*

*

Ads

Sabtu, 21 April 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 051

Hari telah menjelang senja ketika dia tiba di puncak bukit itu. Sebuah bukit gundul yang hanya ditumbuhi pohon-pohon yang kini sudah menjadi hiasan putih dari salju. Tempat itu nampak lengang dan dinginnya bukan kepalang. Han Siong memandang ke bawah, ke arah timur.

Di lereng itu terdapat sebuah dusun, pikirnya girang. Di musim salju begini, dia harus mendapatkan rumah penduduk atau setidaknya guha atau tempat yang terlindung untuk melewatkan malam.

Tidak seperti di musim lain, di mana dia dapat saja melewatkan malam di bawah pohon sambil membuat api unggun. Tersesat di tempat yang tidak terlindung dalam musim dingin seperti ini, amatlah berbahaya. Orang dapat mati kedinginan.

Ketika Han Siong hendak menuruni bukit itu dengan cepat agar tidak sampai kemalaman tiba di dusun di lereng itu, tiba-tiba dia mendengar suara orang tertawa-tawa. Suara ketawa itu parau dan aneh, juga menyeramkan. Di tempat sunyi seperti itu, di mana hawa dingin membuat orang menggigil, bagaimana tiba-tiba saja terdengar suara orang tertawa-tawa? Han Siong merasa tertarik dan cepat dia menghampiri tempat dari mana datangnya suara itu, yaitu dari balik sebuah batu gunung.

Ketika dia tiba di balik batu besar itu, Han Siong berdiri tertegun, bahkan matanya terbelalak memandang ke depan. Penglihatan di depan memang sungguh luar biasa sekali. Seorang kakek sukar ditaksir berapa usianya, berkepala gundul, berperut gendut sekali, sehingga tubuhnya nampak serba bulat, sedang membuat sebuah boneka salju!

Hebatnya kakek yang tertawa-tawa itu bertelanjang dada, hanya memakai celana panjang saja, disambung sepatu rumput. Dalam hawa sedingin itu bertelanjang badan atas, sungguh merupakan hal yang luar biasa sekali. Apalagi masih sempat tertawa-tawa dan bermain-main seorang diri membuat boneka salju, tertawa dan membentuk boneka besar itu, sebesar dirinya, bahkan boneka itu pun menyerupai dirinya, seorang kakek gundul dengan perut gendut bukan main!

Biarpun Han Siong belum memiliki banyak pengalaman di dunia persilatan, namun melihat keadaan kakek gendut itu, dia dapat menduga bahwa tentu dia bertemu dengan seorang kakek yang sakti. Baru keadaannya setengah telanjang di antara salju itu saja sudah membuktikan akan kesaktiannya. Tanpa memiliki sin-kang yang luar biasa kuatnya, tidak mungkin orang dapat bertahan bermain-main dengan salju dengan tubuh atas telanjang. Dan masih dapat tertawa-tawa pula!

Maka dia pun bermaksud untuk meninggalkan kakek itu, tidak ingin perjalanannya menuju ke dusun di bawah itu terganggu dan terlambat. Dia sudah memutar tubuh untuk pergi ketika terdengar suara dari belakangnya, suara yang parau dan nyaring.

“Heiii! Enak saja kau. Berhenti!"

Tentu saja Han Siong terkejut mendengar teguran yang tidak ramah, bahkan agak kasar ini. Dia tidak mau mencari urusan, maka dia pun membalik, memandang dengan wajah ramah penuh hormat.

"Maaf, saya tidak ingin mengganggu keasyikan Locianpwe." kata Han Siong, menyebut Locianpwe (Orang Tua Perkasa) dan bersikap hormat karena dia yakin bahwa kakek itu seorang sakti.

Sejenak kakek itu memandang penuh perhatian dan Han Siong melihat betapa sinar mata yang mencorong itu seolah-olah mendatangkan rasa hangat ketika menyoroti tubuhnya. Diam-diam ia bergidik.

"Orang muda, engkau datang melihat pekerjaanku tanpa diundang, maka kini engkau tidak boleh pergi begitu saja tanpa perkenanku!"

Han Siong terkejut, akan tetapi menahan sabar. Dia melihat kakek itu kini sudah melanjutkan pekerjaannya membuat boneka besar dari salju itu, agaknya sudah lupa kepadanya karena tidak mempedulikannya sama sekali. Han Siong berdiri saja menonton, tidak tahu harus berbuat apa, akan tetapi merasa lebih aman untuk tutup mulut untuk sementara ini.

Jelas bahwa kakek ini berwatak kasar dan aneh, dan siapa tahu dia akan mendapat kesukaran kalau dia memaksa diri pergi meninggalkan kakek itu. Maka dia berdiri menonton, merasa betapa kedua kakinya hampir beku karena hawa dingin dari tanah berlapis salju itu seperti menembus sepatunya dan meresap masuk ke dalam kedua kaki melalui telapak kakinya. Terpaksa dia mengerahkan sin-kangnya ke arah kedua kaki, memaksa hawa dingin itu turun kembali dan karena pengerahan sinkang ini, maka uap putih mengepul tebal dari kepalanya.

Ada setengah jam Han Siong berdiri menonton. Dia pikir kalau kakek itu sudah selesai membuat boneka salju, tentu dia diperbolehkan pergi. Akan tetapi kakek itu masih terus memperbaiki boneka yang sudah selesai itu dan dia merasa betapa cuaca mulai agak gelap. Dia khawatir tidak akan dapat masuk ke dusun itu dalam waktu yang tepat, yaitu sebelum malam tiba.






"Locianpwe, maafkan saya. Saya harus pergi sekarang, khawatir kalau sampai kemalaman sebelum tiba di dusun bawah itu."

"Kemalaman atau tidak bukan urusanku. Engkau sudah datang dan melihat, sekarang katakan bagaimana dengan hasil seni ciptaanku ini, miripkah dengan aku, baguskah?"

Han Siong merasa mendongkol juga. Kakek ini selain kasar, juga mau enaknya sendiri saja, tidak menghormati dan menghargai keperluan orang lain. Dia mengamati boneka salju yang runtuh karena saljunya merekah atau terlepas, untuk menyatakan kedongkolan hatinya, dia menjawab.

"Boneka salju itu tidak dapat dibilang bagus."

Mendengar jawaban ini, kakek gendut itu melotot memandang kepada Han Siong, kelihatan marah sekali.

"Apa... ?" Dia berteriak. "Engkau tidak dapat menghargai hasil karya seniku yang hebat ini? Sungguh goblok, sungguh tolol, sungguh tidak berselera tinggi! Hasil karya seni yang begini hebat, timbul dari inspirasi murni, kaukatakan tidak bagus, hah?"

Melihat orang itu marah-marah, Han Siong terkejut. Dia tidak ingin membuat orang marah, apalagi kalau sampai terjadi pertengkaran, maka cepat dia berkata.

"Locianpwe, bagaimanapun juga, harus kuakui bahwa boneka salju buatan Locianpwe ini mirip sekali dengan Locianpwe."

Dan pujian ini memang bukan kosong belaka. Memang boneka itu mirip sekali penciptanya, baik bentuk badannya, mukanya dan kepalanya.

Akan tetapi, betapa kaget hati Han Siong ketika dia melihat kakek itu kini menjadi semakin marah, membanting-banting kakinya dan menudingkan telunjuknya ke arah hidung Han Siong.

"Bocah kemarin sore, kau berani menghina kakek-kakek macam aku ya? Dua kali engkau menghinaku. Pertama, engkau tidak menghargai karya seniku yang agung, dan ke dua, engkau samakan aku dengan sebuah boneka salju yang tidak bernyawa! Sungguh kurang ajar engkau, ya?"

Hamprr saja Han Siong tertawa. Kakek ini memang aneh dan mau enak sendiri, akan tetapi kemarahannya itu disebabkan oleh hal-hal yahg aneh dan tak masuk akal, seperti anak kecil saja. Maka timbullah kegembiraannya dalam usahanya untuk menyenangkan hati kakek itu.

Dua kali dia salah omong, walaupun maksudnya baik untuk memuji. Pertama kali dia bicara sejujurnya diterima salah, kemudian untuk kedua kalinya dia bicara untuk menyenangkan hati dan memuji, diterima salah pula. Dia lalu mengerahkan tenaga batinnya seperti yang diajarkan oleh subonya, menunjuk ke arah boneka salju dan dengan suara yang halus namun mengandung wibawa untuk menguasai pikiraan orang, dia berkata,

"Locianpwe, siapa bilang boneka salju itu tidak bernyawa? Lihat, dia pandai berjalan!"

Kakek itu menengok memandang dan benar saja, dia melihat betapa boneka salju buatannya tadi kini berjalan-jalan, dengan langkah satu-satu, lucu sekali! Han Siong telah mempergunakan kekuatan sihirnya, seperti yang dipelajarinya dari subonya, membuat boneka salju itu berjalan-jalan dalam pandang mata kakek yang kasar dan galak itu.

Kakek itu terbelalak, lalu sengaja berjalan di belakang boneka itu sambil tertawa-tawa ha-ha-he-he, sehingga nampaklah pemandangan yang lucu sekali. Sepasang kakek kembar, yang satu dari salju, yang satu manusia tulen, berbaris ke kanan-kiri hilir-mudik. Lucunya, kakek gendut bahkan kini memberi aba-aba.

"Satu, dua, tu-wa, tu-wa …..!"

Melihat ini, Han Siong merasa geli akan tetapi juga kasihan, maka dia tersenyum lebar dan menghentikan ilmu sihirnya. Akan tetapi, kini dia terbelalak dan mukanya berubah karena dia terkejut bukan main dan merasa terheran-heran. Boneka salju itu tidak berhenti melangkah, melainkan masih terus melangkah dan kakek gendut itu masih mengikuti di belakangnya sambil berseru,

"Tu-wa, tu-wa, tu-wa!" dan tertawa-tawa!

Tentu saja Han Siong merasa terkejut dan heran. Boneka salju itu tadi berjalan karena pengaruh sihirnya. Akan tetapi mengapa setetah dia menghentikan pengerahan tenaga sihirnya, boneka salju itu masih berjalan terus? Dia terbelalak memandang akan tetapi kakek gendut itu tetap tertawa bergelak, bahkan kini mengeluarkan kata -kata parau.

"Ha-ha-ha-ha! Boneka salju ini dapat berjalan, bukan hanya berjalan bahkan dapat menyerang dan bermain-main dengan orang muda yang lancang, ha-ha!"

Kini boneka salju itu berjalan dengan langkah lebar menghampiri Han Siong, kemudian menyerang Han Siong dengan gerakan yang cepat dan kuat sekali! Tentu saja hal ini mengejutkan pemuda itu dan cepat dia mengelak dengan loncatan ke samping, lalu kakinya melayang, menendang ke arah perut boneka salju itu dengan cepat.

"Prokkk …..!"

Boneka salju itu hancur berhamburan dan Han Siong melompat ke belakang, masih terheran-heran mengapa boneka salju yang tadi disihirnya sehingga dapat berjalan itu, tahu-tahu dapat mengamuk setelah dia tidak menyihirnya!

Akan tetapi Han Siong seorang pemuda yang amat cerdik. Dia sudah dapat menduga bahwa tentu kakek gendut itulah yang main-main dengan dia. Tentu kakek itulah yang mempergunakan kekuatan sihir yang lebih ampuh daripada kekuatannya sendiri untuk melanjutkan permainan itu, juga untuk mengejeknya. Pantas kakek itu tadi mengatakan bahwa dia lancang!

Kakek gendut itu kini terbelalak, marah melihat betapa boneka kesayangannya yang dinamakannya sendiri sebagai hasil karya seni agung itu dirusak orang. Sambil bertolak pinggang dan menggembungkan perutnya yang sudah gendut, dia berteriak.

"Orang muda yang jahat! Engkau berani merusak boneka saljuku?"

"Maaf, Locianpwe ……”

"Apa maaf! Tidak ada maaf bagimu! Engkau tadi telah menyamakan aku dengan boneka salju, bahkan engkau telah mencela pula mengatakan buatanku, hasil karya seni yang agung itu tidak bagus. Engkau harus dihajar!”

"Maaf, saya tidak sengaja untuk membikin Locianpwe marah "

"Sengaja atau tidak, aku sudah marah sekarang. Nah, kaulihat seranganku. Aku harus membalas dendam kehancuran bonoke salju."

Berkata demikian, tiba-tiba tubuh yang gendut itu menerjang ke depan, seperti sebuah bola besar menggelinding dan tahu-tahu, dua buah lengan yang besar pendek telah menyerang dari atas bawah, kanan kiri dan serangan kedua tangan itu mendatangkan angin pukulan berdesir yang mengandung hawa panas!

Dengan gerakan yang halus namun cepat, Han Siong sudah cepat mengelak dengan menggeser kakinya dan meloncat ke kiri. Pukulan kedua tangan itu meluncur lewat dan ketika hawa pukulan yang ganas itu menyambar dan mengenai salju yang menempel pada batang pohon, salju itu pun mencair dan nampaklah kulit batang yang kehitaman!

Diam-diam Han Siong terkejut bukan main. Itulah pukulan yang amat ampuh, yang mengandung tenaga sinkang yang luar biasa. Maka dia pun cepat mainkan Pek-sim-kun yang dipelajarinya dari catatan kakek buyutnya. Tiga belas jurus Pek-sim-kun ini adalah perasan dari Ilmu Silat Pek-sim-kun, merupakan intinya, karena itu hebatnya bukan kepalang.

Melihat gerakan pemuda itu, yang dilakukan dengan mantap, cepat dan mengandung sinkang yang kuat, kakek gendut itu mengimbanginya dengan elakan dan tangkisan yang kuat pula, dan membalas dengan pukulan-pukulan yang gayanya mirip dengan Pek-sim-kun.

Tahulah Han Siong bahwa kakek ini pandai pula dengan ilmu silat Siauw-lim-pai, maka dia bersilat dengan hati-hati dan berganti-ganti memainkan jurus Pek-sim-kun yang tiga belas banyaknya itu.

"Wuuuuutttt ……!"

Angin pukulan keras menyambar ketika Han Siong menyondongkan tubuh ke depan, lengan kanannya menyambar dari sampinK dengan dahsyatnya, meninju ke arah pelipis lawan sedangkan tangan kirinya membuat gerakan terputar di depan dada, lalu meluncur ke bawah sebagai serangan susulan, menghantam dengan telapak tangan terbuka ke arah pusar.

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar