*

*

Ads

Rabu, 25 April 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 074

Hati atau batin yang gelisah dan tidak tenteram selalu menjadi akibat dari sibuknya pikiran! Kalau pikiran tenang dan hening seperti air telaga yang tidak diusik, maka batin akan menjadi hening dan bebas dari segala macam perasaan pula.

Akan tetapi sekali pikiran kacau dan keruh seperti air yang diaduk sehingga semua lumpur dan kotoran dari dasar yang tadinya mengendap itu timbul dan mengeruhkan, keheningan air pun lenyap. Jadi yang penting bukanlah menekan kesibukan pikiran karena penekanan ini pun merupakan kesibukan lain lagi dari pikiran itu sendiri. Yang penting adalah menyelami dan mempelajari, mengamati kesibukan pikiran sendiri, bukan pengamatan dengan pamrih mendiamkan pikiran, melainkan pengamatan yang timbul dari kewaspadaan.

Tanpa penekanan dan perlawanan, tanpa adanya si aku yang menekan atau mengamati, tanpa adanya aku yang ingin melihat pikiran menjadi tenang, maka bagaikan kehabisan setrum, pikiran akan menjadi diam dengan sendirinya, bukan dibikin diam.

Kehidupan kita seolah-olah sejak kecil sampai tua sampai mati, dipenuhi dengan berbagai macam masalah dan persoalan. Masing-masing dari kita mempunyai masalah sendiri, menghadapi persoalan tertentu sendiri-sendiri, suka duka selalu menyelang-nyeling, susah senang menjadi pakaian sehari-hari. Semua ini bukan lain ditimbulkan oleh pikiran atau si aku karena si aku adalah bentukan pikiran kita sendiri.

Ingin ini, ingin itu, mengapa begini, mengapa tidak begitu seperti yang kita inginkan, mengapa harapan kita menjadi hampa, mengapa keinginan kita tidak terlaksana, mengapa orang lain senang dan kita susah, orang lain pandai dan kita bodoh, orang lain kaya dan kita miskin, dan sebagainya.

Perang atau konflik terjadi di dalam diri kita masing-masing, konflik antara kenyataan dan keinginan lain, konflik antara keadaan seperti adanya dengan keadaan seperti yang kita kehendaki. Konflik dalam diri setiap manusia ini menjalar menjadi konflik antara kelompok, golongan, bahkan antara bangsa dan menjadi perang yang mengguncang dunia.

Semua pertikaian atau konflik antara dua orang selalu timbul karena pikiran masing-masing, karena si aku yang selalu ingin disenangkan walaupun jarang sekali ingin menyenangkan, selalu ingin dikasihani walaupun jarang mengasihani. Masing-masing memperebutkan kebenaran sendiri, dan kebenaran yang diperebutkan itu sudah pasti kebenaran yang didasari ingin senang sendiri. Keduanya memperebutkan kebenaran sendiri-sendiri yang berbeda, bahkan berlawanan.

Tradisi usang dan kebiasaan lama kadang-kadang merupakan kebijaksanaan pada suatu masa atau kurun waktu tertentu dan kalau selalu dipertahankan, maka akan menimbulkan konflik karena segala sesuatu akan berubah dengan berubahnya waktu. Mengekor saja kepada kebiasaan atau tradisi lama tanpa pertimbangan yang bijaksana, merupakan suatu kebodohan.

Semenjak ribuan tahun, di Tiongkok terdapat suatu anggapan yang sudah berakar di dalam hati setiap keluarga, merupakan tradisi yang amat kokoh kuat, yaitu bahwa setiap keluarga harus mempunyai keturunan laki-laki! Mungkin sekali anggapan ini terdorong oleh kedua keadaan.

Pertama, seorang anak laki-laki dianggap akan dapat membantu keluarga orang tuanya di sawah karena pada waktu itu, sebagian besar rakyat hidup sebagai petani yang miskin. Kebutuhan akan tenaga bantuan inilah yang mendorong mereka beranggapan bahwa kalau mempunyai anak laki-laki berarti memperoleh tenaga bantuan yang amat baik dan dapat dipercaya, dan berarti meringankan beban keluarga. Dan ke dua, anak laki-laki akan melanjutkan tradisi nenek moyang, akan melaniutkan keturunan marga mereka masing-masing, dan akan memelihara abu nenek moyang.

Jelasnya, seorang anak laki-laki akan dapat melanjutkan silsilah keluarga, melanjutkan riwayat marga itu. Sebaliknya, anak perempuan hanya menjadi beban sejak kecil, merupakan mahluk lemah yang tenaganya tak dapat banyak diharapkan di waktu anak itu menjadi dewasa, bahkan mengundang datangnya gangguan yang datang dari orang-orang muda, dan akhirnya anak itu hanya akan diboyong oleh orang lain, membantu rumah tangga keluarga lain!

Yang dianggap lebih celaka lagi begitu menikah, seorang anak perempuan telah berganti she (nama marga) yang berarti telah menjadi anggauta keluarga marga baru itu, dan marganya sendiri sudah terlepas darinya.

Tentu saja pendapat yang menjadi tradisi seperti ini merupakan suatu pendapat yang seluruhnya berdasarkan kepentingan si aku, dalam hal ini kepentingan si orang tua sendiri. Dan pendapat yang berdasarkan kepentingan diri sendiri selalu mendatangkan tindakan-tindakan yang jahat. Demikian pula dengan tradisi tentang anak laki-laki ini, menimbulkan banyak tindakan yang sesat di kalangan orang-orang tua.

Banyak yang menganggap keluarga mereka sial kalau mempunyai anak perempuan, bahkan bukan merupakan dongeng belaka kalau ada keluarga yang anaknya terlahir perempuan melulu, tanpa ada yang laki-laki, memperlakukan anak-anak mereka dengan kejam, bahkan ada yang membunuh anak yang kesekian dan terlahir perempuan, atau menjual anak itu kepada keluarga lain untuk dijadikan budak, selir, atau bahkan pelacur! Sungguh menyedihkah akibat dari suatu kebiasaan yang turun-temurun dilakukan orang tanpa mempergunakan pertimbangan kebijaksanaan lagi.






Tentu saja karena si aku adalah bentukan pikiran kita sendiri. Ingin ini, ingin itu, mengapa begini, mengapa tidak begitu seperti yang kita inginkan, mengapa harapan kita menjadi hampa, mengapa keinginan kita tidak terlaksana, mengapa orang lain senang dan kita susah, orang lain pandai dan kita bodoh, orang lain kaya dan kita miskin, dan sebagainya.

Perang atau konflik terjadi di dalam diri kita masing-masing, konflik antara kenyataan dan keinginan lain, konflik antara keadaan seperti adanya dengan keadaan seperti yang kita kehendaki. Konflik dalam diri setiap manusia ini menjalar menjadi konflik antata kelompok, golongan, bahkan antara bangsa dan menjadi perang yang mengguncang dunia.

Semua pertikaian atau konflik antara dua orang selalu timbul karena pikiran masing-masing, karena si aku yang selalu ingin disenangkan walaupun jarang sekali ingin menyenangkan, selalu ingin dikasihani walaupun jarang mengasihani. Masing-masing memperebutkan kebenaran sendiri, dan kebenaran yang diperebutkan.

Di dalam kedudukannya sebagai Ketua Cin-ling-pai, dia dibantu oleh putera tunggalnya yang bernama Cia Hui Song, seorang pendekar yang usianya kurang lebih tiga puluh delapan tahun, lihai karena selain telah mewarisi kepandaian ayah dan mendiang ibunya, juga dia pernah digembleng oleh mendiang Siangkiang Lojin atau San-sian, seorang diantara Delapan Dewa, dan menerima ilmu-ilmu tinggi dalam hal sinkang dan ginkang.

Sejak belasan tahun yang lalu, Cia Hui Song ini menikah dengan Ceng Sui Cin, seorang wanita perkasa pula, pendekar wanita gemblengan karena ia adalah puteri dari Pendekar Sadis Ceng Thian Sin yang tinggal di Pulau Teratai Merah di lautan selatan. Ibunya juga seorang pendekar yang lihai bukan main, bernama Toan Kim Hong.

Ceng Sui Cin selain menerima ilmu-ilmu dari ayah ibunya, juga ia menerima gemblengan dalam hal ginkang oleh Wu-yi Lo-jin, seorang diantara Delapan Dewa pula. Maka, dapat dibayangkan betapa lihainya Ceng Sui Cin, bahkan lebih lihai dari suaminya!

Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin mempunyai seorang anak gadis yang telah berusia lima belas tahun bernama Cia Kui Hong. Kui Hong merupakan seorang anak perempuan yang sehat dan mungil sejak kecilnya, juga memiliki kecerdasan dan bakat yang baik sekali dalam ilmu silat sehingga ketika ia berusia lima belas tahun, ia telah mewarisi ilmu kepandaian dari ayah dan ibunya. Wataknya juga sama dengan watak Ibu dan ayahnya. Ia manis, galak dan berandalan, akan tetapi jenaka dan lincah, juga berjiwa pendekar yang gagah perkasa.

Melihat keadaan keluarga Cia ini, orang lain tentu membayangkan bahwa mereka merupakan keluarga yang berbahagia. Kedudukan mereka sebagai keluarga pimpinan perkumpulan yang terpandang dan terhormat, juga mereka tidak kekurangan, merupakan keluarga yang sehat dan selalu gembira nampaknya.

Akan tetapi sesungguhnya tidaklah demikian. Sejak bertahun-tahun yang lalu, Ketua Cin-ling-pai, Cia Kong Liang, dengan berterang menyatakan harapannya sendiri sudah terlepas darinya. Tentu saja pendapat yang menjadi tradisi seperti ini merupakan suatu pendapat yang seluruhnya berdasarkan kepentingan si aku, dalam hal ini kepentingan si orang tua sendiri. Dan pendapat yang berdasarkan kepentingan diri sendiri selalu mendatangkan tindakan-tindakan yang jahat.

Demikian pula dengan tradisi tentang anak laki-laki ini, menimbulkan banyak tindakan yang sesat di kalangan orang-orang tua. Banyak yang menganggap keluarga mereka sial kalau mempunyai anak perempuan, bahkan bukan merupakan dongeng belaka kalau ada keluarga yang anaknya terlahir perempuan melulu, tanpa ada yang laki-laki, memperlakukan anak-anak mereka dengan kejam, bahkan ada yang membunuh anak yang kesekian dan terlahir perempuan, atau menjual anak itu kepada keluarga lain untuk dijadikan budak, selir, atau bahkan pelacur! Sungguh menyedihkan akibat dari suatu kebiasaan yang turun-temurun dilakukan orang tanpa mempergunakan pertimbangan kebijaksanaan lagi.

“Hui Song, sekarang di depan isterimu aku minta ketegasan dan keputusanmu. Bagaimana dengan permintaanku agar engkau menikah lagi?”

Mendengar ini Sui Cin terkejut bukan main. Suaminya belum pernah menceritakan tentang keinginan hati ayah mertuanya itu, dan mendengar betapa kini orang tua itu minta kepada suaminya agar menikah lagi, tiba-tiba mukanya menjadi pucat, lalu berubah merah sekali. Akan tetapi karena yang ditanya adalah suaminya maka ia pun diam saja, hanya memandang kepada suaminya dengan penuh perhatian.

Hui Song juga terkejut. Ayahnya telah berterus terang di depan isterinya, hal ini merupakan desakan yang terakhir dan amat kuat, yang memaksa dia untuk mengambil keputusan, tidak seperti biasanya yang hanya dia elakkan dan tangguhkan saja.

Diam-diam dia merasa kasihan kepada isterinya dan tidak berani menoleh untuk memandang wajahnya. Kalau mengingat isterinya dan cinta kasih diantara mereka, ingin rasanya dia meneriakkan keberatannya, namun untuk menolak dia pun takut kepada ayahnya yang dia tahu menganggap amat penting keturunan laki-laki yang amat diharapkannya itu. Maka dalam keadaan bingung dia menunduk dan berkata dengan suara lirih.

"Ayah, aku... aku tidak mempunyai pikiran untuk …..”

“Hui Song!" Cia Kong Liang membentak karena sejak tadi amarahnya sudah menyesak di dada dan dia menduga bahwa puteranya tentu menolak sehingga jawaban kalimat yang belum putus itu sudah dianggap sebagai penolakan. "Apakah engkau ingin menjadi seorang anak yang put-hauw (tidak berbakti atau durhaka)? Ingat, sudah lama aku ingin mengundurkan diri dan menyerahkan kedudukan Ketua Cin-ling-pai kepadamu, akan tetapi selama engkau belum mernpunya seorang anak laki-laki, terpaksa aku tidak beranii mengundurkan diri dan mengoperkan kedudukan pimpinan padamu.”

"Ayah, apakah keluarga ini masih menganggap saya sebagai manusia, ataukah sebagai kertas pembungkus saja?"

Cia Kong Liang melebarkan matanya mendengar pertanyaan ini.
"Maksudmu?"

"Kalau saya dianggap kertas pembungkus, maka hanya dipergunakan dan dirawat sewaktu diperlukan saja, kalau tidak diperlukan lagi boleh dibuang begitu saja! Akan tetapi kalau diperlakukan sebagai manusia, kenapa saya tidak pernah diajak berunding? Saya adalah isteri Cia Hui Song, saya berhak untuk menentukan tentang dirinya!"

"Tapi... tapi aku yakin bahwa engkau tentu akan menyetujui kalau Hui Song mengambil seorang gadis lain sebagai isteri, untuk menyambung keturunan she Cia ….”

"Saya tidak setuju!” teriak Sui Cin, kini tidak lagi bersopan-sopan, melainkan secara spontan mengeluarkan isi hati dan kemarahannya.

Mendengar teriakan ini dan melihat sikap anak mantunya, Cia Kong Liang yang juga berhati keras itu seketika bangkit kemarahannya.

"Engkau... tidak berhak untuk menolak atau tidak menyetujui! Engkau hanya seorang isteri, hanya seorang anak mantu, yang harus patuh kepada suaminya, kepada ayah mertuanya!"

"Ayah, kapankah aku tidak pernah patuh?" teriak Sui Cin. "Selama belasan tahun tinggal disini, bukankah aku selalu patuh? Akan tetapi sekali ini menyangkut hubungan antara suami isteri. Aku tidak pernah bersalah kepada Hui Song, aku menjadi seorang isteri yang dicinta dan mencinta, kenapa tiba-tiba saja Hui Song harus menjadi milik wanita lain? Aku tidak mau membaginya dengan wanita lain! Aku tidak setuju kalau dia mengambil seorang wanita lain sebagai isteri kedua!"

“Engkau tidak berhak melarang!" teriak Cia Kong Liang pula dengan sama marahnya dan menudingkan telunjuknya kepada muka anak mantu yang biasanya amat disayangnya itu. "Engkau telah tidak mampu melahirkan seorang keturunan laki-laki!"

"Belum tentu kalau aku yang tidak mampu! Siapa tahu Hui Song juga tidak mampu mempunyai turunan laki-laki? Jangan hanya salahkan diriku seorang!"

Kedua mata Sui Cin sudah mulai basah dengan air mata, akan tetapi ia tidak menangis dan memandang kepada ayah mertuanya dengan mata terbelalak walaupun sudah basah bahkan air matanya mulai jatuh berderai.

"Kalau dia mengambil gadis lain, tentu dapat mempunyai keturunan laki-laki!"

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar