tidak pernah memikirkan tentang jodoh, dan aku tidak cinta padanya.”

“Tidak, engkau harus mau!” bentak Pak Kwi Ong.

“Hemmm, kalau begitu Suhu saja menjadi isterinya!” Bi Lian berkata nyaring.

“Aku tidak sudi!”

“Aku akan memaksamau.”

“Aku akan melawan!”

“Murid murtad!”

Pak Kwi Ong marah sekali dan secepat kilat menyambar dia sudah menyerang muridnya sendiri dengan pukulan maut. Tangannya mengeluarkan uap tebal. Akan tetapi Bi Lian sudah siap siaga dan iapun mengelak. Ketika Pak Kwi Ong mendesak, tiba-tiga Tung Hek Kwi menggerakkan tangannya menangkis.

“Dukk!” Keduanya terpental ke belakang.

Wajah Pak Kwi Ong berubah merah sekali.
“Setan Hitam, engkau berani membelanya?”

“Tentu saja ! Muridku, ingat? Siapa yang mengganggunya berarti mengganggu aku!”

“Ia harus kawin dengan Kulana!”

“Tidak, ia boleh menentukan pilihannya sendiri!”

“Keparat!”

“Bedabah!”

Dua orang kakek yang usianya sudah delapan puluh tiga tahun itu kini saling hantam dan saling serang dengan hebatnya! Mereka adalah orang-orang yang sudah tua renta, kepandaian mereka sudah mencapai tingkat tertinggi akan tetapi tenaga mereka sudah banyak berkurang dimakan usia tua. Pukulan-pukulan mereka merupakan pukulan maut dan kini mereka sudah dipengaruhi amarah yang membuat mereka keduanya seperti buta.

Bi Lian menjadi bingung, akan tetapi tidak dapat melerai. Berbahaya untuk menyelinap diantara keduanya dan ia hanya mampu berteriak mengingatkan mereka tanpa hasil.

Belum sampai tiga puluh jurus dua orang datuk sesat seperti iblis ini saling gempur, keduanya sudah kehabisan napas dan dalam pengerahan tenaga terakhir, keduanya mengadu kekuatan melaui kedua telapak tangan.

“Dess…!” keduanya terjengkang dan roboh terkulai, tak mampu bangkit kembali dengan napas empas-empis!

“Suhu….!”

Bi Lian berlutut diantara keduanya, menjadi bingung juga melihat betapa kedua orang gurunya itu sama-sama luka parah sekali dan napasnya tinggal satu-satu. Keduanya telah saling hantam dan tidak mampu bertahan lagi. Setelah melihat keadan kedua orang tua itu, barulah ia teringat betapa sayangnya mereka itu kepadanya selama ini dan tak terasa lagi Bi Lian menangis!

Pak Kwi Ong mencoba untuk membuka matanya dan dia masih tersenyum menyeringai walaupun sudah megap-megap.

“Kau… kau harus menjadi isteri Kulana… ahhh….”

“Tidak… kau boleh menolak…”

Dua orang kakek itu, dalam keadaan sekarat, masih saja mempertahankan pendirian mereka. Bahkan mereka kini berusaha meloncat bangun untuk melanjutkan perkelahian, namun mereka terkulai lagi dan roboh, kini tak dapat bergerak lagi karena nyawa mereka telah melayang!

“Suhu…!” Bi Lian menangisi mereka, tubruk sana-sini.

Bi Lian mendengar gerakan banyak orang. Ia melompat bangun dan berhadapan dengan Kulana yang diikuti oleh belasan orang pasukannya. Juga disitu sudah berdiri pula Lam-hai Giam-lo dan dua orang suami isteri Lam-hai Siang-mo!

“Nona Cu, sudahlah, tidak ada yang perlu ditangisi lagi. Marilah ikut bersamaku dan kita rawat dan urus dengan baik-baik jenazah kedua orang Gurumu.” Kata Kulana dengan suara halus dan sikap peramah sekali.

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar