*

*

Ads

Jumat, 27 April 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 082

"Can Sun Hok, tidak ada yang abadi di dunia ini." jawabnya. "Orang yang tadinya disebut baik, belum tentu baik selamanya dan yang jahat belum tentu jahat selamanya. Terhadap seorang ibu, tentu saja seorang anak haruslah berbakti apapun kata orang terhadap ibunya, baik maupun buruk. Berbakti kepada orang tua merupakan kewajiban utama seorang anak."

"Ibuku telah meninggalkan aku sejak bayi, Bibi, meninggalkan aku dalam asuhan Nenek Wa Wa Lo-bo bersama ayahku yang tidak tahu bagaimana caranya mendidik anak. Kemudian ibuku terbunuh orang. Nah, bagaimana pendapat Bibi? Haruskah aku membalas dendam kematian ibuku. Mencari pembunuh ibuku itu dan membalas dengan membunuhnya demi kebaktianku terhadap ibuku?"

Bagaimanapun juga, Sui Cin tidak berani langsung menyatakan pendapatnya karena ia menghadapi urusan orang lain. Ia membayangkan andaikata ibu kandungnya dibunuh orang, dengan alasan apapun juga, sudah pasti ia akan mencari pembunuh ibunya itu dan membalas dendam! Walaupun ia mempunyai pandangan sendiri tentang cara berbakti, akan tetapi sanggupkah ia menahan sakit hatinya kalau terjadi musibah menimpa dirinya seperti yang telah menimpa diri pemuda ini?

"Bagaimana pendapat Ayahmu?" tanyanya untuk mencari waktu.

Pemuda itu menarik napas panjang.
"Ketika hal itu terjadi, aku baru berusia tiga tahun. Setelah aku mengerti, Ayah selalu menghindari pertanyaanku tentang ibuku dan aku tahu bahwa ayah agaknya membenci atau setidaknya dia tidak suka kepada Ibu. Biarpun dia tidak pernah mengatakan sesuatu, aku hampir yakin bahwa ayah tidak peduli tentang kematian Ibu dan tentu tidak setuju kalau aku membalas dendam. Ketika aku berusia dua belas tahun, ayahku meninggal dunia karena sakit."

"Ah, sungguh malang sekali nasibmu, Can-toako." kata Kui Hong sambil memandang dengan sinar mata mengandung iba.

Kiranya pemuda yang pandai dan kaya raya ini hanya pada luarnya saja nampak hidup senang, padahal nasibnya amat buruk.

"Jadi, semenjak berusia dua belas tahun, engkau hanya hidup berdua saja dengan Nenek Wa Wa Lo-bo itu?" tanya Sui Cin, teringat akan nenek yang wajahnya menyeramkan tadi.

"Bukan sejak dua belas tahun, bahkan sejak lahir boleh dibilang Nenek Wa Wa Lo-bo itulah yang merawat dan kemudian mendidik aku. seingatku, ketika masih amat kecil sekalipun, yang mengasuh aku selalu adalah nenek itu. Mungkin sejak kecil mendiang ibu tidak peduli kepadaku." Wajah pemuda itu nampak diliputi awan duka.

"Dan ia pula yang memanggil guru-guru yang pandai untuk mendidik dan mengajarmu. Apakah ia pula yang memanggil seorang guru silat, dan siapakah ahli silat yang telah mendidikmu, Sun Hok?"

"Dalam segala ilmu kepandaian, Nenek Wa Wa Lo-bo selalu mencarikan guru yang terbaik dengan bayaran mahal. Akan tetapi tentang ilmu silatku yang tidak ada artinya ini, hanya mengenal satu dua pukulan, semua dilatih oleh Nenek Wa Wa sendiri."

"Aihhhh ….!" Sui Cin terkejut dan memandang terbelalak. "Kalau begitu nenek itu tentu lihai bukan main." Ia mengingat-ingat namun tak pernah rasanya mendengar nama tokoh kang-ouw yang bernama Wa Wa Lo-bo. "Akan tetapi rasanya belum pernah aku mendengar nama besarnya."

"Nenek Wa Wa memang tak pernah berurusan dengan dunia kang-ouw. Dan ia sejak dahulu adalah pengasuh mendiang ibuku, yang sengaja ditinggalkan ibu untuk mengasuh dan merawatku." Sun Hok yang sejak tadi membiarkan percakapan membelok ke arah lain, kini bertanya lagi. "Akan tetapi, Bibi Ceng, aku masih menanti jawabanmu tentang maksudku membalas dendam untuk berbakti kepada mendiang ibuku."

“Hemm, sebelum aku menjawab, katakan dulu bagaimana pendapat nenek yang menjadi pengasuh dan juga gurumu itu? Mengapa engkau tidak bertanya kepadanya?"

Sun Hok menarik napas panjang dan menggeleng kepalanya.
"Sudah berulang kali kutanyakan kepada nenek Wa Wa siapa nama pembunuh ibuku, akan tetapi ia selalu tidak mau mengaku, dan mengatakan bahwa belum tiba saatnya bagiku untuk memusingkan diri tentang balas dendam karena ilmu kepandaianku masih jauh daripada mencukupi. Akan tetapi aku tidak pernah bertanya tentang kebaktian kepadanya, Bibi, karena ia hanya pandai ilmu silat akan tetapi dalam hal pengertian hidup tentu saja tak banyak dapat diharapkan darinya. Karena itu, kepada Bibilah aku memandang dan mengharapkan keterangan yang jelas. Haruskah aku membalas dendam demi kebaktianku kepada mendiang ibu, Bibi Ceng?"






Kini Ceng Sui Cin tidak dapat mengelak lagi, akan tetapi tadi dia sudah memperoleh cukup waktu untuk mempertimbangkan jawabannya.

"Sun Hok, aku tidak ingin mempengaruhi batinmu karena aku tidak berhak untuk mencampuri urusan pribadimu. Akan tetapi, sesungguhnyalah bahwa balas dendam bukan berarti berbakti. Balas dendam lebih merupakan penyaluran kemarahan dan kebencian yang ditujukan kepada pihak lain yang dianggap telah merugikan diri sendiri. Balas dendam timbul karena kebencian, bukan karena keinginan berbakti. Berbakti mempunyai sifat mendatangkan kebaikan, bukan bersifat merusak. Engkau sendiri yang menceritakan kepadaku bahwa menurut yang kau ketahui, mendiang ibumu pernah menjadi seorang tokoh sesat yang melakukan kejahatan. Nah, kalau ia meninggal karena melakukan kejahatan, maka bagaimanakah pendirianmu? Kalau engkau hendak membela ibumu, bukankah berarti engkau membela kejahatannya, bahkan membantu dan menambah kejahatannya? Andaikata ibumu masih hidup, kebaktianmu dapat diwujudkan dengan menasihati dan menyadarkan ibumu daripada penyelewengan dan kesesatan. Akan tetapi beliau sudah meninggal dunia. Menurut pendapatku, kalau engkau mau berbakti, jalan satu-satunya yang paling baik adalah mencuci namanya yang ternoda dengan kejahatan itu dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang baik. Seluruh dunia kang-ouw yang melihat dan mendengar bahwa engkau, putera ibumu, menjadi seorang pendekar budiman, tentu akan dapat memaafkan semua kesalahan ibumu yang lalu. Nah, bukankah hal itu merupakan kebaktian yang paling tepat?"

Sun Hok mengangguk-angguk.
"Sudah banyak aku mempelajari kitab-kitab agama dan filsafat dari guru-guru sastraku, dan memang semua pelajaran itu sejalan dengan apa yang Bibi nasihatkan tadi. Terima kasih atas petunjukmu, Bibi Ceng. Aku pun sudah mencoba untuk berbuat baik dengan menentang kejahatan, membela si lemah tertindas. Akan tetapi, perasaan tak enak dan penasaran di dalam hatiku tak pernah mau lenyap sehingga kadang-kadang aku menjadi gelisah, bingung dan mudah dihinggapi kemarahan. Aku mencoba untuk menghibur perasaan ini dengan nyanyi, musik, minum arak dan pelesir di tempat-tempat indah. Namun belum juga mau lenyap kegelisahan ini."

Percakapan mereka terhenti dengan munculnya Nenek Wa Wa Lo-bo. Kemunculannya demikian tiba-tiba. Tahu-tahu nenek itu telah berada di ambang pintu ruangan itu sehingga mengejutkan Sui Cin dan Kui Hong karena mereka sama sekali tidak mendengar bunyi langkahnya. Nenek itu dengan sikap dingin akan tetapi hormat, membungkuk dan berkata dengan suara lirih namun jelas.

"Kamar dan air untuk Toanio dan siocia telah dipersiapkan, Kongcu."

Agaknya nenek itu hanya menghadap dan melapor kepada Sun Hok, sikapnya bukan seperti seorang guru terhadap murid, melainkan sebagai seorang pelayan terhadap majikannya. setelah berkata demikian, nenek itu menoleh, bertepuk tangan dan muncullah seorang pelayan wanita.

"Antarkan Toanio dari siocia ke kamarnya.” katanya lalu dia membungkuk lagi kemudian pergi.

Sun Hok agaknya tidak merasa aneh atau tersinggung atau malu akan sikap nenek itu. Dia tersenyum ramah kepada dua orang tamunya.

"Bibi Ceng, Adik Hong, silakan kalau hendak mandi dan mengaso. Kita berternu lagi nanti di ruangan makan."

Sui Cin dan Kui Hong mengangguk, dan mengucapkan terima kasih, lalu mengikuti pelayan wanita itu menuju ke kamar mereka yang sudah dipersiapkan untuk mereka. Mereka melalui lorong-lorong dan semakin kagum saja karena keadaan dalam rumah besar menyerupai istana itu benar-benar amat mewah dan indah, juga amat luasnya karena di bagian tengahnya terdapat sebuah taman yang penuh dengan bunga indah dan sebuah kolam ikan yang dihiasi dengan arca-arca yang amat indahnya.

Mereka memperoleh sebuah kamar besar yang menghadap ke kolam ikan, dan hawa dalam kamar itu sejuk bukan main karena memperoleh hawa segar yang langsung masuk dari dalam taman.

Setelah mandi dan rnengenakan pakaian bersih, ibu dan anak itu merasa segar dan enak.

“Ibu, ketika mengunjungi Pulau Teratai Merah, aku masih kecil dan aku sudah lupa lagi keadaan disana. Akan tetapi aku masih ingat bahwa rumah disana lebih bagus daripada yang di Cin-ling-san. Kalau dibandingkan dengan rumah Can-toako ini, mana lebih indah, Ibu?" tanya Kui Hong.

Ibunya tersenyum.
"Rumah kakek dan nenekmu di Pulau Teratai Merah juga indah dan besar, akan tetapi agaknya tidak semewah ini. Maklumlah, Can Sun Hok menerima harta peninggalan kakeknya yang pernah menjadi gubernur, tentu perabot-perabot rumahnya serba indah, kuno dan mahal!"

"Semua disini serba indah. Can-toako juga orangnya ramah, halus dan baik budi. Juga para pelayannya nampak rapi, kecuali... hemm, Nenek itu sungguh membuat aku merasa serem, Ibu."

"Memang wajahnya menyeramkan dan sikapnya dingin, agaknya banyak rahasia tersimpan di dalam hatinya. Jelas ia lihai bukan main. Sayang aku belum pernah mendengar namanya sehingga aku tidak tahu orang macam apakah adanya nenek itu. Betapapun juga, menghadapi orang seperti itu, kita harus tetap waspada dan hati-hati, Kui Hong."

Ketika mereka diundang untuk makan malam di ruangan makan, kembali mereka berdua kagum karena hidangan makan yang disuguhkan banyak macamnya dan rata-rata lezat.

Can Sun Hok juga sudah berganti pakaian, akan tetapi tetap saja pakaiannya sederhana, sungguh tidak cocok dengan keadaan rumahnya yang mewah. Hal ini membuat Sui Cin menjadi semakin kagum dan suka kepada pemuda ini. Ia sendiri adalah seorang yang sejak mudanya berpakaian sembarangan, bahkan nyentrik walaupun ia puteri Pendekar sadis yang juga kaya raya.

Pemuda ini biarpun keturunan bangsawan dan kaya raya, bahkan memiliki kepandaian bun (sastra) dan bu (silat) yang tinggi, namun demikian rendah hati, sama sekali tidak sombong. Dan watak rendah hati ini saja sudah merupakan modal yang cukup kuat untuk menjadl seorang baik-baik, pikir Sui Cin. Makin condong hatinya untuk mengharapkan perjodohan antara puterinya dan pemuda aneh ini.

Akan tetapi, nenek itu tidak nampak pula di ruangan makan, padahal ada sebuah kursi lagi dan di atas meja telah disediakan pula mangkok kosong dan cawan kosong. Jelaslah bahwa para pelayan telah menyediakan tempat untuk siapa lagi kalau bukan untuk nenek yang biarpun menjadi pengasuh dan pembantu, juga menjadi guru pemuda itu.

Namun, nenek yang agaknya biasa makan bersama Sun Hok, sekali ini tidak nampak. Hal ini membuat Sui Cin menjadi curiga, akan tetapi demi sopan santun, ia pun tidak bertanya apa-apa kepada tuan rumah tentang nenek yang menarik perhatiannya itu

Dalam waktu makan malam itupun Can Sun Hok bersikap ramah terhadap kedua orang tamunya. Nampak jelas betapa pemuda ini kagum dan hormat kepada Sui Cin, dan juga kagum dan suka kepada Kui Hong. Sehabis makan, Sun Hok mempersilakan tamu-tamunya untuk beristirahat. Sun Hok sendiri tidak segera tidur, melainkan memasuki taman besar yang berada di belakang rumahnya. Berbeda dengan taman kecil yang berada di tengah-tengah bangunan, dikelilingi kamar-kamar dan ruangan, taman yang berada di belakang rumah ini luas sekali.

Sun Hok duduk termenung di dekat kolam besar menyerupai danau kecil, di atas bangku sambil memandang ke arah bulan muda yang sudah menghias angkasa. Dia termenung, memikirkan percakapannya dengan nyonya yang dikaguminya itu, terutama tentang dendam dan kebaktian.

"Hemm, agaknya kata-kata manis beracun itu telah mulai menyusup ke dalam hatimu, Kongcu."

Tiba-tiba terdengar suara lirih dan dingin. Sun Hok maklum bahwa pengasuhnya juga gurunya dalam ilmu silat, yang datang. Dia menoleh dan benar saja, Nenek Wa Wa Lo-bo telah berdiri di belakangnya.

"Ah,kebetulan engkau datang, Lo-bo. Mari duduk, aku ingin bicara padamu."

"Hemm, aku pun ingin bicara padamu, Kongcu." kata nenek itu sambil duduk di ujung bangku.

"Aku mau bicara tentang kematian ibu kandungku dan membalas dendam."

"Tepat sekali, aku pun ingin bicara tentang kematian ibumu."

Mendengar ini, Sun Hok girang bukan main. Nenek ini, walaupun sudah sering kali dia bertanya, tak pernah mau bercerita tentang kematian ibunya, tentang siapa pembunuh ibunya.

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar