*

*

Ads

Rabu, 18 April 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 038

Usia pemuda ini sekitar dua puluh tahun. Biarpun masih muda, namun dalam sinar matanya yang berkilat dan berseri itu, di dalam senyumnya yang seolah-olah penuh pengertian, pemuda ini nampak jauh lebih dewasa daripada usia yang sebenarnya.

Dari cara dia berpakaian, dia seperti seorang pelajar dari dusun yang menempuh ujian di kota dan kini dalam perjalanan pulang ke dusun, seorang pemuda pelajar yang pandai, halus dan sopan, akan tetapi lemah lembut. Akan tetapi kalau melihat tubuhnya yang tegap dan dadanya yang lebar, dia lebih mirip seorang yang suka akan olah raga, atau setidaknya seorang pemuda yang biasa bekerja kasar di ladang di bawah sinar matahari yang sehat.

Pemuda itu bukan lain adalah Hay Hay! Dia tidak lagi mau menggunakan she (nama keturunan) Siangkoan karena nama keturunan itu adalah milik Lam-hai Siang-mo, suami isteri iblis yang telah menculiknya dari tangan keluarga Pek itu. Dan dia pun tidak berani memakai nama keturunan keluarga Pek, karena menurut kedua orang gurunya, amat diragukan bahwa dia benar putera keluarga Pek, karena bukankah putera keluarga Pek itu adalah Sin-tong seperti yang pernah diramalkan oleh para Dalai Lama dan bahwa Sin-tong memiliki ciri khas pada punggungnya, yaitu dengan tanda kulit punggung merah? Tidak, daripada menggunakan nama keturunan yang salah, lebih baik dia tidak memakai nama keturunan dan tetap memakai nama kecilnya saja, yaitu Hay Hay!

Kurang lebih tiga tahun yang lalu, ketika dia berusia tujuh belas tahun, dia meninggalkan Pulau Hiu karena waktu lima tahun telah lewat, yaitu waktu yang ditentukan baginya untuk berguru kepada Ciu-sian Sin-kai. Dengan memperoleh bekal ilmu-ilmu yang tinggi, juga nasihat-nasihat dan sekantung uang emas dari gurunya yang mencintanya, Hay Hay mendayung sebuah perahu kecil keluar dari perairan Pulau Hiu yang berbahaya.

Dia masih bergidik ngeri kalau teringat kembali akan peristiwa penyerbuan pulau itu oleh kaum bajak laut ketika dia datang bersama gurunya untuk pertama kali di pulau itu, membayangkan puluhan orang disergap ikan-ikan hiu dan dijadikan mangsa. Ketika dia mendayung perahu di antara batu-batu karang dan melihat sirip ikan-ikan hiu yang meluncur ke sana-sini, dia pun merasa ngeri juga. Betapapun tinggi ilmu kepandaiannya, sekali dia terjatuh ke dalam perairan itu, tak mungkin dia dapat menyelamatkan diri lagi.

Akan tetapi berkat pengetahuannya akan rahasia dan lika-liku batu-batu karang di perairan itu, dia dapat keluar dengan selamat dan tak lama kemudian mendarat di pantai lautan Po-hai.

Selama tiga tahun Hay Hay merantau dan sudah banyak dia mengalami hal-hal yang memperdalam pengertiannya akan kehidupan ini, membuat dia lebih mengenal watak manusia dan sedikit banyak tahu akan keadaan dunia kang-ouw.

Akan tetapi dia selalu mentaati pesan kedua orang gurunya, yaitu dia tidak mau menonjolkan diri dan kepandaiannya, dia tidak mau membuat nama besar karena menurut pesan kedua orang gurunya, nama besar itu merupakan ikatan yang amat kuat membelenggu diri dan setiap ikatan akan selalu mendatangkan kerepotan.

Memiliki sesuatu merupakan suatu bentuk ikatan yang amat kuat, demikian antara lain See-thian Lama pernah menasihatinya. Biasanya, kita ingin memiliki sesuatu yang menimbulkan kesenangan dan siapa yang memiliki sesuatu, dia pasti akan terancam oleh kehilangan. Ancaman inilah yahg menimbulkan kekerasan dalam batin untuk menjaga dan mempertahankan apa yang dimilikinya itu, karena kalau kehilangan, berarti dia akan kehilangan kesenangan-kesenangan yang didatangkan oleh yang dimilikinya itu.

Dalam mempertahankan inilah terjadi kekerasan, permusuhan, kebencian dan selanjutnya. Dahulu, dalam usia dua belas tahun, Hay Hay belum mengerti benar apa yang dimaksudkan oleh gurunya itu. Akan tetapi kini dia mengerti dan melihat kenyataan dan kebenaran dalam ucapan pendeta Lama itu. Siapa yang memiliki dia akan menjaga yang dimilikinya dari kehilangan. Yang memiliki sajalah yang akan kehilangan! Yang tidak memiliki apa-apa takkan kehilangan apa-apa.

Dan dia pun melihat kenyataan bahwa hanya orang yang tidak memiliki apa-apa, dalam arti kata batinnya tidak terikat oleh apa pun, maka hanya dia itulah yang sesungguhnya penuh dengan segala sesuatu! Dan orang yang batinnya kosong, yang jiwanya kosong, memang haus untuk memiliki sesuatu atau dimiliki seseorang, dia membutuhkan sesuatu yang disenanginya untuk memenuhi kekosongan jiwanya

Memang banyak kenyataan aneh di dunia ini. Mengapa orang ingin memiliki benda-benda yang dapat dinikmati dengan penglihatan, pendengaran atau penciuman misalnya? Mengapa kita ingin memiliki bunga yang indah dan harum itu? Padahal, tanpa kita miliki sekalipun, dapat saja kita menikmati keindahan dan keharumannya! Mengapa kita ingin memiliki burung yang nyanyiannya demikian merdu? Bukankah tanpa memiliki sekalipun, kita sudah dapat menikmati kemerduan suara burung itu?

Kita ingin memiliki segala-galanya! Bukan hanya memiliki benda-benda, bahkan memiliki manusia lain. Isteri atau suami, anak-anak, keluarga menjadi milik kita yang kita kuasai, milik yang dapat menimbulkan kesenangan dan kebanggaan hati kita. Bahkan kita ingin memiliki nama besar, kedudukan, kehormatan.






Si Aku tak pernah puas, terus membesar dan berkembang. Badanku keluargaku, hartaku, namaku, kedudukanku, terus membesar sampai ke bangsaku, agamaku dan selanjutnya. Karena melihat betapa si aku ini sebenarnya bukan apa-apa, hanya seonggok daging hidup Yang menanti saatnya kematian tiba dan kalau sudah mati segala miliknya itu terpisah dari "aku", maka si aku haus untuk mengikatkan diri dengan apa saja, untuk mengisi kekosongan dan kekecilannya, untuk tempat bergantung sesudah mati agar diingat terus, agar "hidup" terus!

Kini Hay Hay telah menjadi seorang pemuda yang berusia dua puluh tahun, berwatak gembira, jenaka, memandang kehidupan dengan sepasang mata bersinar-sinar, wajah yang cerah penuh gairah hidup. Hidup baginya nampak indah dan segala hal dapat dinikmatinya sepenuhnya.

Udara yang jernih sejuk dan nyaman, air, tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, sayur-sayur, bunga-bunga dan segala yang nampak di permukaan bumi ini sesungguhnya amat indah dan segalanya itu dapat kita nikmati sepenuhnya. Dia memang suka akan keindahan dan karena inilah agaknya, maka terhadap kecantikan wanita dia peka sekali!

Ketika Hay Hay berjalan seorang diri menuju ke dusun itu, tiba-tiba pendengarannya yang tajam menangkap suara ketawa merdu sekelompok wanita. Dia tersenyum gembira. Bagi Hay Hay, suara dan ketawa wanita memasuki telinganya seperti bunyi musik yang merdu dan selalu menimbulkan perasaan yang tenang, damai dan menyenangkan. Dia lalu membelok ke kiri, ke arah suara.

Kiranya ada tujuh orang wanita muda usia, antara lima belas sampai dua puluh tahun, sedang mencuci pakaian dan mandi disebuah sungai kecil yang mengalir di luar dusun itu. Air sungai itu cukup jernih karena mengalir dari pegunungan yang ditinggalkannya pagi tadi.

Karena mandi di tempat umum sambil mencuci pakaian, gadis-gadis itu tidak telanjang sama sekali, melainkan mengenakan pakaian dalam yang tipis. Air yang membasahi tubuh dan pakaian itu membuat pakaian melekat dan dari tempat dia berdiri nampak tubuh-tubuh yang padat itu seperti tidak berpakaian saja. Pemandangan yang indah!

Hay Hay tersenyum dan memilih tempat duduk di bawah pohon, di atas batu besar dari mana dia dapat nonton dengan enaknya, lalu menurunkan buntalan bekalnya dan mulai makan sepotong roti kering karena sejak pagi tadi dia belum sarapan. Seguci kecil arak yang tidak keras menemani roti kering itu, juga sepotong daging kering manis.

Makin lezat rasa roti dan daging kering sederhana itu karena pemandangan yang amat menarik hatinya. Betapa lembut dan padat tubuh gadis-gadis itu, dengan kulit yang berkilau mulus tertimpa matahari pagi. Dan wajah-wajah itu demikian manis. Dan suara sendau gurau itu demikian riang gembira, merdu seperti tiupan suling. Dengan gigi putih kadang-kadang berkilau kalau gadis-gadis itu tersenyum gembira.

Selama tiga tahun merantau ini, dan dirinya menjadi semakin dewasa, sudah banyak Hay Hay bertemu dan bergaul dengan wanita. Akan tetapi pergaulannya itu selalu dibatasinya. Dia tidak pernah melupakan kuliah yang diterimanya dari Ciu-sian Sin-kai. Tidak, dia belum siap untuk menjadi suami dan ayah. Dia belum siap untuk menikah. Dan dia pun tidak mau menjadi seorang laki-laki pengecut yang tidak bertanggung jawab, menghamili seorang gadis lalu meninggalkannya begitu saja.

Karena itu, dia selalu berhati-hati, tidak membiarkan dirinya terseret terlalu jauh dan selalu dia menyingkir dan menjauhkan diri kalau pergaulannya dengan seorang wanita menjadi terlampau erat dan nampak bayangan bahaya terseret ke dalam pelaksanaan hal yang dipantangnya. Dan sejauh ini, dia berhasil.

Keadaan Hay Hay memang berbeda dengan keadaan pemuda pada umumnya, atau para pria kalau melihat wanita-wanita cantik. Hay Hay secara langsung menikmati keindahan bentuk tubuh wanita-wanita itu, menikmati kecantikan mereka, kelembutan mereka, keluwesan gerakan tubuh mereka, dan kemerduan suara mereka.

Dia menikmati semuanya itu pada saat itu juga, tanpa membiarkan pikirannya membawanya hanyut ke dalam permainan waktu. Pria alim pada umumnya akan hanyut ke dalam alam khayal, mengenangkan kembali segala pengalaman dengan wanita-wanita cantik, lalu mengkhayal bahwa wanita-wanita itu, atau seorang di antaranya menjadi miliknya, menjadi kekasihnya, dicumbunya sehingga dengan demikian timbullah dan bangkitlah nafsu.

Hay Hay tidak mengkhayal apa-apa. Dia melihat keindahan semua itu tanpa keinginan memiliki, seperti orang menikmati keindahan bulan purnama, keindahan tamasya alam di pegunungan, keindahan gelombang air di samudera. Sedikit pun tidak timbul khayal pikiran untuk mengikatkan diri dengan yang dikaguminya, untuk mendapatkan kesenangan darinya. Dia menikmati semua itu secara langsung, dan akan habis di saat itu pula, tidak menjadi kenangan.

Akan tetapi karena Hay Hay enak-enak saja duduk di tempat itu tanpa menyembunyikan diri, makan roti dan daging kering sambil menikmati tontonan di bawah, tentu saja akhirnya seorang di antara gadis-gadis itu melihatnya.

"Aihhhh...!!"

Gadis itu menjerit dan mendekam di dalam air sambil menggunakan kedua tangan menutupi dada yang tercetak melekat pada kain basah. Teman-temannya terkejut dan bertanya. Gadis itu menunjuk ke arah Hay Hay. Semua gadis menoleh dan terdengarlah jerit-jerit manja ketika gadis-gadis itu melihat ada seorang pemuda tampan duduk enak-enak nongkrong di atas batu besar sambil makan dan nonton mereka. Mereka semua berjongkok di dalam air dan menutupi dada dengan kedua tangan.

Hay Hay tersenyum lebar. Sikap para gadis yang malu-malu itu sungguh merupakan sikap kewanitaan yang amat lucu dan menarik. Seratus prosen wanita! Mencoba untuk bersembunyi di dalam air, mencoba untuk menyembunyikan tonjolan payudara dengan kedua tangan akan tetapi kadang-kadang melirik untuk melihat apakah sikap mereka itu cukup manis dan menarik! Perempuan namanya! Naluri kewanitaan selalu mendorong wanita untuk menarik perhatian orang lain, terutama sekali kalau orang lain itu pria, dan lebih-lebih lagi kalau pria muda yang tampan. Haus akan perhatian pria, haus akan kekaguman yang terbayang dalam pandang mata pria, haus akan pujian yang keluar dari mulut pria. Itulah wanita!

Seorang di antara para gadis itu, yang paling tua usianya kurang lebih sembilan belas tahun, agaknya yang paling tabah di antara mereka. Melihat betapa pemuda tampan yang nongkrong itu masih enak-enak makan sambil terus memandangi mereka, dan ternyata pemuda itu seorang asing, bukan pemuda dari dusun mereka, ia lalu berkata dengan nada suara marah.

"Kau... kau pemuda kurang ajar! Tidak sopan!"

Hay Hay membelalakkan matanya, dan sebelum menjawab, dia mendorong makanan di dalam mulutnya dengan seteguk arak anggur. Kemudian dia membersihkan kedua tangannya dan sambil memandang ke arah tujuh orang gadis yang berjongkok di dalam air itu, dia berkata, suaranya lantang dan tidak dibuat-buat.

"Sungguh aneh. Kenapa kalian marah-marah? Bukankah sudah wajar kalau yang indah-indah itu ditonton dan dikagumi? Aku melihat dan mengagumi bunga indah, burung-burung yang bersuara merdu dan manja, aku nonton mereka sepuasku, dan mereka tidak menjadi marah! Yang indah-indah memang baru nampak indah kalau ditonton dan dikagumi, bukan?"

"Apa yang indah?" tanya gadis itu.

"Apa yang indah?" Hay Hay bangkit berdiri di atas batu besar itu dan mengembangkan kedua lengannya. "Kalian masih bertanya lagi? Kalian inilah yang indah! Wajah kalian begitu manis dan cerah, sinar mata kalian begitu indah berseri, senyum kalian di bibir yang segar itu, kedua pipi yang kemerahan, bentuk tubuh yang demikian sempurna. Aihhhhh, suara kalian yang demikian merdu. Demikian banyak keindahan pada diri kalian dan kalian masih bertanya apanya yang indah? Ambooiii, kalian adalah gadis-gadis dusun yang benar-benar polos, wajar dan tidak berpura-pura. Makin mengagumkan, seperti sekumpulan bunga mawar hutan yang liar akan tetapi semakin cerah warnanya dan semakin semerbak harumnya. Wahai nona-nona cantik jelita, tadi aku hampir terpesona dan menyangka bahwa kalian adalah sekumpulan bidadari dari kahyangan yang turun mandi di sungai ini."

Tujuh orang gadis itu adalah gadis-gadis dusun sederhana. Melihat pemuda yang tampan itu berdiri di atas batu dan mengucapkan kata-kata yang amat indah bagi mereka itu, yang penuh dengan pujian-pujian, dengan lagak seperti seorang pemain panggung yang pandai, menjadi melongo.

Tidak ada wanita yang tidak merasa nyaman perasaannya mendengar orang memujinya bahwa cantik, apalagi pujian seperti itu, demikian muluk dan indah kata-katanya, dikeluarkan oleh mulut seorang pemuda yang demikian tampan. Hati siapa takkan menjadi gembira? Tujuh orang gadis itu merasa girang sekali, walaupun masih mereka sembunyikan di balik senyum-senyum yang mulai timbul, bahkan terdengar suara ketawa kecil tertahan.

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar