*

*

Ads

Senin, 09 April 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 012

Kita tinggalkan dulu Hay Hay yang mengikuti See-thian Lama menuju kebarat, ke Pegunungan Himalaya dan mari kita menengok keadaan keluarga lain yang dekat hubungannya dengan Hay Hay.

Di kota Nam-co, di daerah Tibet, sebelah utara kota Lha-sa yang menjadi ibu kota Tibet dimana para Dalai Lama menjadi penguasa-penguasa mutlak, terdapat banyak pendatang dari timur, bukan penduduk asli Tibet. Mereka ini sebagian besar menjadi pedagang, membuka toko dan melakukan perdagangan dengan mendatangkan barang-barang dari Propinsi-propinsi Yu-nan, Secuan, atau Cing-hai.

Karena banyak pula keluarga bangsa Han (Cina) yang berada di Tibet, maka terdapat pula kelompok-kelompok atau golongan-golongan di kota Nam-cao. Akan tetapi yang paling terkenal adalah perkumpulan Pek-sim-pang (Perkumpulan Hati Putih).

Perkumpulan ini adalah perkumpulan silat, merupakan sebuah perguruan akan tetapi juga perkumpulan sosial yang suka bertindak membantu masyarakat yang tertimpa malapetaka atau ketidak adilan. Para penjahat di daerah Tibet merasa gentar menghadapi perkumpulan Pek-sim-pang, karena keluarga Pek, yaitu pendiri dari Pek-sim-pang, adalah ahli-ahli silat yang amat lihai.

Semenjak berdiri kurang lebih empat puluh tahun yang lalu, Pek-sim-pang memperoleh kemajuan besar. Banyak orang muda yang gagah perkasa menjadi murid dan anggauta perkumpulan itu. Karena sepak terjang mereka itu gagah perkasa dan seperti pendekar-pendekar sejati, maka nama Pek-sim-pang semakin terkenal dan anggautanya semakin banyak sampai berjumlah kurang lebih seratus orang.

Dan selama bertahun-tahun keadaan perkumpulan itu jaya dan tenteram, bahkan nama besar Pek-sim-pang membuat kota Nam-co menjadi tenteram pula. Hal ini diakui oleh para pendeta Lama di Lha-sa sehingga mereka pun menghargai Pek-sim-pang yang mereka anggap sebagai perkumpulan sahabat yang dikagumi.

Apalagi mengingat bahwa pendirinya pada empat puluh tahun yang lalu adalah seorang pendekar besar, murid dari Siauw-lim-pai. Para guru besar Siauw-lim-pai masih mempunyai hubungan baik, bahkan hubungan persaudaraan dalam perguruan dengan para pimpinan Lama di Tibet, maka tentu saja keluarga Pek diterima sebagai keluarga seperguruan pula.

Akan tetapi, tidak ada sesuatu yang abadi dan tidak berubah di dunia ini. Ketenteraman Pek-sim-pang, dan keluarga Pek pada khususnya, mengalami perubahan hebat pada tujuh tahun yang lalu.

Pada waktu itu, Pek Khun, pendiri Pek-sim-pang yang telah berusia enam puluh tahun, telah mengundurkan diri dan pergi bertapa ke sebuah puncak di Pegunungan Kun-lun-san. Yang menggantikannya menjadi ketua Pek-sim-pang adalah Pek Ki Bu, puteranya yang pada waktu itu sudah berusia empat puluh lima tahun. Pek Ki Bu telah mewarisi ilmu-ilmu silat ayahnya dan dia pun amat lihai dalam ilmu silat Siauw-lim-pai yang banyak ragamnya itu. Pek Ki Bu hanya mempunyai seorang putera yang bernama Pek Kong.

Melalui diri Pek Kong inilah peristiwa yang menimbulkan perubahan hebat pada Pek-sim-pang itu terjadi. Baru setahun Pek Kong menikah dengan seorang gadis puteri seorang pedagang obat di Nam-co, dan ketika isterinya mengandung tua, tiba-tiba saja datang utusan dari Lha-sa, dari para pendeta Dalai Lama yang menyatakan bahwa anak dalam kandungan isteri Pek Kong itu adalah calon Dalai Lama! Sebagai cirinya, di punggung anak itu akan nampak tanda merah selebar telapak tangan dan karena anak itu merupakan calon orang suci atau guru besar, maka diminta kerelaan orang tuanya untuk menyerahkan anak itu apabila terlahir kelak!

Keluarga Pek merupakan keluarga yang sudah dua keturunan tinggal di daerah Tibet sehingga mereka maklum apa artinya itu. Anak itu kelak akan menjadi seorang calon Dalai Lama dan sama sekali terputus hubungannya dengan keluarga Pek!

Tentu saja keluarga itu tidak rela dengan bayangan ini. Pek Kong merupakan keturunan terakhir dan tunggal dari keluarga Pek. Kalau kelak anak itu terlahir laki-laki, maka anak itulah yang merupakan keturunan terakhir. Bagaimana mungkin mereka dapat menyerahkan keturunan terakhir itu untuk menjadi calon Dalai Lama dan terputus hubungannya dengan keluarga mereka?

Bagaimana kalau Pek Kong, seperti kakeknya dan juga ayahnya, hanya mempunyai seorang saja anak laki-laki? Bukankah dengan demikian akan berarti putus dan lenyap keturunan keluarga mereka? Bagi bangsa Han di seluruh negeri, keturunan laki-laki yang menyambung nama keluarga mereka merupakan hal yang teramat penting.

Dalam kebingungan itu, keluarga Pek tentu saja tidak berani menolak permintaan para pendeta Lama yang amat berpengaruh di Tibet. Pek Ki Bu sebagai ketua Pek-sim-pang menjadi bingung dan cepat dia pergi menghadap ayahnya yang bertapa di Kun-lun-san untuk minta nasehat.

"Aihhh, kenapa ada urusan yang sulit itu menimpa keluarga kita?" Kakek Pek Khun menarik napas panjang dan mengelus jenggotnya yang panjang. "Biarpun andaikata ada aku sendiri disana dan semua puncak pimpinan para Lama menjadi sahabat-sahabat baikku yang amat menghormatiku, namun urusan pemilihan calon Lama itu sungguh merupakan urusan yang tak boleh dipandang ringan. Para Lama itu percaya akan ramalan, dan menganggap hal itu seperti perintah dari Sang Buddha sendiri. Biar sahabat baik, kalau menentang tentu akan dimusuhi! Sebaiknya begini saja. Sebelum anak itu terlahir, Pek Kong dan isterinya harus mengungsi jauh ke timur. Dan kelak, kalau anaknya terlahir, kita harus menukar anaknya itu dengan anak lain, kalau memang ternyata di punggungnya ada tanda merah, dan anak itu, cucu buyutku, biarlah aku yang akan membawa dan menyembunyikannya."






Demikianlah, keluarga Pek mentaati kakek Pek Khun itu dan diam-diam Pek Kong bersama isterinya melarikan diri ke timur, memasuki Propinsi Yu-nan kemudian mereka terus melanjutkan perjalanan sampai ke pantai selatan di daerah Propinsi Kuangsi.

Setelah merasa cukup jauh dan kandungan isterinya sudah hampir tiba saatnya melahirkan, suami isteri Pek ini lalu menyembunyikan diri dan mondok di sebuah kuil. Tanpa mereka ketahui, diam-diam mereka dibayangi oleh seorang kakek yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, yaitu kakek mereka sendiri, pertapa Pek Khun yang diam-diam melindungi pelarian cucunya itu.

Setelah mereka memperoleh tempat pondokan di kuil itu, barulah Pek Khun menemui mereka sehingga girang dan legalah hati Pek Kong bersama isterinya. Saat yang dinanti-nantikan telah tiba dan isteri Pek Kong melahirkan seorang bayi laki-laki yang sehat.

Dapat dibayangkan betapa kaget dan gelisah rasa hati Pek Kong dan isterinya ketika melihat bahwa pada punggung anak mereka memang terdapat tanda merah sebesar telapak tangan! Kulit di bagian itu seperti bekas terbakar atau ada kelainan sehingga warnanya kemerahan.

Kalau tidak ada kakek Pek Khun disitu, tentu suami isteri yang masih amat muda itu, baru berusia dua puluh tahun lebih, menjadi panik dan khawatir. Kakek Pek Khun yang membuat mereka tenang. Mula-mula, kakek pertapa ini mencoba untuk menggunakan. ilmu kepandaiannya, agar tanda kemerahan pada punggung itu dapat lenyap. Namun, semua usahanya sia-sia belaka dan akhirnya dia harus mengambil jalan terakhir seperti yang direncanakannya.

"Cucuku, agaknya Thian memang sudah menghendaki bahwa anak ini terlahir dengan tanda ini yang tidak dapat dihilangkan dengan obat. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan keturunan kita ini adalah menyembunyikan dan menukarnya dengan seorang anak lain yang tidak mempunyai tanda merah di punggungnya. Dengan demikian, anak kalian itu dapat kita ajak pulang dan kalau para pendeta Lama tidak melihat tanda merah di punggungnya, tentu mereka tidak akan mengganggunya."

Pek Kong dan isterinya yang merasa bingung dan tidak tahu bagaimana caranya untuk dapat menyelamatkan putera mereka tanpa menjadi keluarga pelarian, menyetujui saja siasat yang akan diatur oleh kakek Pek Khun itu.

Mulailah kakek yang sakti itu melakukan penyelidikan di sepanjang pantai selatan, ke dusun-dusun yang sunyi. Namun, dia tidak menemukan anak yang dianggap cocok sekali keadaannya dengan cucu buyutnya. Dia harus menemukan keluarga yang mempunyai anak bayi yang sebaya, dan keluarga itu harus mau menerima penukaran anak dan bersedia merawat cucu buyutnya dan mencari keluarga seperti ini tentu saja tidak mudah.

Pada hari ke tiga, selagi dia berjalan menyusuri pantai yang sunyi, pandang matanya tertarik oleh sesosok tubuh yang berdiri di atas tebing yang curam. Biarpun waktu itu sudah menjelang senja dan cuaca sudah remang-remang, namun penglihatan kakek yang masih tajam ini dapat melihat bahwa tubuh yang berdiri di tepi tebing itu adalah seorang perempuan yang agaknya memondong sesuatu.

Dia merasa khawatir melihat wanita itu berdiri demikian dekat di bibir tebing yang demikian curam. Ingin dia berteriak memperingatkan wanita itu, akan tetapi dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia melihat wanita itu tiba-tiba malah meloncat ke bawah, ke air laut yang bergelombang !

Dan lebih ngeri lagi rasa hatinya ketika dia melihat bahwa benda yang dipondong oleh wanita itu adalah seorang anak kecil yang terdengar menangis ketika wanita itu meloncat kebawah. Tanpa berpikir panjang lagi, kakek Pek Khun lalu cepat lari ke tepi pantai itu dengan meloncat ke air bergelombang ketika wanita dan anak kecil itu sudah terbanting ke air.

Hati kakek itu tergerak melihat tubuh kecil bayi itu diombang-ambingkan ombak dan masih terdengar tangisnya. Maka dia pun cepat berenang ke arah anak itu dan akhirnya berhasil menyambar tubub kecil itu. Dengan cepat diikatnya tubuh anak itu di atas punggungnya, menggunakan robekan bajunya yang lebar, kemudian barulah dia berenang lagi menolong wanita tadi yang sudah tenggelam timbul.

Kalau dia tidak bergerak dengan cepat, tentu wanita itu akan dihempaskan ombak ke batu karang di bawah tebing. Untung bahwa kakek Pek Khun sejak muda memang ahli renang yang terlatih dan dia dapat bergerak dengan cepat dan lincahnya di dalam air, walaupun air laut itu bergelombang dengan amat kuatnya.

Setelah berhasil mencengkeram rambut wanita itu yang terlepas dari, sanggulnya yang terurai panjang, dia lalu berenang ke tepi, memanggul anak kecil di punggungnya yang masih terus menangis dan menyeret wanita yang sudah pingsan itu.

Berhasillah kakek yang gagah perkasa ini membawa tubuh wanita itu ke darat, menjauhi jangkauan air. Anak itu ternyata seorang bayi laki-laki yang bertubuh sehat dan montok dan tangisnya amat nyaring. Tangis inilah yang agaknya menolong bayi itu.

Dengan hati-hati kakek Pek Khun merebahkan bayi itu di atas pasir dan dia pun cepat menolong wanita itu, mengeluarkan air dari dalam perutnya. Akan tetapi, wanita itu ternyata telah terluka parah pada dahinya. Agaknya ketika meloncat ke bawah dan dipermainkan ombak, kepalanya sempat terbentur pada batu karang. Napasnya sudah empas-empis dan darah banyak keluar dari luka di dahi.

Melihat keadaan dahi itu, kakek Pek Khun mengerutkan alisnya. Dia adalah seorang ahli silat yang juga pandai ilmu pengobatan, terutama mengobati luka-luka. Melihat luka di dahi yang demikian dalam, dia tidak melihat harapan untuk dapat bertahan hidup pada wanita itu.

Setelah ditotok sana-sini untuk menghentikan darah keluar, mengurangi rasa nyeri dan menyadarkannya, wanita itu membuka matanya. Ia menengok ke kanan kiri dengan lemah, lalu bertanya.

“Mana... mana anakku…..?”

Anak itu sudah berhenti menangis dan kakek itu berkata,
"Jangan khawatir, anakmu selamat." Dia menunjuk ke arah anak itu yang kini rebah dan diam saja.

Melihat anaknya, wanita itu menitikkan air mata yang bercampur dengan air laut yang menetes-netes dari rambutnya membasahi mukanya.

" Anakku... ah, dia tidak berdosa... biarlah dia mati bersamaku…."

Kakek itu mengerutkan alisnya. Betapa menyedihkan melihat seorang manusia mengalami penderitaan batin sehingga putus asa dan memilih jalan membunuh diri seperti yang dilakukan oleh perempuan ini, pikirnya. Seorang perempuan yang masih amat muda, belum dua puluh tahun agaknya, dan memiliki wajah yang cantik dan tubuh yang sehat. Dan dia tahu bahwa perempuan muda ini sekarang menghadapi maut yang agaknya sukar untuk dapat dielakkan lagi.

"Anak baik, kenapa kau melakukan ini? Kenapa engkau berusaha membunuh diri bersama anakmu yang masih bayi itu?"

Mendengar pertanyaan ini, wanita itu memandang wajah kakek Pek Khun, mengamat-amatinya penuh perhatian dan air matanya bercucuran semakin banyak. Kemudian ia pun mulai bercerita, tersendat-sendat suaranya, kadang-kadang hanya berbisik-bisik lemah, dan napasnya semakin empas-empis. Namun agaknya ia memiliki semangat terakhir untuk menceritakan keadaan dirinya, cerita yang mengandung penuh penasaran baginya.

Wanita muda itu puteri guru silat Coa-kauwsu, seorang guru silat yang tinggal di dusun dekat pantai. Kurang lebih setahun yang lalu, di dusun itu datang seorang pengacau, seorang jai-hoa-cat (penjahat pemetik bunga) yang mengganggu wanita-wanita muda di dusun itu, bahkan telah melakukan penculikan-penculikan dan pemerkosaan-pemerkosaan.

Hal ini membuat keluarga Coa yang menjadi jagoan-jagoan di dusun itu merasa penasaran dan marah. Coa-kauwsu bersama puterinya, satu-satunya murid yang paling pandai dan boleh diandalkan, melakukan penyelidikan dan pengintaian di waktu malam secara berpencar.

Akan tetapi, malang bagi Coa Si, anak guru silat itu, ia bertemu dengan penjahat itu, berkelahi dan ia kalah. Ia yang tadinya ingin menangkap penjahat, sebaliknya malah tertawan dan kemudian diperkosa!

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar