*

*

Ads

Senin, 09 April 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 015

Demikianlah, tanpa banyak membantah lagi, Pek Ki Bu lalu membawa keluarga dan perkumpulannya untuk boyongan dan meninggalkan kota Nam-co, menuju ke timur. Memang ada beberapa orang murid yang tidak ikut karena mereka lebih suka tetap tinggal di Nam-co bersama keluarga mereka.

Karena kini Pek-sim-pang sudah tidak berada lagi di Nam-co dan para murid itu tidak mempunyai hubungan secara langsung dengan pertikaian yang disebabkan oleh Sin-tong, maka murid-murid yang masih tinggal di Nam-co itu tidak merasa khawatir akan mengalami gangguan.

Dan di tengah perjalanan, diluar batas Propinsi Tibet, rombongan keluarga Pek ini bertemu dengan Pek Kong dan isterinya. Tentu saja pertemuan itu menggembirakan akan tetapi juga menyedihkan dan mengharukan. Masing-masing menceritakan pengalaman mereka.

Ketika mendengar bahwa secara rahasia cucunya telah dibawa pergi oleh ayahnya sendiri, Pek Ki Bu merasa lega. Dia pun merasa ngeri mendengar akan peristiwa maut yang menewaskan pengasuh, nikouw dan seorang anak kecil yang ditukarkan.

"Kong-ji (Anak Kong)," kata Pek Ki Bu. "Kita tidak boleh melupakan anak laki-laki yang diculik penjahat itu. Bagaimanapun juga, anak itu telah menyelamatkan cucuku dan kasihanlah dia, masih begitu kecil sudah kehilangan ibunya, tidak pernah dipedulikan ayah kandungnya, dan kini berpindah tangan lagi diculik penjahat. Kelak engkau harus mencari anak itu dan menyelamatkannya."

Pek Kong mengangguk.
"Kong-kong sudah meninggalkan sebuah benda perhiasan yang menurut Kong-kong adalah milik ayah kandung anak itu yang mempunyai nama keturunan. Tang."

Dia lalu menceritakan apa yang didengarnya dari kakek Pek Khun. Kemudian rombongan itu lalu melanjutkan perjalanan menuju ke daerah Kong-goan, sebuah kota besar di Propinsi Se-cuan darimana keluarga Pek berasal.

Anak laki-laki yang dilahirkan oleh isteri Pek Kong dan kemudian dibawa pergi oleh kakek buyutnya itu diberi nama Pek Han Siong, sebuah nama yang dipilih oleh Pek Kong dan isterinya untuk putera mereka.

Dapat dibayangkan betapa sukarnya bagi seorang kakek tua seperti Pek Khun, membawa seorang bayi yang baru berusia beberapa hari, melakukan perjalanan yang jauh dan sukar!

Akan tetapi, kakek Pek Khun adalah seorang kakek yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, juga dia adalah seorang ahli pengobatan sehingga dia dapat merawat anak itu di sepanjang perjalanan, tidak malu-malu atau segan-segan untuk minta tolong kepada ibu-ibu yang masih menyusui untuk membantu sedikit air susu untuk bayi Han Siong, disetiap dusun yang dilaluinya.

Dengan demikian, akhirnya dia dapat membawa bayi itu ke Pegunungan Kun-Iun dengan selamat. Mula-mula dia tinggal di sebuah dusun di kaki Pegunungan Kun-Iun sambil membayar seorang ibu muda untuk menyusui Han Siong. Setengah tahun kemudian, dia membawa anak itu naik ke tempat pertapaannya yang tersembunyi dan merawat sendiri anak itu dengan susu binatang keledai.

Sejak bayi, anak itu digembleng oleh kakek Pek Khun, dan setelah anak itu berusia empat tahun, dia mulai membimbingnya untuk melatih langkah-langkah dasar ilmu silat, menggembleng tubuh itu dengan ramuan obat-obatan untuk menguatkannya, juga setelah anak itu berusia lima tahun, dia mengajarkan ilmu membaca dan menulis.

Akan tetapi, kakek itu mulai merasa kasihan kepada cucu buyutnya. Tidak baik kalau anak itu dibiarkan tumbuh dewasa di tempat terpencil itu. Han Siong kurang sekali bergaul dengan anak lain. Hanya sebulan sekali dia mengajak anak itu untuk turun dari puncak, mengunjungi dusun-dusun di lereng puncak dan bertemu dengan manusia-manusia lain.

Dia khawatir kalau-kalau kekurangan pergaulan ini akan membuat anak itu kelak menjadi manusia canggung, pemalu dan mempunyai kelainan-kelainan jiwa. Pula, dia sendiri sudah menjadi semakin tua untuk dapat melindungi diri anak itu. Bagaimana kalau sewaktu-waktu muncul pendeta-pendeta Lama yang lihai dan merampas anak itu dari tangannya? Belum tentu dia akan mampu mempertahankan dan melindungi anak itu. Maka dia mulai mencari akal bagaimana untuk bertindak agar cucu buyutnya itu terbebas daripada ancaman bahaya dari Tibet.

Akhirnya Kakek Pek Khun mengambil keputusan untuk membawa saja cucu buyutnya itu ke kuil Siauw-lim-si dan menjadikan anak itu seorang calon hwesio! Dengan demikian, akan selamatlah Han Siong! Pada suatu hari, ketika Han Siong sudah berusia tujuh tahun, kakek Pek Khun membawa cucu buyut itu turun dari pegunungan Kun-Iun.

Bukan main girang rasa hati Han Siong ketika kakeknya menyatakan bahwa dia akan dibawa ke timur, untuk belajar ilmu di dalam kuil Siauw-lim-si. Sudah sering kakek buyutnya bercerita tentang kuil Siauw-lim-si dimana tinggal banyak hwesio yang suci dan juga sakti, memiliki ilmu yang luar biasa tingginya.






Bukan hanya karena akan mempelajari ilmu silat saja yang menggirangkan hati Han Siong, terutama sekali karena dia akan meninggalkan puncak yang amat dingin dan amat sunyi itu. Dia butuh pergaulan dengan manusia lain! Dan dia dapat membayangkan bahwa hidup di dalam biara Siauw-Iim-si itu berarti hidup bersama banyak orang lain, yaitu para hwesio yang menjadi penghuni biara! Alangkah akan senangnya!

Kakek Pek Khun sendiri adalah seorang murid Siauw-lim-pai, oleh karena itu, kunjungannya ke kuil Siauw-lim-si yang terletak di luar kota Yu-nan di Propinsi Cing-hai, diterima baik oleh ketua kuil itu bersama para hwesio pimpinan lainnya, setelah Pek Khun memperkenalkan dirinya.

Kuil itu cukup besar, dan terletak di sebuah tempat yang indah, ditepi Sungai Cin-sha yang mengalir ke selatan, diantara Pegunungan Heng-tuan-san. Biarpun terletak di tepi sungai besar dan di daerah pegunungan yang sunyi dan nyaman, namun kuil itu tidak terlalu terpencil.

Kota Yu-shu tidak begitu jauh dari kuil itu, hanya beberapa li jauhnya, dalam perjalanan satu jam orang akan sampai ke kota itu. Dan kuil itu pun banyak dikunjungi para penduduk kota Yu-shu dan dusun disekitarnya untuk bersembahyang.

Ketua kuil itu berjuluk Ceng Hok Hwesio dan setelah mereka bercakap-cakap, tahulah mereka bahwa antara Ceng Hok Hwesio dan kakek Pek Khun masih ada hubungan seperguruan, dan kakek Pek Khun memiliki satu tingkat lebih tinggi dari ketua kuil itu yang segera menyebut Susiok (Paman Guru) kepada Pek Khun.

"Sungguh menyenangkan kenyataan ini." kata Pek Khun. "Anak ini adalah cucu buyutku, berarti juga cucumu sendiri. Namanya Pek Han Siong. Karena sejak kecil dia turut aku, dan aku merasa sudah terlalu tua untuk mendidiknya, juga dia harus memperluas pergaulannya, maka aku mohon dengan sangat dapatlah dia diterima di kuil ini sebagai murid dan calon hwesio."

Mendengar permintaan yang dianggap agak aneh ini, Ceng Hok Hwesio mengerutkan alisnya.

"Omitohud..., Susiok tentu maklum bahwa Siauw-lim-si selalu membuka tangan untuk menolong siapa saja, apalagi terhadap Pek-susiok yang masih seorang murid Siauw-lim-pai pula. Berarti kita adalah sekeluarga sendiri. Akan tetapi, Pek-susiok tentu maklum pula bahwa Siauw-lim-pai memiliki peraturan yang ketat dan keras. Tidak mungkin menerima murid begitu saja, harus diketahui mengapa anak ini dimasukkan ke biara kami untuk menjadi murid, dan bagaimana pula pendapat Ayah dan Ibu anak ini. Maaf, hal ini bukan berarti kami tidak percaya kepada Pek-susiok, melainkan karena aneh sekali kalau Susiok mengajak cucu buyut Susiok kesini. Bukankah kalau Susiok sudah terlalu tua untuk mendidiknya, masih ada Kakeknya dan Ayahnya?"

Kakek Pek Khun mengangguk-angguk, maklum akan isi hati Ketua Siauw-lim-si itu. Dia menoleh kepada Han Siong.

"Han Siong, engkau keluar dan bermain-mainlah di kebun itu, biarkan aku bicara dengan Suhu ini."

"Baik, aku memang ingin sekali bermain-main di kebun yang penuh bunga indah itu!" kata Han Siong yang menjadi girang sekali.

Tadi dia merasa canggung dan tidak betah harus duduk bersama kakeknya di ruangan itu mendengarkan percakapan yang tidak begitu dimengerti olehnya dan dia sudah ingin sekali memasuki kebun indah yang nampak dari jendela ruangan itu.

Setelah Han Siong meninggalkan ruangan itu dan dari jendela nampak anak itu berjalan-jalan diantara rumpun bunga-bunga, kakek Pek Khun lalu menarik napas panjang dan berkata.

"Sesungguhnya keluarga kami memang sengaja hendak menyembunyikan anak itu dari pengejaran para pendeta Dalai Lama di Tibet."

"'Omitohud……" Ceng Hok Hwesio membelalakkan matanya. "Ada urusan apakah maka para saudara Dalai Lama di Tibet mengejarnya?"

"Han Siong ini sejak dari dalam kandungan telah diramalkan menjadi calon Dalai Lama….."

"Sin-tong? Omitohud….!" Ceng Hok Hwesio menyembah dengan kedua tangan di depan dadanya.

"Ini rahasia diantara kita saja. Ceng Hok Hwesio." kata kakek Pek Khun. "Jangan dibocorkan rahasia ini. Bukan hanya para Dalai Lama yang mencarinya, akan tetapi juga tokoh-tokoh di dunia kang-ouw. Ada tokoh-tokoh kaum sesat yang mati-matian mencarinya, mungkin untuk dijadikan murid atau semacam jimat atau juga untuk diserahkan kepada para Dalai Lama dengan mengharapkan pahala. Kami sekeluarga menentang keras. Kami tidak percaya akan segala ketahyulan para Dalai Lama dan kami tidak ingin anak itu dijadikan patung hidup seperti kehidupan Dalai Lama. Karena itu sejak bayi sudah kubawa pergi dan kusembunyikan. Sekarang, aku harap kuil ini suka menerimanya sebagai murid dan calon hwesio. Biarlah dia menjadi hwesio yang baik untuk mengabdi kepada agama dan rakyat daripada harus menjadi Dalai Lama di Tibet."

"siancai, siancai, siancai…..! Pendapat Susiok memang tepat sekali. Dan pinceng merasa girang sekali untuk mendidik dan membimbing Pek Han Siong, semoga Sang Buddha akan memberi petunjuk kepada pinceng."

"Rahasia ini perlu disimpan rapat-rapat, karena kalau hal itu sampai tersiar ke luar kuil, tentu akan mendatangkan bahaya, baik bagi Han Siong sendiri maupun bagi Siauw-lim-pai. Ada tanda merah di punggung anak itu yang dijadikan pegangan bagi para Dalai Lama dan antek-anteknya. Tanda merah itu harus disembunyikan pula."

"Omitohud... kalau begitu, anak itu memang luar biasa sekali. Sejak lahir sudah diberi tanda, benar-benar seorang Sin-tong (anak ajaib)." kata Ceng Hok Hwesio.

"Aahhh, semua itu omong kosong dan tahyul belaka." cela kakek Pek Khun. "Setiap orang anak itu sama saja, merupakan kitab bersih dan kosong. Baik buruknya kitab itu kelak ditentukan oleh para pengisinya, yaitu para pendidiknya. Karena itulah maka hatiku merasa lega sekali kalau dia dapat diterima sebagai murid disini."

"Pinceng merasa terhormat sekali untuk mendidiknya, Pek-susiok.”

Pek Khun lalu memanggil Han Siong. Ketika dia menjenguk dari jendela, dilihatnya Han Siong sedang bercakap-cakap dengan empat orang anak lain, anak-anak yang gundul kepalanya, calon-calon hwesio yang menjadi murid dan juga pembantu-pembantu pekerja di kuil itu.

Ketika dia memanggilnya, Han Siong cepat bangkit berdiri dan berlari memasuki ruangan. Kakek Pek Khun girang sekali karena kehidupan di kuil ini akan merobah cara hidup Han Siong yang tentu tidak akan kesepian lagi. Disitu terdapat pula banyak calon hwesio yang sejak kecil digembleng untuk menjadi manusia-manusia yang baik.

Setelah Han Siong datang menghadap, kakek Pek Khun berkata,
"Han Siong, seperti sudah kuberitahukan kepadamu, mulai hari ini engkau akan menjadi murid di kuil ini. Ceng Hok Hwesio ini adalah ketua kuil ini dan menurut tingkat, dia masih kakek gurumu sendiri. Akan tetapi karena mulai hari ini engkau akan menjadi muridnya, maka engkau harus memberi hormat kepadanya sebagai gurumu."

Han Siong memandang kepada Ceng Hok Hwesio, kemudian memandang kepada kakek buyutnya.

"Apakah Kakek hendak meninggalkan aku disini?"

"Benar, aku sudah terlalu tua untuk mendidikmu dan engkau perlu mendapatkan pengalaman hidup yang lain, pergaulan yang tepat. Disini terdapat banyak anak-anak yang menjadi murid, maka engkau dapat bergaul dengan mereka."

"Baik, Kek." kata Han Siong dan dia pun cepat menjatuhkan diri berlutut di depan Ceng Hok Hwesio, memberi hormat delapan kali, sambil menyebut “Suhu!"

Dengan wajah berseri Ceng Hok Hwesio menyentuh pundak anak itu.
"Bangkitlah, Han Siong dan mulai sekarang, engkau harus mentaati segala peraturan di kuil ini. Untuk sementara, engkau menjadi murid dalam ilmu silat, mempelajari agama akan tetapi belum menjadi calon hwesio karena untuk hal itu diperlukan bakat dan pinceng ingin melihat dulu apakah engkau berbakat untuk menjadi calon hwesio."

"Baik, Suhu. Teecu hanya mentaati perintah Suhu." kata Han Siong dan diam-diam hwesio itu kagum sekali.

Anak ini baru berusia tujuh tahun, sejak kecil hidup di dalam pertapaan bersama kakek buyutnya, namun anak ini sudah pandai membawa diri.

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar