*

*

Ads

Jumat, 18 Mei 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 130

Kesempatan ini yang sudah diperhitungkan Ling Ling dan iapun cepat menerobos diantara dua orang yang melangkah mundur itu. Dan iapun sudah berada di luar lingkaran!

Akan tetapi, betapa herannya ketika ia memandang, ternyata ia telah dikepung pula dan lingkaran tujuh orang itupun kembali sudah mengelilinginya. Kiranya, lingkaran itu dapat bergerak dengan teratur sekali sehingga begitu ia menerobos keluar, lingkaran itu telah bergerak cepat membuat lingkaran lain sehingga ia tetap saja berada dalam kepungan tujuh orang.

Kini, tujuh orang itu melakukan serangan dan bukan main hebatnya! Mereka bergerak menyerang susul-menyusul, bukan secara kacau melainkan dengan teratur sekali dan serangan susulan orang berikutnya merupakan lanjutan dari serangan orang pertama!

Orang pertama menghantam dari atas, turun ke arah kepalanya, ketika Ling Ling menangkis dari samping, orang ke dua menyerang ke lambung, ke bawah lengan kanannya yang terbuka untuk menangkis tadi dan pada saat ia mengelak, orang ke tiga sudah menendang ke arah lututnya dan begitu ia meloncat ke atas menghindar, orang ke empat menyambutnya dengan tusukan jari tangan ke arah jalan darah di punggung!

Serangan itu susul-menyusul dan bertubi-tubi datangnya. Terpaksa Ling Ling menggerakkan tubuh dengan kelincahannya, menangkis kanan kiri sambil berlompatan
menghindar, menyelinap diantara sambaran banyak kaki tangan tujuh orang lawannya. Dan setiap kali ia menerobos keluar, ia hanya memasuki lain lingkaran yang dibuat mereka secara otomatis.

Ling Ling terus menangkis dan mengelak sambil memutar otaknya. Kalau ia menghendaki, tentu saja dia dapat bertindak dengan kekerasan, merobohkan mereka. Akan tetapi ia tidak mau melakukan hal itu karena ia tidak ingin melukai murid-murid Cin-ling-pai yang kalau diingat hubungan antara ayahnya dan Cin-ling-pai, para murid ini masih terhitung saudara-saudaranya seperguruan pula.

Baru melihat gerakan silat mereka saja sudah menjadi bukti bahwa ia dan mereka sealiran, memiliki dasar gerakan yang sama. Kalau tadi ia membuat lima orang dari pasukan pertama terpelanting, iapun tidak melukai mereka dan hanya mempergunakan angin pukulannya saja membuat mereka terpelanting.

Akan tetapi, ia tidak akan mampu merobohkan tujuh orang ini dengan cara seperti tadi karena mereka ini memiliki tingkat yang lebih tinggi dari pasukan pertama. Tiba-tiba, setelah mendapatkan akal, Ling Ling mencabut pedangnya yang selalu tersembunyi di balik buntalan pakaian yang digendongnya dan dengan pedang itu, ia lalu membuat gerakan ke bawah menyerang ke sekelilingnya dengan babatan pedang!

Tentu saja semua lawan menjadi terkejut dan untuk menyelamatkan kaki, mereka itu membuat gerakan mundur, memperlebar lingkaran. Akan tetapi, sungguh di luar dugaan Ling Ling, kini tujuh orang itupun sudah mencabut pedang masing-masing dan mereka kini menyerang lagi seperti tadi, walaupun dalam lingkaran yang lebih lebar, menggunakan pedang secara susul-menyusul, menyerang gadis itu.

Inilah peraturan dari pasukan Cin-ling-pai yang gagah. Mereka akan mengepung seorang dengan tangan kosong dan baru kalau orang itu mempergunakan senjata, mereka akan mencabut senjata mereka pula.

Tentu saja Ling Ling menjadi semakin repot! Tadinya, ia ingin para pengepungnya itu melonggarkan kepungan agar ia dapat menerobos keluar tanpa dapat terkepung lagi. Siapa kira, penggunaan pedang olehnya seperti memancing mereka mempergunakan pedang pula, dan kini ia dikeroyok dengan serangan-serangan pedang yang tentu saja lebih berbahaya daripada serangan kaki tangan mereka tadi.

Akan tetapi kegembiraannya timbul karena kini ia dapat menguji dirinya dalam menghadapi pengeroyokan bersenjata. Ia memutar pedangnya dan nampaklah sinar putih bergulung-gulung yang amat rapat menyelimuti tubuhnya sehingga semua serangan lawan tertangkis begitu bertemu dengan gulungan sinar pedangnya.

Akan tetapi, dengan sendirinya iapun tidak sempat lagi untuk balas menyerang, apalagi karena ia tidak ingin melukai lawan dengan pedangnya, berbeda dengan tujuh orang itu yang menyerang dengan sungguh-sungguh dan kalau gadis itu tidak cepat dapat menangkis, tentu nyawanya terancam bahaya.

Tiba-tiba sekali, Ling Ling mengeluarkan jerit melengking tinggi yang menggetarkan jantung tujuh orang pengeroyoknya dan pada saat tujuh orang murid Cin-ling-pai itu terkejut dan mereka mengerahkan sinkang untuk melawan pengaruh lengkingan itu, tubuh gadis ini telah melayang tinggi dan berhasil keluar dari kepungan tujuh orang itu ketika ia melayang turun ke arah dalam, di pekarangan rumah induk perkampungan.

Akan tetapi begitu kedua kakinya sudah menginjak tanah, tahu-tahu ia telah dikepung oleh sembilan orang laki-laki yang sikapnya tenang akan tetapi berwibawa dan mereka telah membentuk barisan segi tiga yang mengepungnya. Di depannya berdiri berjajar empat orang, di kanan kiri masing-masing dua orang dan di belakangnya satu orang. Mereka tidak membuat gerakan langkah seperti barisan kedua tadi.






Teringat akan pengeroyokan dengan pedang, cepat ia menyimpan pedangnya karena
menghadapi pengeroyokan dengan senjata ternyata lebih berbahaya baginya. Inilah pasukan ke tiga, pikirnya. Ia harus berhati-hati karena dari sikap mereka saja dapat diduga bahwa mereka tentulah murid-murid pilihan dari Cin-ling-pai dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Usia merekapun tentu lebih dari tiga puluh tahun. Maka, Ling Ling menjura dengan sikap hormat.

"Harap Cu-wi (Anda Sekalian) berbaik hati dan membiarkan aku masuk dan mengharap Ketua Cinling-pai."

"Nona, engkau masuk dengan kekerasan dan sudah dapat melampaui dua pasukan. Untuk dapat menghadap Pangcu (Ketua), engkau harus dapat lolos dari kepungan kami." kata seorang diantara mereka dengan suara tenang dan sikap yang sungguh-sungguh, sedikit pun mereka ini tidak memandang rendah kepada Ling Ling walaupun ia hanya seorang gadis remaja.

Ling Ling menarik napas panjang.
"Apa boleh buat, terpaksa aku bersikap kurang ajar. Bukan aku takut, melainkan aku tidak ingin membikin ribut, akan tetapi kalian yang menghalangiku menghadap Ketua Cin-ling-pai!"

Setelah berkata demikian, ia menerjang diantara dua orang yang berada di depannya, untuk menerobos keluar dari kepungan. Akan tetapi, dua orang itu menyambutnya dengan tangkisan dan cengkeraman.

"Duk! Duk!"

Kedua lengan Ling Ling bertemu dengan lengan dua orang lawan itu dan ia merasa betapa mereka itu memiliki sinkang yang kuat juga dan gerakan mereka dengan kedua tangan menyerang dan menangkis satu ke atas satu ke bawah membuat ia mengenal ilmu silat yang mereka pergunakan.

"Thian-te Sin-ciang ....!" katanya dan iapun menerjang lagi dengan gembira, mempergunakan Thiante Sin-ciang dan karena memang gadis ini memiliki simpanan tenaga sinkang yang amat kuat, maka terjangannya membuat dua orang pengepung lain terdesak mundur.

Akan tetapi, segera teman-temannya sudah menerjang dari kanan kiri, membuat Ling Ling terpaksa menyambut mereka dengan kelincahan gerakannya. Kini, sembilan orang itu menyerangnya bergantian dan biarpun gerakan mereka nampak lambat, namun mengandung kekuatan dahsyat.

"Thai-kek Sin-kun ....!"

Ling Ling berseru pula ketika mengenal gerakan mereka. Pada saat itu, dari dalam rumah muncul Cia Hui Song, Ketua Cin-ling-pai. Dia tertarik mendengar betapa gadis itu mengenal ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai, apalagi ketika melihat bahwa gadis itu masih demikian muda dan ilmu silatnya demikian lihai.

"Tahan .....!" serunya dan mendengar suara ketua mereka, sembilan orang murid itu cepat berlompatan mundur dan berdiri di kanan kiri dengan sikap hormat.

Ling Ling mengangkat muka memandang. Laki-laki yang berdiri di depannya itu berusia empat puluh tahun lebih, tampan dan gagah, pakaiannya sederhana dan sepasang matanya amat tajam dan mencorong seperti mata ayahnya sendiri. Timbul perasaan hormat dalam hati Ling Ling karena dia dapat menduga bahwa tentu orang ini merupakan tokoh penting di Cin-ling-pai yang mampu membuat pasukan sembilan orang itu demikian taat. Iapun lalu menjura dan berkata dengan suara sopan.

"Maafkan saya yang tidak sengaja hendak membikin ribut di Cin-ling-pai, akan tetapi saya mohon dapat bertemu dengan Ketua Cin-ling-pai."

Cia Hui Song tersenyum.
"Anak yang baik, akulah Ketua Cin-ling-pai."

Gadis itu memandang dengan mata terbelalak, tidak percaya.
"Akan tetapi Ayah... Ayah bilang bahwa Ketua Cin-ling-pai sudah tua... ah, kalau begitu, apakah Ketua Cin-ling-pai sekarang bukan Kakek Cia Kong Liang lagi?"

Hui Song semakin tertarik.
"Cia Kong Liang adalah Ayahku yang sudah mengundurkan diri dan aku sebagai penggantinya..."

"Kalau begitu engkau tentu Paman Cia Hui Song!" Ling Ling berseru girang.

"Dan engkau tentu puteri Cia Sun, dan namamu... Cia... eh, siapa aku lupa lagi..."

"Cia Ling, panggilan sehari-hari Ling Ling!"

"Benar, engkau masih kecil sekali ketika aku berkunjung ke rumah orang tuamu. Aih, engkau sudah begini besar dan lihai. Ling Ling, mari masuk dan kita bicara di dalam." ajak Hui Song dengan girang sekali.

Gadis itupun tersenyum, mengangguk dan melirik ke arah para murid Cin-ling-pai, lalu bersoja memberi horrnat.

"Kuharap kalian suka memaafkan aku!"

Para murid itupun tersenyum dan membalas penghormatannya.
"Nona masih begini muda sudah lihai bukan main!" kata seorang diantara mereka memuji.

Ling Ling lalu mengikuti Hui Song masuk ke dalam ruangan tamu. Mereka duduk berhadapan dan seorang Cin-ling-pai yang hari itu bertugas di dalam segera menyuguhkan air teh.

"Paman Cia Hui Song, dimanakah adanya Kakek Cia Kong Liang dan dimana pula keluarga Paman?"

"Ayahku semenjak mengundurkan diri, lebih banyak bertapa di dalam kamarnya dan keluargaku... ah, nanti dulu, Ling Ling, engkau jangan menyebut aku paman. Apakah Ayahmu tidak pernah menceritakan tentang silsilah keluarga kita? Ayahmu itu masih terhitung keponakanku, maka seharusnya engkau menyebut kakek kepadaku."

Ling Ling mengangguk.
"Pernah Ayah bercerita, akan tetapi saya sudah lupa lagi. Usia paman sebaya dengan Ayah, sudah sepantasnya kalau disebut Paman."

Cia Hui Song adalah seorang yang berbeda sekali sikap dan wataknya dibandingkan ayahnya, Cia Kong Liang yang selalu memegang teguh peraturan tradisi dan kuno. Mendengar kata-kata gadis remaja itu, diapun tersenyum.

"Baik-baik saja kalau engkau hendak menyebut Paman, akan tetapi ketahuilah bahwa Ayahmu itu masih terhitung keponakanku dan silsilahnya seperti berikut. Kakekku, yaitu Cia Bun Houw, dimasa mudanya telah mempunyai seorang putera, yaitu yang bernama Cia Sin Liong yang kemudian berjuluk Pendekar Lembah Naga. Setelah agak tua, beliau mempunyai seorang putera lagi, yaitu Cia Kong Liang, Ayahku. Uwa Cia Sin Liong mempunyai seorang putera, yaitu Kakak Cia Han Tiong yang hanya tiga tahun lebih muda dari Ayahku. Ayah mempunyai putera aku, maka Kakak Cia Han Tiong, yaitu Kakekmu, adalah kakak sepupuku. Dengan demikian, Ayahmu, Cia Sun, terhitung keponakanku dan engkau adalah cucu keponakanku!"

Ling Ling mengangguk-angguk.
"Sekarang saya ingat, Paman... eh, Cek-kong (Kakek Paman) ...."

Melihat kekikukan gadis itu, Hui Song tertawa.
"Sudahlah, engkau mau menyebut apapun terserah. Pamanpun baik saja bagiku."

"Akan janggal rasanya kalau saya menyebut kakek dan terima kasih kalau saya boleh menyebut Paman. Paman, dimana adanya Bibi? Bukankah Bibi bernama Ceng Sui Cin dan memiliki ilmu kepandaian lihai sekali? Menurut cerita Ayah, Bibi adalah puteri dari Pendekar Sadis! Dan kata Ayah, Paman mempunyai pula seorang puteri yang hanya sedikit lebih tua dari saya. Dimana mereka, Paman?"

Di dalam hatinya Hui Song mengeluh, akan tetapi tidak nampak perubahan pada wajahnya.

"Mereka sedang pergi berkunjung ke Pulau Teratai Merah, ke rumah mertuaku. Yang berada di rumah sekarang adalah Bibi mudamu dan anak kami. Tunggulah, kupanggilkan mereka."

Hui Song keluar sebentar dari kamar itu dan tak lama kemudian diapun sudah kembali bersama seorang wanita yang usianya baru sekitar dua puluh tahun, yang menggendong seorang anak laki-laki kecil berusia dua tahun.

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar