*

*

Ads

Senin, 16 April 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 035

Ciu-sian sin-kai tertawa mengejek, tangan kirinya mengambil ciu-ouw (guci arak) yang selalu tergantung di pinggangnya, dan minum arak dengan tangan kirinya, langsung dari guci itu.

Melihat ini, Si Muka Hitam kembali mengerahkan tenaganya dan menarik dengan sentakan kuat. Akan tetapi, tetap saja rantai itu tidak dapat dirampasnya dan dia merasa amat terkejut. Orang yang sedang mengerahkan sinkang, mana mungkin mempertahankan kekuatannya itu selagi minum dan menelan arak? Akan tetapi, biarpun sedang minum, kakek jembel itu tetap saja amat kuat.

"Menjemukan kau!"

Tiba-tiba Ciu-sian Sin-kai menyemburkan arak dari mulutnya. Arak memercik ke muka yang hitam itu dan biarpun Si Muka Hitam sudah siap siaga dan mengerahkan tenaga sinkang untuk mengebalkan muka, tidak urung dia menjerit, melepaskan rantai dan menggunakan dua tangan untuk mendekap muka sendiri. Semburan arak itu dirasakan olehnya seperti ribuan jarum halus yang menusuki mukanya.

Ciu-sian Sin-kai melangkah maju dan sekali tangannya menotok, tubuh kakek tinggi besar itu pun terkulai dan lemas tak mampu bergerak pula. Anak buah bajak menjadi panik dan mereka mencoba untuk melarikan diri. Namun, mereka telah dikepung oleh para penghuni pulau yang dibantu oleh Hay Hay yang mengamuk seperti seekor harimau kecil yang galak.

Ciu-sian Sin-kai juga menyepak ke kanan kiri dan tak lama kemudian, seluruh bajak dapat dirobohkan dan tak ada yang melawan lagi! Ada di antara mereka yang tewas, banyak yang terluka parah dan sisanya terluka ringan namun mendekam saja di atas tanah, tidak berani berkutik, ada yang malah pura-pura mati!

Dengan pandang matanya, Ciu-sian Sin-kai melihat keadaan anak buahnya. Ada tujuh orang anak buahnya tewas, belasan orang luka-luka. Hal ini membuat dia marah.

"Kumpulkan mereka semua dan masukkan dalam perahu-perahu mereka!" perintahnya.

Para penghuni pulau itu dengan senang hati melaksanakan perintah ini. Biarpun ada tujuh orang di antara mereka yang tewas dan belasan orang luka-luka, namun mereka boleh mengucap sukur bahwa guru dan majikan mereka sudah pulang tepat pada saatnya karena kalau tidak, tentu mereka sudah terbasmi habis!

Dengan marah mereka menyeret tubuh-tubuh itu, baik yang sudah tak bernyawa, yang luka berat maupun ringan, menuju ke pantai, tidak peduli akan rintihan mereka yang mengaduh-aduh karena ketika diseret, tentu saja luka-luka mereka menjadi semakin parah.

Pada saat itu, dua orang anak buah pulau itu datang sambil menyeret seorang yang bertubuh pendek berperut gendut. Melihat bahwa yang diseret itu adalah seorang di antara anak buahnya sendiri, Ciu-sian Sin-kai bertanya heran.

"Apa artinya ini?" tanyanya menegur kedua orang anak buah lain yang menyeret Kai Ti, Si Gendut Pendek itu.

"Tocu, dia inilah yang menjadi pengkhianat, menjadi penunjuk jalan sehingga lima buah perahu bajak itu dapat memasuki daerah kita dan mendarat di pulau."

Mendengar pelaporan ini, Ciu-sian Sin-kai memandang kepada Kai Ti dengan alis berkerut. Teringatlah dia bahwa Kai Ti ini adalah seorang yang pernah melakukan pelanggaran, yaitu berusaha untuk memperkosa seorang wanita isteri temannya di pulau. Dia sudah memaafkan Kai Ti karena pada waktu itu Kai Ti sedang mabok keras.

Akan tetapi, Kai Ti terkenal kejam kepada isterinya, suka marah-marah dan memukuli. Dan ketika isterinya sakit berat, Kai Ti bahkan berusaha untuk meminang seorang gadis puteri temannya sendiri yang ditolaknya sehingga menimbulkan pertengkaran. Tahulah dia kini mengapa Kai Ti menjadi pengkhianat. Dia pernah memarahi Kai Ti dan mengancam bahwa kalau Kai Ti tidak mau mengubah tabiatnya, maka Si Gendut itu akan diusir dari pulau.

"Kai Ti, benarkah engkau melakukan perbuatan keji itu?"

"Ti….tidak….Tocu….." kata Kai Ti dengan tubuh gemetar.

"Saya melihat ketika pagi tadi semua orang menyambut penyerbuan bajak laut, dia tidak ada dan ketika saya menaruh curiga dan mencarinya, dia sedang berusaha untuk membongkar kamar pusaka!" kata seorang di antara kedua orang penangkapnya. "Kami menjadi curiga dan setelah pertempuran selesai, kami lalu mencarinya dah menyeretnya kesini, Tocu."






"Kai Ti, engkau tahu bahwa aku dapat menyiksamu dan memaksamu untuk mengaku. Apakah engkau menantangku untuk menyiksamu?"

Ciu-sian Sin-kai berkata, suaranya dingin sekali, berbeda dengan sikapnya yang biasanya senyum-senyum ramah.

Tiba-tiba Kai Ti menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu, mengangguk-angguk seperti ayam sedang makan padi.

"Ampunkan saya, Tocu……saya... saya dipaksa oleh Hek-bin Hai-liong..., saya dipaksa mengantarkan, kalau saya tidak mau akan dibunuh…"

Ciu-sian Sin-kai mengerti bahwa ucapan itu pun hanya untuk mencari alasan saja untuk membersihkan diri.

"Baiklah karena engkau bersekutu dengan mereka, engkau harus ikut pula dengan mereka. Lempar dia ke perahu kepala bajak itu"

"Ampunn... Jangan……saya... saya akan dibunuhnya...!" teriaknya, akan tetapi karena Ciu-sian Sin-kai sudah memberi perintah dan para penghuni pulau memang tidak suka kepada orang yang curang ini, Kai Ti lalu ditangkap dan diseret seperti seekor babi yang menguik-nguik, lalu dilempar pula ke dalam perahu.

Perahu-perahu itu lalu didorong ke tengah, layar-layar dikembangkan dan tentu saja para bajak itu tidak ingin membiarkan perahu-perahu mereka meluncur tanpa kemudi. Mereka yang luka ringan lalu cepat-cepat mencoba untuk mengemudikan perahu-perahu mereka agar jangan sampai menabrak batu karang.

Bersama seluruh penghuni Pulau Hiu, Hay Hay melihat lima buah perahu itu bergerak menghindarkan batu-batu karang. Juga dia melihat betapa kepala bajak yang berjuluk Hek-bin Hai-liong itu kini sudah sadar dan dia memaki-maki Kai Ti yang dianggapnya menjadi biang keladi malapetaka itu karena memberi keterangan yang tidak benar.

Kalau benar Ciu-sian Sin-kai berada di pulau, tentu dia tidak akan berani membawa teman-temannya menyerbu. Dan menurut keterangan Kai Ti, majikan pulau tidak akan pulang dalam waktu satu dua bulan lagi.

"Kai Ti, anjing keparat! Kau telah menjerumuskan kami!" bentak kepala bajak bermuka hitam itu.

"Tidak... tidak... aku tidak tahu bahwa hari ini Tocu akan pulang…." kata Kai Ti dengan muka pucat dan kepala digeleng-gelengkan dengan keras.

"Keparat, engkau menjadi sebab kami semua celaka. Lempar dia keluar perahu!"

"Tidak, jangan !"

Kai Ti menjadi semakin ketakutan, kemudian, melihat beberapa orang anak buah bajak yang luka ringan sudah bangkit dan menghampirinya, dia menyambar sebatang tombak yang menggeletak tak jauh dari situ, lalu menodongkan senjata itu sambil mengancam.

"Kubunuh siapa yang hendak menjamahku!"

Akan tetapi, tujuh orang anak buah bajak itu pun sudah marah kepadanya dan mereka memandang rendah Si Gendut Pendek ini, maka mereka pun maju terus dan mengepungnya.

Orang yang ketakutan dapat menjadi orang yang paling nekat dan kejam, maka demikian pula dengan keadaan Kai Ti. Sebagai bekas anak buah Pulau Hiu, tentu saja dia pandai ilmu silat dan melihat betapa para anak buah bajak itu tetap mengancamnya, dia lalu mengeluarkan teriakan panjang dan tubuhnya menubruk ke depan, tombaknya digerakkan.

"Crappp……!"

Tombak itu menancap di perut seorang di antara anak buah bajak laut sampai menembus ke punggungnya. sayang baginya saking takutnya, dia tadi menusuk terlampau kuat sehingga tombak itu menembus jauh dan ketika dia berusaha mencabutnya kembali, mata tombak itu terkait dan tidak dapat dicabutnya.

Dia berusaha lagi dan berkutetan, akan tetapi tetap saja tombak itu sukar dicabut dan pada saat itu, enam orang anak buah bajak telah menyerangnya dan membuatnya tidak berdaya. Hujan pukulan diterimanya dan dia pun diseret lalu dilemparkan keluar perahu. Ikan-ikan hiu segera muncul dan menyergapnya.

Hay Hay melihat betapa orang itu terbelalak lebar dan berusaha berenang cepat menjauhi ikan-ikan hiu yang mengejarnya, akan tetapi dari depan, kanan dan kiri muncul lagi puluhan ekor ikan hiu yang besar-besar. Kemudian terdengar Kai Ti menjerit-jerit seperti babi disembelih, akan tetapi ikan-ikan itu memperebutkannya, menyambar-nyambar dan darah pun membasahi air laut ketika tubuhnya yang cabik-cabik itu diseret ke bawah permukaan air.

"Lemparkan semua mayat keluar!" kembali kepala bajak muka hitam memberi perintah.

Anak buahnya yang terluka ringan memenuhi perintah ini dan mayat-mayat teman mereka segera mereka lemparkan keluar dari perahu. Kembali ikan-ikan hiu memperebutkan mangsa itu, badan mayat-mayat itu dicabik-cabik akan tetapi sekali ini tidak ada darah keluar. Hanya dalam waktu singkat saja, semua mayat telah lenyap dari permukaan air.

Agaknya ikan-ikan hiu itu masih kelaparan dan pesta pora itu menarik perhatian teman-teman mereka karena tempat itu kini penuh dengan ikan hiu besar-besar yang ratusan banyaknya, meluncur cepat di sekeliling lima buah perahu hitam. Melihat itu, Hay Hay bergidik penuh kengerian. Sukar baginya untuk menilai siapa yang lebih ganas dan kejam antara manusia dan ikan-ikan hiu itu.

Tiba-tiba perahu pertama yang paling besar tergetar keras ketika terdengar suara meledak, kemudian perahu itu pun roboh miring! Ternyata perahu pertama itu melanggar batu karang dan pecah. Air masuk dengan cepat dan perahu itu pun terancam tenggelam!

Anak buah bajak menjadi panik dan kembali terjadi perkelahian di antara mereka sendiri karena berebutan. untuk menggunakan satu-satunya perahu dayung kecil yang berada di atas perahu yang sedang tenggelam itu. Karena diperebutkan, banyak di antara mereka roboh dalam perkelahian dan akhirnya perahu kecil itu terlepas dan jatuh ke air tanpa seorang pun yang berhasil menjadi penumpang.

Akhirnya perahu itu tenggelam dan para anak buah bajak berlompatan ke air sambil berteriak ketakutan dan berusaha berenang menghindarkan diri dari jangkauan ikan-ikan hiu. Akan tetapi, apa artinya renang seorang manusia dibandingkan dengan kecepatan ikan hiu? Sebentar saja, di bawah pekik-pekik mengerikan ikan-ikan hiu itu berpesta dan kembali air menjadi merah, lebih merah daripada ketika Kai Ti menjadi mangsa pertama tadi.

Terdengar suara keras lagi dan perahu ke dua terguling, disusul perahu ke tiga. Kemudian terjadi kepanikan dan perkelahian yang mengerikan. Akan tetapi kini dua perahu lainnya juga dilanda kepanikan dan Hek-bin Hai-liong berteriak.

"Mana penunjuk jalan? Suruh dia menunjukkan jalan yang aman bagi perahu-perahu kita!"

Dalam kepanikannya, kepala bajak ini sampai lupa bahwa dia sendiri yang menyuruh penunjuk jalan satu-satunya, yaitu Kai Ti, dilempar keluar. Setelah Kai Ti tidak ada lagi, siapa yang akan mampu menunjukkan jalan aman? Berturut-turut, dua perahu lainnya juga melanggar karang dan terjadilah peristiwa yang amat mengerikan, yang membuat Hay Hay sendiri kadang-kadang menutup kedua matanya saking merasa ngeri melihat betapa orang-orang yang sudah terluka itu menjadi mangsa ikan-ikan hiu yang agaknya tidak mengenal puas dan kenyang itu.

Teriakan paling keras terdengar ketika Hek-bin Hai-liong yang terpaksa meloncat ke air karena perahunya tenggelam, mencoba untuk mengamuk. Sebagai kepala bajak tentu saja dia pandai berenang, dan dengan tenaganya yang kuat dia berhasil memukul dua tiga ekor ikan hiu. Akan tetapi jumlah ikan hiu amat banyak dan setelah sebelah kakinya kena disambar ikan dan tubuhnya diseret ke bawah, perlawanan terhenti dan tubuhnya dicabik-cabik oleh ikan-ikan yang memperebutkannya

Penglihatan yang mengerikan ini terjadi dengan cepat, tidak sampai dua jam dan habislah sudah seluruh bajak, baik yang sudah mati maupun yang tadi terluka. Lima puluh orang lebih habis dilumat oleh ikan-ikan hiu yang masih nampak berenang hilir-mudik seolah-olah mengharapkan tambahan. Dan tidak ada sepotong pun tangan tersisa dari lima puluh lebih orang-orang tadi. Habis berikut pakaian dan sepatu mereka!

Hay Hay terpaksa lari ke balik semak-semak dan membiarkan isi perutnya keluar. Dia muntah-muntah. Bukan hanya dia, akan tetapi banyak di antara anak buah Pulau Hiu, terutama anak-anak perempuannya, muntah-muntah saking ngeri dan tegang, juga jijik menyaksikan peristiwa yang amat mengerikan itu.

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar