*

*

Ads

Minggu, 20 Mei 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 133

Sejenak Hui Lian mengamati kakek itu, melihat sikap dan ketegakan tubuhnya, masih ada bayangan ketinggian hati kakek itu, pikirnya, akan tetapi sinar matanya lembut dan suaranya halus ramah. Apalagi kalau diingat bahwa kakek ini adalah pendekar Cia Hui Song yang kini telah menjadi ketua Cin-ling-pai, timbul keraguan dalam hatinya untuk menganggap bahwa kakek ini seorang kejam yang telah menyebabkan buntungnya sebelah lengan dai suhengnya, Ciang Su Kiat.

Teringat suhengnya yang buntung, kembali perasaan marah dan penasaran memenuhi hati Hui Lian dan sinar matanya kembali mencorong ketika ia memandang wajah kakek itu.

"Hemm, kiranya engkau Kakek Cia Kong Liang yang berhati kejam itu! Aku adalah adik seperguruan dari Suheng Ciang Su Kiat dan aku datang untuk menegur kelakuanmu yang jahat dan kejam terhadap suheng sehingga dia terpaksa hidup sebagai seorang manusia cacat, kehilangan sebelah lengannya! Sungguh sukar dipercaya bahwa seorang ketua perkumpulan besar Cin-ling-pai, yang mengaku gagah dan pendekar perkasa, dapat bertindak sekejam itu, tanpa perikemanusiaan, membikin buntung lengan muridnya sendiri! Aku datang bukan hanya untuk menegur, akan tetapi juga mewakili Suheng Ciang Su Kiat minta pertanggung jawab atas perbuatan kejam itu!"

Semua orang terkejut mendengar ini dan memandang kepada Kakek Cia Kong Liang. Kakek ini tidak kelihatan heran, hanya menarik napas panjang karena ia merasa sedih diingatkan tentang peristiwa yang terjadi selama kurang lebih dua puluh tahun itu. Selama ini, setelah wataknya berubah, tak pernah dia berhenti menyesali perbuatannya yang didasari kekerasan hatinya, terutama buntungnya lengan Ciang Su Kiat. Setelah dia sadar, barulah dia dapat membayangkan betapa kerasnya sikapnya pada waktu itu.

Ciang Su Kiat adalah seorang murid Cin-ling-pai yang baik dan berbakat. Pada suatu hari, ayah dari Ciang Su Kiat mencuri perhiasan untuk dijual dan untuk mengobati isteri dan anak bungsunya yang sakit keras. Dia ditangkap dan disiksa oleh seorang pembesar, Coan Tihu, sehingga orang tua itu menemui ajalnya. Ciang Su Kiat mengamuk dan menyerbu gedung tihu untuk membunuh Coan Tihu, akan tetapi usahanya tidak berhasil dan dia dikeroyok para pengawal, melarikan diri dan menjadi buronan.

Karena dia dikenal sebagai murid Cin-ling-pai maka tentu saja Coan Tihu lalu menegur pimpinan Cin-ling-pai dan menuntut diserahkannya Ciang Su Kiat. Ketika itu, sebagai Ketua Cin-ling-pai Cia Kong Liang bersikap keras dan tegas hendak menangkap dan menyerahkan Ciang Su Kiat kepada pembesar itu, tanpa mempedulikan alasan mengapa murid itu mengamuk.

Su Kiat mencela peraturan Cin-ling-pai, dan di depan ketua yang juga menjadi gurunya
itu, dia membuntungi lengan kirinya sendiri! Biarpun sudah demikian, tetap saja Cia Kong Liang hendak menyerahkannya kepada Coan Tihu! Karena putus asa, hampir saja Su Kiat membunuh diri. Akan tetapi pada saat itu, muncul Hui Song yang mencegah perbuatannya, bahkan Hui Song mengajak Su Kiat pergi ke gedung Coan Tihu, disana dia meninggalkan buntungan lengannya, kemudian Su Kiat disuruh melarikan diri oleh Hui Song.

Teringat akan semua ini, penyesalan besar muncul di dalam hati Kakek Cia Kong Liang. Setelah menarik napas panjang, Cia Kong Liang memandang wajah gadis itu dan terdengar dia berkata dengan suara halus.

"Nona, tidak kusangkal bahwa kami pernah bersikap terlalu keras terhadap Ciang Su Kiat sehingga ia membuntungi lengannya sendiri. Percayalah bahwa selama ini aku telah merasa tersiksa oleh penyesalan. Akan tetapi, hal itu sudah terjadi dan disesalkan bagaimanapun juga, tidak ada artinya lagi. Kalau Nona merasa penasaran dan datang untuk memberi hukuman sebagai pembalasan atas kesengsaraan yang diderita oleh Ciang Su Kiat, nah, silakan!"

"Nanti dulu!"

Tiba-tiba terdengar Cia Kui Hong membentak marah dan iapun sudah meloncat kedepan kakeknya, melindungi kakeknya dari Hui Lian dan ia memandang kepada Hui Lian dengan alis berkerut dan mata berkilat.

"Enak saja engkau datang menjual lagak dan hendak menghina Kakekku! Engkau tadi bilang bahwa engkau datang untuk membela Suhengmu, nah, sekarang aku berada disini untuk membela Kong-kongku! Engkau yang datang tanpa diundang, seperti maling mencari keributan, sambutlah seranganku ini!" Kui Hong sudah mencabut pedangnya dan sudah menyerang dengan dahsyatnya!

Hui Lian terkejut melihat serangan ini dan iapun cepat kebelakang sambil mencabut pedang dari punggungnya. Sinar berkilat ketika pedang Kiok-hwa-kiam tercabut dan tertimpa sinar lampu dan lentera yang tergantung di ruangan itu. Kui Hong sudah menerjang lagi dan menyerang dengan pedangnya, gerakannya cepat dan mengandung tenaga yang cukup kuat. Hui Lian maklum akan kelihaian lawan maka iapun menangkis.

Terdengar suara berdencing nyaring ketika sepasang pedang bertemu dan nampak api berpijar. Dengan kaget sekali Kui Hong merasa betapa lengan kanannya tergetar hebat dan kesemutan, maka tahulah ia bahwa lawan ini memang lihai bukan main.






Cia Kong Liang dan Cia Hui Song terkejut melihat betapa Kui Hong menyerang gadis itu, akan tetapi diam-diam mereka pun ingin sekali melihat sampai dimana kelihaian gadis yang mengaku sumoi dari Ciang Su Kiat itu, maka mereka mendiamkannya saja.Dan mereka pun terkejut.

Terjadilah perkelahian pedang yang amat hebat dan biarpun kini Kui Hong memiliki tingkat kepandaian yang amat tinggi, namun gadis itu ternyata memiliki gerakan yang aneh dan hebat bukan main.

Hui Song yang diam-diam memperhatikannya, merasa heran sekali karena dia yang sudah banyak pengalaman tetap tidak pernah melihat ilmu pedang seperti yang dimainkan oleh Hui Lian. Hal ini tidaklah aneh karena ilmu pedang itu adalah In-liong Kiam-sut, ilmu pedang peninggalan dari In Liong Nio Nio, seorang diantara Delapan Dewa!

Yang membuat Kui Hong mulai terdesak dan kewalahan adalah kehebatan ginkang dari Hui Lian. Gadis ini dapat bergerak demikian ringan dan cepatnya, seperti seekor burung saja sehingga Kui Hong merasa kalah cepat padahal ia sudah menerima gemblengan dalam hal ilmu meringankan tubuh ini dari neneknya, yaitu Toan Kim Hong!

Tiba-tiba terdengar seruan keras.
"Enci Hong, aku membantumu!"

Dan kini Ling Ling juga sudah meloncat ke dalam kalangan pertempuran, dengan pedang di tangan gadis ini pun membantu Kui Hong menghadapi Hui Lian. Makin hebatlah perkelahian itu dan diam-diam Hui Song dan ayahnya merasa kagum bukan main karena biarpun dikeroyok dua, ternyata gadis itu sama sekali tidak terdesak dan bahkan beberapa kali sinar pedangnya mengancam Ling Ling dan Kui Hong.

Kakek Cia Kong Liang mengerutkan alisnya. Perkelahian itu demikian seru dan hebat. Tentu seorang diantara mereka akan terluka parah kalau dilanjutkan. Kalau sampai terjadi Ling Ling atau Kui Hong terluka, bahkan tewas, dia akan menyesal karena hal itu terjadi gara-gara dia! membayangkan hal ini Cia Kong Liang cepat meloncat ke depan sambil berseru nyaring.

"Cukup, hentikan perkelahian itu! Kui Hong, Ling Ling, mundurlah kalian!"

Dua orang gadis itu terpaksa berloncatan ke belakang dan kini Cia Kong Liang menghadapi Hui Lian yang masih memegang pedangnya. Diam-diam gadis ini merasa kagum. Dua orang gadis muda itu sungguh lihai dan biarpun ia mampu menandingi mereka, akan tetapi agaknya tidak terlalu mudah baginya untuk menundukkan mereka. Belum lagi maju pendekar Cia Hui Song! Kalau keluarga itu maju, ia dapat celaka!

"Nona," kata kakek itu kepada Hui Lian. "Urusan antara aku dan Ciang Su Kiat yang sekarang kau wakili adalah urusan pribadi, aku tidak ingin keluargaku tersangkut. Karena itu, kalau engkau masih penasaran dan hendak menyelesaikan perkara ini dengan kekerasan, nah, akulah yang harus kauserang, bukan cucu-cucuku. Majulah dan lawanlah aku, Nona!"

Nada suara Cia Kong Liang halus, namun menantang karena memang dia sengaja menantang agar gadis itu menyerang dia saja, walaupun dia maklum bahwa dia tidak akan menang dan tentu dia akan tewas di tangan gadis yang lihai ini. Dia rela menebus dengan nyawanya sebagai pembayar hutang.

Hui Lian memang sudah marah sekali. Dendamnya karena penderitaan suhengnya amat besar. Ia ingin melakukan sesuatu untuk suhengnya itu, ia memegangi pedangnya lebih erat lagi.

"Kakek Cia, keluarkan senjatamu!" bentaknya.

Cia Kong Liang tersenyum dan menggeleng kepalanya.
"Nona, sudah lama aku membersihkan batinku dari kekerasan, oleh karena itu, sudah pantang bagiku untuk membiarkan tangan ini memegang pedang. Kalau engkau hendak menyerangku, pergunakan pedangmu dan aku akan menghadapimu dengan tangan kosong saja."

Hati yang sedang dikeruhkan amarah membuat orang tidak waspada dan selalu salah terima akan maksud orang lain. Demikian pula dengan Hui Lian. Mendengar ucapan itu, ia salah paham, menganggap bahwa kakek itu memandang rendah kepadanya, menantangnya dengan tangan kosong! Maka mukanya menjadi semakin merah.

"Bagus! Kakek sombong, jangan salahkan pedangku ini!"

Dan iapun menerjang dan menusukkan pedangnya. Bukan main kaget hati Hui Lian ketika melihat betapa orang yang ditusuknya itu sama sekali tidak mengelak, menerima saja tusukan pedangnya yang meluncur ke arah dada! Cepat ia hendak menarik tangannya, namun terlambat karena pedang itu sudah meluncur terlalu cepat.

Pada saat itu nampak bayangan orang berkelebat, cepat sekali dan lengan kanan Hui Lian ditangkis orang sehingga tusukannya itu meleset dan tidak mengenai sasaran. Ketika Hui Lian meloncat ke belakang dan memandang, ia terkejut bukan main melihat suhengnya, Ciang Su Kiat, telah berdiri disitu dan kiranya suhengnya yang tadi menangkis dan menggagalkan serangannya.

"Sumoi, sarungkan kembali pedangmu!" kata Su Kiat dengan halus dan melihat sinar mata suhengnya yang mengandung penyesalan, Hui Lian cepat menyarungkan pedangnya kembali.

Su Kiat lalu memegang tangan sumoinya dan ditariknya sumoinya itu diajaknya berlutut di depan kaki Cia Kong Liang!

"Locianpwe, sayalah yang memohonkan maaf bagi kelancangan Sumoi Kok Hui Lian. Kalau Locianpwe hendak menghukumnya, hukumlah saya sebagai penggantinya......"

Melihat bekas muridnya ini, hati kakek itu diliputi keharuan. Ternyata muridnya ini telah berubah sama sekali. Kini telah berusia lima puluh tahun lebih dan sikapnya demikian matang, demikian berwibawa namun suaranya halus dan tenang. Dia lalu membungkuk dan memegang kedua pundak Ciang Su Kiat sambil berkata.

"Su Kiat, bangkitlah, dan engkau juga, Nona. Su Kiat, sudahlah, jangan membuat aku merasa semakin sedih dan menyesal. Sungguh, aku sudah merasa menyesal sekali karena sikap dan perbuatanku dimasa lalu. Bahkan untuk menebus kesalahanku itu, aku tadi rela mati di ujung pedang Sumoimu yang lihai ini."

"Locianpwe, sama sekali tidak ada penyesalan. Yang sudah terjadi adalah peristiwa yang lalu, dan sudah dikehendaki Thian. Bahkan saya telah merasakan berkah dan hikmat peristiwa itu. Sumoi terburu nafsu dan karena itu saya mohon maaf dan kami mohon diri. Mari, Sumoi, kita pergi."

Sambil memegang tangan sumoinya, Su Kiat mengajaknya pergi dan sekali meloncat tubuh mereka berkelebat dan lenyap di tengah kegelapan malam! Semua orang tertegun dan kagum bukan main.

"Bukan main!" kakek Cia Kong Liang memuji. "Su Kiat kini telah menjadi seorang yang luar biasa lihainya...."

Hui Song lalu menepuk pahanya sendiri.
"Aihhh... sekarang aku teringat! Gadis itu tentulah puteri Kok Taijin!"

Kui Hong yang juga kagum terhadap wanita muda yang lihai bukan main itu segera bertanya.

"Ayah, siapakah itu Kok Taijin?"

"Dia adalah bekas gubernur San-hai-koan, seorang pembesar yang setia kepada pemerintah dan menjadi korban pemberontakan."

Hui Song lalu menceritakan peristiwa yang terjadi dua puluh tahun yang lalu. Ketika itu, terjadi pemberontakan dari persekutuan orang jahat dan San-hai-koan di serbu pemberontak. Rumah Gubernur Kok diserbu penjahat dan keluarga itu tewas semua, kecuali seorang anak perempuan berusia sepuluh tahun yang berhasil di selamatkan Hui Song.

Akan tetapi, ketika dia melarikan anak perempuan itu, ditengah perjalanan dia dihadang oleh tokoh-tokoh sesat yang membantu pemberontakan, karena dikeroyok tiga orang sakti, terpaksa Hui Song melepaskan anak perempuan itu. Pada saat anak perempuan itu terancam bahaya karena di tangkap seorang diantara para datuk sesat, muncullah Ciang Su Kiat yang menyelamatkan dan membawa lari anak perempuan puteri Gubernur Kok itu.

"Nah, demikianlah. Tadi aku seperti merasa pernah mengenal gadis itu, akan tetapi lupa lagi. Kiranya ia anak perempuan dahulu itu sekarang telah menjadi Sumoi dari Suheng Ciang Su Kiat! Bukan main, memang mereka berdua telah memiliki kepandaian yang amat hebat!"

Kakek Cia Kong Liang kembali ke dalam kamarnya untuk bersamadhi dengan prihatin. Peristiwa tadi menggugah semua kenangan dan mendatangkan penyesalan yang lebih menekan hatinya.

Sementara itu, Hui Song mengajak puterinya dan Ling Ling untuk bercakap-cakap, terutama sekali Kui Hong diminta untuk menceritakan semua pengalamannya dan keadaan ibunya yang berada di Pulau Teratai Merah.

Juga antara Kui Hong dan Ling Ling segera terjalin hubungan yang akrab dan cocok. Dalam percakapan ini, Hui Song menyatakan bahwa dia akan segera mengunjungi tempat mertuanya di Pulau Teratai Merah, dan minta maaf kepada kedua orang mertuanya, juga kepada isterinya, dengan harapan mudah-mudahan setelah lewat tiga tahun lebih, kini isterinya itu sudah dingin hatinya, mau memaafkannya dan mau kembali ke Cin-ling-san.

**** 133 ****
Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar