*

*

Ads

Rabu, 11 April 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 024

Kakek itu sudah tua sekali, usianya tentu sudah mendekati delapan puluh tahun. Seorang kakek raksasa yang tubuhnya amat tinggi besar, kepalanya gundul, jubahnya kotak-kotak berwarna merah dan kuning, tangan kirinya memegang tasbeh yang seolah-olah sudah menjadi bagian dari tangannya karena tak pernah dilepasnya.

Biarpun dia sudah tua sekali, namun pada wajahnya nampak kesegaran usia muda, bahkan sepasang matanya masih memiliki sinar yang gembira dan cerah. Sejak tadi, kakek itu duduk bersila di atas batu besar dibawah pohon raksasa, tubuhnya tak bergerak dan tegak, hanya jari-jari tangan kiri saja yang memutar-mutar tasbehnya. Agaknya dia sedang berdoa.

Setelah selesai berdoa, kakek pendeta gundul itu membuka kedua matanya kemudian memandang ke kanan kiri seperti mencari-cari. Karena tidak melihat yang dicarinya, dia lalu turun dari tempat dia bersila, dan dengan langkah lembut dia lalu mencari ke arah anak sungai yang mengalir tak jauh dari situ.

Anak itu suka sekali bermain di tepi sungai, pikirnya sambil menahan senyum. Akhirnya, dia melihat seorang anak laki-laki berusia kurang lebih dua belas tahun sedang duduk termenung di tepi sungai yang airnya amat jernih itu. Kakek pendeta itu mengintai dari balik semak-semak.

Anak laki-laki itu berwajah tampan dan cerah, sepasang matanya tajam bersinar-sinar, bibirnya selalu menyungging senyum dan wajahnya berseri gembira. Pada saat itu, dia berdongak memandang ke arah pohon tak jauh dari situ, diantara daun-daun yang lebat dan seperti terpesona.

Kakek itu menjadi tertarik dan ikut memandang, mencari-cari dengan pandang matanya dan ketika dia melihat apa yang sedang dipandang oleh anak itu, dia tersenyum lebar, akan tetapi wajahnya seperti tersipu malu. Kiranya yang dipandang oleh anak laki-laki itu adalah sepasang burung yang sedang berkasih-kasihan dan bermain cinta.

Paruh mereka saling bersentuhan seperti orang bercumbu dan berciuman dan berulang-ulang burung gereja jantan itu naik ke atas punggung burung betina yang mendekam pasrah. Dan agaknya anak itu demikian terpesona, mengikuti setiap gerakan kedua ekor burung itu. Akhirnya sepasang burung gereja itu terbang pergi dan barulah anak itu seperti sadar dari dalam pesona yang amat menarik hatinya.

Alam menjadi guru, demikian kakek itu berpikir. Selagi dia hendak menegur, tiba-tiba anak itu memandang ke arah tepi sungai dan dia sendiri pun tertarik. Kebetulan sekali, pada saat itu muncul sepasang kijang mendekati tepi sungai, jelas bahwa sepasang kijang itu hendak minum air yang jernih.

Mereka minum dengan lahap, kemudian si Jantan timbul gairah dan mereka pun berkejaran sebentar di tepi sungai. Yang betina nampaknya saja melarikan diri, akan tetapi hanya berputaran di sekitar tepi sungai itu, dimana tumbuh rumput hijau yang gemuk dan sikapnya seperti mempermainkan si Jantan. Akhirnya ia pun menyerah dan mereka berdua bermain cinta di tepi sungai.

Kakek tua renta itu melihat betapa anak laki-laki itu kini bangkit, memandang dengan muka menjadi kemerahan dan mulut agak terbuka, napasnya agak terengah-engah. Dia pun mengerti bahwa alam telah memperlihatkan kekuasaannya. Tanda-tanda peralihan dari masa kanak-kanak menjadi remaja mendekati dewasa mulai nampak pada diri anak laki-laki itu. Kakek itu pun tidak mau mengganggu. Biarkan anak itu mempelajari kenyataan hidup dari alam sekitarnya, pikirnya. Dia sendiri lalu duduk bersila, memejamkan kedua matanya dan semua penglihatan itu lenyap dari bayangan dalam benaknya.

Akhirnya sepasang kijang itu pun pergi dari situ dan anak itu pun kini duduk kembali dan nampak dahi dan lehernya basah oleh keringat. Dia masih tenggelam ke dalam renungan, membayangkan kembali segala yang dilihatnya tadi ketika suara halus memanggilnya.

"Hay Hay…..!"

Anak itu terkejut karena seperti terseret keluar dari alam lamunannya, akan tetapi hanya sebentar saja karena wajahnya segera berubah cerah ketika dia menoleh dan melihat kakek itu berdiri tak jauh di belakangnya.

"Suhu!" serunya gembira dan dia cepat meloncat bangun dan lari menghampiri kakek itu, lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu. "Sepagi ini Suhu sudah berada disini!"

Biasanya, kakek itu tentu masih duduk bersamadhi di depan pondok sambil mandi cahaya matahari. Setiap pagi kakek itu bersila dengan dada telanjang menghadap matahari, maka kehadiran gurunya di tepi anak sungai itu mengherankan hatinya.

Anak itu adalah Hay Hay yang tadinya menjadi anak angkat Lam-hai Siang-mo. Seperti telah diceritakan dibagian depan. Hay Hay akhirnya tahu akan rahasia kedua orang tua yang tadinya dianggap sebagai orang tua kandung itu, tahu bahwa mereka itu sebetulnya adalah penjahat-penjahat besar yang menculiknya dari tangan kedua orang tuanya yang asli, yaitu keluarga Pek.






Akan tetapi hal ini pun masih meragukan karena setelah dia menjadi murid See-thian Lama, kakek gundul itu dan dibawa ke Pegunungan Himalaya, dia mendengar dari gurunya bahwa yang dimaksudkan dengan sebutan Sin-tong adalah putera keluarga Pek dari Pek-sim-pang, yaitu anak yang terlahir dengan tanda merah di punggung.

Akan tetapi, dia tidak mempunyai tanda merah itu, maka biarpun Siangkoan Leng dan Ma Kim Li, yaitu suami isteri Lam-hai Siang-mo sudah mengaku bahwa "mereka menculiknya dan menukar dengan anak mereka sendiri dari keluarga Pek, masih diragukan apakah dia benar-benar putera keluarga Pek.

"Karena itulah, Hay Hay, pinceng nasihatkan agar engkau jangan tergesa-gesa mempergunakan nama keturunan Pek. Kelak kalau engkau sudah besar dan berkepandaian, engkau boleh menyelidiki sendiri tentang asal-usulmu itu."

Selama lima tahun, Hay Hay diajak bertapa oleh See-thian lama, dibawa ke tempat sunyi di tepi sungai kecil yang airnya jernih itu, di tengah hutan di kaki Pegunungan Himalaya. Setiap hari, kakek itu menggemblengnya, mengajarkan dasar-dasar ilmu silat dan juga mengajarkan ilmu baca tulis.

Karena kakek itu merupakan seorang diantara Pat-sian (Delapan Dewa) yang berilmu tinggi, maka tentu saja di bawah bimbingannya, Hay Hay menjadi seorang anak yang luar biasa. Ditambah lagi bakat yang amat baik pada dirinya, maka biarpun usianya baru dua belas tahun dan dia baru mempelajari ilmu silat selama lima tahun, kepandaiannya sudah amat hebat, jauh melampaui tingkat orang-orang dewasa yang belajar ilmu silat selama belasan tahun.

Akan tetapi, waktu yang lima tahun itu sebagian dihabiskan untuk latihan-latihan dasar, sehingga tidaklah mungkin bagi Hay Hay untuk mempelajari semua ilmu silat tinggi dari See-thian Lama. Oleh karena itu, See-thian Lama hanya mengajarkan teori-teori gerakan ilmu-ilmu silat yang pilihan, untuk dihafal di luar kepala oleh Hay Hay.

"Ilmu-ilmu ini membutuhkan latihan yang masak Hay Hay. Akan tetapi, pinceng kalah cerdik oleh Ciu-sian Sin-kai. Pinceng melatihmu lebih dulu, sama saja dengan memberimu dasar-dasar yang kuat sehingga lima tahun berikutnya, Si Jembel itu akan menerimamu dalam keadaan siap menerima segala macam ilmu silat tinggi. Sedangkan sekarang, engkau hanya dapat menghapal ilmu-ilmu silat dariku. Akan tetapi, kelak, kalau tubuhmu sudah kuat, engkau akan dapat melatih ilmu-ilmu yang sekarang kau hapal diluar kepala ini.”

Hay Hay dapat mengerti apa yang dikemukakan suhunya, maka dia pun mentaatinya dan menghapalkan ilmu-ilmu itu dengan sungguh-sungguh. Dari See-thian Lama, terutama sekali dia mendapatkan ilmu meringankan tubuh yang luar biasa sekali, yaitu Yan-cu Coan-in (Burung Walet Menembus Awan) dan ilmu langkah yang luar biasa bernama Jiauw-pouw-poan-soan (Langkah Ajaib Berputar-putar ).

Ketika See-thian Lama, mendengar ucapan muridnya yang merasa heran mengapa sepagi itu dia sudah menyusul muridnya di tepi anak sungai, dia tertawa.

"Omitohud, betapa cepatnya sang waktu berjalan, Hay Hay. Kalau kita mengenangkan masa-masa lalu kita, seolah-olah baru terjadi kemarin saja. Pinceng pun kini sudah begini tua tanpa pinceng rasakan! Dan tahukah engkau bahwa kita telah berada disini selama hampir lima tahun?"

Hay Hay dapat menyembunyikan kagetnya mendengar ucapan itu.
"Tapi...tapi... teecu masih ingin belajar terus dari Suhu!"

Kakek itu tertawa. Anak ini memang cerdik sekali, kalau bicara langsung saja kepada sasarannya.

"Hay Hay, satu diantara nilai seorang manusia yang perlu dijaga adalah mulut yang harus dapat dipercaya. Sekali berjanji, seorang gagah akan memenuhinya dan mempertahankannya dengan taruhan apa pun juga. Pinceng telah berjanji dengan Ciu-sian Sin-kai bahwa pinceng akan mendidikmu selama lima tahun, kemudian akan menyerahkan engkau kepadanya untuk dididik lima tahun lamanya."

Hay Hay bukan tidak suka berguru kepada Ciu-sian Sin-kai, kakek pengemis yang juga amat lihai itu, akan tetapi dia belum merasa puas berguru kepada pendeta Lama ini. Namun dia tahu pula bahwa orang-orang seperti gurunya ini tentu tidak akan mau melanggar janjinya, maka membantah pun tidak akan ada gunanya.

"Akan tetapi, Suhu. Dimanakah tempat tinggal Suhu Ciu-sian Sin-kai itu? Kemana kita harus mencarinya?"

"Ha-ha-ha, kau kira dia seorang jembel miskin yang berkeliaran ke mana-mana mencari sisa nasi? Ha-ha, jangan salah sangka, muridku. Sin-kai adalah seorang yang kaya-raya, dia majikan Pulau Hiu yang selain kaya-raya, memiliki pula banyak anak buah dan hidup sebagai raja di pulau itu. Dalam beberapa hari ini dia pasti akan muncul untuk menjemputmu."

Diam-diam Hay Hay merasa terkejut juga. Hal ini sungguh tak pernah disangkanya. Orang-orang yang menjadi guru-gurunya ini memang aneh. See-thian Lama yang menjadi pendeta Lama, sepatutnya hidup di dalam biara yang besar di Tibet, atau setidaknya tentu memiliki kuil yang besar dimana dia menjadi ketuanya.

Akan tetapi kenyataannya sama sekali tidak demikian. Pendeta ini membawanya ke tempat sunyi itu dan mereka hanya tinggal di sebuah pondok darurat yang mereka bangun. Sebaliknya, orang berpakaian tambal-tambalan seperti pengemis itu, Ciu-sian Sin-kai, malah hidup sebagai raja yang kaya-raya di sebuah pulau.

Akan tetapi sebelum dia mengeluarkan suara, tiba-tiba See-thian Lama memegang lengannya dan berbisik.

" Ada orang-orang datang kesini!"

Baru saja dia bicara, nampak berkelebat tiga bayangan orang dan tahu-tahu disitu sudah muncul tiga orang pendeta Lama. Sikap mereka keren akan tetapi mereka tetap menghormati See-thian Lama, bahkan mereka sudah merangkap kedua tangannya di depan dada sebagai penghormatan dan ketiganya menyebut,

"Susiok !"

See-thian Lama menatap wajah ketiga orang pendeta Lama itu. Mereka itu rata-rata berusia lima puluh sampai enam puluh tahun, dan dari sikap dan bentuk tubuh mereka, dapat diduga bahwa mereka adalah orang-orang yang berilmu tinggi. See-thian lama tidak mengenal semua pendeta Lama, akan tetapi dari sebutan mereka, dia tahu bahwa mereka ini adalah pendeta-pendeta tingkat dua di Tibet, satu generasi lebih muda darinya.

"Kalian berlima darimanakah dan ada keperluan apa datang berkunjung ke sini?" tanya See-thian Lama dengan sikap dan suara yang lembut.

Seorang diantara tiga pendeta lama itu, yang bertubuh jangkung kurus berjenggot panjang, melangkah maju mewakili dua orang temannya. Pendeta ini bersikap halus, akan tetapi suaranya terdengar tegas dan keras.

"Susiok, maafkan kalau kami bertiga mengganggu Susiok. Akan tetapi kami mendukung tugas yang diberikan oleh para Suhu di Tibet untuk mencari Sin-tong."

Dia menghentikan kata-katanya dan mengerling ke arah Hay Hay yang mendengarkan dengan hati tertarik, apalagi ketika pendeta itu menyebut Sin-tong yang mempunyai hubungan erat dengan dirinya.

See-thian Lama tetap tersenyum walaupun sinar matanya menjadi berkilat.
"Mencari Sin-tong kenapa datang kesini?”

"Karena kami merasa yakin bahwa anak yang berada bersama Susiok ini adalah Sin-tong dan kami harus mengajaknya kembali ke Tibet."

"Hemmm, apa alasanmu bahwa muridku ini Sin-tong?"

"Kami merasa yakin, Susiok, berdasarkan penyelidikan kami yang bertahun-tahun lamanya. Mula-mula Lam-hai Siang-mo datang ke Tibet dan memberi tahu kepada para Suhu bahwa Sin-tong telah terampas dari tangan mereka oleh Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi, dua orang diantara Empat Setan. Para Suhu mengutus kami bertiga untuk pergi mencari kedua orang tokoh iblis itu. Bertahun-tahun kami merantau dengan susah payah dan setelah kami berhasil menemukan dua orang itu, mereka mengatakan bahwa Sin-tong telah terampas pula dari tangan mereka oleh Susiok dan Ciu-sian Sin-kai. Oleh karena itu, kami segera mencari Susiok disini dan melihat anak ini……"

See-thian Lama tersenyum. Kiranya dua pasang iblis itu telah mencari cara lain untuk membalas kekalahan mereka, yaitu dengan melapor kepada para pendeta Lama di Tibet!

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar