*

*

Ads

Kamis, 17 Mei 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 123

Jurus kesepuluh merupakan serangan paling hebat. Tubuh Min-san Mo-ko melayang ke depan, tangan kirinya dengan jari terbuka menotok ke arah pelipis kanan lawan, sedangkan tangan kanannya mencengkeram ke bawah pusar, ke bagian tubuh yang paling lemah dan berbahaya bagi seorang pria. Ji Sun Bi sampai mengeluarkan jerit tertahan melihat kekasihnya terancam demikian hebatnya!

Namun, Ki Liong masih tersenyum saja, kakinya bergeser dan lutut kirinya terangkat melindungi bawah pusar, tangan kanannya meluncur bagaikan ular mematuk menyambut totokan pelipisnya, dan tangan kirinya sudah menyelinap masuk dan tahu-tahu sudah menyentuh ulu hati di dada Min-san Mo-ko!

Tentu saja Min-san Mo-ko terkejut bukan main dan diapun sudah meloncat jauh ke belakang, mukanya agak pucat karena dia maklum bahwa kalau pemuda itu menghendaki, sekarang dia sudah menjadi mayat atau setidaknya akan terluka parah. Tak disangkanya bahwa bukan saja pemuda itu menahan sepuluh jurus serangannya, bahkan berkali-kali mampu membalas dan yang terakhir kalinya malah memperlihatkan keunggulannya!

Diapun mengangguk-angguk.
“Sim-kongcu memang hebat! Sun Bi tidak salah memilih kawan dan kami merasa girang sekali mendapatkan seorang sekutu seperti Sim-kongcu. Lam-hai Giam-lo tentu akan girang pula menerimamu, Sim-kongcu.”

Tentu saja Ji Sun Bi girang dan bangga sekali dan di depan demikian banyaknya orang, wanita ini segera merangkul dan mencium mulut Ki Liong begitu saja! Tentu saja Ki Liong gelagapan dan mukanya menjadi merah, akan tetapi Sun Bi menarik tangannya diajak keluar dari kuil, diikuti suara ketawa para anggauta gerombolan itu.

Seperti mendapatkan barang mainan baru yang amat menarik hatinya, Ji Sun Bi mengajak Ki Liong menjauhi kuil dan bersenang-senang sepuas hatinya dengan pemuda itu. Di lain pihak Ki Liong baru saja terjun ke dalam dunia yang baru ini, merasa senang sekali memperoleh seorang kawan, kekasih dan juga guru dalam permainan cinta yang demikian pandai dan berpengalaman seperti Ji Sun Bi.

Baru ketika senja hari itu Hay Hay dan Hui Lian menyerbu kuil dan Hay Hay berhasil merampas mustika batu giok, Ji Sun Bi dan Ki Liong muncul dan mereka segera membantu sehingga dua orang lawan itu akhirnya melarikan diri.

Ki Liong berjanji akan menghadiahkan cawan arak pusaka itu untuk diberikan kepada Lam-hai Giam-lo sebagai pengganti mustika batu giok yang telah lenyap dirampas lawan. Memang pemuda ini memiliki beberapa benda pusaka yang langka, yaitu yang dicurinya dari Pulau Teratai Merah.

Dengan munculnya Sim Ki Liong maka pihak gerombolan kaum sesat yang dipimpin oleh Lam-hai Giam-lo menjadi semakin kuat, dan hal ini merupakan ancaman bagi keamanan, juga bagi para pendekar. Sim Ki Liong sendiri mengharapkan untuk mendapatkan bantuan kawan-kawan barunya dalam mencari musuh besarnya, yaitu Siangkoan Ci Kang

Guha itu lebar sekali, tidak kurang dari sepuluh tombak lebarnya dan empat tombak dalamnya, walaupun bagian depannya tertutup batu-batu besar dan jalan masuk ke dalam guha itu hanya sebesar tubuh orang saja, itupun masih tertutup semak-semak sehingga jarang ada orang luar yang mengetahui bahwa di balik semak-semak itu terdapat sebuah guha yang demikian lebarnya.

Juga guha itu tidak gelap karena bagian atasnya terdapat lubang besar dari mana sinar matahari dapat masuk. Tidak mengherankan apabila gerombolan Min-san Mo-ko tidak mampu menemukan dua orang buronan yang menyembunyikan diri di dalam guha itu.

Sebelum kini terpaksa melarikan diri bersama Hui Lian, dalam perantauannya, secara kebetulan Hay Hay pernah menemukan guha ini, oleh karena itu ketika mereka melarikan diri membawa luka yang cukup parah karena mengandung racun, dia mengajak Hui Lian memasuki guha itu dan tersembunyi.

Malam itu tentu saja di dalam guha amat gelapnya. Mereka tidak dapat saling memeriksa luka, dan begitu masuk ke dalam dan membetulkan lagi semak-semak dari sebelah dalam agar menutupi lubang guha, Hay Hay bertanya.

“Bagaimana, Enci Hui Lian, parahkah luka yang kau derita?”

Dalam suara Hay Hay terkandung kekhawatiran besar karena ketika melarikan diri tadi, wajah Hui Lian nampak pucat dan larinya kadang terhuyung.

Di dalam kegelapan guha itu, Hui Lian meraba pinggul kanannya dan ia menahan rintihannya. Pinggul kanan itu membengkak dan rasanya panas, gatal dan sakit bukan main.

“Pinggul kananku… agaknya terkena jarum-jarum berbisa,” katanya, akan tetapi iapun teringat akan keadaan Hay Hay sendiri yang juga terluka dadanya. “Dan bagaimana dengan luka di dadamu, Hay-te?”






Hay Hay merasa betapa luka di dadanya juga amat parah, walaupun ujung pedang itu hanya menggores dan merobek kulit dan daging, tidak sampai memasuki rongga dada, namun karena ujung pedang itu mengandung racun, kini lukanya membengkak dan rasanya panas bukan main, sampai menembus ke seluruh tubuhnya! Akan tetapi, kawannya itu sedang terluka parah, tidak baik kalau dibuat khawatir pula.

“Ah, hanya tergores sedikit kulit dadaku, tidak apa-apa, Enci Lian. Akan tetapi luka di pinggulmu itu….. ah, apakah jarum-jarum itu sudah kau cabut?”

“Mana bisa mencabutnya? Jarum-jarum itu masuk ke dalam!” kata Hui Lian agak khawatir juga karena ketika meraba dengan jari-jari tangannya, ia tidak merasakan adanya gagang jarum di permukaan kulit pinggul. “Agaknya ada tiga batang yang menembus kulit….”

“Ingatkah engkau siapa diantara mereka yang melepas jarum-jarum itu?”

“Ketika aku membalik, kulihat perempuan bermuka mayat yang pakaiannya serba hitam itulah…”

“Celaka!” Seru Hay Hay. “Ia adalah Tong Ci Ki, Si Jarum Sakti! Jarum-jarumnya mengandung racun yang amat berbahaya, tidak kalah jahatnya dibandingkan jarum-jarum dari Ma Kim Li! Mari, Enci, aku harus membantumu mengeluarkan jarum-jarum itu!”

“Tapi… begini gelap, biarlah kulawan dengan samadhi dan mengerahkan sinkang. Besok kalau sudah terang baru kita…”

“Besok bisa terlambat, Enci. Biar kubuat api unggun!” kata Hay Hay lalu membuat api unggun dan tak lama kemudian, sinar api unggun mengusir kegelapan dalam guha dan mereka dapat saling pandang.

Keduanya terkejut ketika melihat betapa wajah masing-masing pucat kehijauan tanda bahwa hawa beracun mulai menguasai mereka!

“Bagaimana kalau mereka melihat api unggun dan datang menyerbu?” tanya Hui Lian.

“Mereka tidak akan melihatnya, sinar api tertutup sama sekali. Dan pula, tidak perlu kita memikirkan itu, yang penting sekarang harus mengeluarkan jarum-jarum itu…”

“Tapi… tapi….” tentu saja Hui Lian merasa rikuh bukan main. Bagaimana mungkin ia dapat membiarkan pemuda ini mengeluarkan jarum-jarum dari pinggulnya?

Mengeluarkannya sendiri, tentu saja tidak mungkin karena kedua tangannya hanya mampu menjangkau tempat itu, juga tangannya hanya mampu meraba-raba saja dan ia tidak dapat melihatnya. Kalau dibiarkan Hay Hay melakukannya, berarti membiarkan Hay Hay melihat pinggulnya! Bukan hanya melihat, bahkan meraba dan menyentuhnya! Bagaimana mungkin ini?

“Kenapa engkau masih ragu-ragu, Enci? Bukankah berbahaya sekali kalau dibiarkan saja? Marilah, biarkan aku memeriksa luka itu!”

Hay Hay mendekati Hui Lian yang duduk bersandar dinding guha dan diapun berlutut, tangannya diulur ke arah pinggul.

“Tidak….! Jangan…..!”

Hui Lian membentak dan terkejutlah Hay Hay mendengar kemarahan dalam bentakan ini. Ketika dia memandang, Hui Lian sedang memandang kepadanya dengan mata mencorong dan mendelik marah!

“Eh, kenapa Enci Lian?”

“Bagaimana…. bagaimana engkau berani kurang ajar kepadaku?”

Hay Hay melongo.
“Wah, kurang ajar? Apa maksudmu, Enci Lian? Aku tidak pernah kurang ajar kepadamu.”

“Engkau hendak melihat pinggulku, bahkan mungkin memeriksa dan merabanya, dan engkau bilang tidak kurang ajar?”

Gadis itu kini marah sekali dan ingin ia menampar muka pemuda itu, kalau saja ia tidak melihat betapa wajah pemuda itu pun pucat dan nampak kesakitan.

Hay Hay tersenyum karena tiba-tiba dia mengerti dan melihat kelucuan dalam keadaan mereka itu.

“Wah, Enci Lian, pikirkan baik-baik sebelum engkau menuduh aku yang bukan-bukan. Pinggulmu terluka oleh jarum beracun, bukan? Nah, bagaimana aku tidak akan melihat pinggulmu kalau hendak menolongmu dan memeriksa pinggul itu? Dalam keadaan seperti ini, diwaktu engkau terancam bahaya maut, mengapa memikirkan soal kecil itu, Enci? Baiklah, biarkan aku memeriksa dan mengobati pinggulmu, lupakan kekurang ajaranku, dan nanti setelah aku berhasil mengeluarkan jarum-jaurm itu dan mengobati lukamu, engkau boleh menghukum aku karena kekurang ajaranku. Aku tidak akan melawan. Bagaimana, akur?”

Lega hati Hui Lian. Bagaimanapun juga, ia akan dapat membalas “kekurang ajaran” itu nanti.

“Akur, akan tetapi engkau tidak boleh berbohong dan melanggar janji.”

“Aku tidak pernah berbohong.”

“Hemm, laki-laki paling pandai berjanji, akan tetapi paling pandai pula melanggar janji sendiri!”

“Tapi aku tidak. Nanti boleh kau hukum aku sesuka hatimu, Enci Lian. Akan tetapi sekarang biarkan aku memeriksa lukamu.”

Dan kini Hui Lian rebah menelungkup, memejamkan mata dan menyembunyikan muka di atas kedua lengannya, membiarkan Hay Hay memeriksa lukanya. Seluruh bulu di tubuhnya meremang ketika ia merasa betapa Hay Hay menyentuh lembut pinggulnya di luar celana.

“Enci Lian, celanamu harus dilepas…. eh, maksudku, harus diturunkan agar aku dapat memeriksa keadaan luka di pinggulmu…”

“Kurang ajar engkau….!”

Hui Lian membentak dan ia merasa malu bukan main, akan tetapi jari tangannya melepaskan tali celana itu dan dengan hati-hati ia menurunkan bagian belakang celana itu agar pinggul yang terluka itu nampak. Ia menggigit bibir menahan rasa nyeri dan malu.

Akan tetapi, pada saat itu, seluruh perhatian Hay Hay ditujukan untuk memeriksa keadaan luka. Dia melihat betapa pinggul kanan itu membengkak, merah kebiruan dan tiga titik hitam sejajar disitu. Dia meraba dengan hati-hati, akan tetapi jari-jari tangannya tidak merasakan adanya ujung gagang jarum, maka tahulah dia bahwa jarum-jarum itu terbenam ke dalam daging pinggul!

“Enci Lian, tahankanlah, tentu agak sakit, akan tetapi satu-satunya jalan untuk mengeluarkan jarum hanya begini…”

Dan tiba-tiba tanpa memberi kesempatan kepada gadis itu untuk membantah karena Hay Hay tahu bahwa gadis itu tentu akan keberatan, dia cepat menundukkan mukanya dan menempelkan mulutnya di atas tiga titik hitam itu!

“Aihh… kau…. kau….. keparat……!”

Hui Lian berseru, akan tetapi rasa sakit yang luar biasa kini menggantikan rasa malu ketika Hay Hay mengerahkan tenaga khikang untuk menyedot dengan mulutnya. Hui Lian mengaduh dan merintih, lupa akan rasa malu betapa mulut pemuda itu menempel dipinggulnya. Hay Hay melepaskan kecupannya dan meludahkan tiga batang jarum kecil hitam ke atas tanah.

"Sudah keluar jarum-jarum itu, akan tetapi racunnya harus diketuarkan sampai bersih, Enci Lian." katanya dan kembali dia menyedot dengan mulutnya melalui tiga lubang kecil bekas jarum.

Nyeri bukan main rasanya bagi Hui Lian, akan tetapi rasa malu bersaing dengan rasa nyeri sehingga ia mampu menahan keduanya!

Setelah berkali-kali menyedot dan meludahkan darah hitam, akhirnya Hay Hay melihat darah merah keluar dari lubang-lubang kecil itu dan diapun menghentikan penyedotannya.

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar