*

*

Ads

Jumat, 18 Mei 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 127

"Kasihan engkau, Enci Lian. Semoga engkau akan segera bertemu dengan seorang pria yang benar-benar mencintamu dan dapat hidup berbahagia bersamanya." Diam-diam dia mengeluh dan berdoa.

Hari telah terang ketika Hui Lian terbangun. Tubuh mereka sudah segar kembali. Ia menggeliat dan membuka mata, melihat Hay Hay masih duduk di dalam guha, akan tetapi api unggun telah padam dan pemuda itu duduk di mulut guha, menghadap keluar. Ketika ia bergerak, agaknya Hay Hay mendengar dan menengok. Kiranya pemuda itu sudah nampak segar dengan rambut masih basah.

"Wah, engkau sudah mandi rupanya! Dimana ada air di tempat ini, Hay-te?"

"Diluar guha, tidak jauh dari sini, di sebelah kiri guha."

"Aku hendak mandi!" kata Hui Lian sambil melompat bangun dan keluar dari dalam guha.

Hay Hay menunjukkan sumber air itu, kemudian diapun kembali ke guha, menanti Hui Lian yang membersihkan badan dengan air sumber yang dingin sejuk itu. Mendengar suara air ketika wanita itu mandi, tidak jauh dari situ, hanya terhalang oleh batu-batu besar, berdebar rasa jantung Hay Hay. Dia membayangkan wanita yang cantik dan harum keringatnya itu mandi bertelanjang bulat di bawah air jernih yang menyiram seluruh tubuhnya yang indah! Gairahnya timbul dan hanya dengan pengerahan tenaga batinnya saja dia dapat menahan diri untuk tidak mendekat dan mengintai!

Nafsu berahi, seperti segala nafsu yang selalu silih berganti menguasai diri manusia seperti kita ini, selalu ditimbulkan oleh ingatan. Pikiran mengingat-ingat, membayangkan segala hal yang pernah dialami atau didengar dari orang lain, segala hal yang menyenangkan dan nikmat. Ingatan inilah bayangan-bayangan yang diciptakan oleh pikiran inilah sesungguhnya yang menimbulkan gairah nafsu! Untuk membebaskan diri dari perbudakan nafsu, kita diajar untuk mengekang dan mengendalikan nafsu! Bagaimana mungkin akan berhasil kalau yang mengendalikan itupun pikiran kita sendiri?

Nafsu merupakan hasil pemikiran dan keinginan mengendalikan juga timbul dari pikiran setelah melihat akibat nafsu yang merugikan, dan pada hakekatnya, pengendalian itu pun didorong oleh keinginan pula, keinginan untuk bebas dari nafsu.

Kalau dikendalikan maka akan terjadi lingkaran setan. Nafsu timbul dikendalikan, tidur sebentar, bangkit lagi dikendalikan lagi, demikian tiada habisnya sampai kita mati! Setelah tahu bahwa sumber nafsu adalah pikiran, mengapa kita tidak melenyapkan sumbernya saja?

Bukan berarti mematikan pikiran, karena pikiran memang penting bagi hidup, melainkan
mempergunakan pikiran untuk hal-hal yang bermanfaat dan membiarkan pikiran bersih dari ingatan-ingatan tentang hal-hal yang akan menimbulkan gairah nafsu, menimbulkan dendam, duka, iri, dan sebagainya. Bukan timbul dari keinginan membersihkan pikiran, melainkan membiarkan pikiran bersih sendiri dengan pengamatan penuh kewaspadaan terhadap pikiran sendiri, terhadap nafsu yang timbul
dalam pikiran.

Pengamatan saja tanpa usaha pengekangan, tanpa usaha merobah, tanpa menilai. Pengamatan ini yang akan menimbulkan suatu kesadaran, yang akan mendatangkan perobahan. Pengamatan dengan waspada akan membebaskan pikiran menyeleweng, perhatian setiap saat terhadap segala yang terjadi di dalam dan luar diri akan mendatangkan kesegaran baru.

Hui Lian keluar dari balik batu-batu besar. Segar, bersih, masih basah rambutnya yang terurai lepas. Sinar matahari pagi menimpanya, menerangi wajahnya, dan Hay Hay terpesona. Wanita itu demikian cantiknya, kedua pipinya yang agaknya tadi digosok keras ketika mandi, pada tonjolan pipi di bawah mata, menjadi kemerahan seperti diberi pemerah kulit saja, namun segar tidak seperti kalau dirias, bibirnya segar merah membasah, dan kulit muka dan lehernya demikian putih bersih, rambutnya demikian hitam dan seolah-olah ada sinar cerah mengelilingi seluruh kepada wanita itu.

"Haiiii... engkau kenapa, Hay-te? Kenapa engkau memandangku seperti itu? Dengan mata terbelalak dan mulut celangap, melongo seperti orang keheranan. Ada apa sih?"

Hay Hay menarik napas panjang.
"Aduhhh, Enci Lian. Kalau aku belum mengenalmu, tentu engkau kukira Dewi Pagi sendiri yang baru turun dari langit!"

"Eh? Apa maksudmu? Aneh-aneh saja engkau ini!"

"Engkau demikian cantik, demikian anggun, demikian agung! Wahai.... sungguh mati, Enci Lian, engkau wanita paling cantik yang pernah kulihat di dunia ini.....!"

Sepasang mata itu terbelalak, kedua pipinya menjadi semakin merah, akan tetapi Hui Lian tidak marah, bahkan tertawa terkekeh geli sampai ia menutupi mulut dengan tangannya.

"Hayaaaa, wanita yang menjadi isterimu tidak perlu lagi kau beri makan Hay-te."






"Eh, kenapa begitu?"

"Cukup dengan pujian dan sanjunganmu saja. Pagi sarapan pujian, siang makan sanjungan, malam makan rayuan, dan kenyanglah ia! Engkau sungguh seorang laki-laki mata keranjang dan perayu wanita nomor satu di dunia ini!"

Hay Hay tersenyum.
"Enci, salahkah itu kalau aku memuji sesuatu yang memang amat indah? Aku suka akan keindahan dan aku melihat keindahan di mana-mana, terutama sekali dalam diri dan wajah seorang wanita. Demikian sempurna, lekuk-lengkungnya, garis-garisnya, demikian..... ah, sukar aku menceritakan dengan kata-kata....."

Sejenak Hui Lian menatap wajah pemuda itu, sambil melangkah dekat, kemudian iapun duduk di depan Hay hay, di atas batu di luar guha dan sikapnya menjadi serius.

"Hay-te, kalau boleh aku menasihatimu, sebaiknya kalau engkau lekas mencari jodoh dan kawin saja."

Hay Hay yang melihat sikap serius juga mendengarkan dengan serius dan dia terkejut, memandang dengan heran.

"Mengapa begitu, Enci Lian?"

"Karena kalau tidak, akan berbahaya jadinya."

"Eh? kenapa?"

"Engkau seorang pemuda yang berwajah tampan, ganteng, akan tetapi yang paling berbahaya adalah watakmu yang demikian pandai merayu wanita. Setiap orang wanita akan jatuh hati kalau bertemu dan berkenalan denganmu, dan hal ini amat tidak baik karena akhirnya akan timbul kesalah pahaman dan engkau disangka orang penggoda wanita. Kalau engkau sudah kawin, berarti akan ada seorang wanita di sisimu, dan mungkin hal itu akan dapat mengobatimu dari penyakitmu itu."

"Penyakit? Aku tidak sakit!"

"Maksudku, penyakit mata keranjang itulah."

Hay Hay yang tadinya memandang serius dan agak khawatir, kini tertawa geli dan gembira.

"Ha-haha, engkau sungguh aneh, Enci Lian. Bagaimana orang kawin dapat didorong-dorong? Kawin haruslah berdasar cinta, dan sampai saat ini, belum ada wanita yang kucinta. Mengenai penyakit itu, ah, aku tidak menganggapnya sebagai penyakit. Salahkah kalau aku suka kepada wanita, kagum dengan tulus hati, bukan karena pengaruh nafsu? Siapa dapat menyalahkan orang yang suka akan kembang yang indah? Bagiku, wanita bagaikan bunga. Seperti engkau ini, Enci. Engkau seperti setangkai bunga teratai yang amat indah, lihat sepasang matamu, demikian jernih dan jeli seperti mata seekor burung merpati, wajahmu berbentuk demikian manisnya memiliki daya tarik yang amat kuat, terutama sekali bibirmu yang segar merah membasah, kedua pipimu kemerahan seperti kelopak teratai bermandi embun, rambutmu....."

"Stop! Stop!" Hui Lian berseru sambil menutupi kedua telinganya dengan kedua tangan, akan tetapi sambil tertawa. "Lihat itu! Setiap kali membuka mulut, terus saja memuji-muji! Engkau benar-benar pria mata keranjang nomor satu di dunia, belum pernah aku bertemu dengan laki-laki seperti engkau, Hay-te. Biasanya kalau seorang memuji wanita, maka tentu ada udang di balik batu, ada maunya. Pria merayu untuk menjatuhkan hati wanita, akan tetapi engkau tidak demikian. Engkau memuji-muji karena memang engkau mengagumi wanita, akan tetapi pujianmu mengalahkan segala perayu-perayu wanita yang berpamrih menjatuhkan dan menguasai."

"Kenapa engkau menutupi telingamu tadi, Enci Lian? Apakah... apakah kata-kataku tidak menyenangkan? Apakah engkau tidak senang kalau kecantikanmu kugambarkan dengan sejujurnya?"

Kembali Hui Lian tertawa.
"Tidak senang? Hi-hik, hati wanita manakah di dunia ini yang tidak senang mendengar pujian, apalagi kalau pujian itu diucapkan sedemikian indahnya, oleh seorang pemuda
seganteng engkau? Aku hanya takut kalau-kalau akan jatuh pingsan dan menjadi lemas karena pujianmu yang melangit itu. Sudahlah, Hay-te, kini tiba saatnya kita berpisah."

"Berpisah? Kenapa Enci?"

Hay Hay terbelalak memandang seperti orang terkejut. Demikian menyenangkan keadaan wanita itu sehingga ketika mendengar bahwa mereka harus saling berpisah, dia terkejut.

Melihat keadaan pemuda itu, Hui Lian tersenyum.
"Anak bodoh, kita bukan apa-apa, hanya kebetulan bertemu di jalan dan menjadi sahabat. Apa kau kira kita harus terus begini dan tidak pemah saling berpisah? Kita masing-masjng mempunyai urusan sendiri dan aku harus melanjutkan perjalananku. Sudah terlalu lama perjalananku tertunda oleh ulah gerombolan penjahat itu."

"Akan tetapi, Enci Lian." Hay Hay yang masih ingin terus bersama wanita itu membantah, "urusan kita dengan gerombolan itu belum selesai! Kita telah mereka lukai, dan mereka itu jahat sekali. Apakah engkau tidak ingin menyerbu lagi kesana dan membasmi orang-orang jahat itu? Kalau mereka itu dibiarkan merajalela, tentu mereka hanya akan mendatangkan kekacauan dan mengganggu rakyat yang tidak berdosa."

"Engkau benar, Hay-te, dan memang sudah sepatutnya kalau kita membasmi gerombolan itu. Akan tetapi ketahuilah bahwa pada waktu ini, aku mempunyai urusan pribadi yang amat penting yang harus kuselesaikan lebih dulu. Oleh karena itu, selamat berpisah, Hay-te, dan terima kasih atas segalanya. Mudah-mudahan kelak kita akan dapat saling bertemu pula."

Setelah berkata demikian, Hui Lian meloncat ke dalam guha, mengambil buntalan pakaiannya, menggendongnya di punggung, kemudian iapun keluar pula dan setelah memandang kepada Hay Hay yang sudah bangkit berdiri sejenak, iapun meloncat pergi.

"Enci Lian .....!" Hay Hay memanggil sambil mengejar.

Hui Lian berhenti dan membalikkan tubuh. Mereka berdiri saling pandang dan Hay Hay melangkah menghampiri.

"Ada apakah, Hay-te?"

Hui lian bertanya manis, diam-diam iapun merasakan kekecewaan bahwa ia harus berpisah dari pemuda yang amat menyenangkan hatinya ini.

"Enci, setelah apa yang kita alami bersama, walaupun dalam waktu singkat, sejak dari sayembara suku bangsa Miao itu sampai kita dikeroyok oleh gerombolan penjahat dan hampir kita tewas, setelah semua itu, apakah kini kita harus saling berpisah begini mendadak? Enci, hatiku terasa sedih dan seperti terbetot ketika engkau pergi meninggalkan aku."

"Hay-te, ada pertemuan dan ada perpisahan, hal seperti itu sudah lumrah bukan? Kita dapat bersyukur bahwa kita berpisah sebagai dua orang sahabat yang baik dan aku yakin bahwa kelak kita pasti akan dapat saling berjumpa pula." Wanita itu menarik napas panjang dan menyentuh lengan Hay Hay. "Nah, selamat tinggal Hay-te, jangan murung seperti anak kecil. Ingat, engkau telah dewasa dan engkau pemuda ganteng mata keranjang perayu wanita nomor satu di dunia!" Hui Lian berkelakar untuk menggembirakan sahabat barunya itu, sambil membalik lagi untuk pergi.

Hay Hay memegang tangannya sehingga wanita itu kembali membalik dan memandang heran.

"Enci, sebelum kita berpisah, sebelum engkau meninggalkan aku, aku... ingin... aku ingin minta sesuatu darimu, bolehkah?"

Hui Lian memandang sambil tersenyum manis, giginya mengintai dari balik bibir yang merah.

"Minta apakah, adikku yang baik?"

"Aku... aku ingin... menciummu untuk kujadikan kenangan tentang dirimu, Enci. Bolehkah? Jangan... jangan marah lagi..."

Hay Hay kelihatan khawatir kalau-kalau wanita itu menjadi marah. Akan tetapi Hui Lian tidak marah. Ia sudah mulai mengenal watak pemuda ugal-ugalan ini, Seorang pemuda romantis sekali, namun berhati baja dan kuat mempertahankan kebenaran, tidak mudah
tersesat. Ia tersenyum dan mengajukan pipinya.

"Tentu saja boleh. Nah, ciumlah!" katanya.

Melihat wanita itu menyerahkan atau menyodorkan pipinya yang kemerahan itu, Hay Hay girang sekali, maju merangkul dan mencium pipi yang hangat itu. Diciumnya kedua pipi Hui Lian, kemudian bibirnya dan terdengar Hui Lian merintih kemudian wanita ini balas merangkul dan mencium Hay Hay penuh nafsu bernyala.

Mula-mula ia seperti berkelakar menyodorkan pipinya, akan tetapi ciuman-ciuman Hay Hay itu ternyata secara wajar membangkitkan gairahnya dan kini ialah yang menyerang. Hay Hay mencium leher Hui Lian dan menghisap keharuman keringat di leher itu.

“Sudah... cukup... cukup!"

Hui Lian terengah-engah, kedua matanya terpejam dan biarpun ia membisikkan kata-kata itu, tetap saja kedua lengannya merangkul. Hay Hay dengan lembut melepaskan pelukannya dan melepaskan lingkaran kedua lengan Hui Lian yang bagaikan ular-ular
membelit lehernya.

"Terima kasih, Enci Hui Lian. Selama hidup, aku tidak akan melupakan engkau, Enci. Engkau sahabatku yang paling baik dan semoga Thian memberkahimu, semoga engkau akan memperoleh seorang jodoh yang benar-benar mencintamu dan semoga engkau hidup berbahagia."

Sampai beberapa saat lamanya Hui Lian masih memejamkan mata dan terengah-engah, kemudian ia dapat menguasai dirinya dan membuka mata, memandang wajah Hay Hay.

"Aihhh, Hay-te, engkau sungguh seorang laki-laki berbahaya sekali. Selamat tinggal, Hay-te, akupun selamanya takkan pernah melupakanmu. Selamat tinggal!"

Wanita itu meloncat dan berkelebat lenyap, diikuti pandang mata Hay Hay yang menjadi agak basah. Entah bagaimana, dia merasa kasihan sekali kepada wanita itu, dan harus diakuinya bahwa berdekatan dengan wanita itupun merupakan ancaman bahaya yang amat besar baginya. Setiap kali menyentuh Hui Lian, dia diserang oleh gairah yang amat kuat, dan hanya dengan pengerahan seluruh tenaganya saja dia mampu mempertahankan diri.

Malam tadi dia nyaris tergelincir, bahkan ketika mereka berciuman tadi, nyaris dia tidak kuat bertahan! Memang sebaiknya kalau mereka saling berpisah! Diapun mengambil buntalan pakaiannya dan meninggalkan guha itu.

**** 127 ****
Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar