*

*

Ads

Kamis, 31 Mei 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 182

Mereka sudah pernah merasakan kelihaian pemuda itu, bukan hanya lihai ilmu silatnya, akan tetapi bahkan memiliki ilmu sihir yang pernah membuat guru dan murid ini tidak berdaya dan dipermainkan. Pantas saja lima orang pendeta Pek-lian-kauw yang ahli sihir itu tidak mampu menandinginya!

Bahkan kini guru dan murid itu sendiri saling pandang dengan sikap ragu- ragu dan was-was karena mereka sangsi apakah dengan bantuan mereka yang bergabung dengan lima orang pendeta Pek-lian-kauw itu mereka akan mampu mengalahkan, Hay Hay.

"Kita harus minta bala bantuan." Kata Min-san Mo-ko kepada muridnya, tanpa malu-malu lagi.

Ji Sun Bi mengangguk.
"Benar, dan kurasa hanya ada dua orang saja diantara perserikatan kita yang akan mampu menandinginya. Pertama tentu saja Lam-hai Giam-lo sendiri, akan tetapi Bengcu kita itu tak mungkin turun tangan sendiri. Dan kedua adalah Ki Liong. Baiknya aku segera mengundangnya kesini untuk memperkuat kita.”

Min-san Mo-ko yang maklum akan kelihaian Ki Liong yang kini dikenal sebagai Sim Ki liong, pembantu utama dari Lam-hai Giam-lo, mengangguk menyetujui. Berangkatlah Ji Sun Bi secepatnya, kembali ke dataran tinggi Yunan yang tidak berapa jauh lagi dari situ, sedangkan Min-san Mo-ko dan lima orang pendeta Pek-lian-kauw itu hanya membayangi Hay Hay dari kejauhan, tidak berani turun tangan.

Dan karena Hay Hay mengambil keputusan untuk tinggal selama tiga hari di kota Wei-ning dan berpesiar di Telaga Cao, maka Ki Liong dapat tiba disitu bersama Ji Sun Bi sebelum Hay Hay meninggalkan tempat itu.

Pada hari terakhir itu pagi-pagi sekali Hay Hay sudah duduk di tepi telaga, di tempat yang paling sepi, sambil memegang setangkai pancing. Kemarin ketika berperahu, dia melihat bahwa di bagian ini justeru banyak sekali ikannya, dan dia ingin sekali mengail ikan disitu dan kalau mendapatkan ikan lalu dipanggangnya disitu pula. Untuk keperluan ini dia sudah membawa bumbu dan garam dari rumah penginapan.

Akan tetapi sial baginya. Sampai satu jam lebih dia duduk disitu, tak seekorpun ikan mencium umpannya! Dia menganggap dirinya sial, padahal hari masih terlampau pagi dan agaknya ikan-ikan masih belum waktunya keluar dari sarang mencari makanan.

"Huh, apakah kalian masih tidur? Ataukah belum waktunya sarapan pagi? Atau pergi melancong sekeluarga kalian?"

Hay Hay mengomel panjang pendek akan tetapi dia lalu tertawa geli, mentertawakan diri sendiri. Mana mungkin ada ikan tidur? Dan dia termenung. Bagaimana kalau ikan beristirahat dan tidur? Apakah juga ada waktu makan seperti manusia, makan pagi, siang dan malam sebanyak tiga kali? Ataukah asal lapar lalu makan tanpa waktu? Dan pernahkah keluarga ikan itu bersenang-senang, pelesir bersama anak isterinya? Gambaran ini demikian menggelitik hatinya sehingga diapun tertawa dengan bebas karena ditempat itu tidak terdapat orang lain.

"Ha-ha-ha, engkau sudah gila, Hay Hay!" demikian dia berkata, lalu mengangkat pancingnya, mengganti dengan umpan yang baru dan mulai memancing lagi.

Memancing adalah suatu pekerjaan yang mengasyikkan. Kalau dia tidak membiarkan pikirannya melamun, mengingat-ingat hal yang lalu atau membayangkan hal mendatang, maka pikiran menjadi tenang dan hening, dan kalau semua perhatiannya ditujukan kepada tali pancing di permukaan air telaga, keadaannya hampir sama dengan kalau dia bersamadhi. Tenang dan damai, demikian keadaan seorang yang sedang mengail kalau pikirannya tidak melayang-layang, melainkan tenggelam dalam keheningan.

Dia menjadi lupa waktu, lupa keadaan, tidak menyadari bahwa satu jam telah lewat pula dan kini sinar matahari pagi mulai menciptakan sinar keemasan pada permukaan air telaga. Dan agaknya sinar matahari pagi itu yang menggugah ikan-ikan karena mulailah dia merasa betapa ujung tali pancingnya bergerak-gerak, tanda bahwa umpannya mulai ada yang menciumnya!

Tentu saja seluruh perhatian Hay Hay dicurahkan ke ujung pancingnya sehingga dia tidak tahu akan datangnya sebuah perahu kecil yang di dayung oleh seorang gadis menuju ke tempat dia mengail.

Hay Hay baru sadar ketika ikan-ikan yang mulai mencium umpannya itu tiba-tiba melepaskan umpan dan permukaan air berombak, lalu terdengar suara dayung memukul air.

"Haiii….!"

Dia mengangkat mukanya dan berteriak marah.
"Apakah engkau tidak tahu bahwa disini ada orang sedang mengail ikan? Engkau datang mengganggu sehingga ikan-ikan yang sudah mulai mendekati umpan pancingku, kini lari cerai-berai ketakutan karena datangnya perahumu!"






Perahu itu telah datang dekat, dan penumpangnya yang tadi mendayung perahu itu bangkit berdiri. Karena orang itu tadinya tertutup mukanya oleh sebuah caping lebar pelindung muka itu dari panas matahari, maka setelah orang itu berdiri dan mendorong caping ke belakang, baru nampak oleh Hay Hay bahwa penumpang perahu yang ditegurnya itu ternyata adalah seorang gadis remaja yang tersenyum manis sekali!

Gadis yang usianya paling banyak delapan belas tahun, pakaian dan wajahnya sederhana, namun tubuh yang mulai mekar ranum itu menarik sekali, sedangkan wajah yang sederhana tanpa bedak gincu itu memiliki daya tarik yang amat kuat, mungkin karena kelembutan dan kepolosan yang terpancar pada wajah yang berseri itu.

"Maaf, aku tidak tahu bahwa aku mengganggumu." kata gadis itu, dan suaranya juga lunak halus.

"Maaf, maaf! Setelah ikan-ikan itu pergi jauh? Aih, engkau tidak tahu bahwa engkau telah merampas sedikitnya seekor ikan besar untuk sarapanku, padahal perutku sudah lapar dan sejak tadi aku sudah siap untuk memanggang ikan hasil pancinganku!" kata Hay Hay, mulai berkurang kemarahannya melihat betapa gadis itu bersikap dan berbicara demikian lunak dan halus.

Gadis itu masih tersenyum ramah dan sinar matanya mengandung penyesalan.
"Ah, kalau begitu aku berhutang seekor ikan padamu, bung! Nah, biar kubayar hutang itu!"

Gadis itu masih berdiri di atas perahunya, dan dayung itu dipegangnya dengan tangan kanan. Kini matanya mengamati permukaan air telaga yang mulai tenang lagi setelah berhenti meluncur. Tiba-tiba dayungnya menyambar ke bawah, terdengar air terpukul dan gadis itu berjongkok, lalu tangan kirinya mengambil seekor ikan sebesar betis yang sudah mengambang karena mati terpukul dayungnya.

"Nah, inilah hutangku padamu, bung!" katanya sambil melemparkan ikan itu ke darat, di belakang Hay Hay.

Melihat ini Hay Hay terbelalak dan dia semakin tertarik. Gadis remaja yang lembut dan halus sikap dan tutur sapanya itu ternyata seorang gadis yang memiliki ilmu kepandalan hebat sehingga dengan mudah dapat menangkap seekor ikan yang dipukul dengan dayungnya. Hay Hay tersenyum lebar, merasa penasaran karena agaknya gadis itu hendak memamerkan kepandaiannya.

"Hemm, aku ingin mengail, bukan menangkap ikan begitu saja. Engkau tidak tahu seninya orang mengail, Nona. Kalau aku mau, tentu akan dapat pula menangkap ikan semudah seperti yang kau lakukan itu!"

Hay Hay bangkit berdiri dan memandang permukaan air. Air yang jernih itu membuat dia dapat melihat beberapa ekor ikan berenang tak jauh dari situ. Dia menggerakkan tangkai pancingnya yang terbuat dari bambu itu. Tangkai itu meluncur ke dalam air dan ketika dia mencabutnya kembali, ujungnya sudah menusuk seekor ikan yang menggelepar-gelepar.

Dia melepaskan ikan itu di atas darat, kemudian dengan cepat tangkai pancingnya masih dua kali lagi meluncur dan dalam waktu yang cepat dia sudah menangkap tiga ekor ikan yang cukup gemuk!

"Ah, kiranya engkau seorang yang amat lihai, yang menyamar sebagai seorang pengail. Maaf kalau aku bersikap kurang hormat, dan maafkan sekali lagi bahwa tadi aku telah mengganggu tanpa kusengaja."

Gadis itu memberi hormat dari perahunya, kemudian duduk kembali dan dengan perlahan mendayung perahunya ke tengah.

"Heiii, Nona! Nanti dulu!” Hay Hay berteriak. "Engkau sudah bersalah padaku dan aku tidak mau memaafkan sebelum menghukummu!"

Gadis itu menahan perahunya, alisnya berkerut karena ia mengira bahwa pemuda di pantai itu akan bersikap kurang ajar. Akan tetapi dengan suara tetap lembut penuh kegembiraan, ia bertanya.

"Aku memang bersalah, akan tetapi tidak kusengaja dan aku sudah minta maaf. Hukuman apa yang akan kau jatuhkan kepadaku?"

"Lihat!"

Hay Hay menunjuk ke arah empat bangkai ikan tadi.
"Karena ulahmu disini empat ekor ikan yang tidak berdosa telah mati. Kalau tidak dimakan dagingnya, itu namanya suatu pemborosan dan sia-sia namanya. Karena itu, aku akan menghukummu agar engkau membantuku menghabiskan daging empat ekor ikan ini. Aku sudah siap dengan bumbu-bumbunya dan kalau dipanggang, daging ikan ini lezat sekali!"

Lenyaplah kerut-merut pada alis gadis itu dan iapun tertawa, lalu mendayung perahu ke tepi.

"Baiklah, aku terima hukuman itu!" katanya sambil tersenyum. "Akupun lapar sekali!"

Ia meloncat ke darat dan menarik tali perahu itu ke darat. Demikian mudahnya gadis itu menarik perahu ke darat, padahal pantai itu agak terjal, hal ini menunjukkan bahwa ia memang bukan gadis sembarangan dan memiliki tenaga yang kuat.

Mereka kini berdiri berhadapan, saling pandang dan Hay Hay semakin tertarik. Gadis ini tidak cantik sekali, akan tetapi pembawaannya demikian polos dan wajar, dan tubuhnya indah, memiliki daya tarik besar. Memang banyak dia temui wanita cantik yang kurang begitu kuat daya tariknya, seolah-olah setangkai bunga yang tidak begitu harum.

Akan tetapi gadis ini bagaikan setangkai bunga sederhana yang amat harum semerbak, yang memiliki daya tarik besar dan membuat orang suka sekali berdekatan dan bicara dengannya. Sepasang matanya demikian lembut, keibuan dan penuh kesabaran, mulutnya juga selalu tersenyum ramah, wajahnya yang tanpa bedak itu kemerahan dan segar bagaikan setangkai bunga mawar merah bermandi embun. Pakaiannya juga sederhana, namun bahkan menonjolkan keindahan tubuhnya yang sedang mekar,

Agaknya masing-masing merasa puas dengan apa yang mereka pandang dan nilai, karena keduanya tersenyum dan gadis itu berkata,

"Mari kubantu engkau memanggang ikan."

Keduanya tidak banyak cakap, melainkan sibuk membersihkan sisik ikan-ikan itu, membuang isi perutnya, mencuci dengan air telaga dan melumurinya dengan bumbu yang sudah dipersiapkan oleh Hay Hay. Tak lama kemudian masing-masing memegangi dua tusuk bambu, memanggang dua ekor ikan di atas api membara dan terciumlah bau yang sedap.

"Aduh sedapnya…! Perutku menjadi semakin lapar saja!" kata gadis itu dan cuping hidungnya kembang kempis, lucu sekali.

"Ha-ha-ha, air liurku tak dapat kutahan lagi!"

Hay Hay juga berkata dan dia tertawa, merasa gembira bukan main. Kehadiran gadis ini sungguh merupakan berkah baginya, membuat hari nampak demikian cerah dan suasana demikian gembira dan indah. Bukan main!

Tak lama kemudian, keduanya sudah mengganyang ikan-ikan itu dan terasa gurih, manis dan lezat bukan main. Gadis itu tidak kelihatan malu-malu. Ia memiliki watak yang terbuka dan polos, namun lembut, tidak liar seperti watak Kui Hong atau Bi Lian. Sama sekali tidak kelihatan galak, walaupun kadang-kadang sinar matanya mencorong penuh wibawa. Sebentar saja, daging ikan-ikan itu telah habis, tinggal kepala, ekor dan tulang-tulangnya saja.

"Sayang tidak ada minuman…"

"Jangan khawatir, Nona. Aku membawa sebotol anggur." Hay Hay mengeluarkan botol anggur dari buntalannya.

"Aku kurang begitu suka minum arak."

"Ini bukan arak keras, melainkan anggur yang halus. Rasanya manis dan enak, tidak memabokkan asal tidak terlampau banyak, dan menghangatkan perut. Cobalah!" Hay Hay menyodorkan botol yang terisi anggur hampir penuh itu sambil membuka tutupnya.

Gadis itu mendekatkan mulut botol ke bawah hidungnya.
"Hemm, baunya memang harum. Akan tetapi mana cawannya? Akan kucoba sedikit, untuk menghilangkan amis ikan tadi dari mulut.”

"Aku tidak membawa cawan, Nona. Minumlah saja dari botol, mengapa?"

"Ihh, mulut botol akan berbau amis oleh mulutku yang habis makan panggang ikan."

"Apa salahnya? Mulutku juga." kata Hay Hay.

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar