*

*

Ads

Minggu, 13 Mei 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 112

Hui Lian mengangguk-angguk.
"Hemm, berat juga. Dan tadinya engkau yakin akan dapat menang?"

Kiao Yi menarik napas panjang.
"Sejak kecil saya sudah mempelajari semua ilmu ketangkasan suku kami dan melihat kemampuan teman-teman yang memasuki sayembara, saya dapat mengharapkan untuk menang. Akan tetapi sekarang... ah, tak mungkin lagi…." Wajahnya nampak sedih sekali.

"Sudahlah, Anakku, jangan berduka. Memang agaknya Nian Ci bukan jodohmu. Lebih baik engkau menjaga dirimu agar cepat sembuh, dan aku akan mencarikan gantinya Nian Ci. Puteri Bibimu Mang juga cantik dan…"

"Tidak, Ibu! Kalau tidak dengan Nian Ci, aku tidak mau menikah!"

"Anakku……!"

lbu itu menangis. Metihat ini, tergerak hati Hui Lian. Pemuda ini sudah saling mencinta dengan Nian Ci, kalau sampai gagal perjodohan mereka, tentu akan mendukakan kedua orang muda itu. Dan lebih lagi, ia merasa curiga sekali. Kiao Yi makan-makan bersama belasan orang pemuda temannya yang juga akan menjadi saingannya itu. Dia keracunan, akan tetapi mengapa pemuda-pemuda yang lain tidak? Agaknya tentu ada permainan kotor disini! Hal inilah yang membuat ia penasaran sekali.

"Kiao Yi, karena engkau sedang sakit, biarlah aku yang akan mewakilimu maju dalam sayembara itu. Aku akan berusaha sampai menang agar engkau dapat menikah dengan Nian Ci." katanya.

Sepasang mata pemuda itu terbelalak dan pandang matanya menatap wajah Hui Lian penuh selidik.

"Kak Hui Lian, apakah engkau pernah melihat Nian Ci?"

Hui Lian menggeleng kepala.
"Secara kebetulan saja aku bertemu dengan penggembala domba itu dan ikut kesini."

Pemuda itu nampaknya semakin heran. Tadinya dia mengira bahwa tentu pemuda Han ini melihat Nian Ci dan tertarik oleh kecantikan gadis kepala suku itu.

"Kalau begitu, mengapa engkau hendak ikut sayembara?"

"Aku ingin mencegah agar Nian Ci tidak menikah dengan orang lain, kecuali denganmu."

"Kak Hui Lian, engkau sudah menolong saya, sekarang hendak melakukan hal itu lagi? Tidak, engkau boleh memasuki sayembara, akan tetapi kalau menang, biarlah Nian Ci menjadi isterimu. Ia cantik jelita dan menarik, juga pandai sekali. Daripada ia terjatuh ke tangan pemuda lain, saya rela kalau ia menjadi isterimu!"

"Tidak, Kiao Yi, aku melakukannya untukmu."

"Mana bisa? Sayembara itu bukan tidak berbahaya, terutama sekali ujian diserang anak panah dan adu ilmu berkelahi itu. Bisa terluka, bahkan bisa tewas!"

"Akan tetapi aku yakin akan dapat menangkan mereka, Kiao Yi." .

"Tapi... tapi... Kak Hui Lian, kenapa engkau tidak mau menerima hadiahnya? Kenapa engkau tidak mau menikah dengan Nian Ci kalau menang, melainkan hendak memberikan gadis itu kepadaku? Kenapa?"






Melihat betapa pemuda ini berkeras dan agaknya akan menolak kalau ia tidak berterus terang, Hui Lian tersenyum.

"Kiao Yi, memang ada rahasianya mengapa aku tidak mau menikah dengan Nian Ci atau gadis mana saja di dunia ini. Akan tetapi, kalau aku membuka rahasia ini kepadamu agar engkau tidak penasaran, dapatkah engkau menjaga agar rahasia ini tidak bocor dan diketahui orang lain?"

“Saya bersumpah tidak akan membocorkannya!" kata Kiao Yi dan pemuda ini minta kepada ibunya agar meninggalkan mereka berdua.

Ibu yang tahu diri itupun keluar dan setelah tinggal berdua saja, Hui Lian berkata lirih.
"Kiao Yi, ketahuilah mengapa aku tidak dapat menikah dengan Nian Ci, karena sesungguhnya aku adalah seorang wanita yang menyamar sebagai pria."

Kiao Yi terkejut sekali. Kalau saja tubuhnya tidak selemah itu, tentu dia sudah meloncat turun dari pembaringannya. Dia memandang dengan mata terbelalak dan sejenak dia tidak mampu mengeluarkan kata-kata. Akhirnya dia bicara, suaranya berat dan gemetar.

"Kalau begitu, sungguh.... lebih tidak mungkin lagi. Sebagai seorang wanita, bagaimana... bagaimana engkau dapat melakukan semua ujian dalam sayembara ...?"

Kembali Hui Lian tersenyum.
"Jangan khawatir, percayalah padaku, Kiao Yi. Kalau aku tidak merasa mampu, tentu aku tidak menawarkan diri mewakilimu.”

Kiao Yi teringat akan cerita yang pernah didengarnya, yang dianggapnya sebagai dongeng, tentang wanita-wanita pendekar diantara bangsa Han.

"Apakah... apakah... engkau seorang pendekar wanita?"

Untuk meyakinkan hati pemuda itu, Hui Lian mengangguk.
"Nah, cukuplah, jangan dibicarakan lagi hal itu. Bersikaplah seolah-olah aku masih seperti tadi, seorang sahabat laki-laki. Dan namaku tetap Hui Lian, karena memang itulah namaku."

Kiao Yi girang sekali. Kalau seorang pendekar wanita yang menolongnya, tentu dia akan berhasil menikah dengan gadis kekasihnya itu! Dia lalu berteriak memanggil ibunya yang tergopoh-gopoh memasuki kamar.

"Ibu, kakak Hui Lian ini akan mewakili aku dalam sayembara dan aku yakin dia pasti dapat menang. Ibu persiapkan saja segala keperluan untuk pernikahanku dengan Nian Ci. Dan berikan kamar tidur besar kepada Kakak Hui Lian. Ibu tidur disini bersamaku."

Ibunya memandang puteranya dengan heran. Mengapa tamu muda itu tidak tidur saja bersama Kiao Yi? Bukankah hal itu lebih tepat, pemuda tidur dengan pemuda? Akan tetapi karena tamu itu merupakan orang terhormat, iapun tidak membantah dan cepat meninggalkan kamar itu untuk membersihkan kamar besar.

**** 112 ****
Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar