*

*

Ads

Selasa, 24 April 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 070

Telah lama terjalin persahabatan antara pimpinan Kang-jiu-pang dan pimpinan Pek-sim-pang, maka dapat dibayangkan betapa gembira pihak Pek-sim-pang menerima kunjungan para sahabat mereka itu. Karena sudah menjadi sahabat yang akrab dan lama, maka Souw Bwee dan Pek Eng tidak ketinggalan menyambut para tamu, walaupun tamu itu hanya tiga orang laki-laki belaka. Pek Eng juga sudah mengenal Song Bu Hok, bahkan sudah berteman dengan pemuda tinggi besar itu.

Ketika pihak tuan rumah yang diikuti oleh Hay Hay keluar dari dalam, tiga orang tamu yang tadinya duduk di ruangan tunggu itu bangkit berdiri dan memberi hormat.

"Aihh, angin apakah yang membawa Sam-wi melayang-layang kesini dari Cin-an?" kata Pek Kong dengan gemblra.

"Kami harap Pangcu sekeluarga dalam sehat dan Kang-jiu-pang menjadi semakin besar dan jaya." kata pula Pek Ki Bu dengan wajah gembira.

Dia pun telah menjadi sahabat Song Pak Lun ketika kakek itu masih hidup dan menjadi Ketua Kang-jiu-pang.

"Kami baik-baik saja, terima kasih dan mudah-mudahan Pek-sim-pang semakin maju dan para keluarga Pek juga dalam sehat bahagia." jawab Song Un Tek dan Song Un Sui dengan ramah.

Akan tetapi Song Bu Hok yang tadinya memandang kepada Pek Eng dengan wajah berseri, kini mengerutkan alisnya melihat munculnya seorang pemuda tampan yang tak dikenalnya di belakang gadis itu. Dia menatap tajam dan lupa untuk memberi salam.

"Bu Hok, kenapa engkau diam saja?” ayahnya menegur dan menoleh, kemudian diapun melihat ke arah yang dipandang puteranya dan dia melihat pula pemuda di belakang Pek Eng itu.

"Pek-locianpwe dan Paman Pek Kong, terimalah hormat saya. Bibi, terimalah hormat saya." kata Bu Hok.

Akan tetapi kini Song Un Tek yang menatap tajam ke arah Hay Hay, lalu berseru.
"Aha! Kalau tidak keliru dugaanku, pemuda yang gagah ini tentu putera kalian, Pek Han Siong alias Sin-tong itu yang sudah pulang! Benarkah?"

Mendengar seruan ayahnya, pandang mata yang tadinya keruh dan penuh curiga dari Bu Hok segera terganti cerah dan berseri.

"Aih, Eng-moi, inikah kakakmu yang amat terkenal sebagai Sin-tong?" tanyanya kepada Pek Eng.

"Jangan sembarang sangka, Song-toako!" kata Pek Eng cemberut.

Tak senang hatinya mendengar sangkaan orang bahwa ia adalah adik Hay Hay, pemuda mata keranjang keturunan jai-hwa-cat itu!

"Kalian salah sangka." Pek Kong menerangkan dengan ramah. "Pemuda ini adalah seorang tarnu kami yang baru saja datang, namanya adalah... Tang Hay. Mari silakan duduk di dalam."

Berbondong-bondong mereka memasuki rumah dan tak lama kemudian mereka sudah duduk di ruangan dalam yang luas. Hay Hay yang juga dipersilakan duduk, mengambil tempat duduk di sudut, agak jauh dari rombongan tamu dan tuan rumah yang sedang bercakap-cakap dengan meriah dan gembiranya itu. Bahkan dia melihat betapa Pek Eng bercakap-cakap dengan ramah pula bersama pemuda tinggi besar yang gagah itu.

Akan tetapi dia melihat pula pemuda tinggi besar itu berkali-kali melempar kerling ke arahnya, dengan sinar mata yang tidak ramah, akan tetapi dia pura-pura tidak melihatnya.

"Song-pangcu, bagaimana kabarnya di kota raja? Engkau baru saja datang dari sana, dekat kota raja, tentu banyak mendengar tentang keadaan disana. Jangan-jangan kalian ini datang membawa kabar buruk yang akan membangkitkan kembali Kang-jiu-pang menjadi pejuang-pejuang yang gagah dan mengobarkan perang!” kata Pek Kong.

"Ah, untung tidak demikian, Pek-pangcu. Keadaan kota raja kini tenteram saja semenjak Kaisar Cia Ceng memegang tahta kerajaan. Semua ini berkat kebijaksanaan dua orang Tiong-sin (Menteri Setia) di istana …."

"Kau maksudkan dua orang Menteri Yang Ting Hoo dan Cang Ku Ceng?" Pek Ki Bu menyela.

"Benar sekali, Paman." kata Song Un Tek.






Kakek Pek Ki Bu menarik napas panjang.
"Benar kata para cerdik pandai di jaman dahulu bahwa kalau negara merupakan sebatang pohon besar, maka kaisar dan para pejabat tinggi yang membantunya merupakan batang dan akar-akarnya. Kalau batang dan akar-akarnya sehat dan subur, maka semua cabang, ranting, daun dan bunga serta buahnya tentu akan sehat dan subur pula. Sebaliknya, kalau kaisar dan para pembesar yang membantunya busuk, tentu negara akan menjadi rapuh dan kehidupan rakyat menjadi sengsara."

"Benar sekali, Paman." kata pula ketua Kang-jiu-pang. "Memang besar sekali jasa dua orang menteri bijaksana itu, sehingga para Kan-sin (Menteri Durna) menjadi keder dan kehilangan pengaruh, bahkan banyak yang mengundurkan diri. Mudah-mudahan saja Sribaginda Kaisar Cia Ceng ini akan dapat membuat Kerajaan Beng menjadi benar-benar Beng (Terang) dan rakyat dapat hidup sejahtera."

"Sayang sekali bahwa para pimpinan itu tidak seperti akar dan batang pohon yang hanya bekerja demi kehidupan pohon seutuhnya, juga kepentingan daun-daunnya, cabang ranting kembang dan buahnya. Para pimpinan itu biasanya hanya memikirkan kepentingan dan kesenangan diri sendiri belaka. Di waktu perjuangan, mereka membujuk rakyat, menggandeng rakyat untuk memperoleh kekuatan, dengan segala macam slogan dan kata-kata indah patriotik, akan tetapi setelah berhasil memperoleh kemenangan dan mereka itu berkuasa, mereka lupa sama sekali kepada rakyat jelata. Mereka lupa bahwa tanpa dukungan rakyat, tanpa bantuan rakyat, mereka tidak mungkin dapat memperoleh kemenangan dan memperoleh kedudukan mereka yang sekarang." kata Kakek Pek Ki Bu.

Song Un Tek, ketua Kang-jiu-pang tersenyum lebar dan mengangguk-angguk.
"Kiranya hal itu tidak mengherankan, Paman, karena bagaimanapun juga, para pimpinan itu hanyalah manusia-manusia biasa dan manusia memang lemah, mudah mabok kekuasaan. Akan tetapi, ada pula pemimpin yang benar-benar memperhatikan kepentingan rakyat jelata, ada yang agak memperhatikan, dan ada pula yang sama sekali tidak. Yang sama sekali tidak memperhatikan ini, yang hanya mengejar kesenangan pribadi berlandaskan kekuasaan yang didapatnya dengan bantuan rakyat, adalah pembesar lalim dan orang seperti itu pasti lambat laun akan digilas oleh roda perputaran dunia yang adil."

Kedua pimpinan perkumpulan orang-orang gagah itu bercakap-cakap tentang perjuangan, tentang kepahlawanan, didengarkan oleh Hay Hay yang diam-diam merasa kagum kepada mereka. Dia sendiri tidak tertarik oleh urusan itu, namun dia dapat merasakan bahwa kedua pihak yang sedang bercakap-cakap itu memang orang-orang gagah perkasa yang patut dihormati.

Kalau dia teringat betapa orang-orang muda seperti Pek Eng dan Song Bu Hok ini adalah keturunan orang-orang tua yang gagah perkasa dan terhormat, sedangkan dia sendiri adalah anak seorang jai-hwa-cat, hatinya terasa seperti ditusuk-tusuk dan dia pun menundukkan mukanya, merasa betapa dirinya rendah dan hina. Akan tetapi hanya sebentar saja dia berhal demikian. Wataknya yang periang dan tidak pernah mau terbenam di dalam perasaannya, membuat wajahnya menjadi cerah.

"Song-pangcu, selain ingin bertemu karena rindu, agaknya Pangcu mempunyai urusan penting yang dibawa dari rumah. Benarkah dugaanku itu dan kalau memang ada urusan penting, harap segera disampaikan kepada kami." Pek Kong berkata kepada temannya.

Song Un Tek tertawa dan mengangguk-angguk, mengelus jenggotnya yang pendek dan lebat.

“Tidak salah dugaanmu, Pek-pangcu. Aku teringat akan permufakatan kita pada awal perkenalan kita dahulu dan ingin sekali menegaskan kepada keluarga Pek. Akan tetapi karena yang akan dibicarakan ini urusan orang-orang tua, dapatkah kita bicara sendiri?" Dia mengerling ke arah Pek Eng dan Hay Hay.

Pek Kong dan isterinya tersenyum, kemudian Pek Kong berkata kepada puterinya,
"Eng-ji, kau ajaklah Song Bu Hok dan Tang Hay berjalan-jalan di taman bunga. Biar kami orang-orang tua bicara sendiri dan kalian orang-orang muda bersenang-senang di taman."

Sebetulnya Pek Eng ingin mendengarkan terus percakapan mereka, maka hatinya merasa kecewa dan tidak senang mendengar perintah ayahnya. Akan tetapi ia juga tidak berani membantah, maka ia memandang dengan alis berkerut dan merasa malas untuk bangkit berdiri.

"Eng-moi, marilah!" Tiba-tiba Song Bu Hok yang bangkit lebih dulu dan berkata dengan wajah berseri. "Mari kita pergi ke taman, aku ingin sekali melihat betapa hebatnya kemajuan ilmu silatmu sejak dua tahun yang lalu."

Ajakan ini membuat Pek Eng bangkit berdiri dan timbul kegembiraannya. Memang gadis ini paling suka kalau bicara tentang ilmu silat, apalagi untuk saling menguji kepandaian.

Dua tahun yang lalu pernah ayahnya mengajak ia merantau dan singgah di perkampungan Kang-jiu-pang dimana ia berkenalan dengan Song Bu Hok, bahkan berkesempatan untuk saling menguji kepandaian masing-masing. Akan tetapi pada waktu itu, usianya baru empat belas tahun lebih sedangkan Song Bu Hok sudah berusia dua puluh tahun sehingga tentu saja ia masih kalah matang dalam latihan. Kini, ia telah lebih matang dan ia ingin sekali melihat apakah kini ia dapat mengatasi kepandaian putera Ketua Kang-jiu-pang itu.

"Mari...!” katanya sambil bangkit berdiri dan melangkah pergi bersama putera Ketua Kang-jiu-pang itu.

"Eng-ji, ajak dia!" kata Ibunya sambil menunjuk ke arah Hay Hay yang masih duduk karena tidak diajak pergi.

Barulah Pek Eng teringat akan tetapi alisnya berkerut ketika ia menoleh kepada Hay Hay.

"Mari ikut dengan kami." ajakya, suaranya agak kaku.

Akan tetapi Hay Hay tersenyum ramah. Dia bangkit berdiri dan berkata.
"Terima kasih, Nona, engkau baik sekali!"

Melihat sikap dan mendengar ucapan ini, Bu Hok mengerutkan alisnya dan memandang tajam. Pemuda itu tampan dan pandai menarik hati, pikirnya, dan dia merasa adanya seorang saingan yang berbahaya. Dari mana sih munculnya pemuda ini, pikirnya. Ayah dan pamannya mengajaknya berkunjung ke sini untuk mengajukan pinangan terhadap Pek Eng, untuk menjadi jodohnya, seperti pernah disetujui bersama oleh kedua orang tua mereka ketika mereka masih kecil. Dia sendiri memang telah tergila-gila dan amat tertarik sejak dua tahun yang lalu dia bermain dengan Pek Eng yang ketika itu baru berusia empat belas tahun lebih namun sudah amat lincah menarik.

Kini, dua tahun kemudian, ternyata Pek Eng telah menjadi seorang gadis dewasa yang lebih memikat lagi. Manis bukan main sehingga begitu tadi melihatnya, langsung saja Bu Hok yang memang sudah tertarik sekali itu menjadi jatuh cinta! Akan tetapi disitu terdapat seorang pemuda yang sikapnya demikian manis terhadap Pek Eng!

Bu Hok bersikap acuh saja terhadap Hay Hay ketika dia berjalan di samping Pek Eng menuju ke taman di belakang rumah besar keluarga Pek. Hay Hay berjalan di belakang mereka, tersenyum-senyum dan ingin sekali tahu apa yang akan dilakukan dua orang itu terhadap dirinya yang agaknya tidak diinginkan kehadirannya.

Dari belakang, dia melihat betapa pinggul Pek Eng yang padat itu menari-nari ketika gadis itu berjalan dengan lenggang yang santai dan lemah gemulai. Pinggangnya yang ceking seperti pinggang lebah kemit itu seperti mau jatuh ke kanan kiri, kedua kaki ketika melangkah itu merapat sehingga lututnya saling bersentuhan. Sungguh seorang dara yang mulai mekar dewasa dengan tubuh yang menggiurkan!

Mereka memasuki taman dan ternyata di tengah-tengah taman itu terdapat sebuah taman rumput yang cukup luas dan tempat ini memang biasa dipergunakan Pek Eng untuk berlatih ilmu silat. Enak sekali berolah raga di taman itu, di atas petak rumput dikelilingi bunga-bunga yang indah dan pohon-pohon yang menimbulkan hawa segar. Apalagi berolah raga di waktu pagi-pagi sekali, amat sejuk dan menyegarkan tubuh.

"Eng-moi, aku percaya bahwa engkau sekarang tentu telah memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu silatmu. Maukah engkau memainkan ilmu silat keluargamu agar aku dapat mengaguminya?" kata Bu Hok.

Kalau saja disitu tidak ada Hay Hay, tentu Pek Eng akan suka sekali memamerkan ilmu silat keluarganya. Akan tetapi disitu terdapat Hay Hay dan ia tahu betapa lihainya pemuda ini, jauh lebih lihai dari dirinya, bahkan lebih lihai dari ayahnya dan kakeknya. Bagaimana mungkin ia dapat memamerkan ilmu silatnya di depan seorang yang lihai seperti Tang Hay itu? Ia tentu hanya akan menjadi buah tertawaan saja. Maka sambil melirik ke arah Hay Hay yang berdiri di tepi petak rumput itu, agak menjauh dari mereka, iapun menggeleng kepala.

"Tidak, Song-toako. Aku sedang lelah sekali karena baru saja tadi disini datang tiga orang pendeta Lama yang mengacau. Kami semua turun tangan berkelahi dan aku lelah sekali."

"Ahhhh ……!!" Bu Hok berseru kaget. "Tiga orang pendeta Lama membikin kacau disini? Mana mereka itu sekarang? Biar kuhajar mereka dengan pedangku!" katanya dengan sikap angkuh seolah-olah dengan mudah dia akan mampu membasmi mereka yang berani mengacau keluarga gadis itu.

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar