*

*

Ads

Jumat, 27 April 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 085

Pulau Teratai Merah merupakan sebuah pulau kosong di laut selatan sebelum Pendekar Sadis dan isterinya tinggal di situ. Kini pulau itu sudah menjadi sebuah pulau yang indah dan subur. Pulau itu tidak berapa besar, hanya belasan li panjangnya dan paling banyak sepuluh li lebarnya.

Setelah Ceng Thian Sin atau Pendekar Sadis dan isterinya tinggal di situ, bersama para pelayan dan para pembantu yang jumlahnya beserta keluarga mereka kurang lebih tiga puluh orang, maka pulau itu terpelihara baik. Tanahnya digarap dan kini penuh dengan pohon-pohon, pohon buah maupun pohon bunga yang serba indah dan buah-buahan bermacam-macam yang lezat dapat pula tumbuh di situ.

Di tengah pulau itu dibangun sebuah gedung yang indah dan pondok-pondok para pembantu berada di kanan kiri gedung. Di sebelah utara terdapat sebuah danau air tawar yang airnya jernih dan memiliki sumber air yang tak kunjung kering walaupun di musim panas sekalipun. Air itulah yang dipergunakan para penghuni itu untuk minum, masak, mencuci dan keperluan lain.

Suasana di pulau itu tenteram dan aman. Para pembantu dan pelayan taat dan tunduk kepada Ceng Thian Sin yang menjadi to-cu (majikan pulau) dan kehidupan mereka di situ tak pernah kekurangan makan.

Satu atau dua kali sebulan, Toan Kim Hong atau Nyonya Ceng Thian Sin mengutus beberapa orang pelayan untuk pergi ke daratan besar dan berbelanja segala keperluan mereka.

Para pembantu dan pelayan yang tinggal di pulau itupun mempunyai pekerjaan sambilan, yaitu selain bercocok tanam di pulau, juga naik perahu menangkap ikan-ikan besar yang banyak terdapat di perairan sekitar pulau. Selebihnya yang dimakan sendiri, mereka jual kepada orang-orang di daratan besar sehingga mereka memperoleh penghasilan yang lumayan untuk ditukar dengan keperluan lain yang hanya bisa mereka dapatkan di daratan besar.

Ceng Thian Sin adalah seorang laki-laki gagah perkasa yang usianya sekitar enam puluh tiga tahun. Di waktu mudanya, dia terkenal dengan julukan Pendekar Sadis dan memang di waktu itu, sepak terjangnya amat menggiriskan, terutama sekali bagi para penjahat dan kaum sesat. Dia selalu menggunakan tangan besi terhadap penjahat, bahkan tidak segan menyiksa para penjahat sedemikian rupa sehingga setiap orang jahat yang mendengar namanya menjadi pucat ketakutan.

Dalam usia enam puluh tahun lebih, dia masih kelihatan segar dan gagah. Hal ini adalah karena di samping bekerja di ladang atau pergi menangkap ikan, dia masih suka berlatih silat dan melakukan samadhi. Pendekar ini merupakan gudang ilmu silat karena di waktu mudanya dia mempelajari banyak sekali ilmu silat, dan semua ilmu yang dipelajari adalah ilmu-ilmu silat yang tinggi dan pilihan. Ilmu-ilmu silat tingkat atas dari Cin-ling-pai telah dikuasainya, di samping banyak ilmu lain yang hebat-hebat, bahkan ada ilmu-ilmu ajaib yang didapatkannya dari seorang sakti yang berjuluk Bu-beng Hud-couw (baca cerita Pendekar Sadis dan Asmara Berdarah).

Biarpun sudah puluhan tahun dia mengundurkan diri, tidak pernah mencampuri urusan kang-ouw dan hidup dengan tenteram di Pulau Teratai Merah yang terpencil di tengah lautan itu, namun namanya masih disambut dengan gentar oleh orang-orang kang-ouw, terutama kalangan tua yang pernah mengenal sepak terjangnya.

Isteri pendekar itu bernama Toan Kim Hong, yang usianya sama dengan Pendekar Sadis. Namun, usia yang enam puluh tiga tahun itupun belum merusak bentuk muka yang cantik dan bentuk tubuh yang padat langsing itu. Hanya garis-garis pada mukanya yang membuktikan bahwa wanita ini telah berusia lanjut.

Toan Kim Hong ini bukan wanita sembarangan. Namanyapun pernah menggetarkan dunia kang-ouw, bahkan ia pernah di waktu masih gadis menyamar menjadi seorang nenek dan dikenal sebagai Lam Sin (Malaikat selatan) yang menjadi datuk kaum sesat di daerah selatan! Ilmu kepandaiannya amat tinggi, hanya sedikit di bawah tingkat suaminya walaupun ia dapat mengimbangi sedikit kekalahan ini dengan kelebihannya dalam hal ilmu meringankan tubuh.

Suami isteri yang lihai ini merupakan pasangan yang pernah pula menggemparkan dunia persilatan sebelum mereka mengundurkan diri ke pulau itu.

Anak mereka hanya satu, yaitu Ceng Sui Cin dan setelah puteri mereka ini menikah, menjadi mantu Ketua Cin-ling-pai, suami isteri itu hidup kesunyian di pulau itu. Akan tetapi, enam tahun yang lalu terjadi perubahan di pulau itu, sekaligus terjadi perubahan dalam kehidupan Pendekar Sadis dan isterinya.

Perubahan itu terjadi ketika pada suatu pagi, beberapa orang penghuni pulau itu membawa pulang seorang anak laki-laki yang berada seorang diri di tengah lautan, bergantung pada perahu kecilnya sendiri yang terbalik setelah semalam dihempaskan badai mengamuk.

Memang semalam badai cukup besar, membuat para nelayan cepat-cepar mendarat dan tidak berani mencari ikan. Ketika pada pagi harinya para pencari ikan dari Pulau Teratai Merah mendayung perahu mereka ke tengah lautan, mereka melihat seorang anak laki-laki berusia empat belas tahunan dalam keadaan setengah pingsan tergantung pada perahunya yang terbalik.






Mereka cepat memberi pertolongan dan begitu diselamatkan, anak itu jatuh pingsan dan tidak dapat disadarkan oleh para nelayan itu. Mereka lalu cepat membawa anak itu ke pulau dan melapor kepada Ceng Thian Sin.

Ceng Thian Sin dan Toan Kim Hong, kakek dan nenek yang sakti itu, cepat melakukan pemeriksaan dan hati mereka merasa lega ketika mendapatkan kenyataan bahwa anak itu tidak mengalami cidera yang parah, hanya kehabisan tenaga dan mendapat pukulan batin yang hebat, mungkin rasa takut dan ngeri ketika diombang-ambingkan laut membadai semalam. Setelah menotok dan mengurut beberapa jalan darah, anak itupun siuman. Anak itu memandang ke kanan kiri, kemudian menangis.

Suami isteri pendekar itu saling pandang. Keduanya merasa suka kepada anak ini, seorang anak yang berkulit putih bersih dan berwajah tampan, bahkan ketika mereka tadi mengurut dan menotok jari-jari tangan mereka yang terlatih itu meraba sebuah tubuh yang kuat dan berbakat baik sekali.

Setelah tangis anak itu mereda sebagai pelepasan rasa takut yang dialaminya semalam, dengan suara halus Toan Kim Hong bertanya.

"Anak baik, siapakah namamu?"

Anak itu menoleh dan memandang kepada nenek yang berwajah halus itu, kemudian memandang kepada kakek di sebelahnya, dan dia menjawab pertanyaan itu dengan sebuah pertanyaan pula.

"Kakek dan Nenek yang baik, apakah kalian yang menyelamatkan aku dari tengah lautan?"

Ceng Thian Sin menjawab.
"Yang menolongmu dari tengah lautan adalah para pembantu kami dan mereka membawamu kesini dalam keadaan pingsan."

"Kau ganti dulu pakaianmu yang basah dengan pakaian kering ini."

Kata Toan Kim Hong, menerima pakaian yang dimintanya dari pelayan agar meminjamkan pakaian dari keluarga nelayan yang sebaya dengan anak itu. Ia lalu meninggalkan anak itu bersama suaminya agar anak itu dapat mengganti pakaiannya tanpa sungkan dan malu. Setelah ia kembali lagi, anak ini telah mengenakan pakaian kering.

"Nah, sekarang katakan siapa namamu." kata nenek itu.

Akan tetapi sebagai jawaban, anak itu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek dan nenek itu.

"Saya Ciang Ki Liong menghaturkan terima kasih atas pertolongan Ji-wi Locianpwe." Dan diapun berkali-kali memberi hormat dengan air mata berlinang.

Toan Kim Hong tersenyum, mengangkatnya bangun.
"Sudahlah, kau duduklah dan ceritakan dari mana kau datang, siapa keluargamu."

Anak itu tidak berani bangkit, melainkan berlutut saja di depan kedua orang tua itu, diatas lantai.

"Saya seorang yang hidup sebatang kara, ditinggal mati ayah dan ibu saya. Saya hidup merantau seorang diri, dan ketika tiba di pantai selatan, saya ikut dengan para nelayan untuk mencari ikan sebagai sumber hidup saya. Dengan kerja keras akhirnya saya dapat membeli sebuah perahu kecil dan saya mulai mencari ikan sendiri. Akan tetapi, semalam badai mengamuk dan nyaris saya tewas kalau saja tidak tertolong oleh orang-orang Ji-wi Locianpwe."

Suami isteri itu kembali saling pandang. Anak ini sudah yatim piatu! Tidak mempunyai tempat tinggal dan hidup sebatang kara. Seperti biasanya, tanpa bicara sekalipun suami isteri ini telah dapat saling menjajagi isi hati masing-masing dan dari pandang mata saja keduanya telah dapat saling bermufakat akan sesuatu.

Demikian dekatnya hubungan batin antara keduanya dan kini, melalui sinar mata mereka, keduanya sudah setuju untuk menarik anak yatim piatu ini lebih dekat dengan mereka.

"Ki Liong, engkau terserang badai dan nyaris tewas, akan tetapi akhirnya dapat diselamatkan tiba di pulau kami. Hal ini berarti bahwa engkau memang berjodoh dengan kami. Bagaimana kalau selanjutnya engkau hidup saja disini, membantu pekerjaan disini?" kata Ceng Thian Sin.

Ki Liong bersoja kembali memberi hormat.
“Saya akan menjadi seorang yang paling tidak tahu diri dan tidak mengenal budi kalau saya menolak. Akan tetapi, selama ini saya telah bertekad untuk merantau dan mencari seorang guru yang pandai, Locianpwe …..!”

Kembali suami isteri itu saling pandang.
"Guru yang pandai? Guru untuk mengajarkan apa maksudmu?"

"Mengajarkan ilmu silat, Locianpwe. Saya ingin belajar ilmu silat sebaik-baiknya."

"Ahh? Untuk apa engkau ingin belajar ilmu silat?"

Ceng Thian Sin mendadak memandang penuh perhatian. Memang sejak tadi dia dan isterinya sudah setuju untuk mengambil anak ini sebagai murid, akan tetapi kini mendengar bahwa anak ini ingin berguru ilmu silat, dia ingin sekali tahu apa yang mendorongnya.

"Semenjak saya hidup seorang diri, saya banyak mengalami gangguan dan penghinaan dari mana-mana, bahkan pernah hasil saya bekerja berbulan-bulan, dirampas orang dengan kekerasan. Banyak sekali terjadi kejahatan di dunia ini dan saya ingin membela diri dari gangguan dan penghinaan, juga ingin menentang orang-orang jahat dengan ilmu silat yang saya pelajari."

Suami isteri itu mendengarkan dengan kagum dan hati mereka merasa girang sekali. Sungguh tak mereka sangka bahwa mereka menemukan seorang anak laki-laki yang selain berbakat baik sekali, memiliki bentuk tubuh yang sehat dan baik, juga memiliki cita-cita yang demikian gagahnya. Seorang calon pendekar!

"Ki Liong, kalau engkau ingin belajar silat, kami akan melatihmu dengan ilmu silat."

Sambil berlutut, anak itu kini mengangkat mukanya, memandang kepada kakek dan nenek itu bergantian.

"Maaf, Ji-wi Locianpwe... bukan saya menolak, akan tetapi... saya ingin mempelajari ilmu silat yang tinggi karena kalau hanya ilmu silat biasa saja, mana mungkin saya dapat menghadapi penjahat-penjahat yang tihai itu?"

Suami isten itu saling pandang dan tersenyum.
"Anak baik, engkau tidak tahu dengan siapa engkau berhadapan. Lihat, percayakah engkau akan ada orang yang mampu menangkap burung terbang itu?"

"Tidak mungkin, Locianpwe." kata Ki Liong membantah Toan Kim Hong. "Kalau tidak menggunakan sambitan atau anak panah atau pikatan, mana mungkin menangkap burung terbang?"

"Kau lihat baik-baik, aku akan menangkapnya!"

Dan begitu nenek itu berkata demikian, tiba-tiba ia sudah lenyap, hanya nampak bayangan berkelebat menuju ke pekarangan dimana terdapat beberapa ekor burung gereja beterbangan ke sana-sini. Anak itu terbelalak melihat betapa bayangan nenek itu menyambar dan kembali bayangan itu sudah berada di depannya dan nenek itu kini memperlihatkan seekor burung gereja yang telah digenggam tangan kirinya.

"Ahh... ohhh …..!"

Ki Liong terbelalak dan tidak mampu mengeluarkan kata-kata saking kagum dan herannya, hanya berah-uh-ah-oh-oh seperti mendadak menjadi bodoh sekali.

"Lihat caraku yang lain lagi menangkap burung terbang." kata Ceng Thian Sin sambil memberi isarat dengan pandang matanya kepada isterinya.

Toan Kim Hong melepaskan burung itu yang bercicitan terbang keluar, akan tetapi tiba-tiba pendekar itu meluruskan tangannya dengan telapak tangan menghadap ke arah burung yang sedang terbang itu dan tiba-tiba saja tubuh burung itu seperti ditarik ke belakang dan tahu-tahu telah tersedot dan kini menempel di telapak tangan Ceng Thian Sin, tidak mampu terbang lagi!

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar