*

*

Ads

Jumat, 20 April 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 050

“Han Siong, kini tibalah saatnya engkau harus pergi meninggalkan kuil ini dan memenuhi harapan yang selama ini terkandung di dalam hati kami. Tentu engkau mengerti akan isi hati kami dan tahu apa yang kami harapkan darimu, muridku."

Han Siong menundukkan mukanya dan mengangguk. Pemuda ini berlutut di depan suhu dan subonya. Siangkoan Ci Kang, laki-laki tinggi tegap yang gagah perkasa dan lengan kirinya buntung sebatas siku, kini telah berusia empat puluh tahun. Usia yang belum tua benar, namun wajahnya yang tampan dan dingin itu penuh dengan garis-garis keprihatinan.

Pendekar ini sejak muda memang bernasib buruk, karena sebagai putera seorang datuk sesat yang amat kejam, dia memiliki watak gagah perkasa dan seringkali bertentangan dengan mendiang ayahnya. Kemudian pemuda ini pun gagal dalam cintanya, dan biarpun akhirnya dia bertemu dengan Toan Hui Cu yang senasib sehingga keduanya saling tertarik dan saling jatuh cinta, namun penderitaan hidupnya tidaklah berakhir.

Bahkan, bersama Toan Hui Cu yang telah menjadi isterinya tanpa pernikahan, dia harus menjalani hukuman dua puluh tahun! Bukan hanya itu, puteri mereka satu-satunya,yang mereka titipkan kepada keluarga Cu di dusun, telah lenyap diculik orang!

Mereka berdua tidak berdaya, tidak mampu melakukan pencarian karena mereka belum selesai menjalani hukuman. Kini dia duduk bersila, berdampingan dengan Toan Hui Cu yang kini usianya sudah tiga puluh sembilan tahun. Wanita ini pun nampak dingin dan mukanya agak pucat, pembawaannya anggun dan angkuh.

"Teecu (murid) mengerti apa yang diharapkan Suhu dan Subo. Teecu akan segera pergi mencari adik Siangkoan Bi Lian." jawab Han Siong dengan tegas karena memang dia ingin memegang janjinya, ingin membalas kebaikan suhu dan subonya dengan mencari puteri mereka sampai dapat. "Teecu hanya akan kembali ke sini menghadap Suhu dan Subo kalau teecu sudah berhasil menemukan Adik Bi Lian, dah tidak akan kembali kalau sebelum berhasil."

"Han Siong, engkau tentu tahu bahwa aku akan menanti kembalimu siang malam dengan hati yang penuh harapan." Toan Hui Cu bicara, suaranya penuh dengan keharuan walaupun wajahnya tetap dingin. "Carilah anakku sampai dapat, dan engkau hati-hatilah, muridku. Engkau sudah sering kami ceritakan tentang tokoh-tokoh di dunia persilatan dan ketahuilah bahwa selain mereka yang kami kenal dan sudah kami ceritakan kepadamu, masih banyak lagi orang pandai di dunia ini."

"Teecu akan selalu mengingat nasihat Subo dan Suhu." jawab Han Siong.

"Kami tahu bahwa tidak akan mudah mencari Bi Lian, karena tidak ada jejak ditinggalkan anak itu. Akan tetapi mengingat bahwa lenyapnya bersamaan dengan keributan yang terjadi di dusun, kabarnya ada manusia-manusia iblis yang berkelahi di sana, maka carilah ia diantara tokoh-tokoh dan kaum sesat..” Siangkoan Ci Kang menambahkan, "Selain itu, Han Siong, ada satu hal yang penting lagi yang telah kami ambil menjadi keputusan hati kami berdua. Kami hanya mengharapkan bahwa engkau tidak akan menolak apa yang menjadi keinginan hati kami ini."

Gurunya itu berhenti dan agaknya merasa sukar untuk melanjutkan kata-katanya. Ketika Han Siong menengadah dan memandang mereka, dia melihat suhu dan subonya saling pandang dengan khawatir .

"Han Siong, selama ini engkau sudah seperti anak kami sendiri, bukan? Maka, kurasa engkau tidak akan menolak keinginan kami..." kata pula subonya, akan tetapi wanita itu juga tidak melanjutkan kata-katanya.

"Suhu dan Subo, apakah yang menjadi keinginan hati Ji-wi? Katakanlah, teecu pasti akan memenuhi keinginan Suhu dan Subo yang telah melimpahkan budi selama ini terhadap diri teecu. Katakanlah, Suhu."

Siangkoan Ci Kang menarik napas panjang, lalu berkata,
"Hukuman kami masih tinggal dua tahun lagi, Han Siong. Setelah itu baru kami akan meninggalkan kuil ini dan pergi sendiri mencari anak kami. Kami telah mengambil keputusan untuk... menjodohkan Bi Lian denganmu, Han Siong. Karena itu, dalam waktu dua tahun, sebelum kami meninggalkan kuil, kami harap engkau suka datang untuk melaporkan hasil penyelidikanmu mengenai puteri kami."

Bukan main kagetnya hati Han Siong mendengar ucapan kedua gurunya itu. Dia dijodohkan dengan puteri gurunya? Melihat pun belum pernah puteri gurunya itu! Di lubuk hatinya timbul perasaan menentang karena dia sama sekali tidak pernah berpikir tentang perjodohan. Akan tetapi bagaimana mungkin dia akan menolak keinginan hati suhu dan subonya? Dia hanya menundukkan mukanya dan sampai lama tidak mampu menjawab. Melihat keraguan muridnya ini, suami isteri yang sakti itu saling pandang kemudian Toan Hui Cu mengerutkan alisnya bertanya.

"Bagaimana, Han Siong. Maukah engkau menerima keinginan kami untuk menjadi calon jodoh anak kami Bi Lian?"






Melihat isterinya mendesak, Siangkoan Ci Kang cepat menyambung.
"Han Siong, kami tahu bahwa perjodohan adalah satu di antara peristiwa yang ditentukan oleh Thian (Tuhan). Seperti kami katakan tadi, kami berdua melihat betapa baiknya kalau Bi Lian berjodoh denganmu, dan hal itu merupakan keinginan hati kami saja. Akan tetapi keputusannya kelak, terserah kepada kehendak Thian. Engkau perlu mengetahui saja bahwa kami ingin sekali menjodohkan Bi Lan denganmu, kami sama sekali tidak memaksa dan biarlah kita bicarakan lagi urusan perjodohan ini kalau engkau atau kami sudah berhasil menemukan kembali Bi Lian."

Lega rasa hati Han Siong mendengar ucapan suhunya itu. Dia tidak ingin mengecewakan hati kedua orang gurunya dengan penolakan. Akan tetapi bagaimana mungkin dia menerima begitu saja uluran tangan untuk berjodoh, tanpa lebih dulu melihat bagaimana keadaan orang yang akan dijadikan jodohnya, dan tanpa bertanya pula kepada pihak keluarganya? Ucapan suhunya membuat hatinya terasa lega dan cepat-cepat dia memberi hormat dan berkata.

"Suhu dan Subo, teecu selalu mentaati semua perintah Suhu dan Subo. Teecu rasa yang paling penting sekarang ini adalah lebih dulu menemukan Adik Bi Lian."

Suami isteri itu kembali saling pandang dan keduanya merasa lega juga. Bagaimanapun murid mereka itu tidak menolak. Mereka lalu mempergunakan waktu semalam itu untuk memberi nasihat-nasihat kepada Han Siong, juga menceritakan kepada murid mereka itu tentang keadaan di dunia kang-ouw, tentang banyaknya orang pandai yang berwatak palsu, curang dan jahat sekali. Juga mereka menceritakan tentang para pendekar yang gagah perkasa yang pernah mereka kenal.

Pada keesokan harinya, barulah Han Siong meninggalkan kamar di mana suhu dan subonya menjalani hukuman kurungan mereka. Malam tadi, untuk pertemuan dengan murid mereka, Toan Hui Cu meninggalkan kamarnya dan mereka bertiga berkumpul di dalam kamar Siangkoan Ci Kang, tanpa diketahui siapapun juga. Ketika murid mereka hendak pergi, Siangkoan Ci Kang menyerahkan sebatang pedang kepadanya sambil berkata dengan suara halus.

"Muridku, kau terimalah pedang ini dari kami. Pedang ini adalah Kwan-im-kiam (Pedang Kwan Im), cocok sekali untuk ilmu silat pedang Kwan-im Kiam-sut yang sudah kami ajarkan kepadamu. Pedang ini tadinya kami simpan untuk Bi Lian, dan sekarang kami serahkan kepadamu sebagai bekal untuk melindungi dirimu sendiri dari orang-orang jahat. Selain itu, juga untuk peringatan bagimu bahwa Suhu dan Subomu telah menyerahkan puteri kami kepadamu …….." Sampai di sini Siangkoan Ci Kang terhenti dan dia memandang terharu.

Han Siong menerima pedang itu, pedang yang ringan dan pendek, lalu menyimpannya di dalam buntalan pakaiannya. Dia meninggalkan kamar renungan dosa atau kamar penebus dosa itu, diikuti pandang mata suhu dan subonya yang merasa kehilangan karena selama delapan tahun ini mereka menggembleng Han Siong seperti anak sendiri. Sejak Han Siong masih seorang anak laki-laki sampai kini menjadi seorang pemuda dewasa berusia dua puluh tahun!

Pada keesokan harinya, Han Siong menghadap Ceng Hok Hwesio, ketua kuil itu yang kini telah menjadi seorang kakek yang tua sekali. Dengan usianya yang tujuh puluh tiga tahun, Ceng Hok Hwesio masih nampak gagah, tinggi besar bermuka hitam dan wataknya masih keras berdisiplin.

Ketika Han Siong menghadap padanya untuk berpamit, hwesio ini mengangguk-angguk. Selama ini, Han Siong tinggal di kuil sebagai seorang kacung, namun karena pemuda ini titipan dari paman gurunya, Pek Khun, maka pemuda itu diperlakukan dengan sikap yang baik.

"Omitohud, betapa cepatnya waktu berlalu, Han Siong." kata Ceng Hok Hwesio ketika pemuda itu berlutut menghadapnya dan mengatakan bahwa hari itu juga dia hendak pergi meninggalkan kuil.

"Telah tiga belas tahun teecu berdiam di kuil ini dan telah menerima banyak kebaikan dari Suhu dan para Suhu di kuil ini. Teecu menghaturkan banyak terima kasih dan apabila selama ini teecu melakukan kesalahan-kesalahan, sudilah kiranya Suhu memberi maaf kepada teecu."

"Siancai...! Pinceng merasa bangga padamu, Han Siong. Walaupun engkau tidak menjadi hwesio, namun engkau telah mempelajari banyak tentang agama kita, mau memperhatikan tentang kebudayaan, filsafat dan pengertian tentang kehidupan. Dan walaupun engkau bukan murid Siauw-lim-pai, namun di sini engkau telah memperoleh ilmu silat yang pinceng tahu amat tinggi. Mudah-mudahan saja engkau pandai-pandai membawa diri di dalam dunia ramai dan tidak mengecewakan bahwa engkau telah pernah tinggal menggembleng diri di sini selama tiga belas tahun."

"Semua nasehat Suhu akan teecu perhatikan baik-baik."

"Ada satu hal penting yang perlu kauketahui, Han Siong. Tahukah engkau di mana adanya keluargamu?"

Han Siong menggelengkan kepalanya.
"Justeru teecu ingin bertanya kepada Suhu di mana teecu dapat bertemu dengan kakek buyut Pek Khun yang dulu membawa teecu ke kuil ini."

Hwesio tua itu menarik napas panjang.
"Aihhh pinceng sendiri tidak tahu di mana Pek Khun Susiok berada. Mungkin dia kembali ke Kun-lun-san. Akan tetapi menurut apa yang dipesannya kepada pinceng ketika dia menitipkan engkau di sini, setelah engkau dewasa, engkau diharuskan mencari keluargamu, yaitu keluarga Pek. Ayahmu adalah cucu Susiok Pek Khun. Ayahmu bernama Pek Kong, putera Ketua Pek-sim-pang yang berasal dari daerah Kong-goan di Propinsi Secuan. Nah, Engkau carilah keluargamu di sana, Han Siong."

Setelah menerima banyak petunjuk dari Ceng Hok Hwesio, berangkatlah Han Siong meninggalkan kuil itu. Tentu saja telah terjadi perubahan besar selama tiga belas tahun ini atas dirinya.

Ketika dia datang bersama kakek buyutnya, dia hanya seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun yang belum tahu apa-apa, hanya memiliki dasar-dasar ilmu silat yang diajarkan oleh kakek buyutnya. Kini, dia telah menjadi seorang pemuda dewasa. Bukan saja luas pengetahuannya karena dia tekun mempelajari sastera dari kitab-kitab yang banyak terdapat di kuil itu. Akan tetapi juga dia telah digembleng secara tekun selama delapan tahun ini oleh suami isteri sakti Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu.

Selain telah melatih diri dengan tiga belas jurus Pek-sim-kun yang merupakan inti dari ilmu silat perkumpulan Pek-sim-pang, juga dia telah digembleng oleh Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu yang memiliki bermacam-macam ilmu silat. Juga ilmu yang baru didapatkan oleh dua orang itu, yaitu ilmu Kwan-im Kiam-sut dan Kwan-im Sin-kun telah dipelajarinya dengan baik sekali.

Selain semua ilmu silat itu, juga dari subonya, Toan Hui Cu, Han Siong telah pula mempelajari ilmu Hoat-sut atau sihir yang mempergunakan kekuatan hitam untuk menundukkan lawan! Hal ini tidaklah aneh karena Toan Hui Cu adalah puteri dari Raja dan Ratu Iblis yang selain tinggi sekali ilmu silatnya, juga merupakan datuk-datuk sesat.

Han Siong melakukan perjalanan cepat, menuju ke Secuan karena dia akan mencari keluarganya lebih dahulu sambil mendengarkan kalau-kalau ada jejak Bi Lian. Musim salju telah tiba dan di mana-mana hawanya dingin bukan main. Pohon-pohon yang sudah kehilangan daun-daunnya di musim rontok, kini dihias salju seperti kapas putih bersih, membuat pohon-pohon itu nampak seperti hiasan-hiasan yang indah.

Han Siong berjalan seorang diri melalui jalan yang tertutup salju. Hujan salju baru saja berhenti dan biarpun cuaca nampak sudah terang, namun dinginnya bukan kepalang. Han Siong mengenakan jubah yang cukup tebal, dan ini pun harus dibantu dengan pengerahan sinkang yang membuat tubuhnya terasa hangat.

Nampak uap putih agak tebal keluar dari hidung dan mulutnya setiap kali dia menghembuskan napas. Pemuda ini telah menjadi seorang laki-laki dewasa yang tampan. Wajahnya yang berbentuk bulat itu memiliki kulit muka yang putih dan kedua pipinya membayangkan warna kemerahan yang sehat. Demikian pula bibirnya nampak merah tanda sehat. Alisnya lebat dan hitam, sepasang matanya yang agak sipit itu bersinar terang dan tajam lembut. Tubuhnya sedang dan tegap, kaki tangannya juga padat dan nampak kuat karena sejak kecil Han Siong melakukan segala macam pekerjaan yang kasar di dalam kuil, seperti menebang pohon, membelah kayu dan memikul air. Gerak-geriknya halus dan wajah itu anggun dan kemerahan bersinar dari pandang mata dan gerak bibirnya.

Han Siong adalah seorang pemuda yang sederhana. Pakaian yang menempel di tubuhnya adalah pakaian yang diterimanya dari pemberian Ceng Hok Hwesio, terbuat dari kain kasar berwarna putih dan kuning. Jubah tebal itu terbuat dari kapas, akan tetapi juga kasar, seperti yang dipakai oleh para hwesio kuil itu di musim salju. Buntalan pakaiannya hanya terisi beberapa potong pakaian dan juga pedang Kwan-im-kiam pemberian gurunya, dan sedikit uang perak yang berada di dalam buntalannya adalah pemberian Toan Hui Cu.

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar