*

*

Ads

Rabu, 18 April 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 040

"Andaikata engkau disuruh memilih seorang di antara kami untuk menjadi..." gadis berambut panjang itu berhenti, mukanya merah sekali dan ia tidak berani melanjutkan karena malu.

"Menjadi apa?" Hay Hay pura-pura tidak mengerti.


"Jadi itu tuuhh…..!" sambung gadis bertahi lalat.

"Jadi pacarmu…..!" akhirnya gadis tertua memberanikan diri berkata. "Engkau akan memilih yang mana, Kak Hay?"

Hay Hay tertawa bergelak di tengah-tengah para gadis itu.
"Wah repotnya! Pilih yang mana, ya?" Dia memandang kepada mereka satu demi satu untuk menimbulkan suasana penuh harapan yang menegangkan hati mereka, kemudian menyambung, "aku pilih semuanya! Ha-ha-ha!"

Gadis-gadis itu menjerit kecil dan tertawa-tawa dengan sikap manja dan genit. Mereka pun menikmati keadaan yang luar biasa, menggembirakan dan sekaligus membangkitkan gairah hidup dan semangat muda mereka. Mereka merasa demikian bebas dekat pemuda ini, bebas akan tetapi tidak merasa terancam.

Pemuda ini sama sekali tidak kurang ajar, pandang matanya demikian jenaka namun lembut, tanpa kandungan pandang mata penuh nafsu yang kurang sopan. Biasanya, mereka merasa betapa pandang mata pria kalau ditujukan kepada mereka seolah-olah hendak meraba-raba tubuh mereka, bahkan seolah-olah sinar mata pria hendak menelanjangi mereka. Pemuda ini tidak. Ucapan-ucapannya yang mengandung pujian bukan rayuan belaka, melainkan pujian yang wajar dan setengah kelakar.

Baik Hay Hay maupun gadis itu tidak tahu bahwa tidak jauh dari situ, di balik semak-semak belukar, sejak tadi ada sepasang mata jeli yang mengintai dan mengikuti setiap gerakan maupun kata-kata mereka. Sepasang mata yang amat tajam, yang kadang-kadang memancarkan kemarahan, kadang-kadang juga kegembiraan.

Pemilik sepasang mata ini adalah seorang gadis yang usianya kurang lebih delapan belas tahun. Terjadi hal lucu pada gadis pengintai ini ketika Hay hay tadi memuji para gadis itu satu-satu. Kalau Hay Hay memuji rambut seorang di antara mereka, tak terasa lagi ia pun meraba rambutnya. Kalau Hay Hay memuji hidung seorang gadis, ia pun otomatis meraba hidungnya sendiri dan seterusnya. Ketika Hay Hay dirubung oleh para gadis itu dan mereka semua tertawa-tawa dengan girang, gadis pengintai itu mengerutkan alisnya dan mengamati mereka dengan pandang mata tajam.

"Hemmm, Si Mata Keranjang!" berkali-kali mulutnya mengeluarkan bisikan mendesis dan pandang matanya terhadap Hay Hay menjadi keras dan semakin tajam

Para gadis itu sampai lupa waktu ketika mereka bersendau gurau dengan Hay Hay. Semua bekal roti dan dendeng pemuda itu sudah habis mereka makan, dan kini Hay Hay menanyakan nama mereka. Seperti sekelompok burung, dengan suara merdu dan gaya masing-masing, mereka memperkenalkan nama mereka.

Pada saat itu, datanglah belasan orang laki-laki tua muda. Mereka datang dari dusun karena mereka adalah penghuni dusun itu, ada yang menjadi ayah atau kakak dari para gadis yang sedang bersendau gurau dengan Hay Hay. Seorang anak kecil tadi melihat betapa gadis-gadis itu merubung seorang pemuda asing dan tertawa-tawa, maka dia berlari ke dusun dan melaporkan kepada para penduduk. Berkumpullah belasan orang dan mereka kini menuju ke tepi sungai kecil.

"Apa yang kalian lakukan!" bentak seorang kakek kepada mereka.

Hay Hay dan tujuh orang gadis itu sedang bercakap-cakap dan mereka tertawa-tawa mendengar sebuah dongeng yang diceritakan Hay Hay kepada mereka, sebuah dongeng lucu.

Terkejutlah tujuh orang gadis itu dan mereka semua menoleh. Kiranya kepala dusun sendiri yang menegur mereka dan tentu saja mereka menjadi ketakutan, cepat mengumpulkan cucian mereka dan mundur menjauhi Hay Hay.

"Tidak-apa-apa, kami hanya bercakap-cakap….." gadis tertua mewakili teman-temannya menjawab, memandang dengan lugu karena memang tidak merasa bersalah, akan tetapi takut karena sikap kepala dusun itu seperti orang marah.

"Siapa dia?"






Kepala Dusun itu menuding ke arah Hay Hay yang sudah turun dari batu besar yang didudukinya tadi.

"Dia... Kakak Hay dan baru saja kami berkenalan dan….."

"Tidak pantas anak perawan bercengkerama dengan pria yang asing, bersendau gurau tak mengenal sopan santun. Hayo kalian pulang sana!" bentak Kepala Dusun itu dengan marah.

Tujuh orang gadis itu semakin ketakutan. Merekar melempar pandang ke arah Hay Hay dengan khawatir sekali, takut kalau-kalau pemuda yang menyenangkan itu akan dipukuli orang-orang dusun yang kelihatannya marah itu.

"Dia tidak melakukan apa-apa yang tidak pantas! Dia tidak bersalah apa-apa…." teriak gadis bertahi lalat yang masih terhitung keponakan dari kepala dusun.

"Diam kau! Dan pulanglah kalian, anak-anak tak tahu malu!" bentak Kepala Dusun dan kini tujuh orang gadis itu tak berani membantah, lalu berjalan perlahan-lahan meninggalkan tempat itu, akan tetapi mereka menengok dan menengok lagi.

Sementara itu, kepala dusun kini bersama belasan orang penduduk dusun menghampiri Hay Hay yang sudah turun dan pemuda itu tersenyum, bahkan lalu menjura dengan sikap hormat.

"Lopek yang baik, harap jangan memarahi adik-adik itu. Mereka tidak melakukan sesuatu yang salah. Kami hanya bercakap-cakap saja setelah saling berkenalan. Saya bernama Hay Hay dan kebetulan lewat di sini, melihat mereka selesai mencuci pakaian dan saya menawarkan roti dan daging kering. Kami makan bersama, bercakap-cakap dan tidak terjadi sesuatu yang tidak baik, Lopek. Kalau memang hal itu dianggap salah, biarlah saya yang bersalah, akan tetapi adik-adik yang baik itu sama sekali tidak bersalah."

Kepala dusun itu bersama yang lain-lain, tertegun melihat sikap pemuda yang hormat dan kata-kata yang halus itu. Mereka saling pandang dan tahulah mereka bahwa mereka berhadapan dengan seorang pemuda yang selain tampan dan berpakaian seperti seorang pelajar yang beruang, juga bicaranya halus dan sopan seperti juga sikapnya. Kepala dusun itu merasa tidak enak kalau harus memperlihatkan sikap keras. Siapa tahu pemuda ini masih berdarah bangsawan atau setidaknya putera seorang berpangkat tinggi di kota !

"Kami tidak menyalahkan siapa-siapa, hanya merasa tidak pantaslah kalau gadis-gadis bercengkerama dengan seorang laki-laki asing, di tempat sunyi begini." katanya. "Kongcu siapakah, datang dari mana dan ada keperluan apakah mengunjungi dusun kami ini? Aku adalah Kepala Dusun di sini dan berhak untuk mengenal setiap orang tamu asing yang berada di wilayah kami."

Hay Hay tersenyum dan menjura lagi kini kepada kakek itu.
"Ah, kiranya saya berhadapan dengan Chung-cu (Kepala Kampung ). Maafkan kalau saya mengganggu, akan tetapi sesungguhnya seperti yang saya katakan tadi, saya hanya kebetulan saja lewat di sini dan melihat keindahan pemandangan sekitar tempat ini, saya bermaksud untuk bermalam di dusun. Kebetulan saya bertemu dan berkenalan dengan gadis-gadis tadi, harap Chung-cu tidak menyangka yang tidak baik. Nama saya Hay Hay dan saya seorang perantau yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap."

Berubah lagi pandangan mereka mendengar bahwa pemuda itu seorang yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap. Seorang pemuda dusun itu yang bertubuh tinggi besar dan berwajah galak, segera melangkah maju dan menudingkan telunjuknya.

"Tentu saja kami menyangka buruk melihat betapa engkau berani merayu gadis-gadis kami. Sungguh kurang sopan bagi seorang pria yang baru saja datang untuk bersendau gurau dengan gadis-gadis kami!"

Pemuda ini menaruh hati kepada gadis yang bertahi lalat di dagunya dan sejak tadi dia sudah merasa cemburu dan iri hati sekali terhadap pemuda tampan ini, apalagi melihat betapa gadis yang dicintanya itu nampak membela Si Pemuda Asing.

Kembali Hay Hay hanya tersenyum menghadapi hardikan ini.
"Maaf, sungguh aku tidak mengerti mengapa hanya bicara dan bersendau gurau secara baik-baik saja dianggap tidak sopan? Kalau aku berbuat tidak sopan, tentu gadis-gadis itu sudah menjadi marah atau melarikan diri. Sebaliknya, mereka suka bersahabat dan makan bersama-sama aku di sini!"

"Karena engkau orang kota pandai merayu! Engkau hendak memikat gadis-gadis dusun dengan rayuanmu, ya? Lebih baik engkau cepat minggat dari sini sebelum aku kehilangan kesabaran dan menghajarmu sampai babak belur!" pemuda itu dengan hati panas dan dengan kedua tangan terkepal mengancam.

Hay Hay tidak menjadi marah. Malah dia tersenyum lebar memandang pemuda itu.
"Engkau sungguh mengagumkan, sobat. Karena cintamu kepada seorang di antara adik-adik itu, maka engkau menjadi panas hati dan hendak menghajarku.”

Pemuda itu terbelalak, mukanya menjadi merah dan beberapa orang temannya tertawa mendengar ini karena memang mereka tahu bahwa temannya ini jatuh hati kepada gadis bertahi lalat yang nama panggilannya Siauw Lan itu.

"Sudah, tak perlu banyak cakap lagi. Pergilah sekarang juga!" pemuda itu menghardik dan maju semakin dekat, siap untuk memukul.

Hay Hay tetap tenang dan dia memandang kepada kepala dusun yang sejak tadi hanya diam saja menjadi penonton.

"Lo-chung-cu, sudah benarkah saya diusir dari dusun ini tanpa dosa? Bagaimana kalau saya pergi kemudian aku mengabarkan perlakuan dan sikap kalian terhadap para tamu yang datang ke dusun ini?"

Kepala Dusun menjadi bimbang. Siapa tahu pemuda tampan itu benar-benar putera atau setidaknya sahabat dari pejabat-pejabat tinggi di kota! Dia pun menengahi dan menarik lengan pemuda itu agar mundur.

"Sudahlah, selama tidak ada keluhan dan laporan dari anak gadis kami, maka kami habiskan saja perkara ini. Akan tetapi, untuk menjaga agar tidak terjadi keributan, kami harap Kongcu suka pergi dari sini."

“Saya bukan tuan muda, dan harap jangan sebut saya dengan kongcu. Dan saya sudah memutuskan untuk bermalam di tempat ini. Apakah dilarang untuk seorang yang melakukan perjalanan untuk berhenti di sini barang satu dua malam?"

Kepala dusun itu menarik napas panjang. Pemuda ini terlalu tenang dan sikapnya amat ramah dan baik, tak pernah memperlihatkan sikap sombong atau marah. Tidak baik kalau terus bersikap kaku.

"Terserah kepadamu, orang muda. Akan tetapi ketahuilah bahwa di dusun kami tidak ada penginapan, dan para penduduk tentu tidak akan ada yang suka menerimamu sebagai tamu. Kalau engkau suka bermalam di tempat terbuka seperti di sini, terserah kepadamu."

Setelah berkata demikian, kepala dusun itu lalu mengajak orang-orangnya untuk pulang ke dusun karena mereka harus melakukan pekerjaan masing-masing. Pemuda tinggi besar itu masih memandang dengan mata tajam kepada Hay Hay, lalu sebelum dia pergi bersama yang lain, masih sempat dia mengancam.

"Awas, kalau engkau berani mendekati gadis-gadis kami lagi, aku benar-benar akan mencari dan menghajarmu!"

Hay Hay hanya tersenyum dan menggerakkan pundaknya sambil menduga-duga, gadis yang mana dari ketujuh gadis tadi yang dicinta pemuda ini. Kasihan gadis itu, tentu kelak akan menjadi bulan-bulan kemarahan pemuda ini kalau sudah menjadi suaminya karena pemuda ini pencemburu benar.

Karena tidak diperbolehkan bermalam di dalam rumah penduduk di dalam dusun itu, Hay Hay lalu mulai mencari tempat untuk melewatkan malam. Daerah dusun itu memang indah sekali, tanahnya subur dan dusun itu dikelilingi bukit-bukit yang penuh dengan hutan-hutan yang lebat.

Akhirnya dia menemukan sebuah kuil tua yang sudah rusak dan tidak terpakai lagi, yang letaknya di tepi hutan di sebuah lereng bukit, hanya beberapa li jauhnya dari dusun itu. Ketika dia berdiri di depan kuil tua itu, nampaklah dusun itu, nampak genteng-genteng rumahnya dan teringatlah dia akan ketujuh orang gadis manis tadi dan dia pun tersenyum gembira.

Sebuah dusun yang subur dan indah pemandangannya, dengan gadis-gadisnya yang segar dan manis. Sayang para penghuninya salah paham dan mengira dia akan berbuat kurang ajar. Kurang ajarkah dia? Tidak sopankah dia? Dia tidak mampu menjawab, hanya menggaruk-garuk belakang kepalanya, lalu dia pun mencari tempat yang baik untuk melewatkan malam di dalam kuil itu.

Dia menemukan ruangan dalam yang bersih. Untung, pikirnya, agaknya baru saja ada pelancong yang juga kebetulan lewat dan bermalam di situ, karena ruangan itu bersih dan nampak bekas-bekas bahwa ada orang yang membersihkannya, bahkan membuat api unggun di situ. Dengan perasaan lega dia melepaskan buntalan yang dipanggulnya di punggungnya, dan duduk bersila melepaskan lelah di lantai yang sudah dibersihkan orang lain untuknya itu.

Dia tidak tahu bahwa orang lain yang membersihkan lantai itu untuknya, kini mengintai dari jauh dan mengomel panjang pendek.

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar