*

*

Ads

Kamis, 26 April 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 080

"Nah, itulah. Jangan mudah membiarkan batin dicengkeram rasa takut! Takut timbul karena keraguan dan ketidak mengertian. Kalau ada sesuatu, selidiki saja dulu agar tidak menimbulkan keraguan dan ketakutan. Rasa takut memang membuat batin menjadi tumpul dan orang dapat melakukan hal yang lucu-lucu, aneh-aneh dan tolol sekali."

"Tapi, siapakah orang itu, Ibu?"

"Aku tidak tahu. Jelas seorang laki-laki, dan tentu memiliki ilmu kepandaian silat yang cukup baik. Kalau tidak, tentu dia sudah terkena serangan jarum-jarumku tadi. Mungkin seorang pencuri biasa yang memiliki sedikit kepandaian. Serangan jarum itu pun tidak terlalu berbahaya karena sudah menembus kain dan kertas jendela, dan aku pun tidak bermaksud mencelakai orang yang belum diketahui jelas kesalahannya."

"Akan tetapi dia telah mengintai kamar ini!"

"Mungkin, akan tetapi siapa tahu dia kebetulan hanya lewat saja? Sudahlah, sebaiknya mulai sekarang kita berhati-hati dan kau tidurlah."

Malam itu terlewat tanpa suatu gangguan lagi dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka sudah bangun, mandi, sarapan pagi lalu berkemas karena mereka hendak melanjutkan perjalanan ke tenggara, menuju ke lautan selatan dimana terdapat Pulau Teratai Merah, tempat tinggal Pendekar Sadis dan isterinya, yaitu ayah dan ibu Ceng Sui Cin.

Karena puterinya ingin melakukan perjalanan secepatnya, Sui Cin lalu membeli dua ekor kuda di tempat itu dan mereka lalu menunggang kuda mereka membalap menuju ke selatan. Menjelang senja, mereka sudah tiba di luar kota Siang-tan dan di jalan yang sunyi ini, di luar sebuah rawa, tiba-tiba bermunculan belasan orang laki-laki menghadang di tengah jalan dan ada pula yang memasang tali melintang setinggi dada.

Melihat ini, terpaksa Sui Cin dan puterinya menahan kendali kuda mereka karena kalau mereka menerjang terus, kuda mereka akan tersangkut tali dan dapat menyebabkan kuda mereka terjungkal.

"Hemm, mau apa kalian menghadang perjalanan kami?" bentak Kui Hong marah dan ia sudah meloncat turun, membiarkan kudanya terlepas dan ia menghampiri mereka yang menghadang di tengah jalan.

Dua orang itu memandang kepada dua orang wanita ini dan mereka pun terbelalak penuh kagum.

"Ha-ha, ada dua ekor domba mulus dan gemuk memasuki perangkap. Kawan-kawan, malam ini kita berpesta pora sampai kenyang!" kata seorang diantara mereka.

"Ha-ha-ha, dan mereka membawa dua ekor kuda yang bagus dan mahal."

"Dan lihat pakaian mereka, lihat perhiasan yang berada di leher dan sanggul mereka!"

“Dan dua buntalan besar itu banyak isinya!"

Maklumlah Sui Cin dan Kui Hong bahwa mereka berhadapan dengan perampok! Khawatir kalau-kalau puterinya membunuh orang, Sui Cin juga melompat turun dan berkata.

"Kui Hong, kau pegangi kendali dua ekor kuda kita. Biar aku menghadapi mereka, siapa tahu mereka mengerti akan bayangan semalam."

Kui Hong merasa kecewa bahwa ia tidak boleh turun tangan sendiri menghajar perampok itu, akan tetapi ia tidak berani membantah perintah ibunya. Ia lalu memegangi kendali dua ekor kuda agar tidak melarikan diri sambil melihat betapa dengan sikap tenang ibunya maju menghampiri orang-orang yang kasar itu.

"Heh-heh, yang muda seperti bunga sedang mekar, yang lebih tua seperti buah yang sudah masak. Keduanya cantik menarik, heh-heh!" kata orang tinggi besar muka hitam yang agaknya menjadi pemimpin perampok. "Kawan-kawan, tangkap mereka jangan sampai terluka, yang muda berikan aku, yang tua biar untuk kalian semua."

Wajah Sui Cin sudah menjadi merah sekali karena marah, akan tetapi, dengan tenang ia maju terus.

"Kalian ini orang-orang tak tahu malu, hendak merampok dua orang wanita yang sedang melakukan perjalanan. Apakah seorang diantara kalian semalam melakukan pengintaian di kamar hotel kami?"






Mendengar pertanyaan ini, orang-orang itu saling pandang, lalu Si Tinggi Besar muka hitam tertawa, diikuti pula oleh anak buahnya.

"Manis, kalau aku mengintai kamarmu semalam, apa kau kira aku sudah melepaskanmu pula hari ini? Ha-ha-ha!"

"Plakk!"

Tamparan tangan Sui Cin itu cepat bukan main, sampai tidak terlihat oleh kepala perampok itu. Demikian cepatnya dan tahu-tahu tangan kiri itu sudah menampar pipi kanan Si Kepala Rampok yang merasa seperti disambar petir saja.

“Auhhh ….!"

Tubuhnya terpelanting dan dia pun roboh, memegangi pipi kanan dengan kedua tangan. Pipi itu telah menjadi biru dan bengkak, mulutnya berdarah karena selain bibir kanannya pecah, juga semua giginya di bagian kanan telah copot! Hebat bukan main tamparan Sui Cin itu yang merasa marah karena ia telah dihina dengan kata-kata yang kotor.

Melihat kepala mereka dipukul roboh, sebelas orang perampok menjadi marah dan mereka sudah mencabut senjata masing-masing, mengepung Sui Cin dan Kui Hong. Gadis ini berdiri tenang saja, masih memegangi kendali dua ekor kuda yang mulai nampak ketakutan karena sikap belasan orang itu. Si Kepala Perampok sudah bangkit lagi dan setelah kepalanya tidak pening lagi, dia pun mencabut goloknya.

"Bedebah, tangkap mereka! Serahkan perempuan ini kepadaku dulu, akan kuhancurkan ia sampai minta-minta ampun kepadaku."

Akan tetapi, dua belas orang itu bagaikan macan-macan ompong saja bagi Sui Cin. Tentu saja orang-orang kasar yang hanya mengandalkan tenaga dan kenekatan itu sama sekali bukan merupakan lawan yang tangsuh bagi Sui Cin. Siapa yang berani maju menyerangnya, tentu akan terpelanting terkena tamparan atau tendangan kakinya yang gerakannya amat cepat itu.

Namun Sui Cin tidak mau membunuh orang dan tenaga yang dipergunakan dalam pukulan dan tendangan itu terbatas. Juga mereka yang menubruk ke arah Kui Hong kecelik. Dengan kedua kakinya, gadis ini menendang kanan kiri dan mereka yang terkena tendangan tentu roboh tersungkur.

Selagi para perampok itu kacau balau karena pukulan Sui Cin dan tendangan ibu dan anak itu, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.

"Hentikan semua itu!"

Para perampok berhenti dan ketika mereka menoleh dan melihat seorang pemuda yang datang menuntun seekor kuda putih, tiba-tiba saja mereka semua, dipimpin oleh Si Muka Hitam, menjatuhkan diri dengan muka berubah ketakutan.

"Can Kongcu (Tuan Muda Can), harap ampunkan kami …." kepala perampok itu meratap sambil berkali-kali bersoja (memberi hormat dengan merangkap kedua tangan) kepada pemuda itu.

Sui Cin dan Kui Hong juga memandang dan mereka terkejut ketika mengenal bahwa pemuda itu bukan lain adalah pemuda peniup suling yang mereka jumpai kemarin di Telaga Tung-ting! Mudah mengenal kembali pemuda ini, karena selain wajahnya yang tampan dan matanya yang mencorong itu mudah diingat, juga suling di ikat pinggangnya dan yang-kim di punggungnya mudah dikenal.

Pemuda itu tidak mempedulikan para perampok yang berlutut mohon ampun padanya. Dia menoleh kepada Sui Cin dan Kui Hong dan agaknya baru dia mengenal lagi dua orang wanita ini. Cepat dia melepaskan kendali kuda yang dipegangnya dan menjura dengan sikap hormat kepada ibu dan anak itu.

"Ah, kiranya Ji-wi yang diganggu oieh tikus-tikus kecil ini. Selamat bertemu kembali, Bibi yang terhormat dan Adik yang manis."

Wajah Kui Hong menjadi merah dan ia mengerutkan alisnya, akan tetapi ketika ia memandang wajah pemuda tampan itu, tidak nampak tanda bahwa pemuda itu main-main atau menggodanya atau berkurang ajar dengan sebutan adik manis tadi, maka iapun tidak menjadi marah-marah.

"Mereka ini berlutut kepadamu, apakah engkau ini kepala perampoknya?" dara yang lincah dan galak ini mengejek, dan kalau benar dugaannya itu, tentu akan diserangnya pemuda ini, karena kini ia tidak akan dipersalahkan ibunya.

Kalau pemuda ini kepala perampok, tentu ia boleh menyerang dan bahkan merobohkannya, walaupun ibunya selalu melarang agar ia jangan membunuh orang.

Mendengar pertanyaan itu, pemuda tadi tersenyum dan diam-diam Sui Cin merasa tertarik sekali. Ketika tersenyum, lenyaplah keangkeran dan wibawa yang ada pada pemuda itu, terganti keramahan dan kebaikan hati yang membayang lewat senyuman itu.

"Nona, mereka ini adalah tikus-tikus busuk yang tidak kukenal, akan tetapi bukan salahku kalau mereka kenal dan takut kepadaku karena memang di daerahku ini aku dikenal sebagai pembasmi tikus-tikus. Nah, karena tikus-tikus ini berkeliaran di daerahku dan telah mengganggu Bibi dan engkau Nona, katakanlah, apa yang harus kulakukan terhadap mereka?"

"Bunuh saja mereka!" bentak Kui Hong.

Pemuda itu nampak terkejut, akan tetapi dia mengangguk.
"Baiklah, aku akan membunuh mereka."

Para perampok itu segera berseru mohon ampun dengan wajah ketakutan dan melihat betapa pemuda itu agaknya betul-betul hendak membunuh mereka atas perintah Kui Hong, Sui Cin berseru,

"Tahan! Jangan bunuh mereka, kalau hendak membunuhpun, bukan karena permintaan anakku!" Lalu kepada Kui Hong ia berkata, "Kui Hong, engkau tidak boleh menyuruh dia membunuh orang!"

"Aku tidak menyuruh siapa-siapa, dia tadi bertanya dan aku menjawab, bukan berarti aku suruh dia membunuh. Mau membunuh atau tidak, adalah urusannya dan tidak ada sangkut pautnya denganku!" jawab Kui Hong.

Pemuda itu tersenyum.
"Nah, tikus-tikus busuk, Nona kalian telah memberi ampun, tidak lekas menghaturkan terima kasih dan menggelinding pergi?"

Si Muka Hitam itu dengan diikuti oleh para anak buahnya lalu berlutut dan bersoja kepada Kui Hong dan Sui Cin, mohon ampun, kemudian mereka pergi sambil memapah teman-teman yang terluka babak belur terkena tamparan dan tendangan tadi.

Setelah mereka pergi, pemuda itu lalu menjura kepada Sui Cin.
"Sungguh aku merasa malu dan menyesal sekali. Tempat ini merupakan daerahku, maka sedikit banyak aku bertanggung jawab atas peristiwa perampokan ini. Lain kali akan kubersihkan semua perampok. Bibi yang gagah perkasa, perkenalkanlah, aku bernama Can Sun Hok."

Melihat sikap orang yang ramah dan sopan, Sui Cin juga balas menjura.
“Namaku Ceng Sui Cin dan ini puteriku bernama Cia Kui Hong."

"Ah, Bibi dari keluarga Cia? Aku pernah mendengar tentang keluarga Cia yang menjadi pimpinan Cin-ling-pai, apakah…..?"

"Ketua Cin-ling-pai adalah Kakekku!" kata Kui Hong cepat-cepat, agak merasa bangga bahwa nama keluarganya terdengar dan dikagumi sampai sejauh ini.

"Ah, saya telah bersikap kurang hormat!" Tiba-tiba pemuda yang bernama Can Sun Hok itu menjura sampai dalam. "Harap Locianpwe dan Nona sudi memaafkan kalau tadi saya bersikap kurang hormat karena tidak mengenal. Nama besar keluarga Cia sudah lama saya dengar dan saya kagumi, terimalah hormat saya.”

Dan kembali dia menjura kepada Sui Cin dan Kui Hong. Sui Cin merasa canggung juga mendapatkan kehormatan yang berlebihan itu.

"Ah, Can Kongcu bersikap terlalu sungkan. Engkau sendiri juga seorang pendekar yang gagah perkasa, harap jangan sebut Locianpwe kepadaku dan kepada Kui Hong."

"Ah, mana saya berani selancang itu?" kata Can Sun Hok.

"Engkau ini kenapa begini banyak rewel dan banyak sungkan-sungkan? Ibuku sudah memerintahkan demikian, dan biarlah aku yang menyebutmu Toako!" kata Kui Hong yang kini terbalik merasa suka kepada pemuda itu yang selalu memperlihatkan keramahan dan kesopanan.

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar