*

*

Ads

Kamis, 12 April 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 029

Ketika dia meluncur turun, laki-laki gagah ini tidak menjadi pingsan, bahkan tidak kehilangan ketenangannya. Dia tahu bahwa dia tentu akan hancur terbanting di batu-batu karang bawah sana.

Akan tetapi tiba-tiba saja tubuhnya tertahan dan dia merasa punggungnya perih dan ketika dengan cekatan tangan kanannya meraih ke belakang, kiranya secara "kebetulan" sekali tubuhnya tertahan oleh sebuah pohon yang secara "kebetulan" pula tumbuh miring pada dinding tebing curam itu!

Agaknya jubahnya yang berkembang karena luncuran tadi, tertangkap dan terkait dahan pohon yang "kebetulan" tidak patah sehingga tubuhnya tertahan. Pada saat itu, dia mendengar jeritan muridnya. Cepat dia bergantung dengan kedua kakinya pada dahan pohon yang terbesar, dan memandang ke atas dan dilihatnya tubuh kecil muridnya melayang turun!

laki-laki itu memang hebat, memiliki kekuatan batin yang luar biasa sehingga dalam keadaan seperti itu, dia masih sadar dan dapat membuat perhitungan dengan tepat. Ketika tubuh gadis remaja itu meluncur di dekatnya, cepat dia menyambar dengan tangan kanannya dan berhasil menangkap lengan anak perempuan itu!

Anak perempuan itu mengaduh dan dia sendiri menahan keluhannya karena belakang lutut kedua kakinya yang bergantung, juga pangkal lengan kanannya, terbetot keras dan terasa nyeri sekali. Akan tetapi dia dapat bertahan dan dia girang bahwa anak perempuan itu pun masih dalam keadaan sadar.

"Cepat, Hui Lian, kau tangkap dahan pohon depanmu itu." katanya sambil menarik tubuh anak itu ke atas.

Anak yang bernama Hui Lian itu menangkap dahan pohon, kemudian dia mendekam di situ, tubuhnya agak gemetar dan ia kembali menutup matanya ketika memandang ke bawah. Ia merasa ngeri bukan main.

"Tenangkan hatimu, jangan memandang ke atas atau ke bawah. Bersukurlah bahwa kita masih dalam keadaan selamat."

"Baik, Suhu!"

Dan dalam suara anak itu kini sudah terdengar keriangan, tanda bahwa hatinya sudah tenang dan ia pun berusaha bersikap riang untuk membesarkan hati gurunya.

Laki-laki itu lalu memandang ke bawah dan ke atas, mengukur dengan pandang matanya. Kiranya letak pohon itu berada di tengah-tengah tebing, ke atas masih lima ratus kaki, ke bawah masih lima ratus kaki! Dan tidak mungkin mendaki tebing itu karena tegak lurus dan permukaannya rata dan licin.

Ketika dia melihat-lihat, tiba-tiba dia melihat bahwa pohon itu keluar dari sebuah guha. Burung-burung walet beterbangan keluar masuk guha yang tidak lebih dari satu meter garis tengahnya. Hal ini menandakan bahwa biarpun bagian luarnya hanya bergaris tengah satu meter, akan tetapi di sebelah dalamnya, guha itu tentu cukup lebar. Kalau tidak demikian, burung-burung itu tidak akan memilih tempat itu sebagai sarang mereka.

"Hui Lian, engkau berpegang erat-erat pada dahan itu, aku mau menyelidiki keadaan guha itu."

Laki-laki itu, dengan hanya sebelah tangan dan dua kaki, merayap melalui dahan dan batang pohon dan akhirnya berhasil sampai ke mulut guha. Dia menjenguk dan hampir berteriak kegirangan. Benar seperti yang diduga dan diharapkannya. Guha itu amat besar dibagian dalamnya dan memperoleh sinar yang cukup dari "pintu" yang satu meter garis tengahnya itu.

"Hui Lian, mari, ikuti aku, merayap kesini. Hati-hati." katanya.

Hui Lian dengan hati-hati sekali lalu merayap melalui dahan dan batang pohon, mengikuti gurunya dan masuk ke dalam guha itu melalui batang pohon. Ketika mereka tiba didalam guha dan turun, berdiri di lantai guha, keduanya girang bukan main. Barulah laki-laki itu sadar bahwa mereka berdua baru saja lolos dari lubang maut dan diapun merangkul muridnya.






"Hui Lian, kita harus berterima kasih kepada Tuhan yang secara ajaib telah menyelamatkan kita!"

Dan dia pun mengajak muridnya berlutut dan menghaturkan terima kasih kepada Bumi dan Langit. Setelah bersembahyang keduanya bangkit berdiri dan mulai memeriksa keadaan guha itu.

Sebuah guha yang besar dan dalam, dan ada terowongannya ke dalam. Mereka belum memasuki terowongan itu, karena hati mereka masih tegang dan mereka perlu beristirahat.

Laki-laki itu mengajak muridnya duduk bersila di bagian depan guha itu yang merupakan ruangan yang tidak kurang dari sepuluh meter panjangnya dan lima meter lebarnya, dengan pintu lubang satu meter garis tengahnya tadi. Lantainya rata dan licin, seperti lantai rumah saja.

"Suhu, bagaimana kita dapat naik lagi?"

"Hui Lian, belum saatnya kita memikirkan hal itu. Sekarang, bergembiralah bahwa kita telah mendapatkan sebuah tempat yang untuk sementara dapat kita tinggali."

"Tapi... tapi... bagaimana kita dapat minum, makan dan keluar dari tempat ini….?”

Gurunya memegang kepalanya dengan tangan kanan, mengelus rambutnya dan berkata, suayanya halus.

"Hui Lian, kita baru saja terlepas dari cengkeraman maut, perlu apa kehilangan akal untuk urusan lain? Semua itu nanti dapat kita selidiki perlahan-lahan, dan sekarang, yang terpenting kita samadhi untuk memulihkan tenaga dan ketenangan batin. Marilah."

Hui Lian mengangguk, tidak membantah lagi dan tak lama kemudian, guru dan murid itu sudah duduk bersila dengan tubuh tegak lurus, tenggelam kedalam samadhi.

Siapakah guru dan murid ini? Laki-laki berlengan kiri buntung itu bernama Ciang Su Kiat dan muridnya bernama Kok Hui Lian. Para pembaca kisah Asmara Berdarah mungkin belum lupa akan nama Ciang Su Kiat. Dia adalah bekas murid Cin-ling-pai yang membuntungi lengan kirinya sendiri karena dianggap bersalah terhadap Cin-ling-pai oleh Ketua Cin-ling-pai yang ketika itu menjadi gurunya, ialah Cia Kong Liang yang berwatak keras dan tegas itu.

Setelah membuntungi lengan kirinya sendiri, Ciang Su Kiat keluar dari Cin-ling-pai, tidak menjadi anggauta Cin-ling-pai lagi dan selanjutnya orang tidak tahu kemana dia pergi menyembunyikan dirinya.

Akan tetapi, dengan hati yang prihatin, Ciang Su Kiat bukan bersembunyi untuk merenungi nasibnya, melainkan dengan mati-matian dia menggembleng dirinya dengan ilmu-ilmu silat yang lebih mendalam sehingga biarpun dia kehilangan lengan kiri sebatas siku, dilain pihak dia memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu silat.

Beberapa tahun kemudian, ketika terjadi San-hai-koan dilanda perang, barulah secara tiba-tiba dia muncul dan dengan kepandaiannya yang sudah maju pesat, dia berhasil menyelamatkan puteri tunggal keluarga Kok-taijin Gubernur San-hai-koan yang terbasmi semua, lalu membawa puteri yang baru berumur sepuluh tahun itu meninggalkan San-hai-koan.

Puteri itu bukan lain adalah Kok Hui Lian yang kemudian menjadi muridnya, juga anak angkatnya karena Hui Lian sudah kehilangan ayah bunda dan seluruh keluarganya.

Sebetulnya, yang tadinya menyelamatkan Hui Lian dari rumah Gubernur Kok adalah Cia Hui Song, putera dari ketua Cin-ling-pai. Akan tetapi karena dia dikeroyok orang-orang pandai, terpaksa dia melepaskan Hui Lian dan hampir saja Hui Lian celaka tertawan musuh kalau saja tidak muncul Ciang Su Kiat yang menyelamatkannya dan membawanya lari.

Sampai dua jam lamanya Ciang Su Kiat dan Kok Hui Lian duduk bersamadhi diruangan depan guha itu. Setelah mereka merasa bahwa kekuatan mereka pulih kembali dan batin mereka menjadi tenang, barulah mereka bangkit dan Ciang Su Kiat mengajak muridnya untuk melakukan pemeriksaan kedalam guha.

Mula-mula mereka menjenguk ke luar dan sekali lagi mereka mendapat kenyataan bahwa tidak mungkin mereka keluar dari tempat itu. Untuk merayap, turun atau naik tidaklah mungkin. Jarak naik atau turun sejauh lima ratus kaki, dan dinding tebing itu terjal, tegak lurus dan licin sekali. Seekor monyet sekalipun kiranya tidak mungkin mampu merayap sampai ke permukaan laut dibawah atau naik sampai ke atas. Hanya burung-burung walet itulah mampu keluar dari tempat itu.

Setelah merasa yakin bahwa mereka tidak mungkin keluar dari situ melalui dinding di luar guha, mereka lalu masuk kembali dan memeriksa keadaan ruangan dalam. Guha itu adalah guha alam, lantai dan dindingnya semua dari batu karang yang amat kuat. Hanya anehnya, lantainya begitu rata dan licin seolah-olah ada orang yang melicinkannya. Ketika meraba dinding dan merasa betapa dinding itu lembab dan basah, Su Kiat berkata girang,

"Ahh, setidaknya, kebutuhan kita akan air dapat terpenuhi!"

"Dimana ada air, Suhu?"

"Di dalam dinding ini. Lihat, dinding ini basah dan lembab, dan disana-sini nampak air menetes. Kalau kita melubangi dinding ini membentuk mangkok, sebentar saja tentu akan penuh dengan air jemih dan segar!"

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar