*

*

Ads

Selasa, 01 Mei 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 095

Suara suling itu naik turun dengan merdunya, kadang-kadang melayang tinggi di angkasa, bermain-main dengan awan yang bergerak menuju ke timur, kemudian dilain saat menukik turun bermain-main di permukaan anak sungai, berdendang bersama riak air yang berkejaran di antara batu-batu hitam mengkilat, bahkan kemudian menyelam dan menjadi satu dengan suara yang dalam dan aneh dari perut bumi, untuk dilain saat muncul kembali berdendang mengiringi angin yang bersilir sejuk diantara daun-daun, gemerisik suara daun-daun, kemudian menyatu dengan kicau burung yang menyambut pagi.

Sementara Hay Hay melayang-layang hanyut oleh suara suling itu. dia ikut melayang diantara awan-awan, kemudian naik cahaya matahari pagi turun sampai ke permukaan sungai, ikut berkejaran bersama suara suling dengan riak air diantara batu-batuan, ikut pula menyelam sampai dalam tak terukur lagi.

Tiba-tiba suara suling itu terhenti dan Hay Hay tersentak kaget, lalu membuka mata dan bangkit duduk. Baru teringat bahwa dia berada diantara tiga batang pohon besar. Sinar matahari telah menyusup diantara celah-celah cabang, ranting dan daun pohon, menciptakan cahaya yang kecil tajam menyilaukan mata, mengusir kabut yang mulai membubung naik dari atas tanah dan dari daun-daun pohon dimana semalam mereka berkumpul.

Burung-burung berkicau dan beterbangan dari dahan ke dahan, suasananya cerah dan riang bukan main seolah-olah semua mahluk hidup, baik yang bergerak maupun yang tidak, menyambut datangnya pagi itu dengan penuh keriangan. Cahaya pagi memang merupakan sesuatu yang baru, yang mengakhiri cuaca gelap yang membuat semua mahluk mengundurkan diri, dan cahaya pagi seolah-olah menghidupkan kembali segala sesuatu yang mati untuk semalam.

Hay Hay terseret oleh arus kegembiraan yang menyelimuti seluruh permukaan alam disekitarnya. Dia lupa lagi akan suara suling yang di dengarnya tadi, dan dianggapnya bahwa dia tadi bermimpi, mimpi yang indah bukan main. Buntalan yang semalam dipergunakan sebagai bantal, kini diikatkan kembali ke punggungnya, dan diapun merayap turun perlahan-lahan. Dia tidak mau meloncat karena melihat betapa beberapa ekor kelinci berloncatan saling kejar diantara semak-semak dibawah pohon dan dia tidak ingin mengejutkan dan membuat takut mereka.

Kegembiraan di sekelilingnya menular kepada Hay Hay. Dia merasa gembira, hatinya ringan, pikirannya bebas tanpa beban, dan hal ini membuat sekuruh anggauta tubuhnya bekerja dengan sempurna dan akibatnya dia merasa amat lapar!

Hal ini sudah wajar kalau diingat bahwa sejak kemarin siang, dia tidak pernah makan sedikitpun. Kini terdengar suara berkeruyuk di dalam perutnya. Dia harus mencari makanan, pikirnya. Kelinci-kelinci itu! Agaknya banyak terdapat kelinci didalam hutan ini dan daging kelinci yang lunak dan cukup sedang untuk mengisi perutnya. Daging kelinci dipanggang, diberi garam dan bumbu yang terdapat didalam buntalan pakaiannya, hemmm, sedap bukan main. Mengingat akan ini, perut Hay Hay makin meronta dan menjerit.

Dia memungut dua buah batu sebesar empat jari kaki. Cukup untuk mrnjatuhkan seekor atau dua ekor kelinci gemuk! Dengan dua buah batu ditangannya, Hay-Hay lalu mencari kelinci. Tak lama kemudian, dia melihat empat ekor kelinci dibalik semak-semak, berkejaran dan mereka itu nampak bergembira. Agaknya satu keluarga, pikir Hay-Hay.

Dua ekor yang besar dan dua ekor yang kecil. Sayang masih terlampau kecil, pikirnya. Maka dia lalu memilih diantara dua ekor besar. Cukup besar dan gemuk, seekorpun akan cukup untuk mengenyangkan perut. Di pilihnya yang putih bersih bulunya dan dilain saat, begitu dia menggerakkan tangan, sebuah batu melayang dengan amat cepatnya kearah leher kelinci itu.

“Takk” batu itu runtuh di tengah jalan!

Hay Hay terbelalak, merasa penasaran dan batu kedua melayang, lebih cepat dan kuat kearah kepala kelinci putih itu. menurut perhitungannya, kalau batu pertama tadi hanya akan membuat kelinci itu jatuh pingsan, batu kedua ini akan membunuhnya.

“Takk!” kembali batu itu runtuh seolah-olah menabrak dinding yang tidak nampak.

Akan tetapi pandang mata yang tajam dari Hay Hay melihat meluncurnya sinar hitam kecil dari samping dan sinar itulah yang menahan batu-batunya. Dia tidak tahu sinar apa itu, akan tetapi diapun tidak sempat melakukan penyelidikan karena dia harus cepat menangkap kelinci sebelum empat ekor binatang itu melarikan diri kedalam semak belukar penuh duri. Maka, diapun cepat meloncat kebalik semak-semak, bagaikan seekor harimau dia menerkam ke arah kelinci putih dengan tangan diulur untuk menangkapnya.

“Wuuutttt …..!” tiba-tiba saja empat ekor kelinci itu seperti ditiup angin, lenyap demikian cepatnya sehingga dia hanya menangkap angin saja!

Ketika dia mengangkat muka memandang kearah berkelebatnya binatang-binatang itu, dia melihat betapa empat ekor kelinci itu, dengan tubuh gemetar, berada diatas pangkuan seorang kakek yang duduk bersila di bawah pohon, tadi tidak nampak karena tertutup semak belukar. Dan Hay Hay terbelalak penuh kekagetan dan keheranan, mengamati kakek itu penuh perhatian karena selama hidupnya belum pernah dia melihat seorang kakek seaneh ini.






Dua orang gurunya, yaitu Ciu-sian Sin-kai dan See-thian Lama atau Go-bi San-jin, juga merupakan dua orang kakek aneh, bahkan gurunya ketiga, Pek Mau San-jin pertapa di Min-san, lebih aneh lagi. Akan tetapi mereka bertiga itu masih menyerupai manusia yang hidup terikat oleh peraturan umum, baik sikap, pakaian dan bicaranya.

Akan tetapi kakek ini, baru melihat keadaannya saja sudah tidak lumrah manusia. Kakek ini sukar di taksir berapa usianya, mungkin sudah tua sekali melihat mukanya yang penuh keriput dan garis-garis malang melintang itu. Kepalanya besar, tidak normal, bagian belakangnya seperti membengkak dan kepala itu gundul bukan karena dicukur, melainkan botak dan tidak ditumbuhi rambut. Akan tetapi, kumis dan jenggotnya tumbuh lebat dan masih hitam, membuat muka yang sempit itu nampak seperti monyet atau manusia hutan yang liar, lebih mendekati monyet daripada manusia.

Tubuhnya nampak kecil pendek, bukan memang karena ukurannya, melainkan karena tubuh itu bongkok dan punggungnya melengkung seperti tubuh udang. Sepasang mata itu kecil bundar seperti mata monyet, dikelilingi kerut merut, akan tetapi Hay Hay merasa silau bertemu pandang dengan mata itu, karena sepasang mata kecil itu bagaikan dua titik api membara!

Hidungnya juga pesek seperti hidung monyet, mulutnya kecil dan tersenyum mengejek. Yang lebih mengherankan adalah tubuh kakek itu yang tidak tertutup pakaian! Hanya ada semacam cawat tergantung di pinggang, terbuat dari kulit pohon. Kakinya telanjang tanpa alas kaki. Sungguh merupakan seorang manusia hutan yang agaknya tak pernah mengenal peradaban!

Akan tetapi ketika Hay Hay mendengar suaranya, ia tertegun! Bukan manusia liar, bukan setengah binatang, melainkan seorang manusia yang dapat mengeluarkan kata-kata penuh kasih sayang terhadap empat ekor kelinci diatas pangkuannya itu!

Hanya sebentar saja kakek itu membalas pandang mata Hay Hay karena dia lalu sibuk mengelus-elus tubuh empat ekor kelinci itu bergantian, kemudian mulutnya bicara dengan kata-kata yang penuh kasih sayang.

“Jangan takut, sayang, jangan khawatir. Selama ada Kakek Song disini, tidak ada seorangpun manusia jahat mampu mengganggumu. Tenanglah dan pergilah sana bermain-main. Akan tetapi, hati-hati selalu kalau melihat ada manusia, bersembunyilah karena manusia lebih jahat dari ular, lebih keji dari iblis. Pergilah, sayang ….!”

Kakek itu mengelus punggung empat ekor kelinci dan mendorong mereka masuk ke dalam semak-semak. Binatang-binatang itu nampak jinak sekali terhadap Si Kakek.

Melihat sikap dan mendengar kata-kata kakek itu, Hay Hay merasa tidak enak sekali. Dengan sikap hormat diapun melangkah maju menghampiri kakek itu lalu menjura.

“Maafkan aku, Kek. Apakah kelinci-kelinci itu peliharaanmu?”

Kakek itu bangkit dan nampak tubuhnya semakin bongkok, matanya mengeluarkan sinar menyambar ke arah muka Hay Hay, lalu dia menudinkan sebatang telunjuk yang bengkok.

“Manusia jahat, masih muda sudah jahat kau, tahunya hanya menangkap binatang untuk dipelihara atau dimakan dagingnya. Keji, sungguh kejam dan jahat! Semua binatang di dunia ini adalah sahabatku, aku tidak mengenal apa ittu peliharaan. Dan awas kau, kalau kau ganggu seekorpun binatang terkecil, akan kubunuh kau!”

“Tapi, Kek….”

“Huh, tidak ada tapi! Lihat, pagi begini indah, alam begini elok dan suasana begini suci dan penuh bahagia…..”

Tina-tiba Hay Hay melihat betapa wajah itu membayangkan kelembutan dan suaranya berubah halus, kata-katanya indah seperti sajak.

“Dan engkau manusia jahat datang, tidak mempedulikan semua keindahan itu, dengan hati penuh kebencian, penuh nafsu membunuh!”

“Tapi, Kakek yang baik, hatiku tidak penuh kebencian, tidak penuh nafsu membunuh. Yang benar, perutku yang penuh keluh kesah dan jerit karena lapar!”

“Gila kau! Masa perut lapar hendak membunuh kelinci?” bentak kakek itu. “Kau lebih jahat daripada segala mahluk. Binatang jauh lebih baik daripada manusia macam kau!”

Hay Hay merasa penasaran sekali. Dia melihat ke atas dan nampak seekor burung sedang makan ulat.

“Kakek yang baik, jangan sembarangan memaki orang. Lihat binatang-binatangpun sesama mahluk hidup kalau mereka lapar. Burung itu makan ulat, juga cacing dan serangga. Kucing makan tikus dan cecak. Harimau dan singa makan kijang, kambing dan kelinci!”

“Tentu saja, tolol! Karena memang makanannya! Harimau tidak suka makan rumput, kalau tidak ada kijang atau kambing atau binatang kecil lainnya, dia akan mampus kelaparan. Sebaliknya, kerbau tidak suka makan daging, makanannya adalah rumput, kalau tidak ada rumput dia mampus kelaparan! Akan tetapi engkau, manusia, apa saja yang tidak kamu makan? Kamu makan daging bukan karena lapar, melainkan karena mencari enak! Tidak boleh disamakan dengan harimau!” Kakek itu mencak-mencak dan nampak marah.

“Kakek yang baik, sekarang ini perutku lapar bukan main. Kalau aku tidak boleh menangkap binatang untuk kumakan dagingnya, akupun tentu akan mati kelaparan.”

“Bohong, begini banyaknya makanan di sekelilingmu. Daun-daunan, buah-buahan, bahkan rumput dapat kau makan.”

Hay Hay tertegun.
“Apakah engkau sendiri juga tidak pernah makan daging, Kek? Hanya makan rumput, daun dan buah?”

“Tentu saja! Aku bukan manusia jahat pelahap macam engkau! Aku penyayang binatang karena mereka itu jauh lebih suci daripada manusia yang berhati palsu, curang, kejam dan munafik, ha-ha-ha!”

Tiba-tiba kakek itu berjingkrak dan tertawa. Hay Hay merasa betapa bulu tengkuknya meremang. Kakek ini bukan hanya aneh, akan tetapi juga agaknya sudah miring otaknya, sudah gila! Suara ketawanya itu tidak wajar dan muka yang dapat berubah-ubah itu, menunjukkan bahwa kakek itu memang tidak waras.

Agaknya untuk membuktikan kata-katanya, kakek itu lalu mencabut rumput hijau muda dan memakannya. Nampak enak seperti seperti seekor sapi makan rumput, kemudian memetik pupus daun pohon dan memakannya pula.

Melihat ini Hay Hay tersenyum.
“Kakek yang baik, apa kau kira karena makan rumput dan daun saja, engkau tidak membunuh? Rumput dan daun itupun telah kau bunuh ketika engkau memakannya, belum lagi terhitung kutu-kutu dan binatang-binatang kecil yang tidak nampak oleh mata yang berada di daun dan rumput itu, ikut pula kau kunyah dan kau telan. Entah berapa ratus ekor binatang kecil sekali yang kau makan bersama rumput dan daun itu!”

Kakek itu memandang dengan sepasang mata mencorong, dan mulutnya yang tadi sedang mengunyah daun itu menghentikan gerakannya, kemudian kalamenjing itu bergerak menelan makanan rumput dan daun, agak sukar nampaknya. Setelah semua sayur itu habis di telannya, baru dia dapat berkata marah,

“Engkau gila! Sudah, aku tidak sudi bicara dengan orang gila, aku tidak mau naik darah dan membunuh orang gila! Akan tetapi awas, sekali saja kau ganggu seekor binatang, kubunuh kau, manusia jahat!” Sebelum Hay Hay menjawab, sekali berkelebat kakek itupun lenyap.

Hay Hay tertegun. Tak disangkanya bahwa kakek itu memiliki gerakan sedemikian cepatnya, seperti menghilang saja. Maklumlah dia bahwa kakek itu bukan orang sembarangan. Tadi ketika menangkis sambitan batunya sampai dua kali, kemudian menghindarkan kelinci dari tubrukannya, sudah membuktikan bahwa kakek itu memiliki kepandaian yang amat tinggi. Siapakah kakek itu pikirnya.

Tingkahnya seperti orang yang miring otaknya, seperti orang gila, akan tetapi kakek itu memaki dia sebagai orang gila. Kakek itu menyayang binatang, hal ini jelas, dan menganggap orang yang makan daging binatang amatlah biadab. Siapakah yang gila, kakek itu ataukah dia?

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar