*

*

Ads

Jumat, 11 Mei 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 106

"Sumoi, percayalah bahwa aku bermaksud baik. Usiamu sudah dua puluh tiga tahun dan masih menanti apa lagi? Ingatlah, Sumoi, bahwa harga diri setiap orang wanita dalam kehidupan ini adalah kalau ia sudah berumah tangga, menjadi isteri dan kemudian menjadi ibu."

Pada suatu senja, ketika mereka berdua duduk di serambi depan tanpa ada orang lain karena para murid dan pelayan berada di bagian belakahg rumah mereka yang kini menjadi besar karena ditambah bangunan, Su Kiat berkata kepada sumoinya dengan sikap serius.

Hui Lian yang duduk berhadapan dengan suhengnya, menunduk, dengan muka kemerahan. Percakapan mengenai perjodohannya membuat jantungnya berdebar dan ia merasa malu dan canggung sekali. Betapapun juga, urusan perjodohan itu merupakan hal yang asing baginya. Ia pun mengerti bahwa pada jamannya itu, setiap orang gadis menikah dalam usia belasan tahun, bahkan gadis-gadis kang-ouw pun menikah dalam usia paling banyak dua puluh tahun.

Dan ia sudah berusia dua puluh tiga tahun, maka sewajarnyalah kalau suhengnya, yang juga menjadi pengganti guru dan orang tuanya, mendesak dan menganjurkannya untuk segera memilih seorang diantara banyak pemuda yang telah berdatangan meminangnya. Setiap kali ada pemuda meminangnya, ia selalu menolak dengan halus.

"Tapi, Suheng, aku sama sekali belum mempunyai keinginan untuk menikah dan mengikatkan diri selamanya kepada seorang suami."

"Aku mengerti perasaanmu, Sumoi. Akan tetapi pendirian seperti itu tidak benar. Jangan meniru aku, karena aku adalah seorang laki-laki dan tidak ada celanya bagi seorang pria kalau dia tidak berumah tangga, berbeda dengan seorang wanita. Aku adalah Suhengmu, dan karena engkau hidup sebatang kara, maka aku adalah pengganti orang tuamu. Kakakmu dan akulah yang akan dicela orang kalau mendiamkan saja engkau hidup seorang diri seperti ini. Demi nama baikmu, dan nama baikku. Kuharap engkau tidak berkeras Sumoi. Sampai bosan aku menolak pinangan demikian banyaknya orang muda yang baik-baik, dari dusun ini maupun yang datang dari kota Kong-goan. Jatuhkanlah pilihanmu, Sumoi. Rasanya tidak enak juga kalau harus menolak terus pinangan yang membanjir itu, seolah-olah aku yang tidak setuju kalau engkau berumah tangga”.

Mendengar suara suhengnya yang bersungguh-sungguh, dan sikapnya yang serius itu, Hui Lian mengusap dua tetes air mata yang keluar dari sepasang matanya. Melihat ini, Su Kiat cepat menghiburnya.

"Sumoi, mengapa engkau berduka? Urusan ini adalah urusan yang menggembirakan. Ketahuilah bahwa selama hidup ini, hanya ada tiga kali peristiwa kita alami, tiga peristiwa terpenting dalam kehldupan. Pertama adalah peristiwa kelahiran, ke dua peristiwa pernikahan dan ke tiga peristiwa kematian. Bagi kaum wanita masih ditambah satu lagi yang amat penting, yaitu peristiwa melahirkan. Engkau menghadapi peristiwa pernikahan, rnengapa harus berduka? Apalagi kalau pernikahan ini bukan rnerupakan pernaksaan, dan engkau berhak memilih sendiri calon suamimu."

"Tidak, Suheng, aku tidak dapat memilih. Terserah saja kepadamu, karena aku yakin bahwa pilihanmu adalah yang terbaik."

Wajah Su Kiat berseri.
"Ah, jadi engkau sudah setuju, Sumoi? Banyak pemuda yang baik yang telah meminangmu, akan tetapi, bagiku yang paling baik adalah Tee Sun, putera kepala dusun Hek-bun itu. Usianya sudah dua puluh lima tahun, wajahnya cukup tampan dan wataknya baik sekali, halus dan sopan. Juga dia telah lulus ujian di kota raja, seorang terpelajar. Aku yakin engkau tentu akan berbahagia menjadi isterinya. Bagaimana pendapatmu, Sumoi?" "

Di lubuk hatinya, Hui Lian agak kecewa karena pemuda yang dlmaksudkan itu tidak pandai ilmu silat, seorang pemuda yang lemah walaupun harus diakuinya bahwa pemuda itu memang tampan, terpelajar dan sopan, tidak seperti kebanyakan pemuda yang ceriwis dan genit. Juga, sebagaI putera kepala dusun keadaannya cukup mampu.

"Terserah kepadamu, Suheng, aku hanya menurut saja kalau memang hal Itu kau kehendaki."

"Akan tetapi ini bukan paksaan dariku, Sumoi."

"Aku mengerti, Suheng. Engkau aturlah saja, dan aku akan mentaati karena kuyakin bahwa segala yang kau kehendaki itu memang benar dan tepat."

Setelah berkata demikian, Hui Lian meninggalkan suhengnya, kemudian memasuki kamarnya untuk menyembunyikan tangisnya. Su Kiat mengikuti kepergian sumolnya dengan wajah berseri, mengira bahwa sumoinya sebagai seorang gadis, tentu malu membicarakan urusan perjodohan itu.

Demikianlah, tanpa ragu-ragu lagi Su Kiat lalu membicarakan urusan perjodohan itu dengan keluarga Tee, yaitu keluarga kepala dusun Hek-bun yang menyambutnya dengan penuh kegembiraan.

Hui Lian merupakan gadis yang dikagumi, karena bukan saja ia dikenal sebagai seorang yang memiliki ilmu silat amat tinggi, akan tetapi juga karena sikapnya ramah dan halus, dan juga gagah perkasa sehingga selama suheng dan sumoi itu tinggal di Hek-bun, tidak pernah lagi terjadi kejahatan. Orang-orang jahat menjauhkan diri dari perguruan silat Cia-ling Bu-koan itu.






Dua bulan kemudlan setelah Su Kiat membicarakan urusan perjodohan, dilangsungkanlah pernikahan yang sederhana namun cukup meriah di dusun Hek-bun, antara Kok Hui Lian yang berusia dua puluh tiga tahun dengan Tee Sun, putera lurah yang berusia dua puluh lima tahun.

Pernikahan itu cukup rukun dan Hui Lian berusaha untuk mencinta suaminya, walaupun ia menjadi isteri tanpa cinta kasih, suaminya yang pernah lulus di kota raja itu suka bertani dan sering kali Hui Lian mengirim makan minum kepada suaminya yang bekerja di sawah ladang.

Kehidupan mereka nampak rukun dan bahagia, walaupun sampai tiga tahun lamanya Hui Lian belum dikaruniai keturunan. Akan tetapi, apa yang nampak indah dari luar, belum tentu demikian keadaan disebelah dalamnya.

Terdapat perbedaan cara dan selera kehidupan antara Hui Lian dan Tee Sun. Sebagai seorang gadis yang sejak kecil ikut Su Kiat dan mempelajari ilmu silat Hui Lian sudah terbiasa oleh kekerasan dan kehidupan yang penuh tantangan, sebaliknya Tee Sun suka akan kehidupan yang tenang dan aman.

Perbedaan selera hidup inilah yang mulai menjauhkan kedua suami isteri itu, menimbulkan celah atau jarak antara keduanya. Sebagai seorang wanita yang gagah perkasa dan suka akan tantangan hidup penuh kekerasan, Hui Lian sering kali ikut pergi berburu binatang buas di hutan-hutan bersama para pemburu.

Memburu binatang buas di hutan penuh tantangan, penuh kesukaran dan kekerasan dan kadang-kadang Hui Lian rindu akan keadaan hidup seperti ini. Makin sering ia ikut pergi berburu, makin tak senanglah rasa hati Tee Sun.

Pada dasamya, Tee Sun memang penuh dengan cemburu terhadap isterinya. Dia merasa bahwa isterinya itu sesungguhnya tidak mencintanya, tidak ada kemesraan mendalam dirasainya dari isterinya. Isterinya demikian cantik jelita, tubuhnya mengeluarkan keringat yang berbau harum, dan dia tahu betapa banyaknya pria di dusun Hek-bun maupun di kota Kong-goan yang jatuh cinta kepada Hul Lian.

Rasa cemburu ini sekarang memperoleh jalan keluar. Dia semakin cemburu ketika melihat betapa seorang diantara para pemburu, seorang laki-laki yang usianya sekitar tiga puluh tahun, jelas memperlihatkan sikap mencinta isterinya! Pemburu muda ini bertubuh tinggi dan gagah, juga wajahnya ganteng walaupun agak kurus dan jalannya agak pincang sedikit karena pernah kakinya terluka oleh terkaman harimau buas.

Pemburu tinggi kurus yang pincang ini bernama Su Ta Touw, dan memang dia telah tergila-gila kepada Hui Lian. Dia sendiri seorang pemburu yang gagah berani, namun melihat kelihaian Hui Lian, juga kegagahan dan kecantikannya, dia telah jatuh cinta.

Tanpa mempedulikan bahwa Kok Hui Lian telah bersuami, Su Ta Touw mulai merayu wanita itu. Dia memang pandai merayu dan Hui Lian adalah seorang wanita yang sama sekali belum berpengalaman. Ia menikah dengan Tee Sun tanpa cinta, dan kini, ia melihat seorang pria yang merayunya dengan kata-kata manis, dengan sumpah, bahkan dengan air mata!

Su Ta Touw yang tinggi kurus itu tidak segan-segan untuk mengeluarkan air mata dan menangis ketika memperoleh kesempatan menyatakan cintanya kepada Hui Lian!

Tentu saja mula-mula Hui Lian menolak, bahkan marah-marah dan menegur teman seperburuan itu, mengingatkannya bahwa ia telah mempunyai suami. Akan tetapi Su Ta Touw yang belum mempunyai isteri itu membujuk rayu terus, tidak mengenal malu, tidak takut ditegur dan dimarahi sehingga lama-kelamaan Hui Lian merasa kasihan kepadanya.

Wanita ini mengira bahwa Su Ta Touw benar-benar cinta kepadanya, cinta yang mati-matian, cinta yang tulus ikhlas dan sepenuhnya, bukan seperti cinta suaminya yang dianggapnya tidak mendalam benar. Namun ia tetap menjaga diri dan tidak melayani rayuan Su Ta Touw.

Akan tetapi berita tentang usaha Su Ta Touw merayu isterinya itu akhirnya sampai juga ke telinga Tee Sun dan marahlah suami ini.

"Begitukah kelakuanmu ketika engkau jauh dariku, dan ikut bersama para pemburu kasar itu? Engkau telah berpacaran dengan pemburu yang kurus tinggi dan pincang itu!"

Hui Lian memandang suaminya dengan alis berkerut dan mata bersinar. Kalau ia tidak ingat bahwa penuduhnya itu suaminya dan suaminya itu bertubuh lemah, tentu sudah ditamparnya Tee Sun.

"Laki-laki bodoh dan buta! Engkau menuduh orang secara membabi-buta! Dialah yang merayuku, bukan aku yang tergila-gila. Kalau engkau memang laki-laki jantan, datangi dia dan hajar dia yang berani merayu isterimu!” Hui Lian berkata ketus sambil pergi meninggalkan suaminya.

Akan tetapi, tentu saja Tee Sun tidak berani kalau harus menegur apalagi menghajar Su Ta Touw, pemburu yang tentu saja lebih kuat dari padanya itu. Akan tetapi sikapnya terhadap Hui Lian menjadi semakin hambar dan uring-uringan, bahkan dia lalu pergi ke rumah Su Kiat di perguruan Cia-ling Bu-koan, mengadukan isterinya kepada Su Kiat!

Ciang Su Kiat mendengarkan dengan alis berkerut. Dia tidak percaya bahwa sumoinya dapat melakukan perbuatan serendah itu. Berjina dengan pria lain!

"Tee Sun, apakah ada buktinya bahwa Sumoi berjina dengan orang lain?" dia bertanya sambil menatap wajah tampan suami dari sumoinya itu.

Tee Sun menarik napas paniang, wajahnya penuh dengan kekesalan dan kemarahan.
"Memang belum ada buktinya, akan tetapi banyak pemburu yang menceritakan betapa orang she Su itu selalu merayunya dan betapa akrab hubungan antara mereka. Orang she Su itu terang-terangan mengatakan kepada siapa saja bahwa dia tergila-gila dan jatuh cinta kepada Hui Lian! Bukankah itu sudah merupakan bukti cukup kuat? Tidak, aku tidak percaya lagi dan aku akan ceraikan ia!"

"Bagus!" Tiba-tiba muncul Hui Lian yang agaknya sejak tadi sudah mengikuti dan mendengarkan ketika suaminya mengadu kepada suhengnya. "Engkau hendak menceraikan aku? Baik, sekarang juga! Kau kira aku kesenangan menjadi isteri seorang pencemburu macam kau? Ceraikan aku. Sekarang juga!"

"Bolehl Akupun tidak tahan lagi!" Tee Sun juga berteriak.

Su Kiat berusaha melerai dan mendamaikan, namun sia-sia saja. Keduanya sudah merasa panas dan percekcokan itupun berakhir dengan perceraian. Atas desakan sumoinya, terpaksa Su Kiat pergi mengunjungi keluarga Tee untuk membicarakan urusan perceraian itu.

"Sumoi, apakah tidak ada jalan lain?" Su Kiat masih membujuknya.

"Tidak, Suheng. Apakah engkau ingin aku hidup dalam kesengsaraan, di samping suami pencemburu yang setiap saat marah-marah dan menduga yang bukan-bukan? Dilanjutkan hanya akan menjadi siksaan saja bagiku, juga bagi dia, maka perceraianlah jalan terbaik."

Akhirnya bercerailah Hui Lian dari Tee Sun. Hui Lian kembali tinggal bersama suhengnya, membantu suhengnya melatih murid-murid Cia-ling Bu-koan. Sementara itu, melihat betapa Hui Lian kini telah menjanda, Su Ta Touw menjadi semakin berani, mendapat hati dan dengan nekat diapun melakukan pendekatan dan melimpahkan rayuan-rayuan mautnya.

Hui Lian yang masih hijau itu semakin terharu dan hanyut. Ia tidak cinta kepada Su Ta Touw, seperti juga ia tidak pernah mencinta Tee Sun, akan tetapi ia merasa iba sekali melihat laki-laki itu seakan-akan menyembah-nyembahnya, berlutut dan menangis mohon agar cintanya diterima. Ia mengira bahwa sekali ini benar-benar ia bertemu dengan pria yang mencintanya dengan tulus ikhlas, dengan murni. Maka, iapun menerima ketika Su Ta Touw meminangnya!

Ketika ia minta persetujuan suhengnya, Su Kiat memandang kepada sumoinya dengan alis berkerut.

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar