*

*

Ads

Minggu, 20 Mei 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 131

Diam-diam Ling Ling merasa heran, akan tetapi sebagai seorang gadis yang tahu sopan-santun, ia tidak banyak bertanya, melainkan memberi hormat ketika diperkenalkan kepada wanita muda yang menjadi isteri muda pamannya itu.

Dengan ramah Siok Bi Nio, isteri ke dua dari Hui Song, menerima penghormatan Ling Ling dan mempersilakannya duduk lagi. Mereka lalu bercakap-cakap, dimana Ling Ling menceritakan bahwa ia datang atas perintah ayahnya, Cia Sun, yaitu menyuruh puterinya untuk melakukan perjalanan meluaskan pengalaman dan pergi berkunjung ke Cin-ling -pai.

"Saya mohon maaf kalau kedatangan saya ini mengganggu dan merepotkan Paman Cia Hui Song dan Bibi." Katanya menutup ceritanya.

Hui Song merasa senang melihat kesopanan gadis ini.
"Ah, tidak sama sekali, Ling Ling. Kami merasa gembira sekali menerima kunjunganmu, tanda bahwa Ayahmu masih ingat kepadaku dan engkau boleh tinggal disini selama yang engkau kehendaki dan anggaplah disini sebagai rumahmu sendiri. Tentang peristiwa tadi, tidak mengapalah. Memang baru saja muncul seorang wanita yang agaknya membawa niat yang kurang baik, maka penjagaan diperketat dan engkau dicurigai. Akan tetapi, kulihat ilmu kepandaianmu sungguh hebat, engkau dengan mudah mampu melampaui dua lapisan pasukan penjaga. Ayahmu tidak menyia-nyiakan kepandaiannya dan telah mendidikmu dengan baik sekali."

"Ah, Paman terlalu memuji." Kata Ling Ling dengan muka agak merah, "Saya masih harus banyak belajar dan mengharapkan petunjuk Paman selama saya berada disini."

Kembali diam-diam Hui Song memuji dalam hatinya. Puteri Cia Sun ini sungguh seorang gadis yang pandai membawa diri, sopan dan rendah hati, kelihatan sudah matang dan berpemandangan luas walaupun usianya masih demikian muda. Hui Song lalu menanyakan keadaan Cia Sun yang dijawab oleh gadis itu bahwa ayahnya dan ibunya dalam keadaan sehat.

"Ayah selalu sibuk dengan pekerjaan bertani. Selain menggarap sawah lading sendiri yang cukup luas dan mempergunakan banyak tenaga petani, juga Ayah suka membeli hasil pertanian dan menjualnya ke kota."

Antara lain Ling Ling bercerita. Keluarga ayahnya memang selama ini hidup di dusun Ciang-si-bun dengan aman dan tenteram, dalam keadaan sederhana saja namun cukup makan pakai, bahkan keluarga ayahnya terkenal sebagai dermawan yang suka mengulurkan tangan membantu para penduduk yang miskin dan kekurangan. Sudah beberapa kali, diwaktu musibah karena musim kering terlampau panjang atau musim hujan terlampau berat sehingga terjadi banjir, keluarga Cia ini tanpa ragu-ragu menguras semua tumpukan dan cadangan gandum dan beras di gudang mereka untuk membantu penduduk agar tidak sampai kelaparan.

Karena itu, nama keluarga Cia ini terkenal sekali di sekitar daerah Ciang-si-bun, bahkan sampai jauh keluar daerah itu. Apalagi, semua orang tahu belaka bahwa keluarga yang terdiri dari ayah dan ibu dan puteri itu, kesemuanya merupakan pendekar-pendekar silat yang amat lihai sehingga daerah itupun aman, tidak ada penjahat yang berani memperlihatkan aksinya.

Setelah menceritakan keadaan orang tuanya, Ling Ling lalu berkata,
"Paman Cia Hui Song, saya ingin sekali menghadap Kakek Cia Kong Liang. Di manakah dia dan bolehkah saya menghadap untuk memberi hormat?"

Cia Kong Liang selain masih terhitung paman kakek buyutnya, juga sukong (kakek guru) karena ibunya, Tan Siang Wi, adalah murid dari kakek itu. Mendengar permintaan Ling Ling, wajah Hui Song berseri. Seorang gadis yang amat pandai membawa diri, pikirnya.

"Kakekmu itu kini lebih suka berada di dalam kamarnya, setiap hari hanya bersamadhi saja, tidak lagi mau mencampuri urusan dunia. Akan tetapi, dia tentu akan senang sekali melihatmu, puteri Cia Sun yang kini telah menjadi seorang gadis dewasa yang amat lihai. Mari kuantar engkau menemuinya."

Kamar dimana Kakek Cia Kong Liang melewatkan sebagian besar waktunya untuk samadhi itu cukup luas, dengan dua buah jendela besar menghadap ke taman sehingga hawanya segar dan cukup menerima sinar matahari. Tidak banyak perabot kamar di situ, kecuali sebuah dipan dan dua buah kursi dengan meja kecil, juga sebuah rak kecil penuh dengan kitab-kitab kuno.

Ketika Hui Song membawa Ling Ling masuk, kakek itu sedang duduk di atas kursi menghadapi sebuah kitab yang terbuka dan dibacanya, di atas meja. Dia menoleh ketika melihat puteranya masuk, dan mengerutkan alisnya ketika melihat seorang gadis. Tadinya, dengan penuh harap dia menyangka gadis itu Kui Hong, cucunya yang amat disayangnya dan sudah lama dirindukannya, akan tetapi setelah mendapat kenyataan bahwa gadis itu bukan cucunya, dia memandang dengan heran mengapa puteranya mengajak seorang gadis asing memasuki kamarnya.






Akan tetapi Ling Ling sudah menjatuhkan dirinya berlutut menghadap kakek itu sambil berkata,

"Sukong, teecu Cia Ling menghaturkan hormat."

Mendengar gadis itu menyebut sukong kepadanya, dan mengaku memiliki she (marga) Cia pula, kakek itu menjadi semakin heran. Dia bangkit berdiri, memandang kepada gadis itu, kemudian kepada puteranya yang berdiri dengan hormat, lalu bertanya,

"Hui Song, siapakah gadis ini?"

"Ayah, dia bernama Cia Ling dan disebut Ling Ling, puteri dari Cia Sun dan Sumoi Tan Siang Wi."

Wajah kakek itu yang penuh dengan garis-garis penderitaan hidup dan yang dibayangi ketenangan mendalam, kini tiba-tiba saja mengeluarkan cahaya berseri, sepasang matanya bersinar-sinar dan pada mulutnya membayang senyum gembira. Dia memandang kepada gadis itu.

"Aha, kiranya engkau puteri mereka! Bangkitlah, Cucuku, dan duduklah di kursi ini. Engkau juga duduklah, Hui Song, dan ceritakan keadaan orang tuamu, Ling Ling."

Gadis itupun bangkit setelah memberi hormat lagi, dan duduk di atas kursi dengan sikap sopan akan tetapi tidak malu-malu. Juga Hui Song duduk di kursi ke dua, bersama Ling Ling menghadap ke arah kakek itu yang kini duduk bersila di atas dipan.

Dengan suara halus namun jelas, Ling Ling menceritakan keadaan orang tuanya, mengulang kembali apa yang sudah diceritakannya tadi kepada Cia Hui Song. Kakek itu mendengarkan dengan gembira dan beberapa kali mengangguk-angguk ketika mendengar akan kebiasaan keluarga itu yang suka mengulurkan tangan membantu para penduduk dusun. Dia mengenal benar watak Cia Sun yang amat baik hati, dan girang bahwa muridnya yang disayangnya, Tan siang Wi, setelah menjadi isteri Cia Sun
ternyata dapat merobah wataknya.

Baru akhir-akhir ini dia menyadari betapa muridnya itu berwatak keras, angkuh dan tidak mau kalah. Untunglah Siang Wi mendapatkan seorang suami seperti Cia Sun yang sabar dan halus, pandai membimbingnya. Setelah gadis itu selesai bercerita, kakek itu bertanya.

"Tentu engkau menerima latihan-latihan ilmu silat dari Ayah bundamu, bukan? Kalau belum cukup kepandaianmu, tidak mungkin orang tuamu menyuruh engkau seorang gadis yang belum dewasa benar melakukan perjalanan seorang diri."

"Sukong, teecu masih bodoh dan berpengetahuan dangkal, mohon banyak petunjuk dari Paman Cia Hui Song dan Sukong selama teecu berada disini."

"Ayah, Ling Ling telah mendapatkan pendidikan ilmu silat yang cukup hebat sehingga ia mampu melewati lapisan pasukan penjaga dengan amat mudahnva. Hanya sebentar saja ia dapat lolos dari kepungan barisan pertama dan ke dua tanpa melukai seorang pun, dan agaknya lapisan ke tiga pun tentu akan dapat dilaluinya dengan baik. Ia hebat, Ayah dan sungguh tidak mengecewakan menjadi puteri Cia Sun dan Tan Siang Wi!" kata Hui Song dengan bangga.

Kakek itu mengangguk-angguk, akan tetapi kembali alisnya berkerut.
"Hui Song, bagaimanakah sampai lapisan penjaga mengeroyok cucuku Cia Ling ini?"

Hui Song tersenyum.
"Harap Ayah ketahui bahwa pagi tadi, sebelum Ling Ling tiba, disini muncul seorang pengunjung yang aneh. Saya sama seklai tidak mengenalnya. Ia seorang wanita muda yang memaksa hendak bertemu dengan Ayah. Karena belum mengenalnya, terpaksa saya menolaknya dan tanpa memperkenalkan diri atau memberitahukan kepentingannya, ia pergi begitu saja. Ketika masuk, iapun melompati para penjaga yang menghadangnya, sikapnya mencurigakan sekali. Oleh karena itu, penjagaan diperketat dan ketika Ling Ling muncul, tentu saja ia di curigai dan dihalangi. Untung saya keluar dan mengenal gerakan-gerakannya."

"Bagus sekali, aku ikut bangga dengan kepandaianmu, Ling Ling. Akan tetapi, siapakah wanita muda yang mencariku itu?"

"Entahlah, saya belum pernah melihatnya dan sikapnya sungguh mencurigakan, dan melihat gerakannya, agaknya ia memiliki ilmu ginkang yang luar biasa sekali, Ayah. Saya merasa curiga melihat sikapnya, mungkin ia mempunyai niat yang buruk terhadap Ayah, oleh karena itu, saya menyuruh para murid melakukan penjagaan dengan ketat."

"Hemm, sudah setua ini, sudah mengundurkan diri, masih saja ada yang mencari dengan niat buruk. Mungkin itu merupakan buah dari pohon yang kutanam dahulu. Kalau ia datang lagi, biarlah kau beritahu aku, aku akan menemuinya," kata kakek itu setelah menarik napas panjang, wajahnya membayangkan penyesalan.

Malam itu Ling Ling tinggal di kamar yang dahulu ditinggali Kui Hong. Ling Ling melamun dan biarpun Hui Song tidak bercerita banyak tentang bibinya, Ceng Sui Cin dan Cia Kui Hong, hanya mengatakan bahwa ibu dan anak itu sedang pergi berkunjung ke Pulau Teratai Merah, ke tempat Pendekar Sadis, ayah bibinya itu, namun ia merasa bahwa ada sesuatu yang lebih dari itu telah terjadi dalam keluarga pamannya ini.

Kalau ia bertanya tentang bibinya atau tentang puterinya, selalu pamannya memberi jawaban singkat dan menyimpang. Bahkan tidak menjawab ketika ia bertanya kapan mereka kembali! Juga isteri muda pamannya itu selalu nampak gelisah dan tidak enak kalau mendengar ia bertanya tentang mereka. Apakah yang telah terjadi dalam keluarga pamannya?

Selagi ia termenung di dalam kamarnya, tiba-tiba ia mendengar suara wanita berkata keras di sebelah luar, arah ruangan dalam dimana dipergunakan sebagai ruangan duduk oleh keluarga itu. Ia tertarik sekali dan setelah membereskan pakaiannya, iapun keluar dari dalam kamarnya, menuju ke ruangan itu. Dan ia melihat dan mendengar hal-hal yang sejak tadi menjadi renungannya.

Ia berhenti di balik pintu dan memandang ke dalam. Nampak Cia Hui Song berdiri di situ, di sampingnya duduk Kakek Cia Kong Liang. Pamannya itu berdiri sambil menundukkan mukanya, dan kakek Cia Kong Liang duduk dengan lemas dan mukanya
agak pucat, berulang kali menarik napas panjang. Dan di depan mereka berdiri tegak dengan sepasang mata mencorong marah, seorang gadis yang berwajah manis dan cantik sedang marah-marah dan menegur dua orang itu dengan suara lantang!

"Ayah mau menang sendiri, mau enak sendiri saja! Apa kesalahan Ibu maka Ayah menyakiti hatinya dan menikah lagi, sehingga Ibu terpaksa meninggalkan tempat ini dan terlunta-lunta pulang ke Pulau Teratai Merah? Ibu menderita batin karena perbuatan Ayah itu, Ayah telah menghina Ibu, menyakiti hati Ibu dan menghancurkan kebahagiaan rumah tangga kita, berarti menghancurkan kebahagiaanku sendiri! Aku minta pertanggungan-jawab dari Ayah!"

Wajah Cia Hui Song sebentar merah sebentar pucat, kadang-kadang dia mengangkat muka memandang gadis itu, kemudian menunduk kembali dan agaknya sukar baginya untuk melakukan atau mengatakan sesuatu di bawah serangan kata-kata puterinya itu. Kakek Cia Kong Liang yang sejak tadi juga nampak sedih sekali, mencoba untuk membela puteranya.

"Kui Hong, cucuku yang baik, jangan engkau bersikap seperti itu terhadap Ayahmu sendiri! Dia tidak bersalah...."

"Aku tahu, kalau Ayah tidak bersalah, ini berarti Kong-kong yang bersalah! Ya, aku tahu bahwa Ayah menikah lagi karena dia dipaksa oleh Kong-kong! Kong-kong hanya mau menang sendiri saja, ingin cucu laki-laki alasannya! Apakah seorang cucu perempuan seperti aku ini tidak ada harganya? Kongkong dan Ayah hanya ingin senang sendiri, di atas penderitaan Ibuku! Juga di atas penderitaan batinku! Kong-kong dan Ayah sungguh berdosa besar, melakukan kejahatan terhadap Ibuku dan aku. Akan tetapi aku datang ini bukan untuk membela diri sendiri, melainkan membela Ibuku! Ia telah menjadi sengsara, menderita karena perbuatan kalian! Karena itu, aku datang utuk menuntut pertanggungan jawab dari Kong-kong, terutama dari Ayah! Ayah adalah seorang laki-laki jantan, seorang pendekar, seorang Ketua Cin-ling-pai, pantaskah melakukan perbuatan seperti itu, menyakiti hati Ibuku, isterinya sendiri?"

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar