*

*

Ads

Senin, 09 April 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 014

Marahlah Pek Ki Bu.
"Para suhu sungguh keterlaluan dan tidak memandang lagi persahabatan! Apapun pendapat para suhu di Lha-sa tentang anak yang akan terlahir itu dia tetap calon cucuku dan keluarga kami, dan kami yang paling berhak untuk menentukan tentang dirinya!"

"Siancai, sesungguhnya Pek-pangcu yang tidak memandang persahabatan. Tentu Pangcu sudah memaklumi bahwa seluruh wilayah di Tibet tunduk kepada pimpinan kami di Lha-sa dan pimpinan kami yang merupakan kekuasaan mutlak yang harus ditaati oleh semua orang yang tinggal di Tibet. Keluarga Pek telah dipinjam dan dipilih untuk melahirkan seorang calon Dalai Lama, Pangcu sekeluarga tidak bersyukur atas karunia itu, malah hendak memberontak dan hendak mengubah nasib yang sudah ditentukan oleh Yang Maha Kuasa. Sekali lagi, harap Pangcu cepat memberi tahu dimana kami bisa menemukan kembali anak dan mantu Pangcu."

Wajah Ketua Pek-sim-pang berubah merah dan para muridnya sudah siap siaga dan mereka semua memandang kepada lima orang pendeta Lama itu dengan sinar mata tajam. Mereka tahu bahwa ketua mereka sudah marah terhadap bekas kawan-kawan baik itu.

"Dan sekali lagi kami tegaskan bahwa kami tidak akan memberitahukan kepada siapapun juga!" jawab Pek Ki Bu.

"Siancai...! Berarti Pek-pangcu hendak menentang kami?" bentak seorang diantara para pendeta Lama itu.

"Terserah penilaian Ngo-wi Suhu, akan tetapi kalau kebebasan pribadi keluarga kami ditekan, kami tentu akan melawan mati-matian!"

"Bagus, agaknya Pek-sim-pang memang sudah siap untuk memberontak terhadap kami. Pek-pangcu, terpaksa kami harus menangkapmu dan menghadapkan Pangcu kepada pimpinan kami!"

Akan tetapi belum juga lima orang pendeta Lama itu bergerak melaksanakan ancamannya, anak buah Pek-sim-pang sudah bergerak mengurung dan menyerang mereka. Karena pertentangan itu hanya bersifat pertentangan pendapat dan didasari panasnya perasaan, bukan permusuhan, maka para murid Pek-sim-pang itu tidak ada yang berani menggunakan senjata. Mereka menyerang dengan kepalan tangan dan tendangan kaki.

"Omitohud... kalian mencari penyakit!" kata para pendeta Lama itu dan mereka pun bergerak berpencaran.

Gerakan mereka kuat sekali dan jubah mereka yang berwarna kuning dan lebar itu berkibar ketika mereka bergerak menyambut serangan para murid Pek-sim-pang.

Akan tetapi, agaknya para anggauta rendahan itu sama sekali bukan tandingan yang setimpal dari para pendeta Lama itu. Begitu bentrok, lima orang murid Pek-sim-pang terbanting roboh!

Hal ini mengejutkan para murid kepala Pek-sim-pang. Biarpun hanya anggauta rendahan, namun para murid itu rata-rata sudah memiliki ilmu silat yang cukup tangguh, tidak mudah dirobohkan demikian saja. Akan tetapi, serangan mereka terhadap lima orang pendeta itu ternyata Sekali gebrakan saja membuat mereka sendiri terbanting keras dan tidak mampu melanjutkan perkelahian! .

Karena maklum bahwa para pendeta Lama ini lihai sekali, serentak sepuluh orang murid kepala Pek-sim-pang menerjang maju. Mereka disambut dengan tenang oleh lima orang pendeta itu dan setelah berkelahi selama sepuluh jurus, kembali ada lima orang murid Pek-sim-pang yang roboh.

"Para pendeta yang suka mencampuri urusan keluarga orang!" bentak Pek Ki Bu marah dan dia pun menerjang maju.

Terjangan Pek Ki Bu disambut oleh seorang pendeta Lama yang melompat ke depan dan menangkis serangan ketua Pek-sim-pang itu.

“Dukk...!"

Dua tenaga raksasa melalui saluran kedua lengan itu bertumbuk di udara dan akibatnya, Pek Ki Bu tertahan langkahnya, akan tetapi pendeta Lama itu pun terdorong mundur dua langkah! Hal ini membuktikan bahwa tenaga Ketua Pek-sim-pang itu masih lebih besar daripada lawannya.

"Omitohud, Pangcu sungguh kuat sekali!"

Pendeta Lama itu berseru dan diapun menerjang maju lagi dengan dahsyatnya. Pek Ki Bu mengelak dan balas menyerang dari samping yang juga dapat ditangkis oleh lawannya.






Akan tetapi, begitu Pek Ki Bu memainkan ilmu silat Pek-sim-kun (Ilmu Silat Hati Putih) yang merupakan ilmu keturunan dari keluarga Pek dan menjadi dasar dari ilmu-ilmu silat yang dilatih oleh para anggauta Pek-sim-pang, pendeta itu terdesak hebat, dan selalu main tangkis dan mundur.

Ilmu ini dasarnya adalah dari ilmu silat Siauw-lim-pai. Akan tetapi telah disesuaikan dengan ilmu-ilmu silat lain yang digabung dan menjadi semacam ilmu silat khas dari keluarga Pek.

Melihat ini, dua orang pendeta Lama menerjang maju dan membantu kawannya. Kini Pek Ki Bu dikeroyok tiga orang pendeta yang amat lihai dan perkelahian itu menjadi berimbang, bahkan berbalik keadaannya karena Ketua Pek-sim-pang itu kini mulai terdesak.

Sedangkan dua orang pendeta Lama yang lain, menghajar semua murid Pek-sim-pang yang berani melawan. Puluhan orang murid Pek-sim-pang sudah roboh terkena pukuran atau tendangan dan yang lain-lain mengeroyok dari kejauhan karena mulai merasa gentar menghadapi para pendeta Lama yang lihai itu.

Keadaan pihak Pek-sim-pang sungguh gawat. Ketuanya sendiri sudah terdesak terus dan sebentar lagi tentu akan roboh oleh tiga orang lawannya yang terlalu kuat baginya itu. Dan para anak muridnya juga sudah banyak yang roboh.

Tiba-tiba terdengar bentakan halus,
"Omitohud...! Tak pantas sekali antara sahabat sendiri menggunakan kekerasan seperti ini!"

Dan semua orang merasa betapa ada angin keras bertiup dan nampak bayangan merah kuning yang melayang turun dari atas seperti seekor burung garuda raksasa. Lima orang pendeta Lama itu merasa seperti terdorong oleh kekuatan yang luar biasa dahsyatnya membuat mereka terpaksa mundur dan juga pihak Pek-sim-pang terhuyung oleh kekuatan angin besar yang menarik mereka.

Ketika semua orang memandang, ternyata di situ telah berdiri seorang kakek bertubuh tinggi besar seperti raksasa, berkepala gundul dan jubahnya yang lebar itu bergaris kotak-kotak merah kuning, tangan kirinya memegang seuntai tasbeh. Begitu melihat pendeta Lama yang tinggi besar dan berwajah lembut ini, lima orang pendeta Lama yang tadi berkelahi, terbelalak kaget dan cepat-cepat mereka itu menjura dengan sikap hormat.!

"Mohon Kakek Guru sudi memaafkan, teecu sekalian yang berkelahi bukan karena terdorong nafsu ingin menggunakan kekerasan, melainkan karena berselisih pendapat dengan pihak Pek-sim-pang. Teecu oleh para pimpinan Dalai Lama di Lha-sa diutus untuk mencari kembali ayah dan ibu calon Sin-tong yang telah melarikan diri dengan diam-diam."

Demikianlah seorang diantara mereka melapor. Tentu saja mereka itu terkejut dan takut karena pendeta Lama raksasa ini masih terhitung kakek guru mereka. Para pimpinan di Lha-sa masih terhitung murid-murid keponakannya dan pendeta ini adalah See-thian Lama, seorang diantara Pat Sian (Delapan Dewa)!

Karena pendeta ini selama puluhan tahun tidak pernah keluar dan sama sekali tak dikenal orang luar, maka Pek Ki Bu sendiri pun tidak mengenalnya. Akan tetapi, melihat betapa hwesio Lama yang amat sakti itu disebut guru oleh pendeta Lama yang amat lihai itu, dia tahu bahwa pendeta Lama ini tentu memiliki kedudukan tinggi dan juga memiliki kesaktian yang luar biasa. Maka dia pun cepat memberi hormat.

"Harap Lo-suhu sudi mengampuni kami. Sejak Ayah kami mendirikan Pek-sim-pang, kami selalu menjadi sahabat-sahabat baik dari para pendeta Lama di Lha-sa dan kami tidak pernah melakukan pelanggaran. Akan tetapi sekali ini, para pendeta Lama hendak menekan kami dalam urusan keluarga kami. Anak kami Pek Kong dan isterinya yang mengandung tua, telah pergi untuk berkunjung kepada keluarga mereka di kampung halaman dan isterinya ingin melahirkan diantara keluarganya di timur. Akan tetapi, para Lo-suhu di Lha-sa menghendaki agar mereka itu kembali dan bahkan hendak memaksa mereka kembali. Bukankah hal itu berarti bahwa para pendeta Lama di Lha-sa hendak memperkosa hak kebebasan keluarga kami? Mohon pertimbangan Lo-suhu yang seadil-adilnya."

See-thian Lama tersenyum lebar dan mengangguk-angguk.
"Pek-pangcu, pinceng kira tidak perlu pinceng jelaskan lagi bahwa setiap orang manusia yang hidup di dunia ramai tidak akan dapat terbebas daripada peraturan-peraturan yang diadakan oleh para penguasa setempat. Sudah menjadi peraturan dan kebiasaan di Tibet tentang pemilihan Sin-tong, anak ajaib yang telah ditunjuk untuk menjadi Dalai Lama kelak. Dan kebetulan sekali. Yang terpilih adalah calon cucu Pangcu. Karena keluarga Pek bertempat tinggal di daerah Tibet, tentu saja Pangcu juga tidak terbebas daripada peraturan itu. Nah, tentu saja para pimpinan DalaiLama tidak dapat dianggap sewenang-wenang kalau mereka itu ingin melindungi mantu Pangcu yang akan melahirkan Sin-tong, karena itu adalah menjadi hak dan kewajiban mereka. Kalau Pangcu menentang, berarti Pangcu menentang peraturan dan kepercayaan dan kebiasaan yang sudah berjalan sejak ratusan tahun yang lalu."

Pek Ki Bu dapat mengerti akan pendapat pendeta Lama yang tua ini dan dia pun tidak dapat membantah. Diam-diam dia mencari akal dan dia pun tahu bahwa ayahnya sudah mengatur rencana jangka panjang untuk menyelamatkan cucunya.

“Pendapat Lo-suhu memang tepat dan benar, dapat kami mengerti. Akan tetapi, anak dan mantu kami itu tidak bermaksud melarikan diri, melainkan hendak melahirkan anak di lingkungan keluarga di timur. Kami memang belum percaya benar bahwa mantuku akan melahirkan seorang Sin-tong yang memiliki tanda merah di punggungnya. Bagaimana kalau kelak ia melahirkan anak yang tidak mempunyai tanda itu?"

"Tidak mungkin...!" kata seorang diantara lima pendeta Lama itu penuh semangat.

"Biasanya, perhitungan dan ramalan para pimpinan Dalai Lama tidak akan keliru, Pangcu. Akan tetapi kalau benar anak itu terlahir tanpa tanda itu, berarti ada kekeliruan dalam perhitungan itu dan tentu saja anak itu bukan Sin-tong."

"Bagus, kalau begitu kami berjanji. Kalau anak itu keluar dengan tanda merah di punggungnya, kami akan mengantarkannya ke Lha-sa. Akan tetapi kalau tidak ada tandanya, kami minta agar cucuku itu dibebaskan."

"Biar kami yang menyaksikan apakah dia terlahir dengan tanda itu atau tidak. Kami harus mengetahui dimana mantumu itu agar kami dapat mengamatinya dan melindunginya." seorang pendeta Lama berkeras.

"Kalau begitu, biar kami semua dibunuh, kami tidak akan mau memberi tahu dimana adanya anak dan mantuku!" Pek Ki Bu berkeras.

Kedua pihak sudah saling melotot lagi dan tentu akan terjadi perkelahian kelanjutan yang lebih mati-matian, akan tetapi See-thian Lama mengangkat tangan ke atas dan semua orang pun terdiam. Memang kepada Pendeta Lama raksasa inilah kedua pihak agaknya minta pertimbangan dan keputusan.

"Omitohud.…kekerasan takkan pernah dapat menciptakan perdamaian. Kalau urusan Sin-tong dicemari oleh kekerasan, perkelahian apa lagi sampai bunuh-membunuh, maka kesucian yang diciptakan dengan lahirnya seorang Sin-tong akan ternoda. Ada peraturan di Lha-sa bahwa pimpinan Dalai Lama berhak untuk menentukan segala sesuatu yang berkenaan dengan penduduk di Tibet. Kalau seorang Sin-tong akan terlahir di dalam wilayah Tibet, maka para pimpinan Dalai Lama boleh mengambil tindakan apa saja untuk mengambil anak itu. Akan tetapi kalau kebetulan Sin-tong akan dilahirkan di luar wilayah Tibet, suatu hal yang sering pula terjadi, maka para Dalai Lama tidak berhak memaksa keluarga yang bersangkutan karena bukan warga negaranya, walaupun tentu saja mereka juga akan berusaha sedapatnya untuk menarik Sin-tong ke dalam biara. Nah, Pek-pangcu, kalau keluargamu dan seluruh Pek-sim-pang tidak menjadi penghuni di Tibet lagi, maka tentu saja para pimpinan Lama di Lha-sa tidak akan memaksamu. Dengan kepindahan kalian dari sini, berarti kalian tidak harus tunduk akan peraturan, dan semua pertikaian mengenai anak itu akan habis sampai disini saja."

Andaikata yang mengeluarkan pendapat ini bukan See-thian Lama, orang yang amat dihormati oleh para pendeta Lama, tentu mungkin sekali menimbulkan kemarahan di pihak para pendeta karena nadanya seperti melindungi dan menasehati keluarga Pek dan anak buahnya. Sebaliknya, mungkin saja pihak Pek-sim-pang dapat merasa terhina atau seperti diusir. Akan tetapi, para pendeta Lama itu diam saja dan hanya memandang kepada Pek Ki Bu dan anak buahnya.

Pek Ki Bu bukanlah seorang yang berpikiran pendek atau keras kepala. Dia pun maklum bahwa dengan adanya urusan cucunya itu, kalau dia sekeluarga dan Pek-sim-pang tidak pergi dari Nam-co, tentu selalu akan dimusuhi oleh para pendeta Lama. Hal ini sama saja dengan dimusuhi oleh penguasa setempat dan tentu saja kehidupan mereka menjadi tidak aman lagi.

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar