*

*

Ads

Minggu, 29 April 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 086

Melihat ini, Ki Liong lalu memberi hormat dengan membentur-benturkan dahi kepalanya di lantai.

“Ah, saya memiliki mata akan tetapi seperti buta saja, tidak melihat bahwa Ji-wi Locianpwe adalah ahli-ahli silat yang memiliki kepandaian mujijat. Kalau Ji-wi masih sudi mengajar saya, saya akan merasa bersukur, berterima kasih dan selamanya saya tidak akan melupakan budi kebaikan Ji-wi Locianpwe…..”

Ceng Thian Sin tertawa dan melepaskan burung itu yang terbang ketakutan. Semenjak saat itu, Ciang Ki Liong telah menjadi murid mereka. Anak ini memang berbakat baik sekali dan ternyata selama ini diapun sudah mempelajari dasar-dasar ilmu silat dalam perantauannya. Selain berbakat baik, juga dia cerdik bukan main, dapat mengingat setiap jurus yang diajarkannya dengan cepat. Hal ini masih ditambah lagi dengan sikapnya yang amat baik, penuh sopan santun, peramah dan pandai sekali mengambil hati orang.

Kakek dan nenek itu hanya mempunyai anak tunggal, perempuan lagi, yaitu Ceng Sui Cin. Kini, mempunyai seorang murid laki-laki seperti Ki Liong, mereka senang bukan main dan beberapa tahun kemudian, mereka sudah menganggap Ki Liong bukan hanya seperti murid terkasih, akan tetapi bahkan seperti anak sendiri!

Ki Liong bukan hanya disuka oleh suhu dan subonya, yang memandang dia sendiri seperti anak sendiri dan yang menurunkan ilmu-ilmu yang paling tinggi, akan tetapi juga para penghuni pulau itu semua suka kepadanya! Dia seorang pemuda yang bersikap ramah terhadap siapapun juga, sehingga tidak ada alasan bagi orang lain untuk tidak suka kepadanya.

Bahkan terhadap beberapa orang gadis keluarga para penghuni pulau, dia bersikap baik dan sopan dan alim. Tentu saja melihat sikap ini, Ceng Thian Sin dan Toan Kim Hong menjadi semakin suka dan kedua orang sakti ini menggembleng Ki Liong dengan sungguh-sungguh. Selama enam tahun Ki Liong digembleng dan pemuda yang beruntung ini telah mampu mewarisi ilmu-ilmu yang paling hebat dari suami isteri itu.

Demikianlah, tanpa diketahui Sui Cin yang sudah hampir sepuluh tahun tidak pernah berkunjung ke Pulau Teratai Merah, kini di pulau itu tinggal seorang pemuda yang usianya sudah dua puluh tahun, yang menjadi murid ayah ibunya, bahkan murid yang disayang seperti anak sendiri, dan yang telah mewarisi ilmu-ilmu yang dahsyat dari mereka.

Ketika perahu yang membawa Sui Cin dan Kui Hong mendarat di pulau itu, mereka disambut oleh para penghuni pulau dengan gembira bukan main.

"Siocia datang …..!"

"Nona Kui Hong sekarang telah menjadi seorang gadis yang cantik jelita!"

"Siocia masih saja nampak muda biarpun anaknya sudah demikian besarnya”.

Ketika Ceng Thian Sin dan isterinya menerima laporan bahwa puteri mereka dan cucu mereka datang berkunjung, keduanya girang sekali dan merekapun berlari keluar, diikuti oleh Ki Liong yang tadi sedang digembleng ilmu silat oleh kedua orang gurunya di lian-bu-thia (ruangan berlatih silat).

"Sui Cin …..!"

Toan Kim Hong berseru girang dan ibu dan anak ini segera saling berangkulan. Ketika nenek ini melihat puterinya mencucurkan air mata, ia terkejut bukan main. Belum pernah puterinya ini menangis, hanya karena keharuan pertemuan antara mereka. Anaknya walaupun seorang wanita, memiliki kegagahan dan pantang menangis hanya untuk urusan kecil. Kini ia mengucurkan air mata, itu berarti telah terjadi hal yang hebat.

"Sui Cin ada apakah?" ia bertanya suaranya tegas.

Sui Cin melihat kehadiran beberapa orang penghuni yang mengantar mereka masuk setelah tadi menyambut, juga melihat kehadiran seorang pemuda di belakang ayah ibunya, memandang ragu dan ibunya maklum. Toan Kim Hong lalu mengalihkah percakapan dan kini ia memegang kedua pundak Kui Hong.

"Haiii, ini... benarkah ia Kui Hong si kecil itu?"

"Nenek …..!" kata Kui Hong sambil tersenyum dan memberi hormat.

"Aihhh, cucuku sudah begini besar, cantik dan gagah lagi!" Dan Toan Kim Hong lalu merangkulnya.

Ceng Thian Sin yang bersikap tenang itu juga wajahnya nampak cerah gembira, sepasang matanya bersinar-sinar tanda bahwa hatinya senang sekali walaupun tidak enak karena diapun dapat menduga bahwa tentu telah terjadi hal yang hebat, yang menyebabkan puterinya yang keras hati itu sampai menangis.






"Oya, perkenalkan ini adalah murid kami bernama Ciang Ki Liong, sudah enam tahun dia berada disini menjadi murid kami. Ki Liong, ini adalah puteri kami Ceng Sui Cin, dan ini adalah cucu kami bernama Cia Kui Hong."

Ki Liong cepat melangkah maju dan menjura dengan hormat kepada Sui Cin, sambil berkata dengan halus dan sopan,

“Suci (Kakak seperguruan), harap sudi menerima hormatku."

Sui Cin terbelalak. Murid ayah ibunya? Ia memandang penuh perhatian dan melihat bahwa pemuda ini adalah seorang yang tampan dan gagah, sikapnya demikian sederhana dan sopan, menimbulkan rasa suka di hatinya.

"Ah, aku girang sekali mempunyai seorang Sute (Adik Seperguruan) yang segagah ini," katanya, kemudian menoleh kepada puterinya. "Kui Hong, ini Paman Gurumu, hayo beri hormat kepadanya."

Biarpun di dalam hatinya merasa segan memberi hormat seorang pemuda yang usianya tidak terlalu banyak selisihnya dengan usianya sendiri, yang diperkenalkan sebagai paman gurunya, namun di depan ibunya dan kakek serta neneknya, Kui Hong tidak berani membantah.

"Susiok (Paman Guru) …..!" katanya sambil memberi hormat.

"Ah, Nona, mana aku berani menerima kehormatan ini?"

Ki Liong berkata dengan ramah dan merendah, sambil membalas dengan penghormatan dan menjura dengan dalam. Melihat sikap ini, Sui Cin menjadi semakin suka dan kagum. Pantas saja orang tuanya menerima pemuda ini sebagai murid dan ia tidak menyalahkan mereka. Memang seorang pemuda yang baik.

"Mari kita bicara di dalam," kata Toan Kim Hong kepada puterinya.

Akan tetapi ia melihat Sui Cin memandang kepadanya lalu melirik ke arah Ki Liong, Maklumlah ibu ini bahwa puterinya tidak ingin bicara dengan kehadiran orang lain, maka ia lalu berkata kepada Ki Liong,

"Ki Liong, engkau latih sendiri apa yang baru saja kami ajarkan tadi, di lian-bu-thia, biarkan kami melepas rindu kepada Sucimu."

"Baik, Subo," kata Ki Liong sambil meninggalkan ruangan depan.

"Aku mau melihat Susiok berlatih silat!"

Tiba-tiba Kui Hong berkata dan ibunya mengangguk karena ia pun merasa lebih leluasa bicara tentang urusan pribadinya kalau disitu tidak hadir puterinya. Kui Hong lalu mengikuti Ki Liong menuju ke lian-bu-thia melalui ruangan samping, sedangkan kakek dan nenek itu masuk ke dalam rumah bersama puteri mereka.

Setelah berada bertiga saja bersama ayah ibunya, Sui Cin tak dapat menahan tangisnya. Ibunya merangkulnya dengan hati penuh kekhawatiran.

"Anakku, apakah yang telah terjadi sehingga engkau datang sambil menangis seperti ini?"

Setelah dapat menekan guncangan batinnya, Sui Cin menghapus air matanya dan duduk berhadapan dengan ayah ibunya. Ayahnya hanya mengerutkan alis dan memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik, akan tetapi sikapnya tetap tenang. Tidak ada hal yang akan dapat atau mampu mengguncangkan ketenangan batin Pendekar Sadis ini.

"Ibu, Ayah, aku pulang kesini untuk seterusnya, aku telah meninggalkan Cin-ling-san bersama Kui Hong dan aku tidak akan kembali lagi kesana."

Suami isteri itu saling pandang, mengerti bahwa telah terjadi sesuatu yang menimbulkan percekcokan antara puteri dan mantu mereka. Percekcokan antara suami isteri adalah hal yang wajar saja, dan tidak sepatutnya kalau sampai membuat puteri mereka mengambil keputusan untuk meninggalkan rumah suami dan tidak akan kembali lagi. Tentu terjadi hal yang lebih hebat daripada sekedar cekcok saja.

"Engkau cekcok dengan suamimu?"

Toan Kim Hong bertanya, hati-hati. Ia dan suaminya adalah orang-orang yang telah banyak makan garam dunia dan mereka bijaksana, maklum bahwa biarpun mereka adalah orang tua, namun mereka tidak berhak mencampuri urusan antara suami dan isteri, sungguhpun isteri itu adalah anak mereka sendiri. Mencampuri hanya akan membuat suasana menjadi semakin keruh. Betapa banyaknya perhubungan suami isteri menjadi retak, perkawinan menjadi percerajan karena pihak orang tua dan keluarga mencampuri urusan suami isteri itu.

Orang tua yang bijaksana tidak akan menuruti perasaan yang menimbulkan emosi, tidak akan berpihak, melainkan berdiri di tengah-tengah, tidak berat sebelah dan selalu disertai pamrih untuk menyatukan kembali suami isteri yang akan retak itu. Begitu orang tua atau keluarga berpihak, keretakan akan menghebat dan disusul perceraian dan permusuhan. Bukan tak mungkin suami dan isteri hari ini cekcok dengan hebat akan tetapi pada keesokan harinya sudah saling berkasih-kasihan. Akan tetapi, orang tua dan keluarga merupakan orang luar dan sekali mereka ini terjun dan mencampuri, sekali cekcok dengan pihak besan, mungkin selamanya takkan dapat akur kembali! Percekcokan antara suami dan isteri seperti percekcokan kanak-kanak.

Ditanya oleh ibunya apakah dia cekcok dengan suaminya, Sui Cin menggeleng kepalanya tanpa menjawab. Kembali kakek dan nenek itu saling pandang dan mereka mengerutkan alis. Kalau tidak cekcok dengan suaminya, tentu cekcok dengan keluarga suaminya. Mereka teringat akan watak ayah mertua puterinya, yaitu Cia Kong Liang yang keras.

"Apakah cekcok dengan ayah mertuamu?" Ceng Thian Sin kini bertanya.

Sui Cin mengangguk dan kembali dua titik air mata jatuh ke atas pipinya.

Dengan bijaksana, Toan Kim Hong mencela puterinya sendiri dengan maksud mengingatkan,

"Anakku, ayah mertuamu tiada bedanya dengan ayah sendiri, oleh karena itu perlu ditaati semua kehendaknya dan jangan sekali-kali dibantah."

"Ibu!" kata Sui Cin penuh semangat perlawanan karena hatinya diliputi rasa penasaran. "Apakah segala kehendaknya harus ditaati, kehendak yang tidak baik sekalipun ?"

"Sui Cin, rasanya tidak mungkin kalau Cia Kong Liang yang gagah perkasa dan bijaksana itu mempunyai kehendak yang tidak baik!" kata Ceng Thian Sin, berlawanan dengan perasaannya sendiri karena diapun seperti isterinya hendak menekan sikap perlawanan puterinya terhadap ayah mertuanya.

“Sesungguhnya, apa sih kehendak ayah mertuamu itu?" Toan Kim Hong mendesak karena iapun ingin sekali tahu.

"Dia memaksa Hui Song untuk kawin lagi!"

"Apa?" Suami isteri itu terbelalak dan saling pandang. Mereka benar terkejut mendengar ini karena sama sekali tidak pernah mengira akan mendengar berita seperti itu. "Tapi... tapi kenapa? Bukankah dia telah menjadi suamimu, dan bukankah kalian hidup berbahagia dan saling mencinta?" nenek itu mendesak, kini mulai merasa penasaran.

"Kami hidup berbahagia, Ibu, dan tidak pernah terjadi percekcokan antara kami. Akan tetapi ayah mertuaku... dia ingin sekali mempunyai seorang cucu laki-laki, katanya untuk menyambung keturunan Cia, dan dia memaksa Hui Song untuk mengambil seorang gadis lain sebagai isteri kedua, agar dapat mempunyai seorang keturunan laki-laki!"

"Ahhh ……!"

Kembali kakek dan nenek itu saling pandang dan mereka menarik napas panjang, lalu menundukkan muka dengan alis berkerut. Tentu saja mereka berdua dapat mengerti perasaan hati Ketua Cin-ling-pai itu. Pada jaman itu, boleh dibilang hampir seluruh orang tua di empat penjuru akan berpendapat sama, yaitu rnereka tidak ingin keturunan marga mereka terputus karena tidak mempunyai keturunan laki-laki.

Kalau Ceng Thian Sin sendiri tidak bersikap seperti itu adalah karena dia lain daripada yang lain, dan dia amat mencinta isterinya. Tanpa bicara, keduanya dapat menerima tuntutan ayah mertua puteri mereka itu, dan mereka tidak dapat menyalahkan Cia Kong Liang.

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar