*

*

Ads

Selasa, 24 April 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 068

Suara ini memiliki kekuatan dan membuyarkan pengaruh sihir atas diri tiga orang pendeta itu. Tiba-tiba Si Pendeta Tinggi Besar berteriak kaget dan memandang batu dalam pondongannya, juga dua orang temannya terbelalak.

"Omitohud... Si Keparat!" teriak pendeta tinggi besar dan dia pun membalik, kemudian dia melontarkan batu besar itu ke arah Hay Hay!

Lontaran ini mengandung tenaga yang amat kuat, membuat batu besar itu meluncur cepat seperti sebuah peluru meriam yang amat besar menuju ke arah tubuh Hay Hay. Pemuda ini terkejut, kalau dia mengelak, batu itu tentu akan menyerang murid-murid Pek-sim-pang yang berada di belakangnya. Kalau menerimanya, dia khawatir tenaganya tidak mampu menahan lajunya lontaran itu. Jalan satu-satunya hanyalah menyambut batu itu dengan pukulan.

Hay Hay mengerahkan tenaga sin-kangnya dan begitu batu menyambar sampai di depannya, dia pun memukul batu itu dengan tangan miring, menggunakan tangan kirinya yang mengandung tenaga sepenuhnya itu.

"Darrr ...!"

Batu besar itu pecah berhamburan, pecahannya yang kecil-kecil melesat ke mana-mana, akan tetapi tidak berbahaya lagi andaikata mengenai orang-orang yang berada di sekitar tempat itu. Kembali semua orang memuji dengan sorak dan tepuk tangan!

Kini tiga orang pendeta Lama itu sudah maju lagi menghampiri Hay Hay dengan pandang mata penuh kemarahan dan dendam. Akan tetapi begitu tiba di depan pemuda itu, Hay Hay membentak,

"Kalian bertiga mau apa? Lihat baik-baki, aku adalah Dalai Lama!"

Dan tiga orang pendeta itu tiba-tiba saja menjatuhkan diri berlutut di depan Hay Hay sambil memberi hormat. Tentu saja semua murid Pek-sim-pang terkejut dan terheran-heran, akan tetapi mereka kini mulai mengerti bahwa pemuda yang luar biasa itu tentu telah mempergunakan ilmu sihir!

Karena mereka dapat menduga bahwa tiga orang pendeta itu kini tentu melihat pemuda itu berubah menjadi Dalai Lama, tentu saja mereka merasa geli dan kembali mereka tertawa-tawa. Suara ketawa ini kembali membuyarkan kekuatan sihir. Suara orang banyak memang mengandung kekuatan yang luar biasa. Tiga orang pendeta itu sadar.

Pendeta kurus pucat meloncat dan menerjang, akan tetapi disambut tamparan oleh Hay Hay yang membuat dia terpelanting jatuh. Orang kedua, yang bermuka bopeng, maju dan disambut tendangan yang membuatnya terjungkal pula. Pendeta tinggi besar menerkam Hay Hay, dan dia pun terpelanting oleh pukulan tangan kiri Hay Hay yang menyambutnya.

Tiga orang pendeta itu tidak terluka, dan mereka sudah bangkit lagi, siap untuk mengeroyok, sementara para murid Pek-sim-pang memandang kagum metihat betapa pemuda itu merobohkan tiga orang Lama itu satu demi satu.

"Hemm, kalian ini tiga orang pendeta Lama, sungguh tidak tahu malu, berdiri disini dengan telanjang bulat! Tak tahu malu!"

Kini para murid Pek-sim-pang yang mulai mengerti bahwa suara ketawa mereka membuyarkan kekuatan sihir pemuda itu, tidak mau tertawa, bahkan dengan suara bulat mereka pun mengejek.

"Tak tahu malu!"

Tiga orang pendeta Lama itu memandang kepada tubuh sendiri dan saling pandang dengan mata terbelalak. Suara orang banyak itu memperkuat pengaruh sihir yang dilancarkan Hay Hay sehingga mereka bertiga metihat betapa mereka benar-benar telah telanjang bulat.

Dengan malu bukan main, ketiganya lalu menggunakan kedua tangan, sedapat mungkin menutupi tubuh di bawah pusar, dan seperti tiga ekor anjing yang ketakutan, mereka pun lari meninggalkan tempat itu. Pemandangan yang amat lucu ini tentu saja membuat semua orang tertawa, tak dapat ditahan lagi mereka tertawa.

Dan sekali ini, biarpun suara ketawa itu membuyarkan pengaruh sihir dan tiga orang pendeta Lama itu melihat bahwa sesungguhnya mereka tidak telanjang, namun mereka maklum bahwa mereka takkan menang menghadapi pemuda luar biasa itu. Merekapun sudah agak jauh, maka daripada menderita malu lebih parah lagi, ketiganya lalu melarikan diri tanpa menoleh lagi, diiringi suara ketawa banyak orang.

Kini Pek Ki Bu sudah menghampiri pemuda itu, memandang penuh perhatian lalu bertanya, suaranya sungguh-sungguh,






"Orang muda, sebenarnya siapakah engkau? Benarkah engkau Sin-tong?"

Hay Hay cepat memberi hormat. Teringat dia akan nasibnya di waktu kecil, oleh keluarga ini dia diambil dan dibiarkan menjadi Sin-tong dalam pandangan banyak orang sehingga dia diperebutkan. Maka dia pun tidak membohong ketika dia mengangguk dan menjawab.

"Benar, Locianpwe. Saya adalah Sin-tong….”

Semua orang yang tadi melihat tanda merah di punggung itu luntur, kemudian melihat betapa pemuda ini pandai ilmu sihir, mengira bahwa lunturnya tanda merah itu pun hanya karena pengaruh sihir saja, maka muncul kembali harapan dan dugaan bahwa pemuda ini memang benar Pek Han Siong.

Maka, jawaban Hay Hay yang membenarkan bahwa dia adalah Sin-tong, membuat Pek Eng berteriak dengan girang dan bangga sekali.

"Koko …..! Ah, kiranya engkau kakakku Pek Han Siong! Koko ….!"

Dan saking girang dan bangganya, Pek Eng lari menghampiri, merangkul leher pemuda itu dan mencium pipinya! Ketika merasa betapa pipinya dingok oleh gadis manis itu, dengan girang Hay Hay membalas pula dengan dua kali ngok pada kedua pipi Pek Eng!

"Anakku …..!"

Souw Bwee juga lari dan merangkul leher Hay Hay, mencium dahi pemuda itu. Hay Hay hanya menyeringai saja dirangkul dua orang wanita itu. Kalau Pek Eng yang merangkul dan menciuminya, biar sehari pun dia tidak akan merasa keberatan dan akan membiarkannya saja, akan tetapi melihat nyonya itu pun menyangka bahwa dia Pek Han Siong, hati Hay Hay merasa tidak enak.

Tidak baik mempermainkan seorang nyonya yang sedang kehilangan puteranya, pikirnya. Maka dia pun dengan halus melepaskan diri dari rangkulan nyonya itu tanpa melepaskan rangkulan Pek Eng pada pundaknya dan rangkulan lengannya sendiri pada pinggang ramping itu, kemudian dia berkata halus.

"Maaf, menyesal sekali saya harus mengecewakan Cu-wi (Anda Sekalian) karena sesungguhnyalah saya bukanlah Pek Han Siong. Nama saya Hay Hay "

"Aihhh ……!"

Souw Bwee mundur tiga langkah, mukanya berubah pucat, dan Pek Eng juga cepat melepaskan rangkulannya dan melangkah mundur dengan muka berubah merah sekali.

"Tapi kau …. kau ……!” teriaknya.

"Ya, aku kenapakah, adik yang baik?"

"Kalau engkau bukan kakakku, aku pun bukan adikmu! Kalau engkau bukan Kakak Pek Han Siong, lalu kenapa kau... kau .. kau …. tadi menciumku …..”

Hay Hay memandang wajah yang manis itu sambil tersenyum. Bukan main indahnya mata dan mulut itu, pikirnya. Wajah yang manis sekali, biarpun kulitnya agak gelap seperti terlalu banyak terbakar sinar matahari, namun bahkan menambah manisnya dan kulit itu pun halus dan betapa hangatnya ketika kedua lengan itu tadi merangkul lehernya, ketika hidung dan bibir itu tadi menyentuh pipinya.

Sepasang mata yang agak sipit itu indah sekali bentuknya, dengan kedua ujung di kanan kiri meruncing seperti dilukis, bulu matanya panjang melengkung, alisnya hitam panjang. Manisnya hidung itu, kecil dan ujungnya agak naik seperti menantang, membuat wajah itu nampak mungil dan lucu penuh kelincahan. Bibir yang merah basah itu nampak segar tanda kesehatan yang sempurna, dan dipermanis lagi oleh sebuah lesung pipit di pipi kiri. Gadis yang lincah jenaka, galak dan manja, dan memiliki daya tarik amat kuatnya.

"Heeiii! Jawab pertanyaanku, jangan longang-longong seperti kerbau tolol!"

Pek Eng memaki karena ia merasa kecelik, marah dan malu telah berciuman dengan pemuda itu di depan orang banyak lagi!

"Nona, aku tidak pernah mengaku sebagai kakakmu, sejak semula aku memperkenalkan namaku, yaitu Hay Hay, bukan Pek Han Siong. Dan tentang ciuman itu... eh, siapakah yang memulai lebih dulu, Nona?"

Wajah itu menjadi semakin merah saking malunya, karena harus diakuinya bahwa ialah yang tadi memeluk dan mencium dengan hati penuh keyakinan bahwa pemuda ini adalah kakak kandungnya.

"Kau... kau... memang laki-laki kurang ajar, laki-laki mata keranjang …!"

Ia memaki dan kedua tangannya sudah dikepal karena saking malu dan marahnya ia hendak menyerang pemuda itu.

"Eng-ji, jangan!" bentak Pek Kong kepada puterinya. "Mundurlah!"

Biarpun hatinya masih panas sekali, Pek Eng mundur juga dibentak ayahnya. Pek Kong lalu melangkah maju menghadapi pemuda itu. Sejenak dia memandang penuh perhatian dan penuh selidik, kemudian dia bertanya,

"Orang muda, kalau engkau bukan puteraku Pek Han Siong, bagaimana engkau dapat mengaku bahwa engkau adalah Sin-tong?"

Jantung Hay Hay berdebar tegang ketika dia memandang laki-laki gagah di depannya itu. Seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih, bertubuh tegap dan berwajah tampan dan gagah, pembawaannya penuh wibawa dan matanya bersinar tajam. Dia tahu bahwa laki-laki inilah yang pernah menjadi ayahnya, ayah angkat mungkin, dan bahwa laki-laki ini sajalah yang tahu tentang riwayat dirinya! Cepat dia memberi hormat.

"Apakah saya berhadapan dengan Pek-pangcu, Ketua Pek-sim-pang?" tanyanya.

"Benar, aku adalah Ketua Pek-sim-pang bernama Pek Kong."

"Ah, Pangcu. Justru pertanyaan tadi itulah yang mendorong saya untuk berkunjung kesini, karena hanya Pangcu yang akan dapat menjawabnya."

"Maksudmu?" tanya Pek Kong terbelalak.

Pada saat itu, Pek Ki Bu yang tidak menghendaki percakapan itu dilakukan di tempat terbuka dan terdengar oleh semua murid Pek-sim-pang, cepat melangkah maju dan berkata.

"Sebaiknya kita bicara saja di dalam. Bagaimanapun juga, orang muda ini telah menyelamatkan kita dari keadaan yang tidak enak sekali tadi. Marilah, orang muda, mari kita masuk dan bicara di dalam."

Hay Hay mengangguk, akan tetapi kakinya ragu-ragu melangkah karena ketika dia menoleh kepada Pek Eng, dia melihat gadis itu berdiri melotot kepadanya dan seolah-olah gadis itu tidak rela menerimanya sebagai tamu di rumahnya. Melihat pemuda itu ragu-ragu, kemudian mengikuti pandang mata pemuda itu dan melihat sikap puterinya, Nyonya Souw Bwee lalu menggandeng tangan puterinya.

"Eng-ji, mari kita masuk dulu dan mempersiapkan hidangan untuk menyambut tamu!"

Pek Eng tidak dapat membantah dan ditarik ibunya masuk lebih dulu. Hay Hay melempar senyum kepadanya dan gadis itu membuang muka, membuat senyum Hay Hay menjadi semakin lebar.

Kini mereka duduk berhadapan mengelilingi sebuah meja besar di ruangan belakang. Nyonya Souw Bwee, setelah memerintahkan pelayan mempersiapkan hidangan, ikut pula duduk karena ia ingin sekali mendengar penuturan pemuda itu. Juga Pek Eng ikut duduk, akan tetapi ia duduk agak di belakang, tidak mau berdekatan dengan pemuda itu.

"Nah, sekarang ceritakan kepada kami tentang dirimu dan tentang pengakuanmu sebagai Sin-tong tadi, orang muda." Kata Pek Kong.

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar