*

*

Ads

Rabu, 25 April 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 072

Wajah Song Bu Hok berubah merah saking marahnya dan dengan langkah lebar dia menghampiri Hay Hay.

"Kalau begitu, Saudara Tang, mari beri aku sedikit pelajaran dan hadapilah ilmu pedangku yang jelek!"

"Tidak, Song-kongcu, aku….."

"Apakah harus kukatakan bahwa engkau adalah seorang pengecut yang tidak berani terang-terangan menyatakan dengan mulut, melainkan melontarkan celaan dalam hati saja? Benarkah engkau seorang pengecut?"

"Song Bu Hok ….!" Hay Hay menjadi marah. "Engkau tidak layak memaki aku sebagai pengecut!"

“Kalau bukan pengecut, hayo hadapi pedangku!" teriak Song Bu Hok marah sekali mendengar betapa tadi Pek Eng memuji-muji Hay Hay dan mencelanya.

"Aku tidak ingin berkelahi, sungguhpun aku tidak takut menghadapi pedangmu sama sekali!” kata Hay Hay.

Ucapan ini merupakan minyak yang menambah berkobarnya api dalam dada Bu Hok. Ucapan bahwa Hay Hay tidak takut menghadapi ilmu pedangnya dianggap sebagai tantangan.

"Kalau begitu, sambutlah pedangku!"

Song Bu Hok berteriak dan teriakan ini diikuti serangannya. Dengan pedangnya dia menusuk ke arah dada, tusukannya cepat dan kuat. Hay Hay mengelak dengan mudah.

"Song-toako, aku berani bertaruh bahwa sampai seratus jurus sekalipun engkau takkan mungkin dapat mengenai tubuhnya dengan pedangmu!"

Ucapan Pek Eng ini bukan sekedar memanaskan hati, rnelainkan karena ia sudah melihat tadi betapa dengan langkah-langkah ajaib, pemuda itu mampu mengelak dari semua serangan pendeta-pendeta Lama yang jauh lebih lihai daripada Bu Hok! Akan tetapi teriakan ini membuat hati Bu Hok menjadi semakin panas dan penasaran.

"Hendak kulihat sampai dimana hebatnya pengecut ini!" bentaknya marah dan dia memperhebat serangannya.

Tadinya Hay Hay ingin rneloncat keluar dan tidak melayani putera Ketua Kang-jiu-pang itu, akan tetapi mendengar betapa dia dimaki pengecut lagi, hatinya menjadi panas juga. Pemuda ini terlalu tinggi hati dan perlu diberi pelajaran, pikirnya, maka diapun lalu menggerakkan kedua kakinya, rnenggunakan langkah-langkah ajaib untuk menghindarkan diri dari serangkaian serangan yang bertubi-tubl itu.

Dengan mudah saja dia mengelak dan berloncatan ke sana-sini, menggeser kaki ke kanan kiri, depan dan belakang, akan tetapi senjata pedang di tangan Bu Hok sama sekali tak pernah dapat menyentuh tubuhnya!

Ketika Bu Hok menyerang dengan cepat sehingga pedangnya nampak berubah menjadi gulungan sinar, tubuh Hay Hay juga menyelinap diantara gulungan sinar itu dan selalu saja serangan Bu Hok mengenai angin kosong!

Bu Hok yang berwatak keras dan angkuh itu tidak menyadari kebenaran kata-kata Pek Eng tadi tentang kelihaian Hay Hay. Dia tidak sadar bahwa ilmu kepandaian lawan itu jauh lebih tinggi daripada tingkatnya, bahkan dia merasa penasaran sekali. Diperhebat serangannya sampai akhirnya dia terengah-engah dan tubuhnya basah oleh keringat, sedangkan Hay Hay masih enak-enak saja melangkah dan menggeser kaki ke sana-sini.

"Bu Hok, apa yang kau lakukan itu? Hentikan!" tiba-tiba terdengar bentakan suara Song Un Tek.

Kiranya Song Un Tek dan adiknya, Song Un Sui, bersama pihak tuan rumah telah keluar dari rumah memasuki taman dan melihat betapa puteranya menyerang Hay Hay kalang kabut dengan pedangnya, Ketua Kang-jiu-pang itu terkejut dan cepat membentak menyuruh puteranya menghentikan serangan. Namun Bu Hok yang sudah mabok karena penasaran dan marah, masih mengirim beberapa tusukan dan sabetan pedang.

Hay Hay menggunakan jari tangannya menyentil ke arah pedang di dekat gagang. Terdengar suara nyaring dan Bu Hok merasa betapa tangan kanan yang memegang pedang seperti lumpuh. Hampir saja dia melepaskan pedangnya yang tergetar hebat. Dia tidak melihat apa yang terjadi, tidak tahu bahwa pedangnya telah disentil jari tangan lawan. Akan tetapi Hay Hay melompat keluar petak rumput, menjura ke arah Song Bu Hok dan meraba baju di bagian dadanya yang terobek, agaknya terkena ujung pedang. Akan tetapi hanya robek saja dan kulitnya tidak terluka.






"Kian-hoatmu hebat, Song-kongcu, aku mengaku kalah.”

Kalau tadinya dia terkejut dan heran, kini Song Bu Hok membusungkan dadanya. Bagaimanapun juga, pedangnya mampu merobek baju di bagian dada lawan, bahkan Tang Hay mengakui keunggulannya! Dia menoleh kepada Pek Eng dan berkata.

"Eng-moi, biarpun dia boleh juga, akan tetapi tidak dapat menghindarkan kehebatan pedangku."

Berkata demikian, dia hendak menyarungkan pedangnya kembali, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara berdetak dan pedangnya patah dekat gagangnya, dan jatuh keluar dari sarung.

"Eehhhhh ……!!" Song Bu Hok memandang gagang pedang yang masih dipegangnya dengan mata terbelalak dan muka pucat, lalu memandang kepada pedang yang sudah buntung dan kini menggeletak di dekat kakinya. "Pedang... pusakaku ?"

Melihat betapa pedang pusaka itu patah, sekali loncat Song Un Sui yang berperut gendut itu telah berada di dekat keponakannya. Mengagumkan sekali gerakan Si Gendut ini karena melihat perutnya yang gendut dan tubuhnya yang gemuk bulat, agaknya tak mungkin dia dapat bergerak seringan dan secepat itu. Dia sudah membungkuk dan mengambil pedang yang buntung, lalu memeriksa bagian dekat gagang yang patah.

Nampak jelas betapa pedang itu memang patah, agaknya terpukul benda yang amat kuat, lebih kuat daripada pedang itu sendiri. Padahal dia tahu benar bahwa pedang itu bukan pedang murahan, melainkan sebuah pedang pusaka terbuat dari baja pilihan. Dia tadi juga melihat keponakannya menyerang pemuda sederhana yang bertangan kosong itu, bagaimana kini tahu-tahu pedang itu dapat menjadi patah?

Tadi ketika bercakap-cakap bersama kakaknya dan pihak tuan rumah di sebelah dalam, selain pembicaraan mengenai kematangan ikatan jodoh antara Song Bu Hok dan Pek Eng, juga pihak tuan rumah menceritakan tentang kedatangan tiga orang pendeta Lama yang mengungkit kembali persoalan Sin-tong, juga menceritakan bahwa pemuda bernama Tang Hay itu muncul membantu keluarga Pek dan bahwa pemuda itu memiliki kepandaian tinggi.

Akan tetapi, Song Un Sui ini memiliki watak yang tinggi hati dan mengagulkan kepandaian sendiri, watak yang di tiru oleh keponakannya. Biarpun kini dia melihat bahwa pedang keponakannya patah dan menduga bahwa tentu pemuda she Tang itu yang mematahkan, dia menjadi marah. Dia tidak mau melihat kenyataan bahwa patahnya pedang itu membuktikan kebenaran cerita keluarga Pek bahwa pemuda she Tang itu benar-benar memiliki ilmu kepandaian yang hebat.

"Bocah she Tang, berani engkau mematahkan pedang pusaka keponakanku?" bentaknya dan sikapnya ini terdorong pula oleh pengetahuan bahwa pemuda itu bukan keluarga dari Pek-sim-pang, bukan murid dan bukan keluarga, hanya tamu, maka diapun berani menentangnya.

"Aku hanya membela diri …." Hay Hay menjawab.

"Bocah sombong, engkau hendak memamerkan kepandaian dengan menghina kami? sambutlah seranganku!"

Si Gendut itu kini sudah menerjang ke depan dengan pukulan tangan terbuka ke arah dada Hay Hay. Melihat serangan yang hebat, dengan tenaga yang lebih kuat daripada tenaga Bu Hok tadi, Hay Hay cepat mengelak. Lawannya mendesaknya dengan serangan bertubi-tubi, namun Hay Hay segera mainkan langkah-langkah ajaib dan dengan mudah menghindarkan diri dari semua serangan.

Melihat pamannya sudah maju menyerang, tanpa berkata apa-apa lagi Bu Hok yang merasa penasaran juga meloncat dan membantu pamannya menyerang Hay Hay. Namun, Hay Hay masih terus mengelak, dengan Jiauw-pouw-poan-soan dan serangan kedua orang itu selalu mengenai tempat kosong. Secara aneh tubuhnya selalu dapat menghindar, dan nampaknya dia hanya bergerak dengan tenang dan lambat saja!

Keluarga Pek merasa bingung sekali melihat perkelahian ini, Mereka menjadi serba salah. Mau melerai, Pek Kong khawatir kalau dia disangka memihak Hay Hay, tidak dilerai, dia khawatir sekali karena dia maklum bahwa tiga orang Kang-jiu-pang ini pun tidak akan menang melawan Hay Hay yang bukan saja memiliki ilmu silat tinggi, akan tetapi juga pandai ilmu sihir.

Para murid Pek-sim-pang yang tertarik oleh keributan itu dan sudah berkumpul nonton disitu, diam-diam berpihak kepada Hay Hay yang mereka kagumi, pemuda yang tadi sudah mengusir musuh-musuh mereka, yaitu para pendeta Lama. Apalagi para murid muda dari Pek-sim-pang. Mereka mendengar bahwa kunjungan keluarga Song itu untuk meminang Pek Eng, maka timbullah rasa iri hati, apalagi melihat sikap Song Bu Hok yang tinggi hati, mereka merasa tidak senang. Kini mereka nonton perkelahian dan mengharap, agar Hay Hay mau menghajar keluarga Song itu!

Akan tetapi Hay Hay juga merasa serba salah. Dia tidak mau membikin malu keluarga Song yang menjadi tamu terhormat dan sahabat baik keluarga Pek. Kalau tadi dia sengaja mematahkan pedang dengan sentilan jarinya adalah karena dia mendongkol melihat sikap sombong Bu Hok dan ingin memberi pelajaran kepadanya.

Tak disangkanya bahwa perbuatannya itu menimbulkan kemarahan laki-laki perut gendut yang menjadi paman Bu Hok. Kini dia memainkan Jiauw-pouw-poan-soan untuk menghindarkan diri dari serangan dua orang lawannya. Melihat tingkat kepandaian dua orang penyerangnya ini, dia merasa yakin bahwa biarpun dia menghadapi mereka tanpa membalas, mereka tidak akan mampu memukulnya.

Maka dia pun hanya mengelak ke sana-sini dengan gerakan lincah dan indah, tidak seperti ketika dia menghadapi para pendeta Lama dimana dia membuat gerakan kaku dan lucu untuk mempermainkan mereka. Diam-dlam kini dla merasa menyesal mengapa tadi dia menuruti emosi hatinya dan mematahkan pedang Bu Hok.

Sementara itu, Ketua Pek-sim-pang, yaitu Pek Kong dan Pek Ki Bu kini dapat mengikuti dengan baik gerakan Hay Hay yang tidak dibuat-buat dan diam-diam mereka terkejut sekali ketika mengenal bahwa langkah-langkah ajaib yang dimainkan Hay Hay itu mirip dengan langkah-langkah ajaib Jiauw-pouw-poan-soan yang pernah mereka lihat, ilmu kesaktian yang dimiliki oleh seorang tokoh besar di Tibet!

Song Un Tek, Ketua Kang-jiu-pang tidak tinggi hati seperti adiknya dan puteranya. Dia tadi sudah mendengar betapa Hay Hay merupakan seorang tamu terhormat dari keluarga Pek, bahkan pemuda itu telah membantu keluarga Pek mengusir para pendeta Lama yang datang mengacau. Biarpun patahnya pedang puteranya merupakan hal yang memalukan, namun dia harus mendengar dulu perkaranya, apa yang telah terjadi antara dua orang muda itu sebelum turun tangan seperti adiknya. Maka dia pun lalu melangkah maju dan berseru kepada adiknya dan puteranya untuk menghentikan serangan mereka.

"Tidak baik urusan kecil dibikin besar." katanya setelah adiknya dan anaknya mundur mendengar perintah Song Un Tek. "Kalau ada urusan, sebaiknya dibicarakan dengan baik. Bu Hok, apa yang telah terjadi? Kenapa tadi engkau berkelahi dengan Saudara Tang Hay?"

Bu Hok adalah seorang pemuda yang tinggi hati dan mengagulkan diri sendiri, akan tetapi dia juga seorang pemuda yang gagah dan jujur. Mendengar pertanyaan ayahnya, mukanya berubah merah. Tak perlu dia berbohong, dan disitu terdapat pula Pek Eng yang tadi menjadi saksi.

"Aku hanya ingin mencoba kepandaiannya, Ayah." katanya.

Song Un Tek mengerutkan alisnya dan menegur adiknya.
"Sui-te, engkau mendengar sendiri. Keponakanmu itu mencari gara-gara dengan mencoba kepandaian Saudara Tang, kenapa engkau tanpa penyelidikan lebih dulu sudah lancang turun tangan menyerang orang yang tidak bersalah?"

Song Un Sui menundukkan mukanya, tak disangkanya bahwa keponakannya itu hanya menguji kepandaian saja.

"Aku melihat pedang itu patah, maka….."

"Nah, lain kali harap suka bersabar." tegur kakaknya, kemudian dia memandang lagi kepada puteranya, "Bu Hok, sungguh sikapmu itu memalukan. Engkau menguji kepandaian orang secara persahabat, hal itu biasa saja. Akan tetapi engkau menggunakan pedang, menyerang Saudara Tang yang bertangan kosong. Apakah perbuatan itu patut? Masih untung bagimu bahwa pedangmu yang dipatahkan, bukan kaki, tangan atau lehermu. Hayo kau sadari kesalahanmu dan minta maaf."

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar