*

*

Ads

Rabu, 11 April 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 022

"Kalau begitu teecu ingin menjadi orang biasa saja!" Han Siong berteriak. "Biarlah teecu disini bekerja sebagai kacung saja, membersihkan kebun dan melanjutkan pekerjaan sehari-hari, juga mengurus keperluan kedua orang Paman dan Bibi, dan teecu menjadi murid mereka!"

Sebelum Ceng Hok Hwesio menjawab, Ci Kang berkata.
"Kami kira permintaan Han Siong itu patut dan sudah sepantasnya kalau dipenuhi. Suhu tentu melihat betapa kami selalu patuh dan selama sepuluh tahun merenungkan dosa di kamar. Permintaan kami untuk mengambil murid kami kira tidak berlebihan, dan kebetulan anak ini pun suka menjadi murid kami. Kami sekali lagi mengharap kemurahan dan kebijaksanaan Suhu untuk meluluskan permintaan Han Siong agar menjadi murid kami."

Didesak oleh Han Siong dan dua orang hukuman itu, Ceng Hok Hwesio merasa kewalahan dan tidak enak hati kalau terus menerus menolak.

"Baiklah, akan tetapi kalau kelak keluarga anak ini minta pertanggungan jawab, kalian yang harus memikulnya."

"Biarlah teecu yang akan bertanggung jawab!" Han Siong berseru dengan tegas.

"Omitohud... pinceng hanya melaksanakan sesuai dengan peraturan kuil. Mulai saat ini, engkau kembali menjadi orang biasa dan bekerja disini hanya sebagai seorang kacung atau pembantu sukarela, tiada bedanya dengan mereka yang membayar kuil dan bekerja sukarela di kuil ini. Tentang hubunganmu dengan kedua orang hukuman, kami tidak tahu menahu asalkan tidak mengganggu ketenteraman kuil."

Setelah berkata demikian, Ceng Hok Hwesio lalu membalikkan tubuhnya, kembali ke kamarnya. Jelas bahwa dia merasa tidak senang hati dan menekan kemarahan hatinya.

Han Siong merasa girang sekali dan dia pun menjatuhkan dirinya berlutut di depan kedua orang itu.

"Suhu... Subo !" katanya sambil memberi hormat kepada kedua orang gurunya.

"Han Siong, bangkitlah dan mari ikut bersamaku ke dalam kamarku." kata Ci Kang dan Han Siong menurut.

Mereka bertiga meninggalkan tempat itu. Hui Cu kembali ke kamarnya di sebelah timur sedangkan Ci Kang mengajak Han Siong kembali ke kamarnya yang berada di ujung barat.

Ketika Han Siong ikut memasuki kamar itu, dia merasa terharu. Sebuah kamar kosong, sama sekali tidak ada perabot kamarnya. Dengan demikian, selama sepuluh tahun ini, orang gagah yang buntung lengan kirinya ini tinggal di lantai kamar itu tanpa beralaskan sesuatu!

Kamar itu berdinding putih dan nampak bersih sekali. Dia diajak duduk bersila di atas lantai. Hawa dalam kamar itu cukup karena terdapat banyak lubang angin di atas jendela dan pintu. Sebuah lampu gantung terdapat di sudut kamar, tergantung dari langit-langit. Setiap beberapa hari sekali hwesio pengantar makanan selalu membawa sebotol minyak ke kamar ini, tentu untuk lampu itu, pikir Han Siong.

"Han Siong, setelah menjadi muridku, engkau harus menceritakan semua tentang keadaanmu dan keluargamu. Tadi Suhu Ceng Hok Hwesio mengatakan bahwa Kakekmu bernama Pek Khun, siapakah dia?"

"Dia adalah Kakek Buyut teecu bernama Pek Khun. Kakek Buyut teecu itu bertapa di Pegunungan Kun-lun-san dan sejak kecil teecu ikut di Kun-lun-san."

Sepasang mata Ci Kang memandang penuh selidik.
"Kenapa begitu? Dimana Ayah Ibumu dan siapakah mereka?"

"Teecu tidak pernah mengenal Ayah dan Ibu. Menurut cerita Kakek Buyut teecu, Ayah adalah cucunya dan Ayah bernama Pek Kong. Karena teecu hendak dirampas orang-orang jahat, demikian kata Kakek Buyut teecu, maka teecu sejak bayi dibawa pergi oleh Kakek Pek Khun ke Kun-lun-pai, kemudian dititipkan disini untuk mempelajari ilmu. Menurut Kakek Pek Khun, Kakek dan juga Ayah teecu berturut-turut menjadi ketua perkumpulan Hati Putih yang didirikan oleh kakek buyut Pek Khun."

"Pek-sim-pang (Perkumpulan Hati Putih)? Hemm, belum pernah aku mendengarnya. Ceritamu menarik dan aku yakin engkau keturunan orang-orang gagah."

"Teecu sendiri tidak banyak tahu tentang keluarga teecu, dan teecu ingin sekali tahu kenapa Suhu dan Subo sampai menjalani hukuman disini. Kalau boleh teecu mengetahui maukah Suhu menjelaskan hal yang teecu ingin sekali tahu agar teecu tidak menjadi penasaran lagi?"






Mendengar pertanyaan anak itu, Ci Kang termenung. Semua peristiwa yang pernah terjadi pada dirinya dan Hui Cu kini terbayang semua olehnya. Ketika dia berjumpa dengan Hui Cu di kebun, keduanya merana dan berduka karena orang-orang yang dicinta telah menikah dengan orang lain, keduanya saling tertarik, merasa senasib sependeritaan dan merasa saling berkasihan. Lalu keduanya pergi bersama, tanpa kata apa pun di mulut, keduanya seperti telah bersepakat untuk menghadapi sisa hidup ini bersama-sama.

Mereka berdua lalu pergi naik turun gunung, keluar masuk hutan besar dengan hati nelangsa dan prihatin. Setelah lewat beberapa pekan, baru masing-masing mendapat kenyataan betapa mereka dapat bergaul dengan akrab, bahkan ada suatu ikatan istimewa dalam batin mereka, mungkin didorong oleh rasa iba dan senasib. Kemudian, di dalam sebuah hutan yang sunyi, di suatu malam yang diterangi bulan purnama, dengan hawa yang sejuk terjadilah hal itu diantara mereka!

Dorongan birahi mereka membuat mereka lupa akan segala dan terjadilah hubungan yang amat mesra itu dengan suka rela.

Pada keesokan harinya, Hui Cu menangis dan Ci Kang termenung. Keduanya menyesali apa yang telah mereka lakukan. Teringat pula mereka akan nasib mereka yang buruk. Teringat betapa mereka berdua adalah keturunan orang-orang sesat dan timbul keraguan didalam hati mereka apakah mereka juga tidak menuruni kesesatan orang tua mereka.

Dalam keadaan putus asa dan semakin berduka disertai penyesalan, mereka lalu pergi ke kuil Siauw-lim-si di tepi Sungai Cin-sha di Pegunungan Heng-tuang-san yang sunyi itu. Dan mereka lalu pergi menghadap ketua kuil, Ceng Hok Hwesio, mohon untuk dapat diterima menjadi hwesio dan nikouw untuk mempelajari ilmu keagamaan dan kebatinan untuk menebus dosa-dosa mereka yang lalu.

Ceng Hok Hwesio amat tertarik melihat pemuda buntung lengan kirinya yang nampak gagah dan tampan bertubuh tinggi tegap itu, apalagi melihat Hui Cu yang cantik jelita. Hatinya terharu dan merasa kasihan melihat dua orang muda yang ingin menebus dosa dan masuk menjadi hwesio dan nikouw itu.

Diterimanya mereka dengan hati rela dan mulai saat itu, dua orang muda yang gagah perkasa inipun menjadi hwesio dan nikouw, menggunduli rambut kepala dan mengenakan pakaian calon pendeta, siang malam mempelajari ilmu keagamaan didalam kuil, dipimpin sendiri oleh Ceng Hok Hwesio.

Karena itu, Ceng Hok Hwesio merupakan guru mereka dan mereka pun menyebut suhu, walaupun mereka tidak pernah minta diajari ilmu silat dari ketua kuil itu. Melihat ketekunan mereka, Ceng Hok Hwesio merasa semakin suka dan mengajarkan keagamaan dengan tekun.

Yang sering kita namakan bisikan iblis yang suka membujuk manusia untuk melakukan perbuatan yang tidak sepatutnya, sesungguhnya adalah bisikan dari pikiran kita sendiri. Pikiran yang menyimpan kenang-kenangan senang dan susah, membentuk Si Aku yang selalu ingin mengejar kesenangan dan menjauhi ketidak senangan.

Selain pandai menyimpan kenangan masa lalu, juga Si Aku suka membayang-bayangkan kesenangan yang khayal, dua hal inilah yang mendorong orang melakukan sesuatu yang tidak patut. Keinginan untuk mencapai dan memperoleh hal-hal menyenangkan yang dibayangkan itulah yang menjerumuskan kita ke dalam perbuatan-perbuatan sesat.

Keinginan memperoleh kesenangan ini besar sekali kemungkinannya melahirkan cara-cara pengejaran yang jahat. Pengejaran kesenangan yang berupa uang dapat mendorong orang melakukan korupsi, penipuan, pencurian, pemerasan dan sebagainya lagi. Pengejaran kesenangan yang berupa kedudukan dapat mendorong orang untuk saling jegal, saling hantam dan mungkin saling bunuh dan menimbulkan perang. Pengejaran kesenangan yang berupa sex dapat mendorong orang untuk melacur, berjina, memperkosa dan sebagainya lagi.

Sejak pertama kali melihat Hui Cu, Ceng Hok Hwesio yang pada waktu itu berusia kurang lebih lima puluh tahun, telah merasa tertarik dan kagum sekali. Hwesio ini sejak kecil hidup di dalam kuil dan belum pernah bergaul dekat dengan wanita. Kini sebagai muridnya, Hui Cu seringkali berada dalam satu ruangan dengan dia, untuk belajar membaca kitab agama dan mendengarkan penjelasan Ceng Hok Hwesio tentang artinya. Di dalam pergaulan ini, terjadi sesuatu di dalam batin Ceng Hok Hwesio. Dia merasa semakin suka, bahkan ada gairah cinta mengusiknya.

Hui Cu, biarpun ketika itu baru berusia sembilan belas tahun, namun ia adalah seorang gadis yang sudah malang-melintang diantara orang-orang sesat, tentu saja dapat melihat sikap dan pandang mata Ceng Hok Hwesio kepadanya. Hal ini amat mengejutkan hatinya, juga mendatangkan perasaan tidak senang dan penolakannya ia perlihatkan dengan jelas dalam sikap dan pandang matanya terhadap guru agama itu.

Dan Ceng Hok Hwesio juga dapat menangkap isyarat-isyarat penolakan ini. Hatinya menjadi pahit dan kemarahan mulai timbul. Dia masih dapat mengekang nafsu berahi, hanya ingin berdekatan, ingin bermesraan dengan gadis itu yang sudah dinyatakannya dengan pandang matanya. Akan tetapi, gadis itu menolaknya, bahkan pada pandang mata gadis itu terkandung pula ejekan dan pandangan merendahkan!

Kemudian, terjadilah sesuatu yang menghebohkan. Setelah berada di kuil itu selama sembilan bulan, pada suatu malam Hui Cu melahirkan seorang anak perempuan! Selama ini ia dapat menyembunyikan kandungannya di balik jubah nikouw yang longgar, akan tetapi setelah melahirkan, tentu saja ia tidak mampu menyembunyikannya lagi.

Bagaikan seekor harimau kelaparan. Ceng Hok Hwesio menyerbu kamar muridnya itu. Mukanya merah, matanya terbelalak dan kedua tangannya dikepal.

“Omitohud... engkau perempuan tidak tahu malu!" Dia memaki.

Pada saat itu, Ci Kang maju berlutut.
"Harap Suhu bersikap tenang dan tidak menyalahkan Hui Cu. Sebenarnya, teecu yang bersalah. Akan tetapi, semua ini terjadi di luar pengetahuan kami. Selama kami berdua berada disini, kami tidak pernah melakukannya, dan ternyata kandungan itu terbawa tanpa diketahui Hui Cu.”

"Keparat! Jadi engkaukah bapaknya?" bentak Ceng Hok Hwesio dan diam-diam Ci Kang terkejut dan heran mendengar ucapan kasar itu keluar dari mulut suhunya yang biasanya bersikap tenang, sabar dan lembut itu.

"Benar, Suhu. Sebelum kami berdua datang ke kuil ini, kami telah... telah...akan tetapi kami tidak tahu bahwa Hui Cu telah mcngandung."

"Hemm, apakah kalian ini suami isteri? Sudah menikah?"

Ci Kang menggeleng kepalanya.
"Kami tidak berbohong kepada Suhu ketika kami datang dan mengatakan bahwa kami hanyalah sahabat baik yang senasib sependeritaan. Kami bukan suami isteri….."

"Omitohud... semoga kuil kami diampuni dari dosa-dosa yang amat besar ini. Bukan suami isteri dan kini terlahir seorang anak! Dan kalian adalah seorang hwesio dan seorang nikouw. Memalukan! Memalukan pinceng, memalukan kuil, memalukan Siauw-lim-si…..!"

"Ampun, Suhu, kami tidak sengaja. Andaikata kami tahu bahwa Hui Cu sudah mengandung tentu kami tidak akan berani menjadi murid Suhu."

“Andaikata... andaikata... lebih baik melihat kenyataan yang ada sekarang! Kalian telah melakukan dosa besar, mencemarkan nama dan kehormatan, juga kesucian kuil kami. Untuk itu, sepatutnya kalian dihukum mati. Akan tetapi, pinceng adalah seorang suci yang tidak mau mengotorkan tangan dengan pembunuhan. Sebagai gantinya, kalian harus dihukum di dalam Ruangan Renungan Dosa agar kalian merenungkan dosa kalian yang besar itu dan bertaubat. Sanggupkah kalian menerima hukuman merenungkan dosa itu?"

Ci Kang dan Hui Cu yang juga berlutut mendengarkan dengan hati pilu, apalagi pada saat itu bayi mereka menangis dengan suara nyaring sekali.

"Bagaimanapun juga, kalian harus menerima hukuman yang akan pinceng jatuhkan, karena kalau kalian menolak, berarti terpaksa pinceng harus menjatuhkan hukuman mati!" kembali terdengar suara Ceng Hok Hwesio.

"Teecu... sanggup..." kata Hui Cu dan Ci Kang terkejut sekali.

Hukuman itu belum dijatuhkan dan Hui Cu sudah menyatakan kesanggupannya! Melihat betapa Hui Cu sudah sanggup, tidak ada pilihan lain baginya untuk menyatakan kesanggupannya juga.

"Teecu sanggup."

"Omitohud, semoga Sang Buddha mengampuni kalian. Pinceng menjatuhkan hukuman bertapa dalam dua kamar Renungan Dosa selama masing-masing dua puluh tahun!"

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar