*

*

Ads

Minggu, 13 Mei 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 111

Tentu saja Hui Lian tidak berani lagi memperlihatkan sikap marah. Siapa orangnya yang tidak ingin disebut tampan dan baik hati? Ia tersenyum, kini senyumnya lebih manis dan ramah, akan tetapi karena ia masih merasa curiga kalau-kalau pemuda bercaping ini mempermainkannya, iapun berkata.

“Tentu saja aku marah kalau engkau pecengisan?”

“Pecengisan? Apa itu?” tanya Si Pemuda Bercaping.

“Pecengisan itu tidak bersungguh-sungguh dan memperolokku! Engkau tidak sedang mempermainkan aku, bukan?”

“Wah, tidak! Tidak! Mana bisa aku mempermainkan? Engkau begini tampan dan gagah, begini baik, mana aku berani?”

“Nah, kalau begitu, tanggalkan dulu capingmu yang selalu menutupi mukamu agar aku dapat bicara sambil memandang mukamu!”

Pemuda itu menanggalkan capingnya dengan cara mendorong caping itu ke belakang dan kini benda itu tergantung di belakang tubuhnya karena talinya tergantung di leher, dan caping itu menutupi buntalan pakaiannya yang digendongnya.

Hui Lian semakin kagum. Ternyata pemuda ini ganteng bukan main! Pakaiannya yang berwarna biru muda itupun sederhana, namun bersih, juga rambutnya hitam sekali, terawat baik.

“Nah, begitu baru baik. Sekarang katakan, bagaimana engkau tahu-tahu dapat berjalan bersama penggembala ini? Dimana engkau ketika ada orang mencuri domba-domba itu tadi?”

“Aku kebetulan saja lewat dan melihat engkau berkelahi melawan empat orang iblis tadi. Melihat adik penggembala ini ketakutan, aku lalu mengajaknya pergi dan menghalau semua domba-dombanya, menjauhi tempat itu karena takut kalau-kalau ada orang jahat lagi yang akan merampas dombanya. Bagaimana dengan perkelahian tadi? Menangkah engkau? Dan dimana mereka itu?”

Hui Lian mengangguk-angguk. Kiranya hanya orang lewat secara kebetulan saja.
“Aku telah berhasil mengusir mereka,” jawabnya singkat. “Mereka itu orang-orang berbahaya sekali, aku harus mengantar adik penggembala ini sampai kerumahnya.”

“Wah, kebetulan sekali kalau begitu. Akupun tadinya hendak mengantarnya, akan tetapi aku takut kalau-kalau ketemu orang jahat. Kalau engkau yang suka mengantarnya, hatiku menjadi lega, Toako. Aku akan melanjutkan perjalananku. Selamat berpisah, senang sekali dapat bertemu seorang yang demikian gagah perkasa seperti engkau.”

Pemuda itu mengenakan lagi capingnya, lalu memisahkan diri dengan langkah lebar menuju ke kiri. Kepada anak penggembala itu dia hanya tersenyum dan melambaikan tangan, dibalas oleh penggembala itu.

“Dimana dusunmu?”

Hui Lian bertanya kepada Si Penggembala setelah orang bercaping lebar itu lenyap di balik pohon-pohon.

Anak itu menunjuk ke sebuah bukit gundul yang berada di depannya.
“Di balik bukit itu.”

“Hemm, kenapa engkau menggembala domba sedemikian jauhnya?”

“Disana tidak ada rumput baik, dan domba-domba ini harus diberi makan rumput yang segar agar mereka tetap sehat dan segar kalau disembelih esok lusa.”

“Disembelih? Semua ini…?”

Hui Lian memandang kepada domba-domba itu, dan baru sekarang timbul perasaan ngeri mendengar bahwa domba-domba yang jinak dan manis itu akan disembelih semua! Melihat betapa binatang-binatang yang jinak dan lemah ini, yang ketika digiring dan mengembik nampak sekali tidak berdaya, kini hendak disembelih semua, timbul perasaan kasihan dan ngeri. Padahal, sejak kecil daging domba sudah dimakannya dan belum pernah ia teringat kepada dombanya kalau sedang makan daging domba.

"Ya, semua ini dan masih banyak lagi. Kepala suku kami hendak mengadakan pesta pemilihan suami untuk puterinya. Wah, akan ramai sekali karena pemilihan sekali ini pakai sayembara mengadu ilmu ketangkasan!"






Tentu saja Hui Lian merasa tertarik sekali. Pernah ia mendengar tentang suku bangsa yang mempunyai kebiasaan bermacam-macam mengenai pernikahan, dan iapun pernah mendengar akan kebiasaan sayembara untuk memperebutkan seorang wanita cantik, terutama puteri kepala suku.

"Apakah aku boleh nonton?" tanyanya, menggunakan bahasa Miao yang hanya dikuasainya setengah matang, namun cukup untuk dapat dipakai berkomunikasi dengan anak penggembala itu.

Anak itu mengangguk.
"Pesta ini memang merupakan pesta suku kami, akan tetapi boleh saja orang luar menonton, bahkan boleh juga kalau ada yang mau mengikuti sayembara. Apalagi engkau yang telah menyelamatkan domba-domba ini, kepala suku kami tentu akan senang mendengarnya. Marilah ikut bersamaku sampai ke dusun dan kuperkenalkan kepada kepala suku."

Hui Lian yang memang sedang merantau dan ingin mengalami hal-hal baru, mengangguk senang. Mereka mendaki bukit didepan dan ketika tiba di puncak bukit, anak itu menuding ke bawah.

"Nah, disanalah perkampungan kami.”

Di bawah bukit itu nampak perkampungan dari rumah-rumah sederhana. Akan tetapi perhatian Hui Lian tertarik kepada sebuah tubuh yang menggeletak tak jauh dari situ, telentang seperti sudah tak bernyawa saja.

"Disana ada orang….." katanya dan cepat menghampiri, diikuti oleh anak penggembala itu yang berlari-lari di belakang Hui Lian.

“Aih, dia Kiao Yi!” tiba-tiba penggembala itu berseru. "Tuan, apakah dia... dia mati ….?” Wajahnya pucat dan matanya terbelalak penuh kekhawatiran.

Hui Lian cepat memeriksa. Orang itu belum mati, akan tetapi lemah sekali dan pingsan. Melihat mukanya yang agak kebiruan, dan mulutnya yang mengeluarkan busa, ia dapat menduga bahwa tentu orang ini telah keracunan. Suhengnya pandai membuat obat anti racun, dan ia juga membawa obat itu untuk bekal dalam perjalanan.

"Tidak, dia belum mati. Cepat cari air untuk kuberi minum obat padanya." kata Hui Lian.

Penggembala itu lalu mengeluarkan guci tempat air yang dibawanya untuk bekal. Hui Lian mengeluarkan satu butir pel putih dan memaksa orang yang pingsan itu menelan pel bersama air yang diminumkannya, dibantu oleh penggembala itu.

Hui Lian lalu menotok sana-sini. Orang itu masih muda, paling banyak dua puluh lima tahun usianya, kulitnya kecoklatan seperti bangsa Miao pada umumnya, kepalanya memakai kain kepala yang dilibat-libatkan seperti sorban, dan wajahnya cukup tampan.

Pemuda Miao itu mengeluh, lalu siuman dan membuka mata lalu bangkit dan muntah-muntah, legalah hati Hui Lian. Kalau pemuda itu muntah, hal itu berarti dia tertolong nyawanya, karena racun itu ikut tertumpah keluar. Setelah semua isi pencernaannya tertumpah keluar, agaknya pemuda itu baru melihat adanya Hui Lian dan penggembala itu.

Dia mengenal penggembala itu, akan tetapi heran melihat Hui Lian. Anak penggembala itu cepat memberi tahu bahwa Hui Lian adalah orang yang telah mengobatinya. Pemuda itu lalu cepat memberi hormat dan menghaturkan terima kasih.

"Tak perlu berterima kasih." kata Hui Lian dengan bahasa yang kaku. "Lebih baik ceritakan bagaimana engkau berada disini, pingsan dan keracunan."

Pemuda yang bernama Kiao Yi itu mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala.
"Saya sendiri tidak tahu. Tadi saya bersama para pemuda lain, terutama mereka yang hendak mengikuti sayembara, makan-makan bersama. Kemudian saya merasa perutku tidak enak dan saya menjauhkan diri pergi kesini. Makin lama semakin nyeri rasa perutku dan saya tidak ingat apa-apa lagi."

"Hemm, engkau keracunan, tentu dalam makanan itu terdapat racunnya." kata Hui Lian.

"Ah, kalau begitu semua temanku tentu keracunan pula! Saya harus segera kembali kesana untuk melihatnya!"

Kiao Yi meloncat bangun, akan tetapi segera terguling roboh lagi dan dia mengeluh. Kepalanya pening dan tubuhnya lemah sekali.

"Engkau sudah terhindar dari bahaya maut, akan tetapi masih lemah dan sedikitnya harus beristirahat sampai seminggu barulah akan pulih kembali kesehatanmu."

"Ah, mana bisa begitu?" Kiao Yi berteriak kaget. "Saya harus mengikuti sayembara itu! Tidak mungkin saya membiarkan saja tidak ikut dan kekasih saya jatuh ke tangan orang lain!"

Anak gembala itu lalu menerangkan kepada Hui Lian.
"Kakak Kiao Yi ini adalah kekasih Nian Ci, puteri kepala suku kami, dan juga dia paling gagah diantara para pemuda kami. Sudah dapat dipastikan bahwa dia tentu akan menang dalam sayembara, apalagi memperoleh dukungan puteri kepala suku kami. Akan tetapi sekarang dia sakit…."

Kiao Yi mencoba untuk bangkit lagi, akan tetapi kembali dia harus terduduk kembali sambil memegangi kepala dengan kedua tangan karena kepalanya seperti melayang rasanya dan pandang matanya terputar.

"Jangan dipaksa berdiri, engkau harus beristirahat. Jelas bahwa engkau tidak mungkin dapat mengikuti sayembara itu, apalagi kalau sayembara itu dilakukan besok pagi. Apakah tidak bisa ditunda dan diundurkan sampai seminggu lagi agar engkau sembuh lebih dulu?"

"Tidak mungkin." jawab Kiao Yi. "Hari telah diputuskan oleh kepala suku, dan tidak mungkin dirobah atau diundurkan, semua persiapan telah dilakukan. Ah, Nian Ci... Nian Ci... agaknya Langit dan Bumi tidak menghendaki kita menjadi suami isteri " Pemuda itu nampak berduka sekali.

Pada saat itu terdengar suara gaduh dan ketika Hui Lian menoleh, ternyata ada belasan orang pemuda berlari-lari naik ke bukit itu. Melihat mereka, anak penggembala itu lalu mengangkat tongkatnya dan berteriak-teriak memanggil.

Mereka berlarian naik dan nampak oleh Hui Lian bahwa mereka adalah pemuda-pemuda yang bertubuh sehat dan kuat, juga sikap mereka gembira. Akan tetapi, ketika mereka tiba disitu melihat adanya seorang asing, mereka memandang heran dan sibuklah anak penggembala itu menceritakan betapa domba-dombanya hampir dirampok orang, akan tetapi dia ditolong oleh pemuda bangsa Han.

Selain itu diceritakannya pula betapa ketika pemuda Han itu mengantar dia pulang, di puncak itu mereka menemukan Kiao Yi dalam keadaan pingsan dan pemuda itu pula yang telah menolong dan mengobatinya.

“Dan aku harus beristirahat seminggu baru akan pulih kembali kesehatanku!" Kiao Yi mengeluh kepada teman-temannya. "Dan aku tidak bisa ikut sayembara itu... ah, betapa sial nasibku….!”

Hui Lian memandang kepada belasan orang muda itu, lalu bertanya kepada Kiao Yi.
"Mereka inikah yang makan-makan bersamamu tadi?"

Kiao Yi mengangguk.
"Untung di antara mereka agaknya tidak ada yang keracunan seperti aku."

Para pemuda itu lalu menggotong Kiao Yi yang lemah turun dari bukit, diikuti oleh penggembala domba dengan domba-dombanya, dan Hui Lian yang semakin tertarik juga mengikuti mereka.

Setelah tiba di perkampungan itu, para pemuda membawa Kiao Yi ke dalam rumahnya, disambut oleh ibu pemuda itu dengan bingung. Kiao Yi sudah tidak berayah lagi, dan ibunya menjadi khawatir sekali melihat keadaan puteranya. Akan tetapi ketika mendengar bahwa Hui Lian adalah pemuda Han yang telah menolong puteranya, ia mempersilakan Hui Lian masuk ke dalam rumah sebagai seorang tamu yang dihormati.

Setelah penggembala itu dan para pemuda pergi, Hui Lian yang duduk di dekat pembaringan Kiao Yi, bertanya.

"Namamu Kiao Yi, bukan? Aku tadi mendengarnya dari penggembala."

"Benar sekali." jawab pemuda yang lemah itu.

"Dan namaku Hui Lian. Kiao Yi, apa saja yang harus dilakukan dalam sayembara yang akan diadakan besok itu?"

"Ada lima macam. Pertama diadu kemahiran menunggang kuda dan mempergunakan anak panah sambil berkuda. Kedua diadu kecepatan menangkap seekor rusa muda. Ketiga diharuskan melawan seekor kerbau. Keempat, diserang tiga kali dengan anak panah dalam jarak seratus meter, dan kelima siapa yang bisa lulus dalam ujian sampai empat macam itu diharuskan mengadu ilmu berkelahi. Sebagai ujian saringan bagi para pengikut harus membawa sebuah batu besar meloncat ke atas panggung."

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar