*

*

Ads

Kamis, 26 April 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 076

Kita tinggalkan dulu keluarga Cia di Cin-ling-san ini dan mari kita ikuti perjalanan Ceng Sui Cin dan anaknya, Cia Kui Hong. Pada hari itu juga, malam-malam setelah ia ribut mulut dengan ayah mertuanya, Sui Cin memanggil anaknya, dan Kui Hong terkejut sekali melihat ibunya berkemas dan melihat betapa di wajah ibunya ada tanda bahwa ibunya habis menangis.

"Ibu, ada apakah, Ibu?" tanyanya, hatinya tidak enak.

Biasanya, ibunya selalu ramah dan suka bergurau, dan ia sendiri pun paling suka bergurau dan memandang dunia ini dengan sepasang mata berkilauan dan wajah berseri dan hati yang lapang dan terang. Akan tetapi, kini ibunya nampak murung dan kusut, maka ia pun tidak berani bergurau seperti biasa dan tidak berani merangkul, hanya menyentuh lengan ibunya sambil mengajukan pertanyaan itu.

Dengan menahan tangisnya karena ia tidak mau memperlihatkan kelemahan terhadap anaknya, ia berkata,

"Kui Hong, engkau berkemaslah, keluarkan semua pakaianmu yang terbaik, kita pergi sekarang juga ke Pulau Teratai Merah."

Sejenak wajah yang manis itu berseri dan matanya terbelalak.
"Ke tempat tinggal Kakek dan Nenek di Laut Selatan?"

"Benar, cepatlah berkemas!" kata ibunya singkat.

"Horeee... kita pesiar ke lautan, ke tempat Kakek Ceng!"

Gadis itu berteriak dan bersorak seperti anak kecil saking girang hatinya. Baru dua kali ia berkunjung ke tempat yang jauh itu, dan yang terakhir kalinya ketika ia baru berusia sepuluh tahun. Kini ia telah berusia lima belas tahun, dan mengenang tempat yang indah sekali di pulau itu, dikelilingi lautan yang liar dan luas, ia merasa girang bukan main.

Setelah mereka berdua selesai berkemas, Sui Cin yang sudah selesai lebih dahulu, segera menggendong buntalan besar pakaiannya dan menyuruh puterinya melakukan hal yang sama.

"Mari kita berangkat!"

"Eh, apakah Ayah tidak ikut, Ibu?" tiba-tiba gadis remaja itu bertanya.

Ibunya hanya menggeleng kepala tanpa menjawab. Mereka keluar dari dalam kamar dan ibunya mengajak ia langsung keluar.

"Ibu, kita pamit dulu dari Kong-kong (Kakek) dan Ayah "

"Tidak usah, aku sudah pamit tadi. Kita langsung berangkat!" kata ibunya singkat.

Tentu saja hal ini tidak dapat diterima oleh Kui Hong yang amat sayang kepada kakeknya dan ayahnya.

"Tapi, Ibu ……”

"Cukup! Tak perlu banyak cakap lagi, mari kita langsung berangkat, lihat, malam telah semakin gelap!"

"Tapi mengapa tergesa-gesa, Ibu? Bukankah berangkat besok pagi-pagi lebih baik dan aku harus pamit….. "

"Diam dan mari kita pergi!"

Tiba-tiba Sui Cin membentak dan gadis remaja itu terkejut bukan main melihat ibunya demikian galak, apalagi melihat dua titik air mata meloncat keluar dari mata ibunya. Ia maklum bahwa ibunya sedang marah sekali, maka ia pun tidak berani membantah lagi dan keluarlah ia mengikuti ibunya.

Lebih lagi merasa terkejut dan heran melihat betapa ibunya setelah berada di luar rumah, langsung saja mempergunakan ilmu berlari cepat, meluncur di dalam gelap seperti terbang saja. Terpaksa ia pun mengerahkan tenaganya untuk mengimbangi kecepatan lari ibunya dan mereka lalu melakukan perjalanan yang amat cepat menuju ke tenggara.

Dapat dibayangkan betapa heran rasa hati Kui Hong melihat ibunya tak pernah mau berhenti berlari sampai akhirnya beberapa jam kemudian, lewat tengah malam. Kui Hong yang sudah berkeringat dan napasnya memburu, berkata kepada ibunya.






"Ibu, jangan cepat-cepat... ah, aku... aku sudah lelah sekali ….." Dan gadis itu pun mogok lari.

Melihat ini, Sui Cin baru teringat akan keadaan puterinya. Ia pun berhenti berlari dan mengajak puterinya beristirahat di bawah sebatang pohon besar. Ia sendiri pun baru sadar bahwa keringat telah membasahi leher dan mukanya, betapa napasnya juga memburu.

Mereka duduk di atas batu-batu yang banyak terdapat di kaki gunung itu, memandang ke atas. Tidak ada bulan di langit, namun langit yang kelam itu penuh dengan bintang yang nampak gemerlapan indah sekali pada latar belakang hitam itu, nampak bagaikan ratna mutu manikam di atas beledu hitam. Kadang-kadang nampak bintang meluncur dengan berekor panjang lalu lenyap ditelan kegelapan.

Bintang jatuh? Atau bintang pindah? Kui Hong selalu kagum memandang angkasa penuh bintang, atau angkasa diterangi bulan purnama. Baginya, angkasa penuh dengan rahasia alam yang hebat, sehingga orang-orang pandai seperti ayahnya dan bahkan kakeknya pun tidak mampu memberi penjelasan ketika ia bertanya kepada mereka tentang bulan dan bintang. Ia tahu bahwa ibunya juga suka menikmati kebesaran alam, bahkan ibunya suka berkhayal dan bercerita bahwa karena menurut dongeng, bintang-bintang itu merupakan dunia-dunia, maka tentu di setiap bintang dikuasai oleh seorang dewa.

Kalau begitu, alangkah banyaknya dewa-dewa di langit! Tak terhitung banyaknya! Lebih banyak bintang di langit daripada rambut di kepalamu, demikian kata ibunya. Dan mungkin benar, pikir Kui Hong, karena walaupun amat banyak, kalau memang dikehendaki, rambut di kepala masih dapat dihitung manusia. Akan tetapi bintang di langit? Siapa mampu menghitungnya? Makin gelap langit, makin banyaklah bintang yang nampak, sampai berdempetan dan tak mungkin dihitung.

"Aduh, bukan main indahnya bintang-bintang itu, Ibu ……"

Kui Hong yang sejenak lupa akan segala hal itu berkata penuh kagum. Akan tetapi ibunya tidak menjawab dan ia terheran. Biasanya ibunya paling suka memuji keindahan alam. Ia menengok dan di dalam keremangan malam, ia melihat ibunya menyembunyikan muka di balik lengan yang memeluk lutut! Baru ia teringat akan keadaan mereka dan Kui Hong merasa gelisah sekali. Ia bukan anak kecil. Tentu telah terjadi sesuatu yang hebat, yang membuat ibunya berduka seperti itu.

Jangan-jangan kakeknya atau neneknya yang di Pulau Teratai Merah meninggal dunia, pikirnya dan ia pun bergidik ngeri. Tak mungkin! Kalau benar terjadi hal demikian, tentu ayahnya pun ikut pergi, bahkan Kakek Cia Kong Liang juga tentu pergi melayat. Tidak, tentu ada peristiwa lain.

“lbu... lbu, engkau kenapakah, Ibu …..?" tanyanya lirih sambil menyentuh tangan ibunya.

Tersentuh senar yang terhalus di dalam hati Sui Cin oleh pertanyaan puterinya ini. Ia terisak dan menyembunyikan muka di balik kedua tangannya. Ia menangis! Ibunya menangis! Kui Hong tersentak kaget. Belum pernah ia melihat ibunya menangis! Ia selalu menganggap ibunya seorang wanita yang paling hebat, yang gagah perkasa dan pantang menangis. Bahkan ibunya sering memberi nasihat ketika ia masih kecil dan suka menangis, bahwa seorang wanita gagah lebih menghargai air mata daripada darah!

Keringat dan darah sekalipun boleh menetes kalau perlu, akan tetapi air mata harus dipantang! Tangis menunjukkan kelemahan dan seorang wanita yang gagah perkasa bukanlaln seorang yang lemah. Demikian kata-kata ibunya yang selalu masih diingatnya, kata-kata yang ikut menggemblengnya menjadi seorang gadis yang tabah, keras hati, penuh keberanian menghadapi apapun juga tanpa mengeluh. Dan sekarang, ibunya menangis!

"Ibu......!" Kui Hong merangkul ibunya dan memaksa ibunya menurunkan tangan. Dipandanginya wajah ibunya. Memang tidak banyak air mata yang mengalir keluar, akan tetapi tetap saja terbukti bahwa ibunya menangis. "Ibu, engkau menangis? Mungkinkah ini? Ada apakah yang telah terjadi, Ibuku?" Kui Hong bertanya sambil menciumi pipi ibunya yang agak basah oleh air mata.

Dengan sekuat tenaga Sui Cin menekan perasaannya, menghapus air matanya. Anaknya ini bukan kanak-kanak lagi, melainkan seorang gadis menjelang dewasa, tak perlu menyembunyikan keadaan yang sebenarnya, karena tentu Kui Hong kini sudah dapat mengerti.

" Ayahmu... Ayahmu harus menikah lagi." jawabnya dan begitu ia menjawab, ia merasa lancar dan dapat menahan getaran perasaannya. Kini kedukaannya terganti oleh rasa penasaran dan kemarahan.

Mendengar keterangan ini, Kui Hong terkejut sekali, juga heran dan sejenak ia kehilangan akal, hampir tidak dapat mengerti dan tidak dapat menangkap maksud kata-kata ibunya. Ayahnya harus menikah lagi? Keterangan macam apa ini? Akan tetapi, semuda itu, Kui Hong sudah digembleng untuk menguasai hatinya dan sikapnya masih tetap tenang walaupun keterangan ibunya itu membuatnya terkejut dan terheran-heran. Sukar ia dapat percaya bahwa ayahnya akan menikah lagi! Ia mempertimbangkan keterangan ibunya dalam satu kalimat tadi. Ayahnya harus menikah lagi. Harus?

"Ibu, siapa yang mengharuskan Ayah menikah lagi?"

"Kakekmu, siapa lagi?"

Suara ibunya mengandung penasaran dan kemarahan sehingga Kui Hong dapat menduga bahwa tentu ibunya sudah ribut dengan kakeknya.

"Menikah dengan siapa?"

"Dengan siapa saja, Ayahmu sendiri pun belum tahu."

"Tapi, kenapa? Kenapa Kong-kong menyuruh dan bahkan mengharuskan Ayah menikah lagi? Bukankah Ayah sudah menikah dengan Ibu?"

"Kong-kongmu ingin mempunyai seorang cucu laki-laki ….."

"Akan tetapi, Kong-kong sudah mempunyai cucu aku!"

"Dia ingin cucu laki-laki untuk menyambung keluarga Cia! Karena aku tidak mempunyai anak laki-laki, maka Ayahmu diharuskan menikah lagi."

"Dan Ayah….. Ayah mau …..?"

"Ayahmu terpaksa, kalau tidak, dia tidak akan diakui lagi sebagai anak Kong-kongmu, akan diusir!"

"Ahhh ……!!"

Wajah Kui Hong berubah, kini agak pucat karena ia mulai mengerti benar dan tahu bahwa memang telah terjadi urusan yang hebat sekali, bahkan merupakan malapetaka bagi ibu dan ayahnya, yang mengubah kehidupan keluarga mereka semua!

"Jadi karena itulah Ibu pergi? Tapi... tapi kenapa pergi, Ibu? Kenapa kalau Ibu tidak setuju, Ibu tidak melarang saja pada Ayah agar dia tidak usah menikah lagi?”

"Aku sudah menyatakan tidak setuju, bahkan aku sampai cekcok dengan Kong-kongmu, akan tetapi Kong-kongmu memaksa Ayahmu, kalau Ayahmu tidak mau, Ayahmu harus pergi dan tidak diakui sebagai anak lagi."

"Ah, kenapa Ibu tidak bilang begitu selagi kita pergi. Biarlah aku kembali kesana dan aku tegur Kong-kong dan Ayah!"

Kui Hong bangkit berdiri sambil mengepal tinju, akan tetapi melihat itu, Sui Cin merangkul anaknya disuruhnya duduk kembali..

"Tidak ada gunanya, Kui Hong. Engkau tidak tahu betapa keras hati Kong-kongmu dan betapa pentingnya cucu laki-laki baginya, atau bagi laki-laki yang manapun juga di dunia ini agaknya. Sungguh menjemukan! Sudahlah, biarlah kita pergi saja dan kalau memang Ayahmu ingin berbakti kepada Kong-kongmu dan melupakan kita, biarlah kita hidup sendiri di rumah orang tuaku di Pulau Teratai Merah."

"Tapi, Ibu, kenapa Ibu tidak menentang dengan kekerasan saja?"

"Tidak ada gunanya, juga tidak baik dan memalukan! Aku sudah mengambil keputusan untuk pulang saja ke Pulau Teratai Merah dan kalau Ayahmu menyusul kita, dan mengurungkan niat Kong-kongmu yang mengharuskan dia menikah lagi, baru aku mau ikut dengannya. Kalau sebaliknya terjadi, dia menikah lagi, biarlah selamanya kita tinggal saja di Pulau Teratai Merah."

Percakapan itu terhenti dan kedua orang wanita itu tenggelam ke dalam lamunan masing-masing. Beberapa kali Cia Kui Hong mengepal tinju, hatinya marah dan panas sekali, melebihi panasnya hati ibunya. Kalau kelak ayahnya benar menikah lagi, ia akan menegur ayahnya itu, dan menegur kakeknya, kalau perlu ia akan membunuh wanita yang menjadi isteri ayahnya, ibu tirinya yang mendatangkan kehancuran dalam kehidupan ibunya. Ibunya kini sampai meninggalkan rumah, kedinginan di kaki gunung ini, di bawah pohon, terlunta-lunta!

**** 076 ****
Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar